DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2022.v6.i01.p06

p-ISSN: 2528-4517

Tradisi Kawin Lari (Merariq) pada Suku Bangsa Sasak di Desa Wanasaba, Lombok Timur

Muh. Muhsinin*, Ni Luh Arjani, Ni Made Wiasti

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]] [[email protected]] [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

This study analyzes the tradition of elopement (merariq) of the Sasak tribe in Wanasaba Village, East Lombok Regency. The merariq tradition is a tradition that exists in the marriage of the Sasak people. The merariq tradition is considered an extreme tradition among the people, especially those outside the island of Lombok. This study focuses on two problem formulations namely; first, how is the existence of the merariq tradition in Wanasaba Village and the impact of the merariq tradition on family life and social life in Wanasaba Village. The approach used in this research is qualitative with descriptive type and analysis with Nurture and Nature theory and feminism theory. The existence factors of merariq are economic, ceremonies in the merariq tradition, extreme merariq tradition debate, and disapproval or no blessing from parents both from the female parents and the male parents.

Keywords: Merariq Tradition, Merariq Tradition Existence, Merariq Tradition Impact

Abstrak

Penelitian ini menganalisis serta memaparkan tentang tradisi kawin lari (merariq) suku bangsa Sasak yang ada di Desa Wanasaba, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur. Tradisi merariq adalah tradisi yang ada dalam pernikahan masyarakat suku Sasak. Tradisi merariq dianggap sebagai tradisi yang ekstrim dikalangan masyarakat terutama yang di luar pulau Lombok. Penelitian ini berfokus pada dua rumusan masalah yakni; pertama, bagaimana eksistensi tradisi merariq di Desa Wanasaba dan dampak tradisi merariq terhadap kehidupan keluarga dan kehidupan sosial di Desa Wanasaba. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni kualitatif dengan jenis deskriptif dan analisis dengan teori Nurture dan Nature serta teori feminisme. Faktor-faktor eksistensi merariq yaitu Faktor ekonomi, upacara-upacara dalam tradisi merariq sangat beragam, perdebatan atau sudut pandang terkait kebudayaan merariq yang ekstrim, dan ketidaksetujuan atau tidak ada restu dari orang tua baik dari pihak orang tua perempuan maupun pihak orang tua laki-laki.

Kata kunci: Tradisi Merariq, Eksistensi Tradisi Merariq, Dampak Tradisi Merariq

Sunari Penjor : Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

PENDAHULUAN

Salah satu kebudayaan terkenal pada masyarakat Lombok atau masyarakat suku Sasak adalah kebudayaan kawin lari (Merariq). Kebudayaan merariq merupakan salah satu contoh kebudayaan yang populer pada prosesi pernikahan masyarakat suku Sasak yang mana ketika seorang pria ingin meminang seorang perempuan dia akan terlebih dahulu membawanya secara sembunyi-sembunyi dan biasa dilakukan malam hari. Merariq merupakan bagian dari rangkaian proses pernikahan pada etnik Sasak.

Berdasarkan data pernikahan pada masyarakat di Desa Wanasaba Kecamatan Wanasaba dalam kurun waktu 2 tahun terakhir yaitu dari tahun 2018 jumlah pernikahan adalah sebanyak 362 jiwa dan pada tahun 2019 sebanyak 492 jiwa. Dari data statistik tersebut sekaligus menjelaskan jumlah pernikahan masyarakat di desa Wanasaba yang dilakukan dengan tradisi merariq (Profil Desa Wanasaba, 2019).

Tradisi merariq merupakan kebudayaan yang dianggap cukup ekstrim. Pasalnya seorang pria yang ingin meminang seorang perempuan harus menculik terlebih dahulu perempuan yang ingin dinikahi dan kemudian dibawa ke rumah keluarga seorang pria. Hal tersebut dianggap melanggar hak asasi manusia dikarenakan merariq tidak lepas dari kata penculikan, sementara penculikan identik dengan tindakan yang negatif seperti kekerasan terhadap seseorang dan adanya tindakan merendahkan derajat serta martabat kemanusiaan.

Dari beberapa alasan-alasan yang ada tersebut tradisi merariq juga dianggap bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2004 yang mana inti yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.

Kaitannya dengan merariq adalah merariq dianggap sebagai tindakan yang kriminal dan mengandung kekerasan maka dari itu perlu dihapuskan. Selain itu juga erat kaitannya dengan UU No. 21 Tahun 2007 terkait Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang intinya mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan-tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut peneliti dapat menguraikan beberapa rumusan masalah diantaranya: (1) Mengapa tradisi Merariq masih eksis di desa Wanasaba? (2) Bagaimana dampak tradisi Merariq terhadap kehidupan keluarga dan     masyarakat

di desa Wanasaba?

Lokasi penelitian ini adalah di desa Wanasaba Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini memilih tempat tersebut dikarenakan tempat tersebut merupakan salah satu lokasi yang masih mempertahankan kebudayaan Merariq. Desa Wanasaba merupakan desa yang masih marak terjadi tradisi merariq. Selain itu di desa Wanasaba masih banyak tokoh- tokoh adat yang dari sejak zaman dulu menjadi tokoh-tokoh yang ikut berpartisipasi dalam tradisi merariq.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan     pada     metodologi

menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia (Creswell, 2015: 4-5). Dalam konteks ini akan digambarkan dan dijelaskan terkait dengan eksistensi tradisi merariq di desa Wanasaba dan dampak tradisi merariq terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat di

desa Wanasaba, Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok Timur.

Penelitian ini menggunakan macam observasi terus terang, yaitu dalam melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu menyatakan terus terang kepada sumber data, bahwa ia sedang melakukan penelitian. Jadi mereka yang akan diteliti dan/atau memberi informasi mengetahui sejak awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti. Pengamatan dilakukan juga dengan cara terlibat langsung untuk lebih mengetahui hubungan antar manusia dan kegiatan manusia dalam hubungan mereka satu sama lain (Koentjaraningrat, 1997: 151).

Sumber-sumber data penelitian ini adalah primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sumber data dari hasil observasi dan wawancara langsung dengan informan-informan terpilih sebagai sumber data primer. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang sudah ada. Sumber data sekunder seperti studi kepustakaan, catatan-catatan dan dokumentasi serta arsip-arsip tradisi merariq.

Pada artikel ini, tinjauan pustaka pertama merujuk pada sebuah skripsi yang berjudul “Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional” oleh Amalia (2017). Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa tradisi Merariq ini dalam Suku Sasak Lombok di desa Sade terdiri dari beberapa tahapan yaitu: (1) Midang (meminang). Termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang (mengunjungi calon istri di luar rumah), disini terjadilah kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan penculikan atau si laki-laki membawa lari si perempuan. (2) Pihak laki-laki harus menculik (melarikan) pengantin perempuan. (3) Pihak laki-laki harus melaporkan kejadian kawin lari itu

kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar). (4) Pelunasan uang jaminan dan mahar. (5) Melakukan akad nikah dengan cara Islam. (6) Adapun istilah yang digunakan dalam pembayaran adat ketika ingin menikah di Suku Sasak Lombok disebut dengan sorong doe atau sorong serah. (7) Nyongkolan, yaitu mengantarkan kembali pihak perempuan pada pihak keluarganya, diarak keliling kampung dengan berjalan kaki diiringi musik tradisional khas lombok (gendang belek dan kecimol).

Tinjauan terakhir merujuk pada tulisan berjudul “Perkawinan Adat Merariq dan Tradisi Selabar di Masyarakat Suku Sasak” oleh Hak dan Hamdi (2016) yang menjelaskan bahawa merariq sebagai tradisi perkawinan adat di masyarakat suku bangsa Sasak ternyata menyimpan potensi konflik yang tidak jarang berahir dengan sengketa, karna di awali dengan peristiwa memaling atau mencuri atas dasar persetujuan si gadis dari kekuasaan orangtuanya, sebagai wujud sikap ksatria sekaligus bentuk keseriusan si laki laki untuk menikahi si gadis. Namun di tengah kelemahannya ternyata sistem merariq telah menyediakan sarana alternatif penyelesaian berupa saran negosiasi antara perwakilan pihak calon mempelai laki laki dengan keluarga calon mempelai yang diistilahkan selabar untuk menyepakati pembayaran ajikrame dan pisuke guna menuju perdamaian para pihak.

Persamaan penelitian sebelumnya dengan artikel ini adalah pembahasan tentang proses dari tradisi merariq. Sementara yang membedakannya dengan penelitian ini adalah dalam penelitian ini selain membahas bagaimana prosesi tradisi merariq, pun pada penelitian ini juga mengkaji bagaimana perkembanngan tradisi merariq pada

masyarakat Suku Bangsa Sasak di Lombok terlebih khusus di desa Wanasaba Kecamatan Wanasaba. Apabila melihat perubahan zaman dari masyarakat tradisional sampai pada masyarakat modern seperti saat ini, beberapa kebudayaan tradisional sudah hampir banyak yang tergerus oleh zaman. Namun tidak terjadi pada salah satu kebudayaan masyarakat Lombok yaitu pada tradisi pernikahannya atau tradisi merariq.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada suku bangsa Sasak sebelum pernikahan ada proses atau sistem adat yang sering disebut dengan istilah merari’. Secara etimologis kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat pernikahan yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’. Secara terminologis, merari’ mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.

Beberapa versi sejarah tentang merariq yang umum diketahui masyarakat adalah yang pertama merariq merupakan tradisi asli nenek moyang masyarakat sasak dan kedua tradisi merariq merupakan akulturasi dari budaya luar daerah seperti Bali.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Tradisi Merariq

  • a.    Faktor Ekonomi.

Perkawinan diharapkan mampu mengurangi beban keluarga terutama keluarga perempuan karena pada tradisi masyarakat Lombok yang masih bersifat patriarki, setelah merariq ataupun menikah seorang laki-laki akan

bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhan perempuan. Oleh karenanya keluarga perempuan akan merasa lebih bisa mencukupi kehidupan keluarganya apabila ia sudah memberikannya izin untuk menikah.

  • b.    Faktor Sosial Budaya

  • (a)    Lingkungan Sosial. Lingkungan sosial dalam arti pergaulan yang tidak bisa terkontrol dengan baik seringkali membuat adanya hubungan yang melewati batas. Sebagian perempuan sudah melakukan hubungan diluar nikah dan ketakutan akan terjadi kehamilan. Maka dari itu secepatnya lelaki akan dimintai pertanggung jawaban demi menjaga nama baik pribadi maupun nama baik keluarga besar.

  • (b)    Pendidikan. Masalah pendidikan di desa Wanasaba juga menjadi salah satu hal sentral yang patut diperhatikan. Tingkat pendidikan yang rendah dan banyaknya anak-anak yang putus sekolah mengakibatkan pola pikir tidak dewasa, kelamaan menganggur membuat anak-anak remaja tersebut memilih untuk menikah.

  • (c)    Agama. Kesalahpahaman dalam memahami ajaran agama bahwa menikah muda merupakan salah satu anjuran dari Nabi Muhammad, meskipun benar namun pada kenyataannya anak-anak remaja di lombok terlebih khusus hanya sebatas paham bahwa hal tersebut merupakan sunnah rasul, begitulah kata-kata yang sering diucapkan. Sebagai pelaku. Mereka sebenarnya tidak sepenuhnya memahami arti dari apa yang didengarkan dan dibaca.

  • (d)    Tidak Ada Restu. Salah satu alasan yang cukup krusial adalah tidak direstuinya hubungan kedua pasangan kekasih oleh orang tua. Alasan tidak di restuinya terkadang karena kedua pasangan kekasih yang ingin melakukan merariq masih dibawah umur dan bahkan masih dalam proses menempuh

pendidikan tingkat SMP maupun SMA yang belum cukup umur.

  • (e)    Citra Seorang Laki-laki pada Masyarakat Suku Sasak. Pada tradisi merariq pria seolah-olah menjadi seorang pahlawan atau superhero dengan keberaniannya membawa merariq seorang perempuan yang diinginkan. Keberanian pria tersebut selain menjadi perjuangan seorang pria pun juga menjadi sebuah kehormatan bagi keluarga si perempuan.

  • (f)    Pertentangan Merariq sebagai Tradisi yang Ekstrim. Adapun yang mengaitkan bahwa tradisi merariq bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Perilaku dalam tradisi merariq dianggap sebagai sebuah tindakan yang mengandung unsur kekerasan yang sebaiknya dihapus saja, karena resiko yang diambil cukup berbahaya dan bisa membawa pengaruh negatif dalam kehidupan rumah tangga. Selain itu juga ada UU No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Tradisi merariq dianggap sebagai tradisi layaknya jual beli ilegal dengan alasan bahwa dalam tradisi merariq. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak mampu untuk menghapus ataupun menghilangkan tradisi merariq yang notabenenya sudah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat suku sasak. alasan utamanya adalah sebagian besar orang-orang yang mengatakan tradisi tersebut adalah tradisi yang tidak baik merupakan orang-orang yang tidak sepenuhnya mendalami bagaimana tradisi merariq tersebut. Pada dasarnya dalam tradisi merariq juga terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak terutama antara laki-laki dan perempuan yang ingin menikah. Selain itu sebelum si perempuan dibawa lari oleh laki-laki yang ingin meminangnya, lelaki tersebut setidaknya akan meminta izin kepada

orang tua si perempuan. Secara garis besar masyarakat di Desa Wanasaba beragama Islam karena itu baik hukum islam dan hukum adat setidaknya sudah menjamin keamanan dan ketentraman dalam tradisi merariq karena tradisi tersebut sudah diadaptasi oleh hukum-hukum islam dan hukum adat bagaimana budaya tersebut tetap mampu diterima oleh masyarakat dan menjauhkan tindakan yang berbau kriminal.

  • (g)    Upacara Merariq. Upacara mereraiq merupakan rangkaian proses dari tradisi merariq atau bisa dikatakan pesta dan selamatan sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan kedua pasangan dari melakukan merariq sampai merariq menjadi daya tarik baik bagi masyarakat lokal maupun masyarakat karena keberagaman pertunjukan yang disajikan seperti upacara nyongkolan, upacara begawe, upacara tarian sasak dan sebagainya.

Dampak Positif Tradisi Merariq bagi Kehidupan Keluarga

  • (a)    Membantu meringankan beban tanggung jawab dalam kehidupan keluarga. Dalam tradisi pernikahan masyarakat suku sasak sebagian besar ketika seorang perempuan sudah dinikahi maka ia akan tinggal bersama suaminya dan sekaligus segala kebutuhannya sudah tidak menjadi tanggung jawab orang tua lagi.

  • (b)    Mempererat tali silaturahmi antar keluarga. Melalui pernikahan tentu menjadi hal yang lumrah apabila kita berbicara tentang ikatan persaudaraan antara pihak yang melakukan pernikahan, apalagi pernikahan yang terjadi pada masyarakat suku sasak yang notabennya upacara pernikahan atau rangkaian pernikahannya cukup panjang.

  • (c)    Wujud keberanian dari seorang pria yang akan meminang seorang perempuan. Kaitannya dalam hal ini adalah laki-laki sekali lagi seolah-olah

menjadi jagoan apabila berani melakukan tradisi merariq. Lelaki yang tidak hanya banyak bicara tapi tidak melakukan aksi apa-apa.

  • (d)    Sebuah kehormatan bagi pihak keluarga perempuan karena anaknya di larikan. Sebagian besar masyarakat Lombok mencitrakan hal tersebut sebagai perjuangan dan keseriusan seorang pria terhadap anaknya dari pihak perempuan.

  • (e)    Menghemat pengeluaran pribadi karena semua anggota keluarga baik saudara dekat maupun jauh ikut andil dalam proses membantu biaya pernikahan.

Dampak Negatif bagi Kehidupan Keluarga

  • (a)    Wanita seperti barang dagangan yang diperjual-belikan. (b) Perempuan termarjinalkan. (c) Perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double burden/peran ganda). (d) Nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke. Dalam hal ini perempuan layaknya seperti barang dagangan yang begitu saja diserahkan setelah harga yang disepakati sudah diputuskan. (e) Jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan istri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.

Dampak Positif Tradisi Merariq bagi Kehidupan Sosial

  • (a)    Solidaritas antar keluarga dan masyarakat yang semakin tinggi. Dalam rangkaian upacara merariq terdapat banyak nilai-nilai sosial yang sangat penting bagi persatuan masyarakat. Lewat berbagai upacaranya secara tidak

langsung juga ikatan silaturahim semakin erat.

  • (b)    Dalam pandangan agama lebih baik untuk mengurangi tindakan yang berlebihan seperti pelecehan seksual dan perzinahan. Masih kentalnya ajaran Islam menjadi salah satu pedoman dan pengontrol jika melihat perkembangan zaman yang banyak sekali tindakan-tindakan.

  • (c)    Sebagai hiburan bagi masyarakat karena dalam tradisi merariq ada beberapa pertunjukan seni tradisional seperti Gendang beleq, Cilokaq dan beberapa pertunjukan lainnya tergantung dari pihak keluarga yang melakukan tradisi merariq.

  • (d)    Menarik minat para wisatawan untuk berkunjung ke Lombok menyaksikan rangkaian upacara merariq. Hal ini tentu menguntungkan bagi pariwisata NTB untuk lebih maju dan berkembang baik dari sisi kebudayaan maupun peningkatan pendapatan.

  • (e)    Melestarikan kebudayaan lokal masyarakat Suku Sasak. Melalui tradisi merariq tentu kebudayaan-kebudayaan tradisional dapat tetap dijaga dan dilestarikan dengan baik karena tradisi merariq bisa menjadi daya tarik wisatawan.

Dampak Negatif Tradisi Merariq bagi Kehidupan Sosial

  • (a)    Akan menjadi aib atau momok dalam masyarakat apabila pernikahan dibatalkan. Calon pasangan yang tidak jadi merariq tentu harus menanggung beban rasa malu dari kedua elemen tersebut, yaitu keluarga dan masyarakat.

  • (b)    Kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya.

  • (c)    Terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain. Dalam hal ini tradisi merariq juga menjadi salah satu penyebab terjadinya poligami. Kejadian ini lebih sering terjadi dikarenakan banyak anak-anak yang dibawah umur juga mengikuti praktek tradisi merariq tanpa berpikir jauh kedepannya atau dalam artian hanya sekedar ikut-ikutan.

  • (d)    Terbaginya pekerjaan domestik hanya bagi istri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik.

  • (e)    Desa Wanasaba yang memiliki kebudayaan patrilineal atau mengambil garis keturunan dari laki-laki maka sifat dan tindakan yang superior dari seorang laki-laki sepertinya sudah wajar, yaitu melakukan tindakan mengedepankan egonya lebih besar.

  • (f)    Superioritas dari seorang pria. Konstruksi masyarkat tentang pria adalah manusia yang kokoh dan kuat. Adanya konstruksi tersebut membuat posisi laki-laki sangat dominan dalam hal menentukan dan mengatur kehidupan keluarganya.

SIMPULAN

Salah satu budaya yang masih populer adalah kebudayaan merariq atau kawin lari dengan menculik seorang perempuan yang ingin dipinang seperti yang terjadi di Desa Wanasaba Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur. Faktor-faktor yang menyebabkan kebudayaan merariq masih tetap eksis sampai sekarang diantaranya: faktor ekonomi yakni adanya harapan merariq sebagai salah satu solusi untuk mengurangi beban keluarga. Upacara-upacara dalam tradisi merariq sangat beragam dan memiliki keunikan masing-masing seperti upacara sorong serah, upacara nyongkolan, upacara memasak dan makan besar bersama-sama. Hal-hal

yang membuat tradisi merariq terus eksis selain karena upacara-upacara dalam prosesinya ialah perdebatan atau sudut pandang terkait kebudayaan tersebut dari berbagai kalangan masyarakat terutama masyarakat non lokal yang tidak sepenuhnya begitu tahu tentang kebudayaan merariq.

Konstruksi sebagian masyarakat tentang tradisi merariq yang melanggar undang-undang dan tidak tanggung-tanggung dicap sebagai tindakan yang kriminal dan penuh kekerasan. Bahwasanya tradisi merariq seharusnya dihilangkan dan tidak patut untuk dipertahankan namun realita sebenarnya bahwa tradisi merariq juga didasari atas kata sepakat diantara kedua calon mempelai atau adanya persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan m erariq. Dampak yang ditimbulkan dari tradisi merariq juga tidak hanya negatif seperti anggapan masyarakat tentang ekstrim, wanita ibarat barang yang diperdagangkan namun di samping itu tradisi merariq juga memiliki dampak positif seperti semakin eratnya ikatan solidaritas masyarakat, upacara yang menarik, kebersamaan atau gotong royong dan lain sebagainya.

Kebudayaan merupakan salah satu identitas bangsa yang patut untuk tetap dijaga dan jangan sampai kebudayaan tersebut dilupakan apalagi sampai diklaim oleh negara lain. Kebudayaan seperti merariq harus tetap dilestarikan karena selain menarik kebudayaan tersebut juga menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat luar untuk datang berkunjung ke Indonesia dan dengan begitu tentu sangat berdampak bagi perekonomian bangsa terutama terkait dalam pariwisata budaya di Nusa Tenggara Barat, khususnya daerah Lombok.

REFERENSI

Amalia, A.R. (2017). “Tradisi

Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok:  Studi Kasus Integrasi

Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional”. Skripsi Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Arivia, G. (2003). Filsafat Berspektif Feminis.     Yayasan     Jurnal

Perempuan

Creswell, J.W. (2015). Penelitian Kualitatif dan Riset. Pustaka Pelajar.

Hak, H.S., dan Hamdi. (2016). “Perkawinan Adat Merariq dan Tradisi Selabaran di Masyarakat Suku Sasak”. Jurnal Perspektif, XXI(3).

Idianto. (2004). Prosesi Perkawinan Masyarakat   Lombok.    KSU

Primaguna.

Koentjaraningrat. (1997). Pengantar Ilmu Antropologi (Edisi Revisi). Rineka Cipta.

Profil Desa Wanasaba Tahun 2019. (2019). Kantor Desa Wanasaba.

Sudirman. (2007). Gumi Sasak Dalam Sejarah. Yayasan Budaya Sasak Lestri.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.