DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2022.v6.i01.p05

p-ISSN: 2528-4517

Tengkulak dalam Sistem Ekonomi Petani Hortikultura Etnis Tengger Brang Wetan

Mohamad Fahmi Idris*, Aliffiati, I Nyoman Suarsana

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]] [[email protected]] [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

Middlemen or intermediaries are viewed negatively in society, especially in the farmer’s economic system. The role of the middleman is not always negative, the middleman also has a positive side. Middlemen or vagetable collectros who are present in the midst of the tengger Brang Wetan farming community in Argosari Village, senduro, Lumajang Regency. Farmers who are producitve, but have better business instincts than other farmars. Middlemen who have been present in agricultural life are sometimes considered to have a negative connotation the emphasis of this research methodolgy is on the use of qualitative methods and the analysis focuses on interpretive descriptive, the relationship betweeen farmers and middlemen begins with tading namely the relationship between sellers and buyers where the position of sellers and buyer between farmers and middlemen can be exchanged depending on the time and circumstances and needs between the two parties.

Keywords: Horticultural Farmers, Middlemen, Lumajang, Dependent Relationship

Abstrak

Tengkulak dalam masyarakat dipandang negatif dalam ekonomi petani. Tengkulak tersebut tidak selalu bersifat negatif, tengkulak juga memiliki sisi positif. Kehadiran tengkulak di tengah-tengah masyarakat petani di Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. Petani dan tengkulak memiliki kemampuan insting yang berbeda-beda dalam mengembangan bisnis baik dibandingkan petani. Tengkulak yang hadir dalam keseharian pertani kadang dianggap negatif, penekanan metedelogi penelitian ini pada penggunaan metode kualitatif, dan analisisnya terfokus pada deskriptif interpertatif. Penelitan ini mengutamakan metode kualitatif sebagai cara dominan dalam mendapatkan informasi atau data. Sedangkan data kuantitatif hanya digunakan sebagai penunjang dalam upaya tercapainya tingkat realibilitas validitas yang inginkan. Temuan yang dideskripsikan secara mendalam berkaitan hubungan harmonis petani dengan tengkulak bermula ada hubungan penjual dan pembeli posisi penjual dan pembeli diantara petani dengan tengkulak dapat bertukar tergantung waktu dan keadaan serta kebutuhan diantara kedua belah pihak.

Kata Kunci: Petani Hortikultura, Tengkulak, Lumajang, Hubungan Ketergantungan

Sunari Penjor : Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

PENDAHULUAN

Pertanian tidak hanya sebagai penyedia pangan bagi warga masyarakat tetapi juga secara tidak langsung menciptakan suatu sistem perekonomian di Negara Indonesia. Petani sebagai produsen dalam hal ini adalah penghasil bahan pangan yang diperlukan oleh masyarakat namun keberadaannya seringkali terabaikan dalam sistem perekonomian, terlebih dalam sistem distribusi hasil panen. Kondisi ini berdampak terhadap kesejahteraan petani dan berimplikasi terhadap budaya petani perdesaan (Soekartawi dan Damaijati, 1993).

Pendistribusian hasil pertanian merupakan bagian dari sistem ekonomi petani yang berimplikasi terhadap budaya petani perdesaan karena dalam prosesnya melibatkan banyak pihak, menciptakan berbagai peran dan jaringan di masyarakat yang pada akhirnya berimplikasi pada petani tersebut.

Melihat dalam kondisi kejadian yang ada dilapangan kehadiran tengkulak atau broker juga disebut penadah. Istilah broker digunakan untuk menyambut seorang atau satu perusahaan yang bertindak sebagai penadah, tengkulak adalah penghubung transaksi antara konsumen dengan pasar. Secara umum, fungsi broker/penadah adalah bertindak sebagai penadah antara klien yang didefinisikan sebagai pihak yang memberi barang atau jasa yang ditawarkan pihak penjual dengan pasar atau produsen.

Kehadiran tengkulak atau penadah pada masyarakat cenderung dipandang negatif dalam sistem perekonomian petani. Padahal peran tengkulak tersebut tidak selalu bersifat negatif, tengkulak memiliki sisi positif, salah satu peran penting tengkulak dalam aspek ekonomi adalah sebagai role penggerak ekonomi di wilayah Desa Argosari. Tengkulak memiliki kedudukan penting dalam

sistem pemasaran pertanian, tengkulak juga mempunyai jaringan sosial yang luas. Jaringan sosial yang dimiliki oleh tengkulak. Kenyataannya tidak dimiliki oleh petani sehingga terciptalah hubungan ketergantungan diantara keduanya (Bunch, 1991).

Hubungan petani dengan tengkulak mampu menggerakkan roda ekonomi petani pedesaan karena memberikan perlindungan subsistensi kepada petani. Selain itu juga jaringan sosial yang sangat luas, tengkulak juga berperan memberi modal kepada petani. Hal inilah yang membuat petani begitu bergantung pada tengkulak. Hal ini diperkuat dengan teori James Scott Moral ekonomi mengenai Patron dan Klien. Tengkulak sebut pemilik modal besar dan menguasai sistem ekonomi khususnya perdagangan hasil bumi sedangkan petani dapat dikatakan di bawah tengkulak (Agusyanto, 1997).

METODE

Penelitian yang digunakan oleh peneliti pada saat di lapangan adalah metode kualitatif, dimana dalam penenlitian kualitatif cara utama dalam mengumpulkan data melalui observasi serta wawancara mendalam. Penelitian kualitatif pada umumnya bertujuan untuk mengembangkan pemahaman fenomena kebudayaan, khususnya dalam penelitian ini memahami tengkulak dalam sistem ekonomi petani hortikultura etnis Tengger Brang Wetan di Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jawa Timur (Sugiyono, 2006). Penelitian ini menggunakan dua teori, teori pertama yaitu Strukturasi dari Anthony Giddens (2011) yang relevan dalam menganalisis penelitian ini karena sistem yang secara keseluruhan terdiri dari struktur-struktur, nilai kultural dan pranata hukum, dimana keberadaan tengkulak dalam struktur pasar pertanian memiliki relasai sosial yang tidak dapat

dijangkau oleh masyarakat petani tersebut. Teori kedua adalah Moral Ekonomi Petani dari James Scott (1983) yang penulis anggap relevan dalam mengkaji penelitian ini, karena tanpa disadari perilaku serta pola hidup para petani di Desa Argosari mengarah pada upaya untuk terhindar dari berbagai kerugian agar dapat bertahan hidup, sehingga kondisi tersebut mengarahkan petani untuk memanajemeni sumber daya pertaniannya.

Pada artikel ini, tinjauan pustaka pertama yang dirujuk adalah tulisan Isnawati, dkk. (2017) berjudul “Model Bisnis Inklusi Sayuran Farm Veggieway Studi di Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar” menjelaskan bahwa kegiatan jual beli sayur melalui rantai distribusi dua jenis. Pertama, dari petani ke pedagang tengkulak, pedagang tengkulak ke pedagang pengepul, pedagang pengepul ke pedagang pengecer, pedagang pengecer ke konsumen. Kedua, dari petani ke pedagang tengkulak, lalu ke pedagang pengecer, baru ke kosumen. Hal ini menunjukkan bahwa barang baru sampai ke tangan konsumen setelah melalui tiga proses distribusi yang begitu panjang. menjadi wajar apabila harga yang diterima petani sangat rendah dan berbanding terbalik ketika harga ada di tangan konsumen. Secara kasat mata, tengkulak memainkan peran penting dalam distribusi tersebut.

Perbedaan penelitian ini adalah pada kegiatan jual beli sayur melalui rantai distribusi dua jenis. Pertama, dari petani ke pedagang tengkulak, pedagang tengkulak ke pedagang pengepul, pedagang pengepul ke pedagang pengecer, pedagang pengecer ke konsumen. Kedua, dari petani ke pedagang tengkulak, lalu ke pedagang pengecer, baru ke kosumen. Persamaan penelitian ini sama-sama mengambil peran pedagang tengkulak, pedagang tengkulak ke pedagang pengepul,

pedagang pengepul ke pedagang pengecer, pedagang pengecer ke konsumen. dari petani ke pedagang tengkulak, lalu ke pedagang pengecer, baru ke kosumen tersebut.

Studi berikutnya dari Hardinawati (2017) yang mengungkap beberapa alasan petani menjual hasil panen ke tengkulak. Petani dengan mudah menyerahkan hasil panen ke tengkulak karena tengkulak mampu mengangkut dan mengurus sendiri pemanenan hingga pengangkutan. Tengkulak juga memiliki beberapa tenaga kerja dalam hal pemanenan. Biasanya petani tidak perlu memanen bahkan menggiling hasil panen seperti jagung dan padi, atau pun mengeringkannya. Tengkulak akan memanen hasil pertanian dan segera mengangkutnya. Di samping itu tengkulak mampu membeli hasil panen dalam jumlah banyak. Ini berkaitan dengan jaringan tengkulak dengan agen-agen besar.

Perbedaan penelitian ini adalah alasan petani menjual hasil panen ke tengkulak. Petani dengan mudah menyerahkan hasil panen ke tengkulak karena tengkulak mampu mengangkut dan mengurus sendiri pemanenan hingga pengangkutan. Persamaan penelitian ini sama-sama mengambil peran pedagang tengkulak, pedagang tengkulak ke pedagang pengepul, pedagang pengepul ke pedagang pengecer, pedagang pengecer ke konsumen. dari petani ke pedagang tengkulak, lalu ke pedagang pengecer, baru ke kosumen tersebut.

Hardiyanto (2015) dalam studinya menjelaskan bahwa tengkulak juga berperan memberi modal kepada petani. Hal inilah yang membuat petani begitu tergantung pada tengkulak. Tengkulak di dataran tinggi Dieng dalam studi tersebut dijelaskan bahwa tengkulak memanfaatkan posisi sebagai pemberi modal pada petani. Hal tersebut digunakan tengkulak dalam mengikat

petani agar terus menjual hasil panen kepadanya. Situasi yang digunakan tengkulak baik berupa panen raya atau bahkan saat gagal panen. Tengkulak sangat memanfaatkan masa-masa gagal panen karena pada saat itu harga hasil panen anjlok dan petani kehabisan modal dalam menanam tanaman selanjutnya.

Perbedaan penelitian ini adalah tengkulak juga berperan memberi modal kepada petani. Hal inilah yang membuat petani begitu tergantung pada tengkulak. Persamaan penelitian ini sama-sama menjelaskan     bahwa     tengkulak

memanfaatkan posisi sebagai pemberi modal pada petani persamaan dalam penelitian  ini samasama  mengambil

peran pedagang tengkulak, pedagang tengkulak   ke pedagang   pengepul,

pedagang  pengepul ke  pedagang

pengecer, pedagang pengecer ke konsumen. dari petani ke pedagang tengkulak, lalu ke pedagang pengecer, baru ke kosumen tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor-faktor yang Menyebabkan Keberadaan Tengkulak dalam Sistem Ekonomi Petani

Sistem ekonomi petani hortikultura Tengger Argosari merupakan sebuah potensi ekonomi, jika dikembangkan dan di kelola secara maksimal tentunya dapat memberikan kesejateraan kepada petani hortikultura secara maksimal. Meskipun wilayah Desa Argosari tergolong wilayah yang relatif sulit dijangkau karena berada di wilayah lereng pegunungan, namun masalah penjualan hasil panen tidak terkendala. Kondisi ini merupakan, peran dari tengkulak, hadirnya tengkulak. Kehadiran petani pada tengkulak di Desa Argosari juga disebabkan adanya kesulitan petani dalam memasarkan hasil panen dan memberikan bantuan modal terhadap petani serta menjadi penolog masyarakat petani dan kelangsungan hidup kegiatan

tersebut. hampir kegiatan pertanian mulai dari penyemaian hingga pemanenan memerlukan biaya yang tidak seberapa. Bahkan para petani-petani tersebut selalu menggunakan jasa buruh keluarga terdekat (Kusnadi, 2011).

Keinginan petani untuk segera dapat bercocok tanam memang berkaitan dengan tengkulak. Baik petani yang mendapatkan modal ataupun tidak. Untuk petani yang mendapatkan modal dari tengkulak, ini tidak dapat dipisahkan dari uang yang terus mengalir. Petani yang terhimpit oleh kebutuhan ekonomi sementara untuk membiayai kebutuhan pertaniannya ia mengandalkan tengkulak maka secara otomatis kelangsungan bercocok tanam juga menjadi penyebab ia bergantung pada tengkulak. Ketidakmampuam petani dalam memasarkan hasil panennya benar-benar dimanfaatkan oleh tengkulak dalam menguatkan posisinya sebagai pihak yang “penadah” atas penjualan hasil panen dari petani. Petani dan tengkulak memiliki rasa percaya terhadap tengkulak, tengkulak sangat memiliki jaringan yang kuat dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Hal ini juga menguntungkan tengkulak karena peran yang dijalankan bisa banyak. Keuntungan tengkulak dapat diperoleh menjadi dua kali lipat dari penjual hasil panen berupa kentang, gubis, . Begitu pun juga dengan pengepul-pengepul siap menerima barang dari tengkulak.

Satemene aku ngakoni yen bathi sing tak goleki saka usahaku dadi tengkulak iki lumayan gedhe, nanging kabeh iku wajar merga sebanding karo modal sing tak lakoni sing nganti tekan puluhan malah atusan yuta rupiah kanggo semusim tandur. Resiko uga dhuwur banget. Kauntungan liyane sing aku entuk yaiku duwe pelanggan kanggo daganganku, yaiku pelangganku dhewe...” (Wawancara, 11 Juni 2021).

Terjemahan: “Memang saya akui

keuntungan yang saya peroleh dari usaha saya sebagai tengkulak cukup besar, tapi itu semua wajar karena sebanding dengan modal yang saya keluarkan yang mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk satu musim tanam dan resikonya juga sangat tinggi. Keuntungan lain yang saya dapatkan adalah saya memiliki pelanggan untuk barang dagangan saya yakni nasabah saya sendiri...” (Wawancara, 11 Juni 2021).

Karena sudah cukup lama berkiprah sebagai tengkulak di daerah Desa Argosari para tengkulak sudah sangat memahami masalah hubungan antara dirinya dan para petani sebagai tengkulak dengan nasabahnya. Oleh sebab itu terkadang dengan mudahnya ia memberikan pinjaman modal kepada para petani yang sudah lama menjadi nasabahnya dan biasa meminjam modal kepadanya.

Biasane nek musim tanam, wong-wong (petani) marani aku njaluk utangan modal karo aku. Nek wong sing wis tak kenal lan wis biasa nyilih aku cepet-cepet wenehi merga pelangganku, tapi nek wong anyar sing durung kenal, mengko tak gawe. , paling aku njaluk borro (jaminan) saka dheweke. Menawi masalah bunga lan cara mbayaripun, terserah kepripun karepe…” (Wawancara, 12 Juni 2021).

Terjemahan: “Biasanya kalau musim tanam tiba, mereka (petani) datang ke saya untuk memohon pinjaman modal sama saya. Kalau yang sudah saya kenal dan sudah biasa pinjam sama saya, cepat-cepat saya kasih karena mereka langganan saya, tapi kalo orang baru dan belum begitu saya kenal, nanti dulu lah, paling nggak saya minta borro (jaminan) sama dia. Kalau masalah bunga dan dengan apa mereka bayarnya, tergantung permintaan mereka masing-masing maunya bagaimana...” (Wawancara, 12 Juni 2021).

Jika dikaji secara mendalam, berdasarkan apa yang terjadi di lapangan dan hasil wawancara tersebut di atas, hubungan yang terjalin selama ini antara petani dan tengkulak yang ada di Desa Argosari sangat menarik, dimana realitas yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa hubungan tersebut menempatkan para petani di Argosari menjadi pihak yang sangat diuntungkan dari pada tengkulak.

Pola Hubungan Tengkulak dengan Petani dalam Pemasaran Kentang, Kubis, dan Bawang Prei di Tengger Argosari

Memasarkan hasil produksi selalu memiliki pola yang sangat berbeda-beda dalam distribusikan hasil pribumi petani yaitu dari pasar sampai ketangan konsumen akhir. Alur pemasaran kubis merupakan suatu hal yang dilalui oleh petani kubis sampai ke konsumen. Dalam kegiatan memasarkan kubis membutukan perantara untuk menyalurkan hasil produksi. Berdasarkan hasil dari penelitian dilapangan pemasaran kentang di Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang memiliki beberapa saluran pemasaran.

Dalam proses pemasaran, tengkulak menampung hasil produksi dari petani yang kemudian akan disalurkan kepada konsumen yang berada di wilayah Kabupaten Lumajang. Dalam pola saluran pemasaran ini melibatkan dua pelaku yaitu tengkulak dan pedagang pengecer. Tengkulak membeli hasil pribumi petani di sawah pada saat panen tiba. Biaya-biaya pemasaran dan pemanenan di tanggung semua oleh tengkulak, biaya pemasaran tersebut meliputi biaya transportrasi, biaya bongkar muat, biaya timbang, serta biaya tenaga angkut. Saluran pemasaran ini di lakukan oleh 12 petani kentang atau 37,5

% dari 32 petani yang menjadi informan (Kurniati, 2003).

Hubungan yang terbentuk antara tengkulak dan petani horticultural menempatkan tengkulak dalam posisi patron. Hal ini disebabkan oleh pengusaha jalur distribusi komiditas serta kepemilikan modal uang yang bersifat patron klien sumberdaya merupakan hal yang sentral dalam sebuah hubungan, tetapi tidak semata-mata hanya bersifat instrumental pengusaha seorang actor terhadapa actor lainya yang terlibat dalam sebuah relasi hubungan patron klien, tetapi ada aspek moral yang melandasi hubungan tersebut terutama Ketika kita menghubungkan hubungan tersebut dengan aspek-aspek lain yaitu seperti resiko dan jaminan sosial.

Hubungan patron-klien terutama ketika berkaitan dengan pertukaran yang mempertimbangkan resiko tidak semata-mata dapat kita generalisir dalam sebuah instrument kalkulasi secara matematis terutama apabila dikaitkan dengan nilai uang, tetapi ketika memasukan aspek resiko di dalam pertukaran kita harus mempertimbangkan aspek keamanan terutama dimasa-masa krisis dalam kaitannya dengan klien sebagai pihak yang dilindungi. Pertimbangan keamanan disaat krisis terutama ketika mengancam kelangsungan hidup dari petani gula yaitu ketika penghasilan mereka diambang batas subsistensi (Geertz, 1989).

Pola-pola pilihan maupun nilai-nilai yang dijadikan dasar oleh petani-petani itu untuk melakukan pilihan menunjukan bahwa risiko-risiko subsistensi senantiasa merupakan pokok pemikiran utama. Tujuan yang paling penting adalah “kepastian” dan “pangan serta uang untuk hidup”. Apabila suatu sistim pertukaran tidak mengandung risiko yang lebih besar maka dengan

sendirinya ia sangat menarik, apabila sistim itu mengancam untuk menghapuskan jaminan-jaminan substitensi, maka keuntungan-keuntungan potensialnya dianggap sebagai, dan memang merupakan, perjudian yang berbahaya (Scott, 1983).

Patron yang menguasai sumberdaya uang serta jalur distribusi dari penjualan komoditas gula kelapa ini menerapkan suatu sistem yang beresiko, memiliki keuntungan yang relative menjanjikan, yaitu dengan menerapkan sistem kredit pinjaman uang atau juga yang lebih dikenal dengan istilah tradisional “ijon” yaitu memberikan pinjaman kepada para petani kentang dan dibayar secara kredit dengan menggunakan sistem kekeluargaan. Penerapan sistem kredit ini bukannya tanpa resiko, ketika menerapkan sistem kredit pinjaman pada petani kentang, tengkulak melakukan tindakan yang secara mendalam terhadap hasil yang akan diterima ketika menerapkan sistem tersebut. Meskipun sangat mungkinkan bahwa tengkulak memperkira secara hati-hati dalam berkredit atau pinjaman uang.

Metode yang diterpakan oleh tengkulak kentang di Desa Argosari adalah, mereka melakukan sistem jemput bola langsung menghubungi petani, ketika panen, tengkulak dan petani menawarkan secara intensif kepada petani. Hal tersebut mereka lakukan dalam rangka menguasai pasar untuk menyalurkan hasil pribumi. Maka sebab itu, pemberian modal yang diberikan oleh para tengkulak bukan merupakan fenomena yang asing bagi para petani, karena pemberian tengkulak tersebut bertujuan untuk menguatkan penguasaannya. Salah satu contohnya adalah tengkulak tidak akan kesulitan lagi memperoleh jaringan petani kentang di Argosari yang menjual hasil taninya karena sejak awal petani tersebut sudah

membangun relasi dengan tengkulak pemberi modal, sehingga dapat dikatakan bahwa para petani secara tidak langsung menjadi patuh seperti yang diinginkan tengkulak. Kepatuhan tersebut hanya bisa didiperoleh jika tengkulak membiayai segala produktivitas petani, sehingga melahirkan budaya ketergantungan petani terhadap tengkulak.

Dalam rangka memperoleh kepercayaan petani terhadap tengkulak, dalam prosesnya bagi tengkulak tidak sulit karena pada umumnya masyarakat perdesaan masih menganut sistem budaya ketergantungan, dimana budaya tersebut dianggap lumrah hingga saat ini dalam masyarakat di Desa Argosari. Agar hubungan tersebut tetap berlanjut, para petani Argosari masih mengabdikan dirinya kepada tengkulak agar mampu mempertahankan hidup atas pengeluaran biaya produksi maupun biaya kebutuhan hidup yang mengikat diri petani. Keterbatasan modalitas para petani nyatanya telah menghambat berbagai hal, sehingga agar dapat bertahan hidup cara yang paling efektif adalah mendapat bantuan dari pemilik modal yakni tengkulak, dimana petani tersebut memberikan keuntungan kepada pemilik modal dengan cara menuruti keinginan tengkulak.

Kepatuhan yang telah mengakar dalam hubungan antara tengkulak dengan petani berlangsung secara otomatis, walaupun tanpa surat perjanjian tertulis ataupun jaminan harta benda. Kondisi inilah yang menyebabkan petani sangat tergantung dengan keberadaan tengkulak sebagai pemilik modal (Hasanuddin, 2009). Sebaliknya jika petani yang bersangkutan tidak memberikan kepatuhannya terhadap tengkulak, maka petani tersebut terancam tidak memperoleh kepercayaan/modal dari para tengkulak.

SIMPULAN

Pada masyarakat agraris yang mayoritas bekerja sebagai petani, tentunya sudah tidak asing dengan kehadiran tengkulak. Hubungan antara tengkulak dan petani sangat sulit diputus karena keberadaan tengkulak sangat berpengaruh bagi para petani seperti yang terjadi pada masyarakat Argosari.

Hubungan tersebut bersifat dinamis dimana posisi petani bukan hanya sebagai penjual tetapi pada momentum tertentu bisa pula menjadi pembeli, misalnya para petani ketika musim penanaman bibit    membutuhkan

perkakas pertanian, bibit, hingga obat-obatan seperti pestisida yang bisa diperoleh dari para tengkulak yang membuka tempat usaha kebutuhan tani. Begitupun sebaliknya ketika musim panen, para petani bertindak sebagai penjual sedangkan tengkulak selaku pembeli hasil pertanian masyarakat Argosari.

REFERENSI

Agusyanto, R. dan Rijanto, P.L. (1997).

Jaringan    Sosial.    Universitas

Indonesia.

Bunch, R. (1991). Dua Tong Jagung: Pedoman Pengembagan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Yayasan Obor Indonesia.

Evers, H.D. (1997). “Globalisasi dan Kebudayaan Ekonomi Pasar” dalam Prisma. LP3ES.

Geertz, C. (1989). Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.

Giddens, A. (2011). Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Pustaka Pelajar.

Hasanuddin, T. (2009). “Akar Penyebab Kemiskinan Petani Hortikultura di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung”. Jurnal Agrikultura, 20(3), pp. 164-170.

Hardinawati, L.U. (2017). Alasan Petani Muslim Menjual Hasil Panen kepada Tengkulak di Desa Glagahagung         Kecamatan

Purwoharjo           Kabupaten

Banyuwangi. Skripsi Universitas Airlangga.

Hardiyanto, E. (2015). Pengambilan Keputusan Petani di Dataran Tinggi Dieng:   Meningkatkan

Usaha Tani Carica. Skripsi Universitas Gadjah Mada.

Isnawati, R., Effendi, N.F., dan Wardhana, B. (2017). “Model Bisnis Inklusi Sayuran Farm Veggieway Studi di Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar”. Makalah Sidoarjo:   Universitas

Muhammadiyah Sidoarjo.

Kurniati, E. dan Hawa. L.C. (2003). “Studi Kesiapan Petani Untuk Melaksanakan Pengelolaan Usaha Tani Melalui Pendekatan Ekonomi Sebagai Perusahaan Pertanian”. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, 15.

Kusnadi. (2001). Pangamba’: Kaum Pelopor Fenomenal Pelopor dan Penggerak         Perekonomian

Masyarakat Nelayan. Humaniora Utama Press (HUP).

Menghadapi         Tengkulak”.

Paradigma, 2(1).

Scott, J.C.  (1983).  Moral Ekonomi

Petani. LP3S.

Semeru, A. (2006). Meningkatkan Keunggulan Bebuahan Tropis Indonesia. Andi Offset.

Soekartawi, R., dan Damaijati, E. (1993). Resiko dan Ketidakpastian dalam Agribisnis. PT Raja Grafindo.

Sugiyono.  (2006).  Metode Penelitian

Kuantitatif kualitatif dan  R&D.

Alfabeta.

Mahmudah, E. dan Sugeng, H. (2014).

“Bargaining Position Petani dalam