DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2021.v5.i02.p06

p-ISSN: 2528-4517

Pante Gola Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Dusun Lambur, Desa Pangga, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur

Erni Arsi Sarina Joni*, I Ketut Kaler, Aliffiati

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]] [[email protected]] [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

Pante gola is a job of tapping palm mayang bunches to get sap which will be processed into brown sugar, either in the form of sticks (gola malang) or in the form of flour (gola rebok). Pante gola is also a tradition, regional identity and is also one of the main and side livelihoods for the people of Lambur, Pangga Village, Kuwus District, West Manggarai Regency, East Nusa Tenggara. Pante gola is very unique because this work has social values, culture, beliefs, myths, rituals/ceremonies and local wisdom that are people's beliefs. Pante gola also has many benefits in daily life, in addition to the sugar products that can be used as food sweeteners, drinks and herbal medicines for certain diseases, the sugar products can also be sold to increase people's income, so as to realize social welfare for the people of Lambur Hamlet. The theory used in this study is the theory of cultural value orientation from Kluchkon. The concepts used in this study are the concept of pante gola, local wisdom and influence. This study uses a qualitative method with an ethnographic research model, while the data sources are primary data sources and secondary data sources. Data collection techniques include observation, interviews and literature study. The researcher became the main research instrument assisted by interview guides, voice recording equipment, cameras and stationery.

Keywords: Pante Gola, Local Wisdom, Influence

Abstrak

Pante gola merupakan pekerjaan menyadap tandan mayang enau, guna mendapatkan nira yang akan diolah menjadi gula merah, baik yang berbentuk batang (gola malang) maupun yang berbentuk tepung atau gula semut (gola rebok). Pante gola juga merupakan sebuah tradisi, identitas daerah dan salah satu mata pencaharian pokok maupun sampingan masyarakat Dusun Lambur, Desa Pangga, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Pante gola sangat unik karena pekerjaan ini memiliki nilai-nilai sosial, nilai budaya, kepercayaan, mitos, ritual/upacara dan kearifan lokal yang menjadi kepercayaan masyarakat. Pante gola juga memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari, yaitu selain hasil gulanya dapat digunakan sebagai pemanis makanan, minuman dan obat herbal untuk penyakit tertentu, hasil gulanya dapat juga dijual untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga bisa mewujudkan kesejahteraan sosial pada masyarakat Dusun Lambur. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori orientasi nilai budaya dari Kluckhon. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pante gola, kearifan lokal dan pengaruh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan model penelitian etnografi, sedangkan sumber datanya adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara dan studi pustaka. Peneliti menjadi instrumen utama penelitian yang dibantu dengan pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera dan alat tulis.

Kata kunci: Pante Gola, Kearifan Lokal, Pengaruh

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

PENDAHULUAN

Manusia dan lingkungan selalu saling memengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Antara manusia dan lingkungan memiliki hubungan ketergantungan yang sangat erat. Hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya tidaklah semata-mata terwujud sebagai hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga terwujud sebagai hubungan dimana manusia memengaruhi dan merubah lingkungannya. Dengan kata lain, manusia juga turut menciptakan corak dan bentuk lingkungannya; dan dalam lingkungan yang diciptakannya, baik yang nyata, maupun yang sebagaimana dilihat atau dibayangkannya itulah dia hidup dan bergantung kepada serta mengadakan hubungan dengan lingkungannya, (Suparlan, 1983 dalam Mohamad Soerjani dan Bahrin Samad (ed) hal 66-76).

Kebudayaan terbentuk dari proses adaptasi manusia dengan lingkungannya. Menurut antropologi, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, 2003:72). Kebudayaan terbentuk karena adanya kebiasaan yang dilakukan oleh manusia secara turun-temurun. Kebiasaan yang turun temurun tersebut kemudian menjadi warisan yang sering disebut tradisi. “Dalam praktiknya, tradisi berwujud pada suatu aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dan berulang sebagai upaya peneguhan pola-pola tingkah laku yang bersandar pada norma-norma bagi tindakan-tindakan di masa depan. Perwujudan tradisi seperti itu, berupa aktivitas sekitar daur kehidupan, lingkungan alam, dan lingkungan sosial yang kemudian

diinterpretasi sebagai pengetahuan lokal atau juga disebut kearifan lokal” (Kartawinata, 2011: 9).

Kearifan lokal merupakan adat dan kebiasaan yang telah mentradisi. Kebiasaan tersebut dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerah tertentu (Setiyadi, 2012:75). Kearifan lokal itu tidak ditransfer kepada generasi penerus melalui pendidikan formal atau non formal tetapi melalui tradisi lokal. Kearifan tersebut sarat dengan nilai-nilai yang menjadi pegangan, penuntun, petunjuk atau pedoman hidup untuk bertingkah dan berinteraksi dengan lingkungannya (Saam, 2011:11-12).

Desa Pangga merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa Pangga meliputi empat (4) dusun, yakni Dusun Lambur, Dahang, Leda dan Balo. Dusun Lambur yang letaknya tepat di lereng bukit, dengan memiliki tanah yang subur dan berwarna hitam merupakan daerah yang memiliki potensi pertanian yang sangat baik, khususnya untuk pohon aren atau pohon enau. Aren (Arenga Pinnata) adalah salah satu jenis tanaman palma yang tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia, dan merupakan salah satu hasil pertanian yang tumbuh liar dan belum dibudidayakan dalam jumlah besar. Tanaman aren merupakan sumber bahan pangan yang potensial sehingga sering dijuluki sebagai pohon kehidupan karena hampir seluruh bagian memberi manfaat mulai dari akar, batang, ijuk, mayang daun/ lidi, buah dan dapat diolah menjadi produk turunan (Lolowang, 2012).

Masyarakat Dusun Lambur sangat bergantung dengan pohon enau atau raping (bahasa daerah), karena seluruh

bagiannya memiliki fungsi dan manfaat yang baik untuk manusia dan juga alam. Bagian pohon enau yang sering dimanfaatkan petani gula di Dusun Lambur adalah nira (minse), yang akan diolah menjadi gula merah baik yang berbentuk batang (gola malang) maupun gula semut (gola rebok), yang biasa dikenal dengan nama pante gola. Pante gola merupakan kegiatan menyadap tandan mayang pohon enau, untuk menghasilkan nira (minse), yang akan diolah menjadi gula merah, yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Lambur. Pante gola juga bisa disebut sebagai tradisi, identitas daerah dan salah satu mata pencaharian masyarakat Dusun Lambur yang sudah dilakukan sejak lama dan sudah diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga tradisi ini masih dilakukan dan masih ada sampai sekarang.

Dalam melakukan tradisi pante gola, para petani gula di Dusun Lambur masih mengikuti tahap-tahap penyadapan yang sudah diwarisi para nenek moyang mereka terdahulu. Alat dan bahan yang digunakan dalam tradisi pante gola juga masih menggunakan bahan-bahan lokal dan tradisional yang terbuat dari alam. Pengolahan dan pengemasannya juga masih dilakukan secara manual dan sederhana, dimana gula yang berbentuk batang (gola malang) hanya dicetak menggunakan kayu yang sudah dilubangi (mal atau galang) dan dibungkus dengan menggunakan daun enau yang sudah kering (haung leka). Penggunaan bahan-bahan lokal yang terbuat dari alam tersebut, merupakan salah satu ciri khas tradisi pante gola yang unik dan merupakan perilaku yang sangat arif, yang membuat lingkungan alam tetap terjaga dan tidak rusak, karena jika bahan-bahan yang digunakan tersebut tidak dibutuhkan lagi atau sudah rusak, mereka dapat membuangnya kembali ke alam dan bahan-bahan tersebut bisa cepat

terurai dengan tanah, sehingga lingkungan alam tetap terjaga kelestariannya dan tidak rusak.

Kearifan lokal atau pengetahuan lokal masyarakat Dusun Lambur dalam memanfaatkan air nira (minse) pohon enau (raping) sangat berperan penting terhadap kelangsungan hidup masyarakat, karena kearifan lokal memiliki kekuatan untuk menjaga keseimbangan alam dan mengelola sumber daya alam. Dengan mengetahui bagaimana kearifan lokal, kita dapat mengetahui bagaimana men gelola dan melestarikan sumber daya alam dan lingkungan secara arif dan bijaksana supaya tetap terjaga dan bermanfaat untuk mahluk hidup lainnya.

Tradisi pante gola memiliki kepercayaan, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Oleh karena itu, menarik untuk mencari-tahu nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung selama kegiatan pante gola, dan lebih menarik lagi jika bisa mengkaji lebih dalam tentang tahap-tahap dan kearifan lokal dalam pante gola, serta mengetahui dampak atau pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat Dusun Lambur.

METODE

Penelitian ini dilakukan di Dusun Lambur, Desa Pangga, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, karena hampir setiap hamparan perkebunan di Dusun Lambur masih banyak ditumbuhi pohon enau, sehingga banyak masyarakat Dusun Lambur yang masih memanfaatkan pohon enau untuk mendapatkan nira, yang akan mereka olah menjadi gula merah maupun untuk kebutuhan yang lain. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori orientasi nilai budaya dari Kluckhon. Menurut Kluckhon, semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia

memiliki masalah-masalah pokok dalam kehidupan manusia. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pante gola, kearifan lokal dan dampak atau pengaruh. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan model penelitian etnografi dan sumber datanya adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Tehnik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara dan studi pustaka. Peneliti menjadi instrument utama penelitian yang dibantu dengan pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera dan alat tulis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pante gola adalah sebuah tradisi dan salah satu mata pencaharian masyarakat Dusun Lambur, Desa Pangga, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Pante gola merupakan pekerjaan menyadap atau mengiris tandan mayang enau guna mendapatkan nira yang selanjutnya akan diolah menjadi gula merah, yang sudah lama dilakukan dan diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Dusun Lambur. Pante gola juga bisa disebut sebagai ciri khas atau identitas masyarakat Dusun Lambur dan daerah-daerah di Kabupaten Manggarai Barat yang masih menekuni tradisi pante gola ini. Pante gola sudah masuk nominasi sebagai ikon wisata karena memiliki ciri khas yang unik, yaitu alat dan bahan serta pengolahannya masih tradisional dan dilakukan secara manual, serta menggunakan bahan-bahan lokal dari alam, sehingga tidak merusak lingkungan.

Dalam tradisi pante gola para petani gula (ata pante gola), membutuhkan beberapa bahan dan peralatan untuk memudahkan proses dalam melakukan tradisi pante gola. Adapun peralatan atau perlengkapan yang dibutuhkan adalah rede atau tangga yang digunakan untuk

membantu para petani gula dalam memanjat pohon enau (tuke raping). Kope atau parang yang digunakan untuk mengiris (kere), mengupas/menyayat (soso) tandan mayang pohon enau (kelo raping) dan hal lain yang berkaitan dengan pekerjaan pante gola. Pasi atau kayu yang digunakan untuk memukul tandan mayang enau (kelo) agar menjadi lembut dan bisa menghasilkan nira. Pahat atau pisau penyadap (pante) digunakan untuk menyadap dan mengiris tandan mayang enau (kelo) untuk mendapatkan nira. Gogong atau tabung bambu untuk menampung nira. Daun pak (haung pak) dan kulit kayu pak (loke ghaju pak), biasa digunakan sebagai pengawet alami nira yang bertujuan agar nira menjadi bersih, manis, bagus dan tidak terfermentasi. Haung tutup mata raping adalah daun yang digunakan untuk ditempelkan atau dilapisi pada sumber mata air nira, supaya tidak ada binatang yang merusak atau menjilati mata air nira, yang akan mengakibatkan mata air nira tertutup dan tidak menghasilkan nira. Sari adalah pondok kecil yang sengaja dibuat sebagai tempat untuk memasak nira menjadi gula merah (kako minse atau kokor gola). Likang atau tungku api merupakan tempat yang digunakan untuk meletakkan sewe atau kuali untuk memasak nira menjadi gula. Buah kemiri (wua welu) yang bertujuan untuk membuat rebusan air nira yang sedang mendidih, akan kembali turun perlahan yang biasa disebut dengan renggep. Teke adalah alat sederhana yang terbuat dari tempurung kelapa atau wua bila, yang digunakan untuk mencedok cairan gula merah ke dalam mal (galang), agar terbentuk batangan gula merah (gola malang). Ndoa merupakan alat yang terbuat dari kayu dan wua bila, ndoa digunakan untuk mencedok cairan nira dari kuali, saat nira sedang mendidih yang bertujuan untuk menghindari cairan nira tertumpah dari kuali. Ghebor

merupakan alat yang terbuat dari kayu ataupun bambu, yang digunakan untuk mengaduk cairan gula merah yang sudah kental dan siap untuk dibentuk, entah dalam mal yang menjadi gula batang (gola malang) atau dibuat menjadi gula semut/tepung (gola rebok). Sombek adalah alat yang terbuat dari kayu atau bilah bambu, yang berbentuk sendok makan dan biasa digunakan ntuk menikmati nira yang sudah pelan-pelan berubah menjadi gula (la’it gola). Galang merupakan forma atau mal yang terbuat dari kayu yang sudah dilubangi, galang berfungsi sebagai cetakan cairan gula sehingga membentuk gula merah batangan atau gola malang.

Pante gola merupakan pekerjaan yang melelahkan dan memiliki tahap-tahap atau proses yang panjang. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam tradisi pante gola adalah, (1). Tahap mengamati pohon enau untuk memastikan apakah tandan mayang pohon enau sudah bisa dilakukan proses penyadapan (lelo raping). (2). Tahap pemasangan tangga (rede) yang digunakan untuk memanjat pohon enau. (3). Tahap membuat tempat pijakan (lempa raping) dibawah tandan mayang pohon enau untuk memudahkan para petani gula dalam melakukan proses penyadapan, selanjutnya menopang tandan mayang pohon enau dengan kayu bercabang yang disebut dungket ndara raping, yang bertujuan untuk menahan tandan mayang enau supaya tidak patah dan jatuh. (4). Tahap kere raping yaitu tahap mengikis atau melepaskan kulit (kombak atau kumbuh) yang menutupi tandan mayang enau (kelo). (5). Tahap tewa raping atau tahap memukul-mukul tandan mayang enau dengan menggunakan sepotong kayu yang disebut pasi, yang bertujuan untuk melonggarkan serat-serat atau pori-pori tandan mayang enau supaya menjadi lembut. (6). Tahap soso raping adalah tahap menyayati atau mengupas sebagian

tandan mayang enau bagian atas. (7). Tahap paking raping adalah tahap dimana tandan mayang akan dipahat sedikit demi sedikit untuk mengetahui apakah tandan mayang enau tersebut dapat menghasilkan nira. (8). Tahap pante raping adalah tahap memahat tandan mayang enau hingga berlubang dan menyiapkan wadah bambu untuk menampung nira. (9). Tahap memasak nira menjadi gula merah, baik diolah menjadi gula merah yang berbentuk batang (gola malang) maupun diolah menjadi gula tepung/gula semut (gola rebok). (10). Tahap terakhir adalah pengemasan, proses pengemasan gula merah oleh para petani gula di Dusun Lambur masih sederhana, mereka hanya menggunakan daun enau yang kering untuk membungkus gula merah batang (gola malang) kemudian diikat dengan tali kulit kayu coklat, sedangkan untuk gula semut (gola rebok) mereka menggunakan toples untuk menyimpannya.

Tradisi Pante Gola diekspresikan sebagai Kearifan Lokal

Istilah kearifan lokal (local wisdom) terdiri atas dua kata, yakni kearifan (wisdom) yang berarti kebijaksanaan, sedangkan kata lokal (local) ialah setempat. Maka dari itu kearifan lokal dapat didefenisikan sebagai gagasangagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya (Sihombing, 2018: 14). Adapun kearifan lokal dalam tradisi pante gola adalah:

  • A.    Pelestarian Lingkungan

Dalam tradisi pante gola, masyarakat Dusun Lambur memiliki kebiasaaan atau pola-pola perilaku yang bermanfaat untuk konservasi lingkungan fisik, yang tidak hanya kepada alam tetapi juga terhadap hewan. Para petani gula sangat menjaga lingkungannya, mereka tidak

menebang pohon enau dengan sembarangan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa pohon enau cukup ideal bagi konservasi lahan. Pohon enau memiliki daun yang cukup lebat dan batang besar yang dibaluti ijuk, yang dapat menahan air hujan supaya tidak langsung jatuh ke tanah sehingga akan mengurangi pengikisan tanah. Pohon enau juga memiliki akar yang kuat dan dalam, sehingga bisa menjaga kerapatan tanah dan menyanggah erosi. Selain bermanfaat untuk menyanggah erosi, pohon enau juga bermanfaat untuk kelestarian sumberdaya hayati, yaitu musang dan kelelawar sebagai hewan perantara dalam penyebaran tumbuhnya pohon enau secara alami.

Para petani gula di Dusun Lambur juga selalu menjaga dan melestarikan lingkungannya, karena dalam melakukan tradisi pante gola ini, mereka masih menggunakan atau memanfaatkan bahan-bahan dari alam, seperti pohon bambu, buah kemiri, haung pak dan lain-lain. Mereka juga menyadari bahwa pohon-pohon yang mereka gunakan tidak hanya memiliki manfaat atau fungsi dalam tradisi pante gola saja, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pohon bambu yang batangnya bisa digunakan untuk membuat rumah, bilik dapur dan lain-lain, jadi mereka berusaha untuk selalu menjaga lingkungan alamnya. Penggunaan bahan-bahan lokal ini juga merupakan salah satu ciri khas dalam tradisi pante gola. Jadi selain para petani gula dapat mengelola lingkungan alamnya dengan baik, mereka juga bisa mempertahankan atau melestarikan apa yang sudah diwariskan para nenek moyang yang berkaitan dengan penggunaan bahan-bahan lokal dalam tradisi pante gola walaupun zaman sudah modern.

  • B.    Pendidikan (Pengetahuan Lokal)

Menyadap pohon enau atau melakukan pante gola tidak segampang

yang kita bayangkan dan tidak semua orang dapat melakukannya. Banyak orang yang bisa menyadap pohon enau namun tidak menghasilkan air nira, ada juga yang menghasilkan nira tetapi niranya tidak banyak. Walaupun hal tersebut dipercaya karena mungkin belum rezekinya atau memang karena pohon enaunya mandul (raphing boghong) sehingga tidak menghasilkan nira. Namun hal tersebut bisa terjadi, karena para petani gula yang mungkin melakukan kesalahan, karena dalam tradisi pante gola kita harus mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan banyak hal yang perlu dipelajari, seperti cara memukul tandan mayang enau yang benar, pemilihan dan penggunaan kayu pasi yang sesuai warna dan bentuk ndara, pengaturan api saat memasak nira dan lain-lain.

Dalam memukul tandan mayang, para petani gula tidak boleh sembarang menggunakan pasi, namun mereka harus mengikuti perkembangan warna ndara, dan semua jumlah pasi (berjumlah 4/5) yang ada harus digunakan semuanya secara bergantian. Proses pemukulan pada tandan mayang (tewa raping) juga tidak bisa sembarang, karena dalam tradisi pante gola pemukulan tandan mayang pada enau biasanya dimulai pada pangkal tandan mayang enau, dan ada juga pemukulan tandan mayang secara tidak beraturan (tewa dempi), yang berarti pemukulan mayang tidak harus dimulai dari pangkal hingga keujung tandan mayang begitupun sebaliknya. Dalam proses memahat tandan mayang juga, para petani gula harus memahat atau mengirisnya dengan tipis supaya proses pante bisa bertahan lama. Dalam tradisi pante gola, para petani di Dusun Lambur juga memiliki pengetahuan lokal dalam memanfaatkan bahan-bahan alami, yaitu daun pak (haung pak) dan kulit kayu pak (loke ghaju pak) sebagai pengawet alami untuk nira supaya nira

menjadi jernih, bersih dan tidak terfermentasi. Mereka juga menggunakan haung welu, haung rangat untuk ditempel pada mata air nira, supaya mata air nira tidak diganggu oleh binatang. C. Rasa Syukur

Rasa syukur merupakan salah satu hal yang harus dimiliki oleh setiap individu, rasa syukur akan membuat kita untuk tidak pernah serakah dan selalu menerima apa yang diberikan. Rasa syukur atau rasa terima kasih yang dimaksud dalam tradisi pante gola ini adalah dimana para petani gula di Dusun Lambur selalu mengucap syukur dan berterima kasih kepada pencipta atas hasil nira yang mereka dapatkan dengan melakukan suatu ritual atau upacara yaitu upacara rah sari. Upacara rah sari merupakan salah satu ritual yang sering dilakukan dalam pekerjaan menyadap tandan mayang pohon enau (tradisi pante gola) oleh para petani gula di Dusun Lambur. Pelaksanaan upacara rah sari, biasanya dilakukan saat para petani gula sudah melakukan proses penyadapan pohon enau (pante gola) yang berlangsung berbulan-bulan dengan hasil yang relatif banyak.

Doa-doa permohonan (wada atau tudak/torok) yang diucapkan dalam upacara rah sari adalah ucapan syukur dan terima kasih atas hasil kebun atau hasil gula yang telah para petani gula terima, namun upacara rah sari ini tidak hanya dilakukan untuk mengucapkan syukur dan terima kasih atas hasil gula yang melimpah sehingga para petani gula dapat memenuhi kebutuhannya baik sandang maupun pangan, melainkan dia juga memohon perlindungan, supaya dalam upaya penyadapan pohon enau (pante raping) ke depannya, dia juga berhasil dan dijauhkan dari segala bahaya. Para petani gula di Dusun Lambur percaya apabila mereka tidak melakukan upacara rah sari, maka mereka akan mengalami musibah atau

pada proses penyadapan selanjutnya hasilnya tidak akan memuaskan.

  • D.    Kerja Keras

Kerja keras adalah hal yang sudah sangat melekat dalam tradisi pante gola. Seorang petani gula (ata pante gola) dituntut untuk bekerja keras karena kegiatan menyadap tandan mayang enau (pante gola) bukanlah pekerjaan yang mudah, melainkan pekerjaan yang membutuhkan tenaga yang kuat. Oleh karena itu, orang yang bekerja sebagai penyadap pohon enau di Dusun Lambur adalah hanya kaum pria atau laki-laki. Pekerjaan sebagai penyadap (ata pante gola) tentu sangat tidak mudah karena mereka harus membutuhkan tenaga yang banyak untuk menyelesaikan pekerjaan ini, mereka harus mampu memanjat batang pohon enau, walaupun dengan bantuan tangga yang terbuat dari bambu, namun dalam memanjat pohon enau sangat dibutuhkan keseimbangan badan dan rasa percaya diri (tidak takut/gugup), supaya para petani gula bisa naik dan turun pohon enau dengan aman dan lancar, mereka juga harus membersihkan batang pohon enau, memotong ijuk (wunut), membersihkan pangkal mayang, naik turun pohon enau sambil membawa wadah bambu untuk menampung nira (gogong), mencari kayu bakar untuk memasak nira dan lain-lain.

  • E.    Disiplin

Kedisiplinan adalah salah satu kunci sukses bagi seorang petani gula (ata pante gola). Kedisiplinan yang dimaksud dalam tradisi pante gola ini adalah disiplin waktu, karena tandan mayang pohon enau (kelo raping) harus di sadap dua kali sehari, yaitu pada pagi hari dari pukul 06.00 sampai pukul 08.00 dan sore hari dari pukul 15.00 sampai pukul 17.00. Hal ini bertujuan supaya mereka bisa menghasilkan nira yang banyak dan nira yang bagus, karena jika pante pada pagi hari dilakukan agak siang maka nira

terasa masam (gerih), dan apabila niranya banyak dan para petani gula lambat memeriksanya atau tidak mengganti wadah bambunya (gogong), otomatis nira akan terbuang percuma karena gogong tidak dapat menampung semua nira tersebut.

  • F.    Pantangan dan larangan dalam

Tradisi Pante Gola

Pantangan dan larangan merupakan salah satu dari kearifan lokal dalam sebuah masyarakat yang tidak tertulis, pantangan dan larangan ini berisi berbagai larangan dan nasihat yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pantangan atau larangan dalam tradisi pante gola, yang menjadi kepercayaan masyarakat Dusun Lambur adalah pemilihan kayu untuk memukul tandan mayang pohon enau (pasi tewa raping) dan penggunaan parang (kope). Pemilihan kayu untuk pasi mungkin berbeda-beda dari petani gula yang satu dengan petani gula yang lain, tetapi dalam beberapa hal ada beberapa kesamaan yaitu pemilihan pasi sangat ditentukan oleh warna ndara, bentuk bulir mayang enau (ndara) dan posisi tandan mayang enau (kelo raping). Pemilihan kayu untuk pasi yang harus didasarkan pada warna ndara, bentuk ndara serta posisi tandan mayang (kelo) merupakan hal yang tidak boleh dilanggar, karena jika mereka melanggarnya pohon enau yang mereka sadap tidak akan menghasilkan nira.

Pantangan dan larangan lain dalam tradisi pante gola adalah penggunaan parang yang digunakan untuk kere raping dan soso raping. Ada beberapa petani gula yang mengatakan bahwa, penggunaan parang (kope) yang digunakan dalam proses pante ini, khususnya ditahap mengikis kulit tandan mayang (kere raping) dan menyayat sebagian tandan mayang enau (tahap soso raping) harus menggunakan parang yang tepat. Menurut kepercayaan

masyarakat setempat, parang seperti itu tidak boleh dipegang oleh perempuan, karena dipercaya bahwa jika parang tersebut dipegang perempuan pohon enau yang disadap para petani tersebut tidak akan menghasilkan nira.

  • G.    Mitos dan Kebiasaan-Kebiasaan dalam Tradisi Pante Gola

Dalam tradisi pante gola, ada mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi kepercayaan masyarakat Dusun Lambur, yaitu mitos mimpi dan kebiasaan bernyanyi (landu) saat memukul tandan mayang. Melalui wawancara dengan Bapak Belasius Jelaho, dia menuturkan: Jika para petani gula bermimpi saat mereka sedang menyadap pohon enau, seperti mimpi bertemu perempuan cantik, mimpi menimba air, dan mimpi menyebrangi sungai dengan selamat maka itu tanda bahwa pohon enau yang mereka sadap akan menghasilkan nira (minse), namun jika ada para petani gula yang tidak bermimpi atau bermimpi seperti takut untuk menyebrangi sungai atau tidak menyebrangi sungai dengan selamat, biasanya pohon enau yang dia sadap tidak akan menghasilkan nira.

Kepercayaan lain adalah saat melakukan proses tewa raping, dimana para petani gula biasanya akan menyanyikan lagu-lagu tertentu saat sedang memukul tandan mayang enau, yang dikenal dengan landu tewa raping (nyanyian untuk mengiringi pemukulan tandan mayang enau). Landu tewa raping dipercaya sebagai nyanyian-nyanyian yang disenandungkan untuk memanja dan merayu-rayu pohon enau, persis seperti seorang pemuda yang merayu-rayu seorang gadis yang sedang dipacarinya agar mau menjadi istrinya dan melahirkan anak-anak baginya. Isi lagu (landu) ini beragam, ada yang syair-syair lagunya berisi keluh-kesah yang berhubungan dengan masalah kelaparan, kemiskinan, mohon rezeki atau mohon keberuntungan pada Yang Mahatinggi.

Ada juga yang berisikan doa permohonan agar usahanya itu berhasil yakni enau itu bisa menghasilkan nira, (Raho, dkk. 2020:45-46).

Pengaruh atau Dampak Pante Gola terhadap Kehidupan Masyarakat Dusun Lambur

Pengertian dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah benturan, pengaruh yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif. Pengaruh adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Pengaruh adalah suatu keadaan dimana ada hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara apa yang mempengaruhi atau dengan apa yang dipengaruhi (Suharno dan Retnoningsih, 2006:243).

  • A.    Pengaruh pante gola dalam kehidupan sosial masyarakat Dusun Lambur.

Hubungan sosial atau relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu yang satu dengan individu yang lain, yang saling mempengaruhi dan didasarkan pada kesadaran untuk saling menolong. Karena dalam memenuhi kebutuhannya, manusia tidak dapat melakukannya sendiri, mereka harus selalu berhubungan dan selalu berelasi dengan orang lain. Hubungan petani gula dengan petani gula, hubungan petani gula dengan para pembeli gula, serta hubungan petani gula dengan masyarakat sekitar, yang terjalin pada masyarakat Dusun Lambur, sudah berjalan dengan sangat baik dan harmonis. Mereka saling membantu jika ada petani gula lain yang membutuhkan, misalnya jika ada petani gula yang berhalangan atau sakit, dia akan meminta bantuan kepada petani gula yang lain untuk membantu menggantikannya menyadap nira dan mengolah atau memasak niranya untuk

beberapa hari, sampai dia bisa melakukannya sendiri.

Hubungan antara petani gula dengan pembeli gula juga sudah berjalan dengan baik. Antara pembeli dan pemilik gula berhubungan erat, karena mereka memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama, dimana petani gula membutuhkan orang-orang yang bisa membeli gula mereka,   sedangkan

pembeli gula membutuhkan para petani gula, untuk menyediakan produk yaitu gula merah batang (gola malang) dan gula semut (gola rebok) yang nanti akan mereka jual kembali. Mereka berusaha untuk saling mengerti satu sama lain, jika pembeli gula belum memiliki uang untuk membayar gula, mereka akan mengambil dan menjual gulanya terlebih dahulu ke kota, baru memberikan uangnya kepada petani gula, begitupun sebaliknya, jika ada petani gula yang membutuhkan uang, mereka akan mengambil uangnya terlebih dahulu baru mengumpulkan gulanya.

Hubungan sosial yang terjalin antara petani gula dan masyarakat setempat dalam kehidupan sehari-hari juga berjalan dengan sangat baik, tidak ada konflik yang terjadi pada mereka khususnya yang berkaitan dengan adanya tradisi pante gola ini. Justru dengan adanya pante gola ini mereka bisa lebih akrab dan bisa saling membantu. Jika ada tetangga yang membutuhkan satu batang atau dua batang gula, para petani gula akan dengan iklas memberinya secara cuma-cuma atau gratis. Jika para tetangga memiliki sayur atau buah-buahan, mereka juga selalu membaginya dengan keluarga petani gula atau barter dengan gula.

  • B.    Pengaruh Tradisi Pante Gola terhadap Budaya Masyarakat Dusun Lambur

Manusia dan kebudayaan selalu hidup berdampingan karena tidak ada manusia tanpa kebudayaan dan

sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa manusia, seperti halnya dengan pemanfaatan pohon enau untuk menghasilkan nira yang akan diolah menjadi gula merah pada masyarakat Dusun Lambur. Para petani gula tetap mempertahankan pengetahuan lokal atau cara-cara tradisionalnya dalam menyadap pohon enau untuk membuat gula merah, atas pertimbangan kebudayaan dan tradisi yang sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Pengaruh terhadap budaya darí adanya tradisi pante gola ini adalah pante gola sebagai identitas daerah masyarakat Dusun Lambur.

Pante gola merupakan salah satu kebiasaan, mata pencaharian, tradisi dan identitas masyarakat Dusun Lambur (Masyarakat Kolang), Ndoso, Pacar dan Rego. Adanya tradisi pante gola membuat daerah atau desa yang melakukan pante gola dikenal masyarakat luas sebagai daerah penghasil gula merah. “Hale kolang kokor gola” merupakan sebutan yang menandakan bahwa Daerah Kolang selalu identik dengan orang yang membuat gula merah. Oleh karena itu, para petani di Dusun Lambur selalu berusaha untuk melestarikan dan mempertahankan tradisi pante gola, yang merupakan salah satu warisan dari nenek moyang mereka. Pante gola juga merupakan salah satu matapencaharian yang sudah ada sejak lama, dan sudah diwariskan atau dilakukan sampai sekarang. Jadi masyarakat Dusun Lambur diharapkan untuk selalu berusaha supaya tradisi pante gola ini bisa bertahan sampai kapanpun dan tidak punah, serta bisa mempertahankan pengetahuan lokal yang sudah diwariskan para nenek moyang dalam tradisi pante gola ini. Karena tradisi pante gola tidak hanya bermanfaat untuk kebutuhan ekonomi saja, namun banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan, seperti kerja keras, displin, komitmen dengan pekerjaan, tahu cara bersyukur

dan berterima kasih, saling membantu dan lain-lain.

  • C.    Pengaruh Pante Gola terhadap Ekonomi Masyarakat Dusun Lambur Keberadaan penyadap nira dianggap penting, karena hasil utama dari air nira seperti gula sangat penting untuk kehidupan masyarakat Dusun Lambur. Masyarakat Dusun Lambur selalu memanfaatkan gula merah ini, mereka juga menggunakan gula merah sebagai bahan campuran minuman (pemanis) kopi atau pembuatan kue khas Manggarai, yang dikenal dengan nama kukih atau serabe, serta bisa digunakan untuk campuran obat tradisional. Selain itu, gula merah juga telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat setempat baik pada masa lampau maupun pada saat sekarang ini. Nira yang dihasilkan dari pohon enau dapat diolah menjadi gula aren dan bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Harus diakui bahwa di masa lampau maupun di masa sekarang, banyak orang dari wilayah-wilayah Dusun Lambur dan daerah-daerah sekitarnya seperti Kolang, Pacar, Rego dan Ndoso, yang berhasil mengenyam pendidikan baik di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi karena kontribusi gula merah tersebut.

Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membiayai pendidikan anak-anaknya, manfaat tradisi pante gola dalam kehidupan masyarakat Dusun Lambur juga sangat besar, dengan adanya tradisi pante gola ini, banyak masyarakat Dusun Lambur yang sudah membuat rumah atau tempat tinggal yang nyaman yang terbuat dari bata dan seng, mereka bisa membeli kendaraan pribadi serta membuka usaha baru dan lain-lain. Masyarakat Dusun Lambur juga dapat membuat obat herbal untuk penyakit-penyakit tertentu, dengan menggunakan gula merah tanpa harus mengeluarkan uang untuk membelinya di puskemas atau rumah sakit.

Orientasi Nilai Budaya Masyarakat A. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia (MH)

Masalah ini memandang hidup manusia pada hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari. Adapun kebudayaan-kebudayaan lain memandang hidup manusia itu pada hakekatnya buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup suatu hal yang baik dan menggembirakan. Dalam penelitian ini, masyarakat Dusun Lambur mengetahui bahwa hidup itu sukar dan susah, namun harus tetap diperjuangkan. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, para petani gula di Dusun Lambur memanfaatkan lingkungannya, dengan cara menyadap tandan mayang pohon enau, untuk mendapatkan nira yang akan diolah menjadi gula merah, yang akan dijual untuk mendapatkan keuntungan dan meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. B. Masalah mengenai hakikat dari karya

manusia (MK)

Masalah ini memandang bahwa hakekat karya manusia itu sebagai suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Adapun kebudayaan lain juga menganggap bahwa karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup. Hal inilah yang mendorong masyarakat Dusun    Lambur untuk    selalu

memanfaatkan pohon enau supaya bisa memenuhi    kebutuhan    hidupnya.

Masyarakat Dusun Lambur yang masih tergolong dalam masyarakat tradisional, masih percaya terhadap mitos-mitos yang berkembang dan masih melakukan ritualritual atau upacara-upacara dalam setiap tahap-tahap pemanfaatan pohon enau (tradisi pante gola). Karena hampir setiap tahap-tahap dalam tradisi pante gola memiliki ritual-ritual atau upacara yang

masih dilakukan oleh masyarakat Dusun Lambur, untuk memohon keberhasilan dalam usahanya dan luput dari kecelakaan. Upacara yang biasa dilakukan dalam tradisi pante gola adalah upacara rah sari, upacara pembukaan dan upacara oke sial.

Para petani gula (ata pante gola) menyadari bahwa keberhasilan mereka dalam usaha menyadap pohon enau, untuk menghasilkan nira yang akan diolah menjadi gula merah dan memiliki nilai ekonomi, sangat bergantung kepada campur tangan Tuhan sebagai Penyelenggara kehidupan. Oleh sebab itu sejak awal dilakukannya proses pante, seorang petani gula selalu mendekatkan dirinya pada Tuhan. Mereka selalu berdoa dan berharap supaya proses menyadapnya berjalan lancar dan bisa menghasilkan nira. Praktik seperti itu menunjukkan bahwa para petani gula di Dusun Lambur percaya bahwa Tuhan begitu dekat dengan manusia dan setiap saat mereka selalu bisa mengandalkan bantuan-Nya.

  • C.    Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (MW)

Ada kebudayaan tertentu yang memandang penting masa lampau. Masa lampau akan dijadikan pedoman dalam kelakuannya di masa sekarang. Ada pula kebudayaan-kebudayaan lain yang justru lebih mementingkan pandangan yang berorientasi ke masa depan atau masa yang akan datang. Dalam kebudayaan ini, perencanaan hidup menjadi suatu hal yang sangat penting.

Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dengan waktu, pada penelitian ini adalah dimana masyarakat Dusun Lambur selalu menjadikan masa lalu sebagai pedoman hidup masa sekarang. Mereka menyadari bahwa kehidupan masa lalu yang begitu buruk harus dijadikan pelajaran masa sekarang untuk hidup menjadi lebih baik lagi.

Misalnya terkait dengan penebangan pohon enau, yang membuat pohon enau berkurang. Sehingga sekarang para petani gula di Dusun Lambur mulai membudidayakan pohon enau, untuk menggantikan pohon enau yang sudah mati, kurang bagus atau pohon enau yang sudah tua, dan jika dulu mereka hanya membuat gula untuk dikonsumsi sehari-hari dan menjual sisanya, sekarang pwmbuatan gula merah sudah menjadi mata pencaharian pokok masyarakat Dusun Lambur untuk menambah pendapatan dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, seperti biaya pendidikan, upacara adat, membuat fasilitas (rumah, dapur, tempat usaha baru) dan lain-lain.

  • D.    Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA)

Ada kebudayaan yang memandang alam itu sesuatu hal yang begitu dahsyat, sehingga manusia pada hakikatnya hanya bisa pasrah tanpa berusaha lebih banyak lagi. Ada juga kebudayaan yang memandang bahwa alam itu sebagai sesuatu yang bisa dilawan oleh manusia sehingga     dia     pun     berusaha

menaklukkannya. Pada masalah ini masyarakat Dusun Lambur lebih tunduk kepada alam, mereka menerima apa adanya hasil panen (nira) yang dapat mereka kumpulkan sehari-hari. Namun mereka juga sudah mulai berusaha untuk membudidayakan pohon enau, walaupun tidak membudidayakan dalam jumlah besar.

  • E.    Masalah mengenai hakikat dari hubungan    manusia     dengan

sesamanya (MM)

Ada kebudayaan-kebudayaan yang amat mementingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Pola kelakuannya pun akan mengikuti tokoh atau pemimpinnya, ataupun atasannya. Kebudayaan    lain    juga    lebih

mementingkan hubungan horizontal

antara manusia dengan sesamanya. Orang dalam kebudayaan ini akan sangat tergantung kepada sesamanya, dan berusaha memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Para petani gula di Dusun Lambur berupaya membangun hubungan yang baik antar sesamanya. Hal ini dikarenakan mereka sadar bahwa mereka tak bisa hidup sendiri. Mereka menjalin hubungan atau berelasi sosial antara sesama, seperti hubungan antar petani dengan petani, petani dengan pembeli, petani dengan masyarakat. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan (Koentjaraningrat, 2002: 186188).

Di dalam tradisi pante gola, nilai sosial itu tampak dalam kenyataan bahwa apabila volume nira belum terlalu banyak untuk diproseskan menjadi gula aren maka biasanya nira itu dikonsumsi oleh orang-orang lain. Sementara itu kalau sudah diolah menjadi gula merah, biasanya sebelum dimasukkan ke dalam mal menjadi batangan gula merah (gola malang), maka orang-orang yang hadir biasanya menikmati gula aren yang masih dalam bentuk cairan walaupun hal itu akan mengurangi produksi gula. Relasi sosial yang terjalin baik dalam masyarakat sangat berdampak terhadap munculnya solidaritas. Solidaritas di masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga keharmonisan antar kelompok masyarakat. Nilai-nilai budaya seperti saling membantu (sampe tau) merupakan sebuah kegiatan yang selalu mereka jaga dalam setiap proses kehidupannya.

SIMPULAN

Pante gola merupakan tradisi, identitas budaya dan salah satu mata pencaharian pokok maupun sampingan yang telah diwariskan secara turun

temurun oleh nenek moyang masyarakat Dusun Lambur kepada generasi penerusnya. Pante gola merupakan pekerjaan menyadap tandan mayang enau (ndara) untuk menghasilkan nira yang akan diolah menjadi gula aren batang (gola malang) dan gula tepung atau gula semut (gola rebok).

Pante gola memiliki beberapa tahapan sampai menghasilkan gula merah. Dalam melakukan pante gola para petani gula di Dusun Lambur juga masih mengikuti cara-cara atau pengetahuan lokal yang telah diwariskan para nenek moyang, seperti cara menyadap, alat dan bahan yang digunakan serta pengemasannya yang masih manual dan sederhana. Pante gola juga memiliki mitos, ritual, kebiasaan tertentu serta kearifan lokal yang menjadi kepercayaan masyarakat Dusun Lambur. Banyak pesan kearifan lokal, seperti rasa syukur, disiplin, kerja keras, dan saling membantu yang menjadi pedoman para petani gula dalam melakukan pekerjaan atau tradisi pante gola. Para petani gula juga selalu melakukan ritual memohon kepada Tuhan supaya diberikan kesehatan, keselamatan serta nira yang berlimpah dan melakukan upacara untuk mengucapkan rasa syukur atas hasil pante gola. Tradisi pante gola juga sudah memberikan dampak atau pengaruh yang baik untuk kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sehingga terwujudnya kesejahteraan sosial pada masyarakat Dusun Lambur.

REFERENSI

Kartawinata, Ade Makmur. (2011).

Bunga Rampai Kearifan Lokal di Tengah-tengah       Modernisasi.

Jakarta:   Pusat Penelitian dan

Pengembangan Kebudayaan.

Koentjaraningrat. (2003). Pengantar Ilmu Antropologi jilid 1. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Lolowang T.F. (2012). “Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Agrobisnis Aren di Sulawesi Utara”. Disertasi IPB, Bogor.

Raho, Bernard, dkk. (2020). Kokor Gola Kolang:  Pesan-Pesan Kearifan

Tradisi Pante Pembuatan Gula Aren di Manggarai Barat. Maumere: Penerbit Ledalero.

Retnoningsih dan Suharso. (2006). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: CV. Widya Karya.

Saam, Zulfan dan Arlison, Raja. (2011). “Kearifan Lokal Dalam Budaya Pekandangan di Kabupaten Kuantan Singigi”. Jurnal Ilmu Lingkungan Vol. 5 No. 1, pp: 1020.

Setiyadi, Putut. (2012). “Pemahaman Kembali Local Wisdom Etnik Jawa Dalam Tembang Marcapat dan Pemanfaatannya Sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti Bangsa”. Magistra: Vol. 79 No. 24.

Sihombing, Iwan. (2018). “Kearifan Lokal pada Tradisi Maragat Etnik Batak Toba di Desa Sitinjak Kecamatan Onanrunggu Kabupaten Samosir”. Skripsi Program Studi Sastra Batak FIB USU, Medan.

Soemartono, RM. Gatot. (1991). Mengenai Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Suparlan, Parsudi. (1983). “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya: Perspektif Antropologi Budaya” dalam Mohamand Soerjani dan Bahrin Samad (Editor), Manusia dalam Keserasian Lingkungan. Jakarta: LPFE UI.