DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2021.v5.i02.p05

p-ISSN: 2528-4517

Perkawinan Sedarah di Desa Ruteng Pu’u Kecamatan Langke Rembong Kabupaten Manggarai Tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur

Ratna Kusuma Mahardika*, I Nyoman Suarsana, Ni Luh Arjani

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]] [[email protected]] [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstract

Talking about marriage is quite broad, let alone explaining the term marriage itself, marriage itself is closely related to culture and religion, as in the marriage system of the Manggarai Tribe. Marriage of the Furnace, Marriage of the Furnace, is a marriage between the children of brothers and sisters which is the subject of local religious debate. This paper aims to find out: a) why the marriage of the stove in the Ruteng Pu'u community still exists b) the implications of the marriage of the stove with the legitimacy of the church and state in the lives of the people in the village of Ruteng Pu'u, Central Manggarai Regency, East Nusa Tenggara. The support of Robert K Merton's theory of qualitative research methods which include observation, interviews, literature studies, analysis of research results shows that furnace mating is still carried out by the younger generation, but was not selected in the past because there were many conflicts with local religions.

Keywords: Kawing Tungku, Religion, Motivation, Implication

Abstrak

Membicarakan perkawianan cukup luas apalagi menjelaskan istilah-istilah perkawinan itu sendiri, perkawinan sendiri erat kaitannya dengan budaya dan agama, seperti pada sistem perkawinan masyarakat suku Manggarai tentang kawing tungku, kawing tungku adalah perkawinan antara anak saudara dan anak saudari yang menjadi perdebatan agama setempat. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui: a) mengapa kawing tungku di masyarakat Ruteng Pu'u masih eksis b) implikasi kawing tungku dengan legitimasi gereja dan negara di dalam kehidupan masyarakat di Kampung Ruteng Pu'u Kabupaten Manggarai Tengah, Nusa Tenggara Timur. Dukungan teori Robert K Merton, metode penelitian kualitatif yang meliputi observasi, wawancara, studi pustaka, analisis hasil penelitian menunjukkan kawing tungku masih dilakukan oleh generasi muda, tetapi tidak seleksi zaman dahulu karena banyak pertentangan dengan agama setempat.

Kata kunci: Kawing Tungku, Agama, Motivasi, Implikasi

PENDAHULUAN

Di Indonesia sendiri, perkawinan pada umumnya sangat erat kaitannya dengan dua dasar kehidupan masyarakat, yaitu budaya dan agama. perkawinan menurut (Haviland, 2008: 21) merupakan suatu kontrak yang sah secara resmi

antara seseorang pria dan wanita yang mengukuhkan hak mereka untuk hubungan seksual satu sama lain. Hal tersebut menegaskan bahwa wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahirkan keturunan dengan kata lain perkawinan merupakan sebuah

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


ikatan resmi antara pria dan wanita yang saling berkomitmen yang telah memutuskan untuk hidup bersama.

agama masyarakat Manggarai adalah Agama Katolik. Agama dan kebudayaan dua hal yang mempunyai hubungan erat di masyarakat Manggarai, antara keduanya mustahil untuk dipisahkan. Sejarah gereja pun merupakan interaksi antara agama dan kebudayaan.

Ada beberapa istilah sebagai kata kunci dalam perkawinan masyarakat suku Manggarai yaitu kawing tungku, kawing tungku adalah perkawinan dari suku sendiri antara anak saudara dengan anak adari saudari. Dalam budaya masyarakat Ruteng Pu’u kabupaten Manggarai ada banyak sekali jenis perkawinan sedarah yang diperbolehkan oleh adat. Kawing tungku adalah perkawinan crosscousin unilatrel antara anak saudara dengan anak saudari, baik anak amupun anak antar sepupu. Menurut tradisi Manggarai mengenai kawing tungku bahwa anak laki-laki dari kerabat anak wina, sedangkan anak perempuan dari keluarga kerabat anak rona (Adi Anggoro, 2013: 99).

Kawing tungku ini bertentangan dengan aturan gereja, agama mengganggap hal ini kurang baik, sebab bertentangan dengan norma, maka dari itu melalui agama masyarakat Manggarai mulai mengencarkan sosialisasi mengenai kawing tungku.

Hal ini yang kemudian menjadi dilema bagi masyarakat suku Manggarai. Masyarakat kampung Ruteng Pu’u masih ingin terus melestarikan budaya kawing tungku yang sudah secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka. Namun di satu sisi mereka tidak bisa mengelak dari aturan Agama Katolik yang sudah mereka yakini.

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) untuk mengetahui eksistensi kawing tungku di Kampung Ruteng Pu’u Kecamatan Langke

Rembong Kabupaten Manggarai Tengah Nusa Tenggara Timur; (2) untuk mengetahui implikasi kawing tungku dengan legitimasi gereja dan negara di dalam kehidupan masyarakat di Kampung Ruteng Pu’u Kecamatan Langke Rembong Kabupaten Manggarai Tengah Nusa Tenggara Timur.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kulalitatif. Teknik penentuan informan menggunakan teknik proposive yaitu carapenentuan informan yang dipilih secara sengaja berdasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu. Penelitian ini juga menggunakan model snow-ball, penelitian semacam ini ibarat nola salju yang mengelinding dalam menetukan subjek yang lain. Penetuan informan dilakukan dengan menggunakan jaringan berdasarkan informasi yang diperoleh dari kepala desa (Endraswara, 2012: 206).

Informan dibagi menjadi dua jenis yaitu: (1) Informan pangkal (2) Informan kunci. (1) Infroman pangkal merupakan informan yang memiliki pengetahuan luas diberbagai bidang atau pengetahuan yang bersifat umum (general), selain itu informan pangkal juga harus memiliki kemampuan untuk memberikan rekomendasi dan informasi bagi peneliti kepada orang-orang yang mengetahui lebih rinci dan mendalam sesuai keahliannya. (2) Informan kunci merupakan orang-orang yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam mengenai pokok permasalahan yang akan diteliti (Koentjaraningrat, 1997: 163-164).

Informan pangkal berupa aparat kampung seperti kepala kampung, sekertaris kampung. Sedangkan informan kunci dalam konteks penelitian ini yang berupa tokoh adat, pemuka agama, dan masyarakat yang melakukan kawing

tungku. Selain itu terdapat informan biasa yakni informan yang dijumpai saat penulis melakukan penelitian. Jadi dalam penelitian ini ada dua jenis informan pangkal dan informan kunci. Adapun teknik pengumpulan yang digunakan adalah sebagai berikut:   1) Teknik

penentuan informan; 2) Teknik observasi partisipan; 3) Teknik Wawancara; 4) Studi Kepustakaan; 5) Teknik Analisis Data.

Penelitian ini mengambil di lokasi kampung Ruteng Pu’u Kecamatan Langke RembongKabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur, lokasi ini di pilih atas dasar pertimbangan yaitu Kampung Ruteng Pu’u merupakan desa yang masih kental akan adat istiadat, dimana setelah masuknya agama Kristen Katolik banyak sekali permasalahan yang muncul, salah satunya adalah permasalahan perkawinan adat yang dilakukan oleh pasangan yang masih mempunyai hubungan darah.

HASIL DAN PEMBAHASAN Motivasi untuk Melakukan Kawing Tungku di Kampung Ruteng Pu’u

Budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur mengenai perkawinan sudah menjadi tradisi secara turun temurun yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perkawinan orang NTT identik dengan mahar yang akan diberikan keluarga mempelai pria kepada keluarga mempelai perempuan. Seperti tradisi perkawinan orang Lamholot Kabupaten Lembata yang mempersunting perempuan dengan menggunakan gading gajah sesuai kesepakatan kedua keluarga. Sedangkan untuk tradisi perkawinan tungku (perkawinan silang) hanya terdapat pada tradisi orang Manggarai. Kawing tungku merupakan salah satu jenis perkawinan dalam tradisi masyarakat Manggarai. Tradisi tungku tersebut menurut sejarah orang Manggarai sendiri wajib untuk diteruskan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Pernikahan antara kedua anak dari saudara dan saudari kandung ini diakui masyakarat Manggarai merupakan tradisi yang dipercaya sebagai kekuatan baru untuk mempererat hubungan kedua keluarga yang telah terputus atau untuk mempererat kembali hubungan antara kedau keluarga yang hampir putus. Anak wina dan anak rona merupakan bagaian keluarga yang sangat dihargai dan dihormati oleh pihak anak wina. Anak rona dalam artian Manggarai ialah, keluarga kerabat penerima istri (keluarga asal suami).

Tradisi perkawinan masyarakat Manggarai terbilang cukup kompleks dan beragam. Mulai dari, Kawing Tungku (perkawinan anak saudara dan saudari sepupu). Tradisi kawing tungku menjadi sebuah dilematika bagi masyarakat Manggarai ketika gereja tidak memberi ijin kepada mereka untuk meneruskan tradisi tersebut. Gereja mempertegas bahwa tradisi kawing tungku tidak dapat diteruskan karena bertentangan dengan hukum Agama Katolik yang tertulis dalam kitab hukum kanonik yang berbunyi dalam beberapa kanon salah satunya kanon 1091 tentang, 1) Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang legitim maupun yang natural. 2) Dalam garis menyimpang perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke empat inklusif. 3) Halangan hubungan darah tidak dilipat gandakan. 4) Perkawinan tidak pernah diizinkan, jika ada keraguan apakah pihak-pihak yang bersangkutan masih berhubungan darah dalam satu garis lurus atau dalam garis menyimpang tingkat kedua (KHK: 311). Bentuk perlawanan masyarakat Manggarai dibuktikan dengan adanya praktik tungku setelah aturan hukum gereja dikeluarkan pada tahun 1973. Pihak gereja membuat aturan tentang larangan perkawinan tungku ini tidak melalui musyawarah

antara pihak Agama dan pihak adat istiadat, hingga menimbulkan berbagai prespektif dari masyarakat Manggrai akan adanya kepentingan yang ingin dicapai gereja dalam kaitannya dengan berbagai wacana yang mereka ungkapkan. Namun, masyarakat Manggarai yang melaksanakan perkawinan tungku tetap mengalami intimidasi seperti, bentuk hukuman yaitu pasangan yang menikah secara tungku tidak bisa diberkati oleh pihak gereja dengan sakramen perkawinan sebagai orang Katolik yang layak dan pantas karena dianggap melanggar dan tidak taat terhadap aturan yang berlaku sesuai dengan kitab hukum Katolik.

Kawing tungku arti katanya melanjutkan hubungan kekerabatan antar anak wina dengan anak rona yang sudah ada atau masih ada. Ibaratnya, suatu jalan yang sudah putus atau hampir putus, kemudian ada upaya lagi guna menyambung kembali jalan yang suda lama dirintis itu. Tentunya membuat jalan baru, pasti butuh dana, tenaga dan waktu yang sangat banyak. Padahal memperbaiki atau melanjutkan rintisan jalan yang sudah ada tak terlalu membutuhkan banyak pengorbanan, materi, tenaga, dan lain-lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkawinan tungku ini tetap dilaksanakan.

  • A.    Segi Positif dari Kawing Tungku

Artinya dalam perkawinan tungku ini memiliki berbagia dampak positif salah satunya adalah mempersatukan kembali hubungan keluarga yang lama telah hancur. Tujuan perkawian untuk menambah anggota keluarga dan mendapatkan keturunan. Kawing tungku sebagai bentuk perkawinan Manggarai yang bertujuan untuk mempertahankan ikatan keluarga antara pihak anak rona dan pihak anak wina. Suatu perkawinan terwujud atas dasar sebuah tujuan mempertahankan keluarga.

Tali persaudaraan antara anak rona dan anak wina akan tetap terjaga sampai pada beberapa keturunan karena tidak ada alasan untuk saling melupakan setelah dilaksanakanya kawing tungku.

  • B.    Segi Negatif dari Kawing Tungku

Perkawinan semacam ini merupakan salah satu bentuk perkawinan yang diduga menjadi penyebab meningkatnya populasi masyarakat RutengPu’u yang menderita penyakit genetik. Hal tersebut terjadi akibat dari kesamaan genetika yang terdapat dalam dua mempelai, karena masih berasal dari keturunan yang sama.

Fungsi-fungsi perkawinan antar kerabat yang telah saya uraikan di atas menjadi hal yang menyebabkan orangorang yang mempraktikan perkawinan antar kerabat sulit untuk meninggalkannya. Bahkan perkawinan antar kerabat terutama perkawinan sepupu menjadi prefensi perkawinan yang paling diinginkan oleh setiap orang yang kemudian dianggap sebagai perkawinan ideal (Koentjaraningrat, 1997:92).

  • C.    Harta Waris

Tujuan utamanya hanya satu, yakni untuk mempertahankan harta kekayaan dalam keluarga. Hal tersebut dilegalkan pada masa itu, karena msayarakat Ruteng Pu’u masa itu belum mengenal dunia medis sehingga tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan kelak. Sehingga tidaklah mengherankan jika populasi masyarakat Ruteng Pu’u dahulu menderita penyakit genetika pada masa itu meningkat drastis.

  • D.    Ancaman Terputusnya Persaudaraan

(Boto Betet)

Jadi dari beberapa bentuk praktik menurut kebiasaan orang Manggarai di atas semuanya harus dijalankan dengan baik menghindarkan keluarga anak rona

dan anak wina dari perpecahan akibat perselisihan pendapat dan praktik. Hal itu dilakukan sebelum atau sesudah kedua keluarga menjalankan praktik kawing tungku.

  • E.    Ancaman Kutukan (Jaga Nangki)

Nangki sebagai salah satu wacana masyarakat Manggarai untuk mempertahankan tradisi tungku bukan hanya sekedar wacana untuk menjaga keutuhan tradisi tersebut tetapi telah terbukti terjadi bagi beberapa orang Manggarai yang tidak meneruskan tradisi kawing tungku.

Nangki menurut sejarah, merupakan sebuah bentuk kutukan bagi anak wina apa bila salah satu keturunan dalam garis keturunan yang sama tidak melanjutkan tradisi kawing tungku. Tetapi ketakutan akan nangki bagi masyarakat Manggarai pada masa sekarang telah bergeser setelah gereja memberi penegasan bahwa tradisi tungku tidak boleh diteruskan dengan wacana yang mereka keluarkan demi mencapai kekuasaan.

  • F.    Menyambungkan Jalan (Tungku

Salang)

Tungku berarti sambung sedangkan salang berarti jalan. Jadi tungku salang berarti menyambungkan kembali jalan yang sudah terputus. Tungku salang merupakan bentuk wacana ketiga yang dibangun masyarakat Manggarai berdasarkan tujuan dari pada tradisi kawing tungku itu sendiri. Berdasarkan fenomena yang teejadi di Manggarai, masyarakat Manggarai seringkali melakukan perdamaian antara kedua anaknya. Namun sebelum melakukan nikah tungku atau proses peminangan secara tungku perlu adanya pendekatan yang dilakukan kedua keluarga dengan pihak anak wina yang melakukan komunikasi terlebih dahulu kepada pihak anak rona.

  • G.    Menggantikan Orang Tua (ganti sa’i na’a rangga)

Ganti sa’i na’a rangga artinya, menggantikan posisi orangtua dalam suatu hubungan kekeluargaan khususnya dari pihak anak rona. Ganti sa’I na’arangga merupakan salah satu wacana masyarakat Manggarai untuk mempertahankan tradisi kawing tungku. Biasanya ganti sa’I na’a rangga diperuntukkan untuk seorang anak laki-laki agar menjaga anak gadis dari pihak anak rona dengan tujuan nanti ketika anak gadis itu sudah cukup umur untuk menikah, ia akan dipinang oleh laki-laki dari pihak anak wina menggantikan posisi keluarganya sebagai anak rona. Kebiasaan seperti ini juga sering terjadi apabila orangtua dari anak perempuan tersebut telah meninggal dunia sehingga anak perempuan tersebut dipinang oleh anak wina untuk tetap mengenang ayah dan ibunya sebagai anak rona dan tidak melupakan garis keturnan anak rona untuk kedepannya.

  • H.    Kawing Silang (Pongo Tungku)

Pongo (ikat, mengikat, ikatan) merupakan proses mengadakan ikatan cinta antara laki-laki dan perempuan. Lazimnya bila sudah diadakan acara pongo, maka status hubungan antara laki-laki dan perempuan berada pada masa tunangan. Menyerahkan seng pongo (uang ikatan). Jumlah uang ikatan tergantung hasil pembicaraan adat saat itu. Pongo juga dapat diartikan sebagai proses nikah adat dalam budaya masyarakat Manggarai (Nggoro, 2016: 114).

Tungku (sambung, menyambung) berarti menyambungkan atau mempererat. Sementara pongo tungku berate mengadakan ikatan cinta antara kerabat yang dimilki hubunganm kekeluargaan yaitu anak rona dan anak wina. Pongo tungku diadakan demi pertimbangan mencari kembali pokok

atau asal-usul keturunan, dan mau menjalani kembali.

Implikasi Kawing Tungku dengan Legitimasi Gereja dan Negara di Dalam Kehidupan Masyarakat di Kampung Ruteng Pu’u

  • A.    Legitimasi Gereja

Sifat dasar perkawinan Katolik, perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orangorang yang dibaptis (rantum) secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian. Ini dapat kita temukan dalam hukum Gereja tahun 1983 (kan. 1141).Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis disebut rantum(kan. 1061) sedangkan perkawinan antara orang yang salah satunya tidak katolik disebut perkawinan non rantum. Perkawinan rantum, setelah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum) menjadi perkawinan yang rantum et consummatum yang tidak dapat diputuskan atau dibatalkan oleh kuasa manapun, kecuali kematian (kan. 1141). Perkawinan yang rantum et non consummatum dapat diputuskan oleh tahta suci permintaan salah satu pasangan (kan. 1142).

Kesepakatan nikah atau perjanjian (foedus) yang dibuat oleh kedua pihak yang menikah adalah satu-satunya unsur penetu yang membuat perkawinan itu sendiri.Penataan hukum, setiap perkawinan orang Katolik, meski hanya satu yang katolik diatur oleh ketiga hukum ini, yaitu hukum ilahi, hukum kanonik, dan hukum sipil menyangkut akibat-akibat sipil.Penyelidik kanonik, penyelidik sebelum perkawinan, dalam prakteknya disebut sebagai penyelidik kanonik. Penyelidik ini dimaksud agar

imam atau gembala umat mempunyai kepastian moral bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan nanti sah (valid) dan layak membuat perkawinan. Kepastian ini harus dimiliki demi menjaga kesucian perkawinan. Hal-hal yang diselidiki adalah soal status bebas calon, tidak adanya halangan dan larangan, serta pemahaman calon maupun oleh mereka yang menjadi saksi, bahkan oleh seluruh umat yang mengenal calon, dan silsilah keturunan calon.

Beda sakramen dan pemberkatan pernikahan. Sakramen perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijalankan oleh kedua orang yang dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Mereka berjanji setia satu sama lain sampai mati memisahkan mereka,Bila terjadi perkawinan tungku maka pihak gereja akan menyuruh menyelesaikan terlebih dahulu masalah perkawinan adat, apabila menurut adat mereka telah sah, pihak gereja akan melakukan persiapan pernikahan. Meskipun perkawinan tungku sebenarnya di larang oleh pihak gereja, karena mereka masih dalam satu keturunan biologis, secara kanon perkawinan tungku dilarang. Kalau seandainya terjadi perkawinan tungku kedua pasangan akan meminta dispensasdi dari uskup. Jika uskup memberikan dispensasi maka pernikahan ini bisa dilakukan di gereja. Ketika terjadi kasus yang sudah terjadi perkawinan tungku maka mereka harus meminta dispensasi dari uskup dan perijinan ini bisa sampai 1sampai 5 tahun.

  • B.    Implikasi

Implikasi merupakan segala sesuatu yang telah dihasilkan dengan adanya proses perumusan klebijakan (Islamy, 2003: 114-115). Dengan kata lain implikasi adalah akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya

kegiatan tertentu. Implikasi yang terjadi di masyarakat Ruteng Pu’u adalah: 1) kutukan (Nangki), 2) Terputusnya Tali Persaudaraan, 3) Perubahan Kebudayaan.

  • C.    Kehidupan Beragama dan Adat

Dalam prakteknya perkawinan selain dilakukan menurut hukum masing-masing agama, kepercayaan dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku juga dilaksankan menurut hukum adat. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sahnya suatu perkawinan dikembalikan kepada hukum masing-masing agama. Hal ini berate perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat, belum dapat dikatakan sah menurut hukum agama dan hukum Negara. Berkaitan dengan sahnya perkawinan menurut hukum agama maka, setiap agama mempunyai aturannya sendiri dalam mengatur mengenai sahnya perkawinan.

Hukum adat punya aturan tersendiri yang memungkinkan adanya perkawinan hubungan darah. Seperti yang diatur oleh masyarakat adat Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat adat kampung Ruteng Pu’u menyebut perkawinan hubungan darah itu dengan nama “tungku”. Perkawinan sedarah “tungku” ini merupakan hukum adat Manggarai yang memperbolehkan adanya perkawinan sedarah.Masyarakat hukum adat merupakan subyek hukum. Keberadaan masyarakat hukum adat ditandai dengan adanya kelompok masyarakat yang terkait secara tradisonal pada wilayah tertentu, adanya kelembagaan serta perangkatnya, dan adanya pranata hukum yang mengikat dan ditaati, khususnya tentang peradilan adat.

  • D.    Sosial

Perkawinan tungku sangat di tentang oleh pihak gereja, karena ada beberapa

alasan, salah satu alasan nya adalah tentang keturunan biologis yang ditakutkan akan mengahsilkan keturunan yang cacat. Pada tahun 1994 ada beberapa puluhan pasangan yang melakukan perkawinan tungku dan menerima sakramen nikah dari uskup. Pasangan yang melakukan perkawinan tungku pada zaman sekarang sangat susah mendapatkan sakramen nikah dari uskup. Sakramen nikah bisa keluar 1 sampai 5 tahun.

  • E.    Sistem Kekerabatan

Pada dasarnya perkawinan dilaksanakan tidak hanya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, tetapi juga untuk membentuk suatu hubungan kekerabatan Perkawinan yang dilakukan antar keluarga cenderung menghasilkan keturunan yang abnormal. Bahkan, hampir selalu terjadi peningkatan kematian atau penyakit pada keturunan hasil perkawinan antara keluarga. Seseorang yang mempunyai hubungan darah akan lebih mungkin gen yang sama dibandingkan dengan orangorang yang tidak mempunyai hubungan darah, inbreeding (perkawinan keluarga) akan mengubah frekuensu gen resesif dalam populasi, sehingga secara relative lebih banyak dilahirkan individu-individu homozigot abnormal.

  • F.    Ekonomi

Alasan masyarakat mekalakukan kawing tungku disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor kemiskinan, kurangnya pendidikan moral ilmu agama, atau sistem keluarga yang tidak baik. Salah satu alasan yang mendasar terjadinya perkawinan tungku adalah harta waris keluarga.

SIMPULAN

Kawing Tungku yaitu perkawinan dari suku sendiri antara anak saudara dengan anak dari saudari. Dalam budaya

masyarakat Ruteng Pu’u Kabupaten Manggarai. Kawing Tungku bisa diartikan     perkawinan     sambung

menyambung. Kawi Tungku adalah perkawinan crosscousin unilatrel antara anak saudara dengan anak saudari,baik antara anak maupun anak antar sepupu. Menurut tradisi Manggarai mengenai Kawing Tungku bahwa anak laki-laki dari kerabat anak wina, sedangkan anak perempuan dari keluarga kerabat anak Rona, perkawinan ini bertentangan dengan hukum pernikahan katolik, yang mengakibatkan terjadinya delimatika masyarakat mengenai hukum pernikahan adat dan agama. Tetapi pada jaman sekarang perkawinan tungku sudah tidak se eksis pada jaman dahulu. Terlebih sakramen atau aturan perkawinan dalam gereja menentang adanya perkawinan sedarah.

REFERENSI

Atmaja, J. (2008). Bias Gender Perkawinan   Terlarang pada

Masyarakat    Bali. Denpasar:

Udayana University Press.

Danandjaja James. (2005). Antropologi Psikologi Kepribadian Individu dan Kolektif. Jakarta: Lembaga Kajian Budaya Indonesia.

Ghazali, Adeng Muchtar. (2011). Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta.

Janggur, B.A, Petrus. (1991). “Pola Hidup    Manusia Manggarai

Menurut Adat   Kebudayaan

Manggarai dan Pola Hidup Kristen dalam    Adat    Kebudayaan

Manggarai / Inkultur”. Karya Tulis Guru SD Inpres Dongang Kabupaten Manggarai, Manggarai.

Khoerudin, Muh. (2017). “Pernikahan Sedarah (Incest Taboo dalam Prespektif Hukum Islam ,UU No.1

Tahun 1974 dan Sosiologi”. Skripsi Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negri Salatiga, Salatiga.

Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat. (1997). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat. (2006). Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Narwoko, J.D. (2011). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nggoro, Adi M. (2013). Budaya Manggarai Selayang Pandang. Manggarai: Nusa Indah.

Sabri, Muhammad Ali. (2005). Pendidikan    Kepada    Anak.

Yogyakarta: Aditya Media.

Suyono, Ariyono. (1985). Kamus Antropologi. Jakarta: Akademika Pressindo.

Wahyu, Iin. (2017). “Status Hak Waris Anak dari Pernikahan Sedarah (Prespektif Fikih Kontemporer)”. Skripsi Program Sarjana Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alaudin, Makasar.