DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2021.v5.i01.p05

p-ISSN: 2528-4517

Pengembangan Gerabah Sebagai Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Masyarakat Compang Desa Golo Kempo

Klaudia Dewi Putri Jehana*, Aliffiati, I Nyoman Suarsana Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

[[email protected]], [[email protected]], [[email protected]] Denpasar Bali Indonesia *Corresponding Author

Abstract

The village Golo Kempo has two village children namely Compang village and Rambang village. Compang village is known as the only village pottery maker. The ancestors of the Compang community also made pottery made by the ancestors to make ends meet. In 2017 a group of 10 people was formed and worked on product development. The result of multiple performance groups and so on in peripherals, are not just the third type local made by ancestors. The study centers on learning the factors that led to the development of Compang societies as a culturally based creative economy and to learn the implications of its development for the people of the study using qualitative research methods that ethnographic research models by observation techniques, interviews and literature studies supporting the study are the interviews, recording tools, camera and writing tools.

Keywords: creative economy, pottery, implications, development

Abstrak

Desa Golo Kempo memiliki dua anak kampung yaitu kampung Compang dan kampung Rambang. Kampung Compang dikenal sebagai satu-satunya kampung penghasil gerabah. Nenek moyang masyarakat Compang juga membuat gerabah. Gerabah yang dibuat oleh nenek moyang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tahun 2017 dibentuklah kelompok yang beranggotakan 10 orang dan melakukan pengembangan produk. Hasil produksi kelompok perajin bermacam-macam dan juga untuk diperjualbelikan, tidak hanya ketiga jenis produk lokal yang dulunya dibuat oleh nenek moyang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Compang mengembangkan gerabah sebagai ekonomi kreatif berbasis budaya dan untuk mengetahui implikasi pengembangannya bagi masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan model penelitian etnografi melalui teknik observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Instrumen pendukung penelitian adalah pedoman wawancara, alat perekam, kamera dan alat tulis.

Kata kunci: ekonomi kreatif, gerabah, implikasi, pengembangan

PENDAHULUAN

Kesenian merupakan bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Oleh

karena itu, kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang universal dan dapat ditemukan pada semua kebudayaan di dunia baik dalam masyarakat pedesaan yang terpencil

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


maupun dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks. Seni kriya merupakan karya seni yang dihasilkan dengan memanfaatkan keterampilan tangan manusia dimana karya tersebut memperhatikan nilai estetika atau keindahan dan juga aspek fungsional.

Gerabah merupakan salah satu dari seni kriya yang sudah lama dikenal oleh masyarakat nusantara dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Sholichah & Ratyaningrum, 2015). Awalnya gerabah dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia akan peralatan rumah tangga khususnya alat-alat memasak dan wadah penyimpan makanan. Seiring perkembangan zaman kerajinan gerabah berkembang menjadi bentuk yang lebih indah sebagai penunjang dalam kehidupan. Di samping itu, produk yang dihasilkan terus mengalami perbaikan bentuk dengan desain baru berdasarkan pengalaman batin perajin. Berbagai kerajinan gerabah di Indonesia cukup maju, hal ini ditandai dengan adanya keragaman bentuk, fungsi, tema dan ragam hias (Khoirinnisa & Lodra, 2011).

Gerabah merupakan perkakas yang terbuat dari tanah liat yang kemudian dibakar untuk dijadikan alat-alat yang berguna untuk membantu kehidupan manusia yang biasanya berbentuk wadah (Alfazri et al., 2016). Dalam memenuhi kebutuhannya, maka gerabah ini dibuat dalam berbagai macam. Adapun macam-macam gerabah adalah seperti celengan, kendi, perkakas rumah tangga, dan lain sebagainya. Gerabah sebagai salah satu benda hasil kebudayaan manusia merupakan unsur yang paling penting dalam usaha untuk menggambarkan aspek-aspek kehidupan manusia. Untuk menghasilkan suatu karya yang berkualitas tentunya membutuhkan bahan yang berkualitas pula. Seperti halnya karya kerajinan gerabah yang membutuhkan tanah liat yang berkualitas.

Perkembangan gerabah di Indonesia tersebar di beberapa wilayah, termasuk di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satunya terdapat di Kampung Compang Desa Golo Kempo Kecamatan Sano Nggoang Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur. Kampung Compang dikenal sebagai kampung penghasil gerabah. Kampung Compang Desa Golo Kempo merupakan satu-satunya kampung penghasil gerabah di kabupaten Manggarai Barat, sehingga kerajinan gerabah di kampung Compang terkenal di seluruh wilayah manggarai dan masih bertahan hingga sampai sekarang (Ulfah, 2020:188).

Gerabah merupakan kerajinan rakyat atau kerajinan masyarakat karena dibuat oleh rakyat atau masyarakat itu sendiri dan bukan buatan mesin. Gerabah sudah lama dikenal oleh masyarakat Compang Desa Golo Kempo. Dahulu semua masyarakat Compang Desa Golo Kempo membuat gerabah. Dahulu yang membuat gerabah adalah kaum perempuan. Gerabah dibuat hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka pada saat itu berupa peralatan memasak seperti periuk, kuali dan kendi dan tidak untuk diperjualbelikan.

Seiring berjalannya waktu masyarakat Compang tidak lagi membuat gerabah. Masyarakat hanya berfokus pada satu pekerjaan yaitu bekerja sebagai petani. Membuat gerabah hanyalah orang tua yang berusia 50 tahun ke atas. Para orang tua yang berusia 50 tahun ke atas tidak lagi membuat gerabah karena faktor usia yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk bekerja. Pada tahun 2017 masyarakat Compang merevitalisasi pembuatan gerabah dengan tujuan agar warisan budaya nenek moyang tidak menghilang dan melakukan pengembangan dengan membentuk kelompok yang dapat menghasilkan produk-produk yang bermacam-macam, yang tidak hanya produk-produk yang

dahulunya dibuat oleh nenek moyang melainkan produk-produk baru sesuai dengan permintaan konsumen karena selain digunakan untuk kebutuhan sehari-hari gerabah yang dibuat oleh kelompok perajin juga untuk diperjualbelikan.

Istilah gerabah disebut juga kerajinan tradisional yang dibiasanya dibuat oleh masyarakat desa karena sejarah perkembangan dari nenek moyang mereka, kerajinan ini sudah ditekuni oleh masyarakat secara turun-temurun (Khoiriyah & Sabardila, 2020). Gerabah di Compang Desa Golo Kempo memiliki kekhasan tersendiri yaitu masih mempertahankan kekhasan manggarai dari segi bentuk lokal mengingat nenek moyang pada zaman dahulu membuat gerabah untuk kebutuhan sehari-hari seperti periuk, kendi dan kuali. Pada masa lampau gerabah hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari sebagai wadah untuk memasak dan juga wadah sebagai tempat penyimpan kebutuhan pada saat itu, namun seiring berjalannya waktu gerabah bertambah fungsi menjadi salah satu penunjang untuk memenuhi perekonomian masyarakat. Proses pembuatan gerabah pada masyarakat Compang Desa Golo Kempo masih menggunakan cara tradisional yaitu secara manual tanpa menggunakan mesin.

Berdasarkan uraian di atas peneliti dapat merumuskan beberapa permasalahan diantaranya: (1) Mengapa masyarakat Compang Desa Golo Kempo mengembangkan gerabah sebagai ekonomi kreatif berbasis budaya? (2) Bagaimana implikasi pengembangan gerabah sebagai ekonomi kreatif berbasis budaya?.

METODE

Penelitian ini dilakukan di Compang Desa Golo Kempo Kecamatan Sano Nggoang Kabupaten Manggarai Barat. Compang merupakan sebuah kampung

yang terdapat di Desa Golo Kempo. Penelitian ini menggunakan metode observasi-partisipasi dimana peneliti melibatkan diri secara langsung atau berpartisipasi aktif dalam membuat gerabah sehingga seluruh rangkaian kegiatan proses pembuatan gerabah dapat diamati. Selain itu wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara mendalam. Dalam hal ini metode wawancara mendalam yang dilakukan dengan adanya pedoman wawancara atau daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya kepada perajin.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari para narasumber berupa informan penelitian yang terpilih seperti perajin gerabah, kepala adat, dan kepala desa (Egayanti et al., 2017). Sedangkan data sekunder diperoleh oleh penulis secara tidak langsung dengan menggunakan buku, jurnal dan juga naskah yang berkaitan dengan obyek penelitian.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data oleh Miles dan Hubermas. Penelitian ini menggunakan teori need achievement dari David C. McClelland dan teori perubahan dari Karl Max yang dianggap relevan dalam penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan Gerabah Sebagai Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya

  • a.    Gerabah     Sebagai     Kerajinan

Masyarakat

Gerabah merupakan kerajinan masyarakat karena dibuat oleh masyarakat itu sendiri dan bukan buatan mesin. Nenek moyang masyarakat Compang juga membuat gerabah. Jenis gerabah yang dihasilkan oleh nenek moyang hanya terdiri dari 3 jenis saja seperti periuk, kuali dan kendi. Masyarakat zaman dahulu atau nenek

moyang semuanya membuat gerabah dan yang membuat gerabah adalah kaum perempuan. Gerabah telah menjadi bagian hidup masyarakat sejak zaman dahulu, sehingga gerabah dapat dikatakan sebagai salah satu warisan budaya yang perlu dijaga kelestariannya (Adiputra et al., 2018). Seiring berjalannya waktu, masyarakat tidak lagi membuat gerabah karena yang membuat gerabah adalah para orang tua yang berusia 50 tahun ke atas. Para orang tua yang berusia 50 tahun ke atas tidak lagi membuat gerabah dikarenakan oleh faktor usia yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja. Masyarakat kemudian merevitalisasi dengan membentuk kelompok dan melakukan pengembangan. Tahun 2017 dibentuklah kelompok yang dinamakan Kelompok Gerabah Tanah Liat Compang yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota.

Pembuatan gerabah masih menggunakan alat tradisional (Putra & Arif, 2020). Ada alat putar yang terbuat dari kayu, alat penumbuk yang terbuat dari kayu, barang rongsokan seperti potongan sing yang sudah tidak digunakan lagi, pecahan botol, botol kecil serta batu kali (Purwasih et al., 2019). Proses pembuatan gerabah tersebut membutuhkan waktu yang lama (Indriastuti, 2012:760). Pembuatan gerabah terdiri dari 11 tahapan pembuatan mulai dari tahap pengambilan bahan baku yaitu pengambilan tanah liat dan tanah cadas, pengeringan tanah liat dan tanah cadas dengan tujuan untuk menghilangkan kadar air dalam tanah, penumbukkan tanah liat dan tanah cadas, pengayakan tanah liat dan tanah cadas, pencampuran tanah liat dan tanah cadas, proses pembentukkan gerabah sesuai bentuk yang diinginkan menggunakan roda pemutar, proses pengeringan gerabah yang sudah dibentuk, proses penggarukan gerabah yang bertujuan untuk meratakan permukaan bagian luar

gerabah, proses slip yang bertujuan untuk menghaluskan dan meratakan pori-pori permukaan bagian luar gerabah, proses persiapan pembakaran dengan mempersiapkan kayu bakar, minyak tanah sebagai bahan bakar, menyiapkan jerami dan menyiapkan pewarna yaitu air rebusan kulit biji asam dan yang terakhir adalah proses pembakaran. Gerabah yang telah selesai dibakar kemudian diangkat dari api dan langsung disemprotkan dengan pewarna yaitu air rebusan kuit biji asam, dan dibiarkan sampai dingin kemudian siap untuk digunakan.

  • b.    Gerabah Sebagai Ekonomi Kreatif

Bagi masyarakat Compang gerabah merupakan keterampilan yang diwariskan secara turun-temurun. Pada awalnya pembuatan gerabah hanya untuk kebutuhan rumah tangga khususnya keperluan akan perabotan dapur sebagai wadah, namun seiring waktu berkembang gerabah sebagai salah satu penunjang ekonomi keluarga, sehingga menjadi ekonomi kreatif dari masyarakat Compang. Meskipun pengembangan gerabah sebagai ekonomi kreatif dilakukan oleh beberapa warga yang tergabung dalam satu kelompok perajin yang diberi nama Kelompok Gerabah Tanah Liat Compang. Seiring waktu berjalan, yang tergabung dalam kelompok akan mengajak warga lain untuk ikut bergabung. Harga produk gerabah bervariasi tergantung bentuk dan ukurannya (Mudra & Sunarini, 2015). Untuk produk gerabah seperti periuk yang berukuran kecil dijual dengan harga Rp 20.000. Asbak polos atau tanpa motif yang berukuran kecil dijual dengan harga Rp 10.000 sedangkan untuk asbak bermotif yang berukuran kecil Rp 25.000. Gentong yang berukuran kecil dijual dengan harga Rp 50.000. Adapun alasan perajin mengembangkan gerabah sebagai ekonomi kreatif berbasis budaya adalah untuk mempertahankan budaya

nenek moyang karena nenek moyang masyarakat Compang juga membuat gerabah. Selain itu dengan mengembangkan gerabah sebagai ekonomi kreatif berbasis budaya dapat mensejahterakan ekonomi masyarakat perajin.

  • c.    Faktor Pendukung Dan Faktor

Penghambat Dalam Pengembangan

Faktor pendukung adalah faktor yang dibutuhkan dalam suatu proses pengembangan adalah dukungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan juga dukungan dari Pemerintah desa, ketersediaan bahan baku mudah dijangkau karea terdapat diperoleh dari Kampung Compang sehingga mudah untuk diambil oleh para perajin (Haqqi et al., 2016) dan juga partisipasi perajin untuk mengikuti pameran. Ada beberapa hambatan yang dialami oleh para perajin dalam pengembangan gerabah seperti: penggunaan teknologi tradisional, ketersediaan bahan pewarna dan juga pemasaran.

Implikasi Pengembangan Gerabah Sebagai Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Bagi Masyarakat

  • a.    Implikasi Ekonomi

Implikasi dari pengembangan gerabah yang dilakukan oleh kelompok perajin terhadap bidang ekonomi yaitu adanya peningkatan pendapatan keluarga khususnya bagi para perajin. Dengan keahlian yang dimiliki, para perajin membuat gerabah untuk dijual sehingga dapat meningkatkan pendapatan keluarga perajin (Vibriyanti, 2015). Adanya kerajinan gerabah menampakan kemajuan ekonomi karena dapat meningkatkan pendapatan bagi keluarga perajin. Semakin meningkatnya pendapatan keluarga perajin maka kesejahteraan keluarga pun tercapai. Terciptanya pekerjaan berbasis kearifan lokal bagi masyarakat yaitu sebagai

perajin. Dengan adanya lapangan pekerjaan berbasis kearifan lokal dapat mengurangi angka pengangguran sehingga tingkat kemiskinan di pedesaan berkurang.

  • b.    Implikasi Sosial

Implikasi dari pengembangan gerabah dibidang sosial adalah mencintai produk lokal dengan menggunakan produk lokal dalam kehidupan sehari-hari yaitu benda-benda unik dan praktis (Pratiwi, 2019:64), tetap terjaganya komunikasi yang baik antar perajin maupun antar perajin dengan sesama warga, berkurangnya masalah-masalah sosial karena masyarakat sudah sibuk dengan pekerjannya masing-masing. Selain itu dapat mengurangi urbanisasi karena sudah ada lapangan pekerjaan di desa sehingga masyarakat tidak lagi ke kota untuk mencari pekerjaan.

  • c.    Implikasi Budaya

Implikasi pengembangan gerabah di bidang budaya adalah revitalisasi budaya. Pengembangan gerabah yang dilakukan oleh kelompok perajin merupakan revitalisasi budaya nenek moyang dengan tujuan agar tidak punah. Dengan merevitalisasi budaya dapat memberi keuntungan bagi para perajin karena dapat meningkatkan pendapatan. Merevitalisasi budaya dengan menggiatkan kembali pembuatan gerabah merupakan salah satu cara masyarakat perajin untuk menjaga kelestarian budaya dengan mempertahankan warisan budaya nenek moyang yaitu kerajinan gerabah (Sundari & Nainggolan, 2017).

  • d.    Implikasi Religi

Implikasi pengembangan gerabah di bidang religi adalah penggunaan gerabah sebagai wadah penyimpanan air suci atau air berkat yang diletakkan di kapela tempat ibadah umat katolik Compang Desa Golo Kempo. Air suci adalah air

yang telah diberkati oleh seorang Imam atau Pastor yang digunakan untuk pembaptisan, pentahbisan atau untuk pemberkatan orang, tempat atau benda. Masyarakat Compang menggunakan Gentong sebagai wadah penyimpan air suci yang kemudian bisa diambil oleh masyarakat untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.

SIMPULAN

Gerabah merupakan kerajinan masyarakat karena dibuat oleh masyarakat itu sendiri dan bukan buatan mesin. Adapun alasan perajin mengembangkan gerabah sebagai ekonomi kreatif berbasis budaya adalah untuk mempertahankan budaya nenek moyang ksarena nenek moyang masyarakat Compang juga membuat gerabah. Selain itu dengan mengembangkan gerabah sebagai ekonomi kreatif berbasis budaya dapat mensejahterakan ekonomi masyarakat perajin.

Implikasi pengembangan gerabah sebagai ekonomi kreatif berbasis budaya bagi masyarakat. Dari segi ekonomi, dapat meningkatkan pendapatan keluarga perajin, terciptanya lapangan kerja berbasis kearifan lokal, mengurangi angka pengangguran sehingga tingkat kemiskinan di pedesaan berkurang. Dari segi sosial, masyarakat mencintai produk lokal sehingga dalam keseharian masyarakat juga menggunakan produk gerabah, tetap terjaganya komunikasi yang baik antar perajin maupun perajin dengan sesama warga, mengurangi masalah-masalah sosial dan urbanisasi. Dari segi budaya, revitalisasi budaya untuk mempertahankan warisan budaya nenek moyang, sedangkan dari segi religi yaitu penggunaan produk lokal seperti gentong untuk menyimpan air suci.

Dari simpulan di atas dapat diberikan rekomendasi bagi para peneliti lainnya untuk penelitian berikutnya. Peneliti

selanjutnya diharapkan untuk mengkaji lebih banyak sumber atau referensi yang terkait dengan gerabah.

REFERENSI

Adiputra, Komang., Sudiarna, I. N., & Mudra, I Wayan. (2018). Inovasi Kerajinan  Gerabah  I Wayan

Kuturan Di Desa Pejaten Kecamatan Kediri   Kabupaten

Tabanan Provinsi Bali. Jurnal Seni Rupa dan Desain. 2(22).

Alfazri., Selian, R. S., & Zuriana, Cut. (2016). Kerajinan Gerabah Di Desa Ateuk     Jawo     Kecamatan

Baiturrahman Kota Banda Aceh. Jurnal    Ilmiah    Mahasiswa

Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik. 3(1).

Egayanti, Aris., Sukidin., & Ani, H. M. (2017). Perilaku Kewirausahaan Pengrajin Gerabah Di Kecamatan Besuk Kabupaten Probolinggo. Jurnal Pendidikan Ekonomi. 2(11).

Haqqi, Hibatul., Baiquni,   M.,   &

Purwohandoyo, Joni. (2016). Strategi Penghidupan Pengrajin Gerabah Di Dusun Klipoh Desa Wisata Karanganyar Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang. Jurnal Bumi Indonesia. 4(5).

Indriastuti, Miftah. (2012). Analisis Faktor     Risiko     Gangguan

Muskuloskeletal Dengan Metode Quick Exposure Checklist (QEC) Pada Perajin Gerabah Di Kasongan Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2(1).

Khoiriyah, Ni’matul., & Sabardila, Atiqa. (2020). Strategi Keberadaan Di Era Modern Dalam Meningkatkan Nilai Jual Industri Kerajinan Gerabah Di

Desa Karungan. Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Kewirausahaan. 1(3).

Khoirinnisa, Nurliza., & Lodra, I. N. (2015). Keramik Gerabah Karya Ponimin Tahun 2011. Jurnal Pendidikan Seni Rupa. 3(3).

Mudra, I Wayan., & Sunarini, N. M. R. (2015). Fenomena Reproduksi Kerajinan Gerabah Serang Banten Di Bali. Jurnal Segara Widya. 1(3).

Putra, H. A. S., & Arif, Muchlis. (2020). Gerabah Di Kelurahan Karang Tuban Tergerus Oleh Budaya Global. Jurnal Seni Rupa. 3(8).

Purwasih, J. H. G., Wijaya, Mahendra., & Kartono, D. T. (2019). Strategi Bertahan Hidup Perajin Gerabah Tradisional. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. 2(21).

Pratiwi, Rahayu. (2019). Sentra Kerajinan Gerabah Di Malang. Jurnal Seni Rupa Warna. 1(7).

Sholichah, Arma’atus., & Ratyaningrum, Fera. (2015). Pengembangan Desain Gerabah Di Desa Ngadirejo Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban. Jurnal Pendidikan Seni Rupa. 3(3).

Sundari, Jenie., & Nainggolan, E. R. (2017). E-Marketplace Desa Gerabah Untuk Pengrajin Di Desa Bumi Jaya Serang Banten. Jurnal Industrial Servicess. 1(3).

Ulfah, Maria. (2020). Indentifikasi Dan Pengelolaan Risiko Rantai Pasok Sentra Produksi Kerajinan Gerabah Desa Bumijaya Dengan Metode House Of Risk. Jurnal Industrial Servicess. 2(5).

Vibriyanti, Deshinta. (2015). Peran Kaum Perempuan Dalam Industri Kerajinan Gerabah Di Desa Banyumulek Lombok Barat Nusa Tenggara      Barat.      Jurnal

Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. 2(17).