PERSPEKTIF HUKUM TERHADAP KORBAN TEWAS TENGGELAM AKIBAT KEALPAAN

Ngurah Bima Nugraha Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i08.p08

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan delik kealpaan (culpa) terhadap pelaku dibawah umur (minderjarig) dalam kasus korban tewas tenggelam di kolam renang dan untuk mengetahui tanggung jawab dari pemilik kolam renang sebagai pihak yang menyewakan kolam renang jika dikaitkan dengan hukum kepariwisataan. Metode yang digunakan yaitu penelitian hukum empiris dengan teknik wawancara serta konseptual. Hasil studi ini menunjukan bahwa pengaturan culpa dapat dijumpai pada Pasal 359 KUHP, namun apabila pelaku kealpaan masih berusia dibawah umur maka berlaku ketentuan pasal 20 UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan anak. Proses hukum sistem peradilan pidana anak diatur pada pasal 71 UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Tanggung jawab pengelola objek wisata apabila terjadi kecelakaan karena kesengajaan dalam hal pembangunan objek wisata yang berpengaruh kepada keamanan tempat wisata, maka pengelola objek wisata dapat digugat berdasarkan tindak pidana (onrechtmatige daad) hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kata Kunci: Culpa, Korban Tewas Tenggelam, Pencegahan

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the regulation of negligence offenses (culpa) against underage perpetrators (minderjarig) in the case of victims drowning in swimming pools and to determine the responsibility of swimming pool owners as pool tenants if it is associated with tourism law. The method used is empirical legal research with interview and conceptual techniques. The results of this study indicate that the regulation of culpa can be found in Article 359 of the Criminal Code, but if the perpetrator of negligence is still a minor, then the provisions of Article 20 of Law no. 11 of 2012 concerning the Juvenile Justice System. The legal process of the juvenile criminal justice system is regulated in Article 71 of Law no. 11 of 2012 concerning the Juvenile Justice System. The responsibility of the tourist attraction manager in the event of an accident due to intentional in terms of the construction of a tourist attraction that affects the safety of a tourist attraction, the manager of the tourist attraction can be sued based on a criminal act (onrechtmatige daad) this is regulated in the provisions of Article 1365 of the Civil Code.

Key Words: Culpa, Drowning, Prevention

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Kasus korban tewas tenggelam merupakan suatu hal yang sering terjadi sebagai suatu bentuk kecelakaan, maraknya kasus korban tewas tenggelam seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah untuk melengkapi prosedur keamanan destinasi wisata utamanya kolam renang, menurut data badan kesehatan dunia (WHO) dalam laporannya ditahun 2016 menyebutkan bahwa “ in 2016, has expected 322,000 individuals passed on from suffocating making suffocating a significant general medical issue around the world” “pada tahun 2016, diperkirakan 322.000 orang meninggal karena tenggelam dan tenggelam merupakan masalah medis umum yang signifikan di seluruh dunia” disetiap tahun terjadi 322 ribu kasus korban tewas tenggelam akibat dari tenggelam (drowning) diseluruh dunia, menurut kajian studi mengenai kasus tenggelam dimana yang pertama kali di publish oleh WHO pada tahun 2014, menunjukan bahwa 90% korban tewas akibat tenggelam berasal dari beberapa negara miskin atau belum berkembang sementara di Asia Tenggara, tingkat angka kematian akibat dari kasus tenggelam lebih banyak dan cenderung berkisar anak dengan umur di bawah 10 tahun yang tercebur ke dalam air di sekitar pemukimannya. Sesuai data analisis penelitian yang termuat tahun 2010 dalam World Tourism Organization (WTO) menunjukan bahwasanya terdapat 940 juta destinasi wisata internasional dan telah diperediksi adanya kemungkinan penambahan hingga 1,4 milyar saat tahun 2020 perbandingan dengan tahun 2030 yang menunjukan 1,8 miliar destinasi wisata internasional.1

Sebagai tempat wisata tentunya pemilik usaha harus mempunyai kewajiban untuk melayani para pengunjung sehingga para pengunjung destinasi wisata merasakan suasana tentram nyaman dan bahagia, menurut WTO (1999:5) “ tourismactivities of persons traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purpose” “pariwisata merupakan kegiatan wisatawan bepergian ke dan tinggal di tempat-tempat di luar lingkungan mereka selama tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk liburan, bisnis dan tujuan lain”. Pengertian pariwisata dapat didefinisikan dengan suatu aktifitas seseorang dimana melakukan suatu kegaiatan seorang atau bersama-sama dalam keadaan bersuka cita, membangun bisnis atau aktifitas lainnya, dalam rentan durasi tidak melebihi satu tahun dalam waktu yang berulang. Mengutip pada Pasal 20 (c) UU no 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dinyatakan bahwasanya setiap wisatawan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan. Dalam Pasal 1 (7) UU no 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Kolam renang sebagai objek kecelakaan terjadi juga seyogyanya harus melengkapi alat pertolongan pertama bagi korban tenggelam dan lifeguard sesuai dengan Peraturan Menteri (PERMEN) Pariwisata Republik Indonesia no 16 tahun 2015 tentang Standar Usaha Gelanggang Renang pada aspek pelayanan unsur Pelaksanaan Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure) dijelaskan bahwa harus disediakannya Penyiapan pengawas

kolam renang (life guard), Keselamatan dan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K), dan Penanganan keluh kesah setiap pengunjung. Jika kita telaah apabila pemerintah dalam hal yuridis tidak bisa/mampu memenuhi agar para wisatawan terlindungi dengan menjaminkannya sebuah rasa terjaga, nyaman, aman dan tentram, niscaya indeks perjalanan pariwisata terhadap terhadap negara tersebut akan menurun dan akan mempengaruhi jumlah pendapatan perkapita dari penduduk disekitar wilayah itu sendiri yang menjadikan pariwisata sebagai mata pencaharian mereka.2

Pada penelitian ini penulis mengkaji sebuah kasus korban tewas tenggelam yang terjadi pada bulan november disebuah villa yang berada di Kabupaten Buleleng. Dimana bermula pada jam 10.00 WITA korban yakni, KDJ (8 tahun) menuju pergi berwisata bersama kakaknya PDK (17 tahun) beserta rekannya yakni KV (17 tahun) dan GAK (17 tahun) dengan pergi kesebuah kolam renang ke Villa yang bertempat di Kabupaten Buleleng. Sesampainya ditempat tujuan mereka membayar biaya kontribusi sebesar 35.000, selain berenang mereka merencanakan untuk berwisata sembari menikmati moment dengan berfoto dan membuat video, setelah membayar kontribusi, KDJ (korban) langsung bermain air dipinggir kolam renang sembari diawasi oleh kakak korban, karena dirasa aman kakak korban dan rekannya meninggalkan korban sendiri di pinggir kolam untuk mengabadikan moment dengan berfoto dan membuat video dengan jarak sekitar 5 meter dari korban terkahir berdiri. Selang 15 menit kemudian kakak korban beserta rekannya tidak melihat korban berada di sekitar kolam renang, dilanjutkan mencari korban disekitar kolam hingga akhirnya PDK (kakak korban) menemukan adiknya berada didasar kolam renang yang dalamnya setinggi dada orang dewasa tanpa pergerakan sedikitpun, korban tenggelam akhirnya langsung dievakuasi dan dibawa ke salah satu Puskesmas yang berlokasi di Kabupaten Buleleng mencari bantuan medis, tetapi sayangnya tidak dapat menyelamatkan nyawa korban. Korban, KDJ dinyatakan murni tenggelam dengan keadaan mulut berbuih, kondisi badan kaku, berdasarkan hasil olah TKP diduga korban tewas akibat murni tenggelam. Melalui kasus ini keluarga korban menerima kejadian tersebut dengan iklash dan tidak melanjutkan proses hukum. Umumnya masalah medis terhadap sebuah kecelakaan tenggelam akan berhubungan langsung pada bagian sistem respirasi dan kardiovaskuler dimana dalam proses penyelamatan pertama membutuhkan alat bantu pernafasan baik dari alat medis maupun bantuan nafas buatan agar nantinya sistem pernafasan korban dapat kembali dan sirkulasi respirasi nafas normal kembali untuk mencegah terjadinya kekurangan oksigen. Pada pelaksanaannya penanganan keselamatan pertama pada korban tenggelam umumnya adalah mengecek pada bagian pernafasan korban, baik dari hidung atau mulut lalu memeriksa apakah denyut nadi korban masih berfungsi dan selanjutnya berusaha menepuk bagian dada dan wajah korban dengan harapan korban dapat sadar. Pada korban tenggelam, sangat diperlukan resusitas kardiopulmoner karena sebagai akibatnya tenggelam dapat mengakibatkan korban mengalami henti nafas yang berpola seperti biasanya. Biasanya yang terjadi pada korban tenggelam akan mengalami hipoksemia dalam beberapa jam dan sistem saraf pusat akan kekurangan oksigen hingga terjadi serangan jantung, dan jika tidak segera

diberikan pertolongan maka akan mengakibatkan kematian dalam waktu 24 jam setelah kejadian.3

Urgensi penulisan ini ialah untuk mengetahui, memahami, dan memberi perhatian pencegahan/preventive bagi masyarakat dan pemilik usaha kolam renang untuk selalu menjaga pengawasan keselamatan satu dengan yang lain dan mengantisipasi terjadinya suatu hal yang bisa memicu terjadinya tindak pidana yang tidak disengaja/culpa yang dapat berujung pada permasalahan hukum.

Pada kajian ini penulis memuat state of art dari beberapa sumber kajian jurnal dimana salah satunya penulis mengkaji jurnal dari Seva Maya Sari, dalam kajiannya yang berjudul “Delik Culpa dalam Kajian Fiqh Jinayah (Analisis terhadap Pasal 359 KUHP tentang Kealpaan yang Mengakibatkan Matinya Orang)”4 dimana pada jurnal tersebut pada rumusan masalah penulis lebih berfokus pada pengaturan delik culpa dalam pengaturannya pada peraturan perundang-undangan, sedangkan pada kajian yang telah disusun ini penulis mengkaji kasus delik kealpaan yang terjadi di masyarakat dan membahasnya. Dan juga kajian dari Friwina Magnesia Surbakti dengan judul kajian yakni “Penerapan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan Application of the Law against Children as a Violent Crime5 dimana pada kajian tersebut penulis membahas mengenai penerapan hukum anak pada kasus pencurian dan kekerasan dan analisa putusan hukuman, sedangkan pada kajian yang telah disusun ini penulis membahas mengenai penerapan hukum anak pada kasus kealpaan dan tanggung jawab dari pemilik tempat usaha. Penulis menginginkan pembaharuan ilmu hukum terhadap suatu kasus yang terjadi di masyarakat sebagai fenomena sosial, penulispun mengkaji kasus “PERSPEKTIF HUKUM TERHADAP KORBAN TEWAS TENGGELAM KEALPAAN”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Sesuai latar belakang yang telah dimuat dan tersusun di atas, pertanyaan-pertanyaan berikut dapat diajukan yakni:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan delik kealpaan (culpa) terhadap pelaku dibawah umur (minderjarig) dalam kasus korban tewas tenggelam di kolam renang?

  • 2.    Bagaimana tanggung jawab dari pemilik kolam renang sebagai pihak yang menyewakan kolam renang jika dikaitkan dengan hukum kepariwisataan?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaturan delik kealpaan (culpa) terhadap pelaku dibawah umur (minderjarig) dalam kasus korban tewas tenggelam di kolam renang dan untuk mengetahui tanggung jawab dari pemilik kolam renang sebagai pihak yang menyewakans kolam renang jika dikaitkan dengan hukum kepariwisataan.

  • 2.     Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini yakni penelitian hukum empiris, dimana pada pengkajian penelitiann ini melihat dari sudut pandang fenomena social yang terjadi di masyarakat dan menggunakan pendekatan kuantitatif dan struktural. Sumber data yang diperoleh dari penyusunan artikel ini antara lain sumber data primer dan juga sumber data sekunder, dimana sumber data utama diperoleh melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait. Sepanjang penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, dan pendekatan kasus.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan delik kealpaan (culpa) terhadap pelaku dibawah umur (minderjarig) dalam kasus korban tewas tenggelam di kolam renang

Dalam hukum, delik atau het strafbare feit telah diterjemahkan oleh para sarjana dan juga telah digunakan dalam berbagai perumusan undang-undang dengan berbagai istilah Bahasa indonesia sebagai perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana. Perbuatan tersebut itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan tercapainya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.

Pada pengaturannya delik atau tindak pidana dalam hukum pidana dibagi menjadi beberapa bagian/macam, yakni :

  • a.    Delik Kejahatan (Misdrijiven) dan Delik Pelanggaran (Overtredingen)

  • b.    Delik Formil (formeel Delict) dan Delik Materil (Materiil Delict)

  • c.    Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kealpaan (culpa)

  • d.    Delik Aduan (Klacht Delicten) dan Delik Umum (Gewone Delicten)

  • e.    Delik Umum (Delicta Commuia) dan Delik Khusus (Delicta Propria)

  • f.    Delik Commisions, Ommisionis dan Commisionis per Ommisionem Commissa g. Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

  • h.    Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran

  • i.    Delik Biasa dan Delik Berkualifikas

Dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa kakak korban yakni PDK (17 tahun) melakukan delik kealpaan/culpa yang menyebabkan tenggelamnya KDJ (8 tahun) sebagai akibat dari kurangnya pengawasan dari kakak korban sendiri. Menurut Wirjono Prodjodikoro didalam cetakan bukunya yang telah diterbitkan, yakni Asas-asas hukum pidana Indonesia menjelaskan bahwasanya kealpaan/culpa didefinisikan sebagai kesalahan-kesalahan yang sering terjadi (awam) dan bukan suatu hal yang baru,6 disisi lain dalam yuridis memiliki definisi yang jauh lebih mendasar, yakni sebuah perbuatan tercela yang dilakukan pelanggar aturan itu sendiri tetapi tidaklah lebih berat dari dolus/kesengajaan, yakni tidak sengaja dan kurang hati-hati dari pelaku tindak pidana itu sendiri. Suatu Kesalahan dapat didefinisikan sebagai elemen subjektif kedua dalam menentukan apakah seseorang bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, kesalahan tersebut meliputi penindasan atau

perkelahian yang disengaja opzet/dolus dan niat atau intention.7 Seperti kita ketaui bersama bahwa Culpa atau kealpaan dapat mendapat ancaman atau dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana, walau dalam kategori tidak lebih berat, tentunya akan memiliki perbedaan halnya jika dibandingkan dengan kesengajaan/dolus dimana memiliki prinsip “menentang larangan justru dengan melakukan suatu perbuatan yang dilarang”. Pada contoh kasus ini pelaku “tidak begitu mengindahkan adanya suatu larangan”.

Suatu perbuatan delik culpa dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni culpa levissima dengan culpa lata, pengertian dari culpa levissima dapat diartikan sebagai suatu kealpaan yang tergolong ringan/tidak berat sedangkan culpa lata digolongkan sebagai culpa sebagai tindakan berat.8 D. simons menguraikan bahwa kealpaa/culpa adalah suatu tindakan yang kurang memperhatikan kehati-hatian seseorang dan sering perduga-duga pelaku tersebut.9 Soedarto pun memberikan pendapatnya mengenai pengaturan culpa, ia menyatakan bahwa seseorang yang telah dijatuhkan pidana sebagai akibat culpa tidaklah relevan karena seseorang yang berstatus pelaku tersebut tidak melakukan perbuatannya dengan sengaja.10

Pada kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pengaturan culpa dapat dalam Pasal 359 yang menyebutkan “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”

Simons memaparkan hal-hal syarat dalam kealpaan/culpa, yakni:

  • a.    Kurangnya rasa memperhatikan satu sama lain (het gemis van voorzichtigheid)

  • b.    Kurang pola pikir preventive atau pencegahan dini (het gemis van de voorzichtigheid van het gevolg)

Van Hamel pun memaparkan beberapa hal syarat terjadinya kealpaan/culpa, yakni:

  • a.    Kurang memiperkirakan sesuatu hal yang mungkin terjadi (het gemis van de nodige voorzienigheid)

  • b.    Kurangnya sikap mencegah erhadap suatu hal (het gemis van nodige voorzienigheid)

Dalam permasalahan kasus ini pelaku kealpaan/culpa adalah kakak korban sendiri yakni PDK yang masih berumur 17 tahun, pengaturan hukum terhadap batas usia pertanggung jawaban anak menurut pandangan hukum membatasi beberapa batasan usia anak cakap hukum, yakni: Proses melindungi anak merupakan berbagai upaya untuk membuat suatu suasana yang dapat membuat para anak bisa menjalankan hak atau kewajiban di alam, tubuh, psikologi, dan masyarakat untuk mendorong tumbuh kembang anak. Suatu proses perlindungan anak adalah

representasi dari suatu rasa keadilan sosial, oleh karena itu perlindungan anak diupayakan di segala bidang kehidupan berbangsa dan sosial. 11 Berbagai tindak pidana yang melibatkan anak yang harus tunduk pada hukum merupakan persoalan praktis dan faktual yang merupakan gejala masyarakat dan kejahatan, yang telah menjadi perhatian para orang tua, khususnya masyarakat, masyarakat pada umumnya, dan aparat penegak hukum.12 Maraknya kasus hukum penyiksaan anak di Indonesia tidak berarti sama dengan orang dewasa yang sudah punya alasan dan pengalaman. Ironi anak lebih disebabkan oleh lingkungan sosial, kegagalan keluarga dan negara dalam memenuhi hak-haknya.13 Pada umumnya tindak pidana anak meliputi beberapa tindakan yakni melanggar lalu lintas, penggunaan narkotika, perkelahaian, dan pelecehan seksual terhadap wanita.14 Fenomena ini bermunculan akhir-akhir ini dari remaja-remaja pelajar di Indonesia yang biasanya bermula dari hal-hal kecil yang melenceng dan menyalahi aturan sekolah contohnya membolos dan tawuran antar sekolah.15 Ketentuan dalam KUHP belum diatur secara tegas mengenai batas usia pertanggung jawaban tindak pidana anak, dan karena historis KUHP tergolong lama sederhana dan berpacu pada Mempertanyakan teori balas dendam dalam balas dendam atas kejahatan anak, maka pasal-pasal dalam KUHP dimana memuat mengenai proses hukum anak tercantum dalam pasal 45, 46, dan 47 akan dialihkan dengan pengaturan yuridis yang lebih berfokus pada peradilan pidana anak, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Undang-undang No 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada pasal 1 (3) dijelaskan bahwa ‘’Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” perlu dipahami bahwasanya terdapat faktor-faktor historis dalam penetapan undang-undang tersebut, yakni:

  • 1.    Ditinjau dari segi psikologis, masa remaja masih merupakan masa kritis bagi perkembangan anak dan masih rentan bagi kehidupan sosialnya

  • 2.    Metode restoratif dan dapat dialihkan yang berlaku untuk hukum pidana anak

  • 3.    Menjauhi suatu doktrin bagi anak yang berurusan dengan hukum

  • 4.    Begitu berusia 14 tahun maka anak tersebut dapat merasakan suatu kebebasan dan haknya. Oleh karena itu, anak berusia dua belas tahun itu memang dieksekusi tetapi tidak dapat dirampas kebebasannya sebagai hukuman

  • 5.    Sebuah perkawinan hendaknya bukan menjadi alasan untuk mengubah status seseorang yang pada dasarnya masih anak-anak, yang disebut anak, tetapi harus dibatasi hanya oleh waktu, bukan oleh status perkawinan.

Dikarenakan PDK masih berusia 17 tahun dan masih dinyatakan anak dibawah umur maka jika dilanjutkan dalam proses hukum akan mengikuti prosedur Sistem Peradilan Pidana Anak, sesuai dengam Pasal 20 Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak menyebutkan “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak.” Sesuai dengan pasal 71 Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan mengenai bagian Pidana yang dapat dijatuhkan, yakni

  • 1.    Penjatuhan pemidanaan pokok pada pelaku anak yakni:

  • a.    Surat peringatan Dijatuhkan pidana dengan melakukan pembimbingan atau konseling diri dilembaga pelayanan masyarakat

  • b.    Praktik pra kinerja

  • 2.    Penambahan pemidanaan yakni:

  • a.    Mengambil laba dari kejahatan

  • b.    Melaksanakan sanksi dari hukum kemasyarakatan

  • 3.    Jika hukuman kumulatif harus dijatuhkan dalam bentuk penjara dan denda dalam materi hukum, pelatihan kejuruan harus digunakan sebagai pengganti hukuman.

  • 4.    Melarang kejahatan terhadap anak yang melanggar jati diri anak.

Pada Pasal 82 Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan mengenai bagian tindakan, yakni:

  • 1.    Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan pada anak termasuk:

  • a.    Pemanggilan orangtua

  • b.    Dikembalikan dan dididik kembali

  • c.    Bimbingan sikologis kepada psikolog

  • d.    Melakukan pembelajaran dilembaga masyarakat

  • e.    Keikutsertaan pada pelatihan prakerja

  • 2.    Jangka waktu berlakunya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf d, huruf e, dan huruf f pada ayat (1) paling lama satu tahun (satu tahun).

Seorang anak dibawah umur berhak untuk mendapatkan suatu perlindungan atau bantuan hukum, Bantuan hukum adalah bentuk pemberian pertolongan kepada pelaku anak dalam bentuk pendampingan hukum. Seperti yang tertuang dalam Pasal 51, Pasal 52 Undang-Undang Peradilan Pidana Anak Sejak penangkapan atau penahanan, setiap anak berhak difasilitasi dengan bantuan hukum dari satu atau lebih ahli hukum. Memberikan bantuan hukum selama periode yang ditentukan dan pada setiap tahap pemeriksaan.16 Seperti dalam latar belakang kronologi telah dijelaskan pada bagaian latar belakang bahwasanya dalam kasus korban tewas tenggelam di Villa ini merupakan suatu unsur kelalaian/kealpaan/culpa yang dilakukan oleh kakak korban sendiri, PDK yang masih dibawah umur (17 tahun), dan keluarga korban menerima seluruh kejadian/musibah yang terjadi dengan iklash dan menggunakan

peristiwa ini sebagai pengala man agar suatu hari nanti tidak mengalami hal yang sama.

  • 3.2 Tanggung jawab dari pemilik kolam renang sebagai penyewa kolam renang jika dikaitkan dengan hukum kepariwisataan

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa kronologi tenggelamnya KDJ bermula ketika korban dan kakak korban ingin berwisata dengan menyewa kolam di sebuah Villa untuk mengabadikan moment foto dan video hingga terjadi suatu kecelakaan tenggelam dan hilangnya nyawa KDJ sebagai akibat dari kealpaan dan kelalaian dari kakak korban sendiri, lalu apakah pemilik kolam renang sebagai penyewa kolam renang mempunyai andil atau tanggung jawab dari hilangnya nyawa korban?

Dewasa ini perlindungan terhadap wisatawan atau pengunjung tempat wisata seyogyanya selaras dengan pengaturan yuridis di Indonesia, mengacu pada hak dan kewajiban yang dimiliki wisatawan dapat dikaitkan dan dikolerasikan dengan Hukum Kepariwisataan karena seorang pengunjung tempat wisata dapat mendapatkan suatu perlindungan hukum. Tentunya sebagai pengunjung dibidang Pariwisata pengunjung tempat wisata dapat berlindung dan mendapatkan haknya sesuai dengan perihal dalam Undang-undang Kepariwisataan. Tidaklah cukup jika pemerintah hanya fokus kepada keindahan pantai, pegunungan dan alam yang terdapat di Indonesia sedangkan tingkat keamanan akomodasi wisata yang harusnya menciptakan rasa aman, nyaman dan rasa terlindungi kurang dirasa cukup.

Undang-undang Kepariwisataan seharusnya bisa menjadi acuan utama dalam melaksanakan dan mengembangkan pariwisata di Indonesia. Menurut aspek historis diketahui bahwasanya Undang-undang Kepariwisataan dirancang dan disahkan pada tahun 1990, dimana disaat suatu keadaan baik dinasional ataupun internasional. Hampir seluruh pihak-pihak yang berpartisipasi dalam industri pariwisata di Indonesia menginginkan dengan adanya undang-undang pariwisata yang baru, pengaturan pariwisata Indonesia dapat dilaksanakan dalam kondisi sekarang sehingga tidak menjadi “lamban” ketika berurusan pada pengaturan pariwisata internasional.

Keamanan merupakan tanggung jawab pengusaha wisata yang diberikan kepada pengunjung wisata dalam Undang-undang No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan tertuang dipasal 24 ayat (a) dan (b):

Para wisatawan memiliki kewajiban :

  • a.    Tetap melindungi destinasi wisatanya

  • b.    Berusaha untuk membangun suasana tentram dengan berperilaku baik dan tentunya menjaga kebersihan

Serta dalam Pasal 25 ayat (c) dan (d) selengkapnya berbunyi:

Setiap wisatawan berkewajiban:

  • c.    Selalu memperhatikan ketentraman satu sama lain

  • d.    Dilarang melanggar suatu norma yang diterapkan

Sebenarnya penerapan pengayoman hukum yang diterapkan "UU Pariwisata " hanya beerfokus dalam hal melindungi dalam hal objek wisatanya saja. Permasalahan ini terlihat dari sanksi berat dalam Pasal 64 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum merusak objek wisata alam diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak. Rp10.000.000.000,00. Disisi lain pelanggaran hak wisatawan akan diterapkan sanksi

administratif saja antara lain peringatan tertulis, dibatasinya hal komersial, dan penghentian sementara komersial.17

Didalam praktiknya, apabila terjadi sebuah kecelakaan yang menimpa pengunjung wisata itu sendiri, jelas pengunjung memiliki hak untuk menggugat pemilik usaha wisata itu sendiri dengan alasan suatu perbuatan melanggar hukum. Atas dasar kewajibannya kepada pemilik tempat usaha wisata yang seharusnya menyajikan suatu perasaan aman, tentram dan bahagia untuk pengunjung pariwisata itu sendiri. Apabila suatu kecelakaan yang terjadi para pengunjung wisata tersebut terjadi karena kesengajaan pemilik usaha pariwisata dalam pembangunan keamanan dan objek wisata yang bermanfaat bagi wisatawan, maka pengelola objek wisata dapat digugat berdasarkan tindak pidana (onrechtmatige daad) tersirat dan tercermin pengaturan hukumnya pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Didalam pasal 26 ayat (d) menyebutkan mengenai foktor-faktor keamanan, yakni “setiap pengusaha pariwisata berkewajiban memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan”. Pada Pasal 20 (f) Undang-undang No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menyebutkan bahwa “perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.” Tapi pada kenyataannya pada kasus ini pemilik Villa tidak memenuhi tanggung jawabnya sesuai pengaturan pada Undang-undang yang berlaku. Setiap pengusaha wisata yang melanggar ketentuan pada pasal 26 yang mengatur mengenai kewajiban pengusaha wisata akan dikenai sanksi administrasi sesuai dengan pasal 63 UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menyebutkan:

  • 1.    Para pemilik usaha wisata yang telah melanggar Pasal 15 dan Pasal 26 akan mendapatkan hukuman administratif

  • 2.    Menerima sanksi dalam hal administrasi yakni peringatan atau pelarangan kegiatan wisata

  • 3.    Peringatan awak yang tercantum pada huruf a (2) dapat diberikan kepada pelaku usaha paling banyak sebanyak tiga kali.

  • 4.    Peringatan untuk melarang pelaksanaan usaha wisata diberlakukan apabila pemilik usaha telah melanggar aturan.

  • 5.    Peringatan penutupan tempat wisata jika tetap melanggar.

  • 4.    Kesimpulan

Pengaturan delik kealpaan (culpa) terhadap pelaku dibawah umur (minderjarig) dalam kasus korban tewas tenggelam di kolam renang diatur dalam Pasal 359 KUHP yang menyebutkan “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”, namun apabila pelaku kealpaan masih berusia dibawah umur maka berlaku ketentuan pasal 20 UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan anak.

Adapun tanggung jawab dari pemilik kolam renang sebagai pihak yang menyewakan kolam renang jika dikaitkan dengan hukum kepariwisataan yakni apabila terjadi kecelakaan karena kesengajaan dalam hal pembangunan objek wisata yang berpengaruh kepada keamanan tempat wisata, maka pengelola objek wisata dapat digugat berdasarkan tindak pidana (onrechtmatige daad) hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Bandung, Refika Aditama, 2010).

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2008).

Jurnal Ilmiah

Afifah, Wiwik dan Lessy, Gusrin. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.” Jurnal Magister Hukum Untag Surabaya 10, No. 20 (2014).

Arovah, Novia Intan. “Pemateri tema penanganan korban pasca tenggelam (Kondisi hening jantung dan napas) dalam kegiatan pelatihan korban paska tenggelam pada Life guard.Narasi kegiatan masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta, (2009).

Maya, Seva. “Delik Culpa Dalam Kajian Fiqh Jinayah (Analisis terhadap Pasal 359 KUHP tentang Kealpaan yang Mengakibatkan Matinya Orang).” Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 6, No. 2 (2020).

Magnesia, Friwana. “Penerapan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan Application of the Law against Children as a Violent Crime.” Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Medan Area 2, No. 1 (2019).

Muhaling, Aprianto. “Kelalaian Yang Menyebabkan Matinya Orang Menurut Undang-Undang Yang Berlaku.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, 8, No. 3 (2019).

Nugroho, Okky Chahyo. “Peran Balai Pemasyarakatan Pada Sistem Peradilan Pidana Anak Di Tinjau Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (The Role of Balai Pemasyarakatan on Juvenile Justice System Reviewed from Human Rights Perspective).” Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI 8, No. 2 (2017).

Oktafiarni, Firya “Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.” Wajah Hukum Universitas Batanghari 2, No. 2 (2018).

Rachmat, Azwad. “Penerapan Diversi Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Diversions for Children in Conflict with The Laws in The Criminal Justice System).” Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia 13, No. 1 (2019).

Rais, Moh Ikhwan. “Tinjauan Hukum Delik Pembunuhan, Delik Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian Dan Delik Kealpaan Menyebabkan Kematian.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tompotika Luwuk 1, No. 1 (2017).

Sari, Seva Maya, and Toguan Rambe. "Delik Culpa dalam Kajian Fiqh Jinayah (Analisis terhadap Pasal 359 KUHP tentang Kealpaan yang Mengakibatkan Matinya Orang)." Tazkir: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman 6, no. 2 (2020).

Sarsiti, dan Taufik, Muhammad. “Penerapan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Yang Mengalami Kerugian Di Obyek wisata (Studi Di Kabupaten Purbalingga).” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 12, No. 1 (2012).

Sengi, Ernest. “Konsep Culpa Dalam Perkara Pidana Suatu Analisis Perbandingan Putusan Nomor 18/Pid.B/2017/PN.TOBELO.” Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Universitas Tarumanegara, 17, No. 2 (2019).

Sosiawan, Mangun Ulang. “Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (Perspective of Restorative Justice as a Children Protection Against The Law).” Jurnal Penelitian Hukum DE JURE 16, No. 4 (2016).

Surbakti, Friwina Magnesia, and Rizkan Zulyadi. "Penerapan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan." Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS) 2, no. 1 (2019).

Usaputro, Rizky dan Yulianti, Kunthi. “Karakteristik serta resiko kematian akibat tenggelam berdasarkan data bagian ilmu kedokteran forensic Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah 2010-2012.” Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, (2019).

Peraturan Perundang-undangan

Pemerintah Indonesia. 2009. UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataa. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11. Jakarta : Sekretriat Negara.

Pemerintah Indonesia. 2012. Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153 52 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332. Jakarta : Sekretriat Negara.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.8 Tahun 2021, hlm. 654-665