Membongkar Fungsi Makanan Terkait Ritual Keagamaan dalam Sanggring Gumeno: Suatu Analisis Antropologi Kuliner
on
DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2021.v5.i01.p03
p-ISSN: 2528-4517
Membongkar Fungsi Makanan Terkait Ritual Keagamaan dalam Sanggring Gumeno: Suatu Analisis Antropologi Kuliner
Mega Rizqianah *, Aliffiati, A.A. Ayu Murniasih
Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [[email protected]], [[email protected]], [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia
*Corresponding Author
Abstract
Food and culture are closely related. Food is not only about eating processed food but has complex symbolic values. Sanggring Gumeno is a culinary tradition related to religion which is held every night of 23 Ramadan in Gumeno Gresik Village, East Java. Sanggring Gumeno is a food cooking activity called chicken compote to be served when breaking fast together. Chicken compote is believed to be a medicine, because it refers to the illness experienced by Sunan Dalem (Sunan Giri's first son) when broadcasting Islam in Java, especially in Gumeno Village. In addition, chicken compote contains the complexity of symbolic values in it. The theory used in this research is the food function theory from Foster and Anderson. This theory is useful for investigating and unraveling the symbolic values of Sanggring Gumeno. Foster and Anderson suggest that symbolically food can take the form of at least four expressions, namely (a) social ties, (b) group solidarity, (c) food and mental tension, and (d) food symbolism in language. The method used in this study is a qualitative method with observation and interview data collection techniques. Data analysis used interpretive descriptive analysis. The results showed that Sanggring Gumeno symbolically represented the religious attitude of the religious community. Through Sanggring Gumeno, the people of Gresik in general and the people of Gumeno Village in particular take advantage of this historic moment to tie ties (ukhuwah islamiyah). Sanggring's function related to religious rituals is found in the existence of social ties (family gatherings), group solidarity (mutual cooperation), and mental tension (feelings of belonging).
Keywords: sanggring gumeno, religious rituals, culinary anthropology
Abstrak
Makanan dan kebudayaan memiliki kaitan erat. Makanan tidak hanya soal kegiatan santap-menyantap olahan makanan tetapi menyimpan nilai-nilai simbolik yang kompleks. Sanggring Gumeno merupakan tradisi kuliner terkait keagamaan yang dilaksanakan tiap malam 23 Ramadan di Desa Gumeno Gresik Jawa Timur. Sanggring Gumeno merupakan kegiatan memasak makanan bernama kolak ayam untuk dihidangkan ketika buka bersama. Makanan kolak ayam diyakini sebagai obat, sebab merujuk pada peristiwa sakit yang dialami oleh Sunan Dalem (putra pertama Sunan Giri) ketika menyiarkan Islam di Jawa khususnya di Desa Gumeno. Selain itu, kolak ayam menyimpan kompleksitas nilai-nilai simbolik didalamnya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fungsi makanan dari dari Foster dan Anderson. Teori tersebut berguna untuk menelisik serta membongkar nilai-nilai simbolik terhadap Sanggring Gumeno. Foster dan Anderson mengemukakan bahwa secara simbolis makanan sedikitnya dapat berupa empat ungkapan, yakni (a) ikatan sosial, (b) solidaritas kelompok, (c) makanan dan ketegangan jiwa, dan (d) simbolisme makanan dalam bahasa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah Metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara. Analisis data menggunakan análisis diskriptif
Sunari Penjor: Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan Sanggring Gumeno secara simbolis merepresentasikan sikap keberagamaan masyarakat yang agamis. Melalui Sanggring Gumeno masyarakat Gresik pada umumnya dan masyarakat Desa Gumeno pada khususnya memanfaatkan momen bersejarah tersebut untuk merekatkan tali silaturahmi (ukhuwah islamiyah). Fungsi Sanggring terkait ritual keagamaan ditemukan dari adanya ikatan sosial (pertemuan keluarga), solidaritas kelompok (gotong royong), dan ketegangan jiwa (perasaan saling memiliki).
Kata kunci: sanggring gumeno, ritual keagamaan, antropologi kuliner
PENDAHULUAN
Makanan tidak hanya sebatas mencukupi kebutuhan manusia akan makan, tetapi makanan dapat mencerminkan identitas budaya. Dapat dikatakan bahwa, makanan adalah fenomena budaya. Pada tiap makanan senantiasa menyiratkan simbol-simbol budaya, baik dari segi proses pemerolehan bahan, cara makan, penyajian, hingga aspek-aspek eksternal yang membentuk makanan tersebut. Foster dan Anderson (dalam Danandjaja, 1994) menyatakan bahwa kebudayaan adalah yang menentukan suatu itu merupakan makanan atau bukan. Lebih lanjut Danandjaja dalam bukunya berjudul Folklor Indonesia (1994) memberikan penjabaran mengenai makanan dalam kaitannya dengan kebudayaan yang dikategorikan dalam empat hal, yakni konsep makanan, cara memperoleh makanan, cara pengolahan makanan, dan fungsi makanan. Kaitan antara makanan dan kebudayaan telah mendapat perhatian dari para antropolog, terbukti dengan adanya pelbagai tulisan yang secara masif mengupas ihwal keberadaan makanan yang disandingkan dengan eksitensi budaya tertentu. Foster dan Anderson (dalam Danandjaja, 1994) mengatakan bahwa secara simbolis makanan sedikitnya dapat berupa empat ungkapan, yakni (a) ikatan sosial, (b) solidaritas kelompok, (c) makanan dan ketegangan jiwa, dan (d) simbolisme makanan dalam bahasa. Hal ini mencerminkan posisi sentral dari
makanan dalam rangka memperkokoh tingkat kredibilitas suatu kebudayaan.
Indonesia sebagai negara multikultur, pastinya memiliki kekayaan makanan khas tiap daerahnya. Peristiwa makan bersama di dalam komunitas mengubah aspek egoistik manusia ke dalam solidaritas dan kesediaan untuk berbagi sebagai saudara (Setiawan, 2016). Beragamnya makanan dengan cita rasa khas tiap resepnya, memiliki daya tarik tersendiri bagi konsumen. Selain sebagai daya tarik, makanan tradisional juga mencerminkan aspek-aspek budaya daerah asal makanan tersebut. Salah satu makanan tradisional yang mencerminkan fenomena di atas adalah Sanggring Gumeno. Sanggring Gumeno merupakan tradisi kuliner yang dilaksanakan setiap malam 23 Ramadan di Desa Gumeno. Desa Gumeno adalah sebuah wilayah (desa) yang berada di Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik Jawa Timur. Desa Gumeno merupakan tempat penyebaran Islam pada masa Sunan Dalem (putra pertama Sunan Giri).
Terkenalnya Gresik sebagai kota wali tidak terlepas dari maraknya penyiar Islam di Gresik, salah satunya di Desa Gumeno. Peristiwa dakwah Sunan Dalem di Desa Gumeno tampaknya memberikan wujud konkret berupa hasil kebudayaan yang bernama Sanggring Gumeno. Secara historis, Sanggring Gumeno bermula dari peristiwa dakwah yang dilakukan oleh Sunan Dalem. Sunan Dalem (putra pertama Sunan Giri) melakukan dakwah di Desa Gumeno sekitar abad ke-15. Dalam perjalanan
dakwahnya, ia jatuh sakit. Sakit yang tidak kunjung sembuh, membuat para santrinya khawatir. Berbagai obat sudah dikonsumsi, kemudian pada malam ke-22 Ramadan, Sunan Dalem bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia mendapatkan petunjuk tentang obat penyakitnya, yakni ia harus memakan sebuah makanan dengan syarat utamanya ayam jago berusia muda. Sunan Dalem lantas mengutus para lelaki (santri) untuk mempersiapkan bumbu-bumbu masakannya, yakni daun bawang, gula jawa, jintan, dan santan kelapa. Sementara itu, santri lainnya mencarikan ayam jago muda.
Sanggring Gumeno menjadi unik sebab tiga hal. Pertama, bahan dasar masakannya (kolak ayam) terdiri atas lima bahan yakni ayam jago, daun bawang, jintan, gula merah, dan kelapa. Bahan tersebut memiliki perbedaan dengan kolak pada umumnya, yakni bahan utamanya adalah ayam, ditambah daun bawang, dan jintan. Ayam, daun bawang, dan jintan tidak lumrah dihidangkan pada kolak pada umumnya seperti kolak pisang, singkong, dan kacang ijo. Lima bahan utama tersebut, kaya akan nutrisi yang berkorelasi dengan praksis keagamaan di Desa Gumeno. Kedua, Sanggring Gumeno diselenggarakan setahun sekali tepat pada malam ke-23 Ramadan. Ketiga, proses memasak “disakralkan” (hanya dilakukan oleh kaum laki-laki), hal ini tentunya melenceng dari kebiasaan orang Jawa dalam hal “masak-memasak” yang seyogyanya dilakukan oleh kaum hawa.
Dalam perkembangannya, Sanggring Gumeno bukan semata-mata hanya sebatas pembuatan makanan buka bersama masyarakat sekitar, akan tetapi menyimpan nilai-nilai historis yang kental khususnya terkait ritual keagamaan. Orang jawa percaya bahwa di luar dirinya ada kekuatan yang melebihi dirinya yang disebut kasekten
(kesaktian) (Gardjito et al 2017). Kekuatan tersebut merupakan sebuah paradoks tersendiri bagi masyarakat Jawa, di satu sisi memberikan kebahagiaan di sisi lain memberikan “gangguan”. Oleh sebab itu, untuk menghindari gangguan yang tidak diinginkan maka dilaksanakan ritual keagamaan seperti malam selikuran, selawe, telulikur, dan songolikur, seperti yang dilaksanakan oleh masyarakat Gresik. Ritual tersebut merupakan konsekuensi logis dari fakta empiris bahwa Gresik merupakan wilayah dominan penyebaran agama Islam. Bertolak dari fakta tersebut, penelitian mengenai Sanggring Gumeno di Desa Gumeno Gresik Jawa Timur terkait ritual keagamaan menjadi penting dilakukan.
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Teknik yang digunakan adalah pengamatan, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Pengumpulan data dan informasi yang dilakukan melalui langkah-langkah: penentuan lokasi penelitian, penentuan informan, pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan mendalami dokumen terkait. Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif interpretatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fungsi Sanggring Gumeno Terkait Ritual Keagamaan
Para antropolog memandang makanan sebagai sebuah bagian dari kebudayaan. Margaret Mead dalam buku Cultural Patterns and Technical Change (1960) membicarkan ihwal makanan dalam dua bab khusus yakni makanan dan nutrisi (food and nutrision) pada bab II dan secara mendalam perihal makanan dalam bab III cross-cultural studies of aspects of technical change. Chillies, beans, tortillas and coffe with milk and
sugar make up the typical Spanish American meal. (Mead, 1960).
Selain Margared Mead, tokoh antropologi yang sering dikutip mengenai konsepnya akan makanan adalah Lévi-Strauss dengan segitiga kulinernya. Metode tersebut oleh Lévi-Strauss diterapkan pada makanan. Menurutnya manusia secara universal memproses makanannya, lagi pula berbagai jenis makanan mempunyai arti sosial, keagamaan, yang pada pokoknya mempunyai arti simbolik. Menurut Lévi-Strauss, akal manusia selalu mencoba mencari antara dua ekstrim dalam suatu kontinum, satu “keadaan antara” yang dapat menghubungkan kedua ekstrim itu karena mengandung ciri-ciri dari keduanya. Makanan mentah termasuk golongan alam sebab tidak mendapat campur tangan manusia, namun di sisi lain, ia adalah golongan kebudayaan sebab berasal dari tumbuh-tumbuhan yang di tanam atau binatang yang dipelihara atau diburu (Koentjaraningrat, 2014).
Sebagaimana hakekat antropologi budaya yakni mengungkap kajian keanekaragaman kebudayaan, upaya mencari unsur-unsur budaya universal, mengungkapkan struktur sosial, interpretasi simbolisme, dan pelbagai masalah terkait (Saifuddin, 2011). Dalam pengertian kebudayaan juga termasuk tradisi, dan tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-tahta. Lebih lanjut Peursen (2018) menyatakan bahwa manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu; ia menerimanya, menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan; Riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada.
Tinjauan unsur kebertahanan dari sudut pandang antropologi pada
umumnya dan antropologi kuliner pada khususnya nantinya akan mengarah pada nilai-nilai simbolik akan makanan khas Gumeno tersebut. Nilai-nilai simbolik difokuskan pada pembahasan terkait fungsi Sanggring Gumeno terkait ritual keagamaan. Pasalnya makanan senantiasa merepresentasikan sikap-sikap dan nilai keberagamaan masyarakat. Kuliner tradisional adalah makanan warisan yang dilakukan secara turun-temurun, dengan pola dan tradisi masyarakat setempat memiliki rasa unik dan gizi yang baik (Wridaningsih, 2019).
Orang jawa percaya bahwa di luar dirinya ada kekuatan yang melebihi dirinya yang disebut kasekten (kesaktian). Kekuatan tersebut merupakan sebuah paradoks tersendiri bagi masyarakat Jawa, di satu sisi memberikan kebahagiaan di sisi lain memberikan gangguan (Gardjito et al, 2017). Acara selikuran ini juga menjadi ajang bersedekah makanan yang telah disiapkan dari rumah dan dikumpulkan menjadi satu, sebagian diberikan kepada alim ulama atau tokoh masyatakat untuk takjil (Gardjito et al, 2017).
Kota Gresik tidak hanya terkenal dengan sebutan kota industri dengan citra pabrik Semen Gresik sebagai unggulan. Jika ditelisik secara mendalam maka ditemukan peristiwa sejarah yang kompleks di kota Gresik, khususnya terkait keagamaan. Posisi strategis dari kota gresik yakni hanya berjarak kurang lebih 18 Km dari ibukota jawa Timur (Surabaya) menjadikan Gresik sebagai jalur komodifikasi budaya. Salah satu penanda penting adanya kota Gresik adalah menjadi pusat penyebaran Islam di tanah Jawa. Hal ini tidak terlepas dari peran atau sosok wali songo.
Di kota gresik terdapat dua wali dari sembilan wali yakni Sunan Maulana Malik Ibrahin dan Sunan Giri. Sunan Maulana Malik Ibrahim merupakan wali pertama yang ada di Pulau Jawa. Makam
Sunan Maulana Malik Ibrahin berada pada Jalan Malik Ibrahim di Desa Gapuro berjarak 200 m dari alun-alun Kota Gresik. Fakta tersebut memiliki keterkaitan erat dengan ritual keagamaan, khususnya di Gumeno. Penjelajahan akan fungsi makanan sudah dikemukakan oleh Danandjadja (1994) bahwa jenis makanan mempunyai arti simbolik, dalam arti mempunyai arti sosial, agama, dan lain-lain. Arti sosial dalam arti mempunyai fungsi kemasyrakatan seperti untuk mempererat kesatuan desa, memperkukuh kedudukan golongan tertentu dalam masyarakat, membedakan status golongan berdasarkan perbedaan seks, usia, kasta, dan lain-lain.
Arti simbolik itulah pada hakekatnya berangkat dari suatu pemahaman masyarakat budaya akan perasaannya terhadap makanan disekitarnya. Makanan (kolak ayam) tidak hanya sekadar makanan untuk pembuka menu puasa (biologis) juga secara implisit menciptakan hubungan sosial (sosiologis). Foster dan Anderson secara simbolis makanan sedikitnya dapat berupa empat ungkapan, yakni (a) ikatan sosial, (b) solidaritas kelompok, (c) makanan dan ketegangan jiwa, dan (d) simbolisme makanan dalam bahasa (dalam Danandjadja 1994). Keempat ungkapan tersebut dielaborasi berdasarkan konteks sosial masyarakat Desa Gumeno ketika melaksanakan tradisi Sanggring Gumeno.
Sanggring Gumeno Sebagai Ikatan Sosial
Ikatan sosial yang dimaksud merujuk pada segenap perasaan (mental) masyarakat ketika proses penjamuan makanan berlangsung. Konteks penjamuan makanan yang dimaksud ialah ketika proses pelaksanaan buka bersama untuk menikmati kolak ayam. Melalui penjamuan yang dibalut dengan acara “buka bersama” terjadi
ikatan/interaksi antara pemberi makanan (tuan rumah) dan penerima (tamu). Interaksi antara kedua belah pihak menciptakan keharmonisan kekeluargaan ditambah dengan suasana bulan suci Ramadan.
Fenomena di atas, selaras dengan pendapat Danandjadja (1994) yang mengatakan bahwa orang akan merasa aman apabila dapat makan bersama dengan kawan dan orang yang dikasihi. Dan memang di kebanyakan masyarakat, makan bersama di muka umum maupun di rumah menunjukkan perasaan tersebut. Selaras dengan cita-cita mulia masyarakat Gumeno ketika melaksanakan Sanggring Gumeno, kolak ayam tidak hanya untuk dinikmati warga setempat, tetapi melampaui kebersamaan tersebut yakni disajikan untuk para undangan (tamu) luar Desa Gumeno. Jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan, warga sudah melakukan iuran sebesar 150 ribu untuk berpartisipasi kegiatan tersebut. Menariknya warga yang iuran tidak untuk dirinya sendiri tetapi juga dibagi porsinya dengan tamu. Hal tersebut selaras dengan pendapat berikut..
“Biasanya untuk pembuatan satu porsi warga iuran sekitar 150 rb. Satu porsi dibagi dua, separuh dibawa pulang separuhnya dikelola untuk tamu. Satu porsi dapat satu ekor ayam (wawancara dengan Suudi, 42 tahun, Ketua Panitia Sanggring Gumeno, pada Januari 2021).
Sikap empati masyarakat Gumeno lainnya ialah, ketika ditemukan sebagian warga yang tidak menyumbang (karena alasan sosial ekonomi dll) juga diperlakukan istimewa, yakni dianggap tamu. “kalau warga tidak ingin daftar (iuran juga boleh menikmati kolak ayam (hitungannya sebagai tamu) (wawancara dengan Suudi, 42 tahun, Ketua Panitia Sanggring Gumeno, pada Januari 2021).
Hal tersebut mencerminkan sikap warga Gumeno yang terbuka dalam ranah ikatan sosial yang lebih luas. Terbukti dengan jumlah tamu (pengujung) yang datang pada acara normal (di luar pandemi) Sekitar 2000 orang datang ke Gumeno. Seperti kutipan berikut,
“Sekitar 2000-an orang yang datang, kalau sekarang sampek diluaran (desa) dan masih ada yang kleren (di pinggir) di jalan, pokoknya ruame (rame sekali). Sudah masuk pintu gerbang Gumeno saja sudah rame. Kita pernah kesorean datang akhirnya bingung parkire (parkirnya), karena saking ramenya. Tapi ya kita tetap ikut dan senang saja”. (wawancara dengan Rike Nataliawati, 35 tahun, KASI (Disparbud), pada Januari 2021).
Warga yang datang tidak hanya berkeinginan untuk menikmati makanan semata, ada pula warga atau komunitas tertentu yang datang untuk membantu pelaksanaan Sanggring Gumeno. Meskipun tidak dapat terjun langsung terhadap pelaksanaan di dapur (karena sakral) setidaknya komunitas tersebut membantu proses pelaksanaan (pencarian bahan, memotong ayam, menyuwir daging ayam dll).
“H-1 ada biasanya orang-orang dari Komunitas Cak dan Yuk ikut bantu acara ini”. (wawancara dengan Mubarok, 59 tahun, Bendahara Panitia Sanggring Gumeno, pada Januari 2021).
Kondisi pandemi saat ini (2020) pelaksanaan Sanggring Gumeno diselenggarakan tertutup. Artinya panitia membuat kolak ayam dengan porsi sedang hanya untuk warga desa setempat dan undangan. Akan tetapi hal yang sudah diwaspadai serta direncanakan matang tidak “begitu” berhasil untuk menghambat keinginan warga di luar Desa Gumeno untuk datang berpartisipasi terhadap acara tersebut.
Antusiasme yang begitu tinggi tidak hanya dirasakan oleh masyarakat luar Gumeno saja. Warga asli Gumeno secara turun-temurun ketika proses pelaksanaan Sanggring Gumeno, para pemuda serta anak-anak merasakan sensasi emosional terhadap acara Sanggring Gumeno, seolah terjalin interaksi di luar batas nalar manusia. Misalnya anak-anak kecil jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan Sanggring Gumeno sudah membuat janji (janjian) dengan teman sebanyanya untuk “bermain” pada acara tersebut. Terlihat sederhana memang, tetapi jika ditelisik lebih dalam, maka terdapat spirit emosional di dalamnya.
Ikatan yang begitu kuat juga dirasakan oleh kaum muda sekarang (milenial) akan pelaksanaan Sanggring Gumeno. Perasaan memiliki akan tradisi turun-temurun tersebut dipromosikan dengan adaptasi kecanggihan teknologi informasi. Misalnya mengunggahnya di media sosial seperti Instagram dan Facebook serta status WhatsApp. Malalui pengungahan itulah, terjadi interaksi yang lebih kompleks (dunia maya) akan Sanggring Gumeno.
“Media yang sering digunakan untuk menunjukkan kebanggaan menjadi warga Desa Gumeno salah satunya kalau saya menyebarkan seluruh informasi mengenai Sanggring Gumeno melalui WA, IG, dan FB”. (wawancara dengan Khabib, 17 tahun, warga Desa Gumeno pada Januari 2021).
Secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya antusiasme warganet (pengguna sosial media) terhadap Sanggring Gumeno. Fakta tersebut mencerminkan adanya suatu ikatan sosial ketika menyuguhkan makanan berupa kolak ayam kepada masyarakat. Meminjam istilah Foster dan Anderson (dalam Danandjadja 1994:188) bahwa kita tidak mungkin menyuguhkan makanan terhadap musuh, kalau pun
terpaksa maka sedikitnya pada ketika itu perasaan permusuhan itu dikesampingkan untuk sementara.
Sanggring Gumeno Sebagai Ungkapan Solidaritas Kelompok
Semangat menjamu orang yang sedang berbuka puasa merupakan keistimewaan tersendiri. Umat muslim berbondong-bondong untuk melipat gandakan pahalanya di bulan suci Ramadan. Warga Gumeno melalui tradisi Sanggring menyadari pentingnya hal itu.
“Sampai sekarang semua kita arahkan pada saat bulan Ramdhan untuk ngasik makan orang pahalanya akan lebih. Walaupun dengan itu Sunan Dalem bisa sembuh tapi kita tidak bicara wilayah itu untuk mengindari salah penafsrian dari orang awam. Jadi tujuannya difokuskan pada silaturahmi dan menjamu tamu saja”. (wawancara dengan M. Syafi’i, 58 tahun, warga Desa Gumeno pada Januari 2021).
Tradisi Sanggring Gumeno hanya dilaksanakan setahun sekali, itu pun hanya di bulan Ramadan. Sekian banyak (2000-an) tamu yang datang bukan hanya ingin menikmati makanan atau sekedar ingin berbuka puasa, lebih jauh dari pada itu mereka ingin memupuk tali silaturahmi kekeluargaan.
“Kalau makna Sanggring Gumeno bisa memupuk silaturahmi, kemudian kita bisa melestarikan budaya. Selain itu bisa mempersatukan umat, kapan lagi kita bisa bertemu, dan semangat sekali orang-orang. Karena ada konsep memberi makan orang berpuasa”. (wawancara dengan Ashabul Kahfi, 33 tahun, warga Desa Gumeno pada Januari 2021).
Kolega-kolega yang jauh dari warga Gumeno pada saat pelaksanaan Sanggring Gumeno mereka datang (pulang) untuk bertemu sanak-familinya.
Ada kegemberiaan tersendiri ketika proses acara Sanggring Gumeno berlangsung. Tidak heran jika masyarakat setempat (Gumeno) menyebut tradisi ini sebagai hari rayanya Desa Gumeno.
“Kalau saya boleh mengatakan, pertama Sanggring Gumeno ini merupakan sebuah identitas dan harus kita pertahankan, kedua Desa Gumeno dikenal dengan adanya tradisi ini. Ketiga tradisi ini dijadikan ajang hari rayanya Gumeno. Jika di Bungah (nama kecamatan di Gresik) ada hol Mbah Soleh, maka Gumeno punya Sanggring Gumeno. Biasanya famili-famili jauh datang semua ketika acara ini”. (wawancara dengan Ashabul Kahfi, 33 tahun, warga Desa Gumeno pada Januari 2021).
Aspek pertemuan keluarga yang sudah tinggal jauh dari kampung halaman (merantau, menikah, sekolah, bekerja dll) dapat dikatakan merupakan pertemuan emosi (haru, suka, rindu dll) kedua belah pihak atau keluarga yang bersangkutan. Jika terdapat masalah atau hubungan yang tidak baik, dengan adanya Sanggring Gumeno (hari rayanya orang Gumeno) niscaya perasaan-perasaan buruk tersebut disingkirkan.
Tujuan awal adanya Sanggring Gumeno sebagai obat kesembuhan Sunan Dalem, kiranya tidak berlebihan jika makanan kolak ayam menjadi penyembuh “memori kerinduan” keluarga besar. Memang salah satu fungsi terpenting dari suguhan makanan-makanan tradisional suatu suku bangsa adalah untuk memperbaharui perasaan solidaritas kelompok yang ada kemungkinan bagi beberapa anggota kelompok sudah mulai luntur (Danandjadja, 1994).
Solidaritas yang lebih spesifik juga dirasakan oleh panitia Sanggring Gumeno. Setelah acara selesai hingga persiapan pelaksanaan Sanggring
Gumeno di tahun berikutnya senantiasa diselenggarakan kritik-otokritik sesama anggota panitia untuk keberlangsungan acara Sanggring Gumeno agar lebih baik.
“Ketika acara penutupan pelaporan biasanya ditutup dengan konfirmasi kepantiaan, jadi panitia ini tetap dilanjutkan atau tidak. Mesti ada pembentukan panitia baru untuk kegiatan selanjutnya. Tapi temen-temen yang lama tetap membantu, jadi muda-muda juga digabungkan sebagai regenerasi:. (wawancara dengan Ashabul Kahfi, 33 tahun, warga Desa Gumeno pada Januari 2021).
Solidaritas yang diungkap melalui Sanggring Gumeno sangat kental dengan konsepsi nilai keagamaan (Islam). Pentingnya menjaga tali silaturahmi serta kekeluargaan menjadi spirit tersendiri untuk melaksanakan acara ini. Tali silaturahmi yang terungkap akan senantiasa dilaksanakan selama tidak bertentangan dengan norma keislaman.
“Asal budaya itu baik kenapa kita tidak dikembangkan, apalagi ini menyangkut silaturahmi. Karena ada semacam kangen-kangenan ketika acara ini. Saya bisa mengumplkan anak-anak dan cucu-cucu di rumah. Jelas-jelas itu positif dan tidak bertentangan dengan syariat agama islam. (wawancara dengan M. Adron, 73 tahun, warga Desa Gumeno pada Januari 2021).
Selain solidaritas akan persepsi perayaan hari raya Desa Gumeno di atas, terdapat juga perasaan solidaritas antara takmir masjid dan pemerintah desa. Takmir masjid dan pemerintah desa secara solid membagi peran masing-masing untuk melaksanakan kegiatan ini.
Sanggring Gumeno dan Ketegangan Jiwa
Ketegangan jiwa dalam Sanggring Gumeno mengacu pada kerinduan serta
kepercayaan akan khasiat makanannya yakni kolak ayam sebagai obat. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya warga yang rela jauh-jauh datang ke Desa Gumeno ketika bulan puasa hanya untuk sekadar menikmati kolak ayam. Selain itu, makanan kolak ayam tidak hanya disediakan di masjid untuk buka bersama, warga setempat juga membawanya pulang untuk disuguhkan kepada keluarga besar.
“Biasanya di rumah disediakan kolak ayam. Jadi kalau ada temen-temen, kolega yang datang ya kita kasih (dijamu) kadang ada kolega yang disuru membawa pulang kolak ayam untuk dikasi ke keluarga di rumahnya. Mereka terus datang minta lagi-minta lagi. Artinya orang yang kemarin kesini katanya ibunya punya sakit setelah makan itu kok enak. Jadi minta lagi. mungkin kolak ayam ini memang salah satu obat plus obat ini bukan kreasi kita-kita karena memang yang buat suruhan Sunan Giri atau Sunan Dalem jadi nggak mungkin merumuskan resep tidak ada khasiatnya, ya anggap saja jamune orang lawu (orang dulu)” (wawancara dengan Ashabul Kahfi, 33 tahun, warga Desa Gumeno pada Januari 2021).
Makanan dapat mengembalikan ketenangan orang yang sedang mengalami ketegangan jiwa (Danandjadja 1994). Ketegangan jiwa yang dimaksud terletak pada aspek psikis individu untuk dapat merasakan kolak ayam dalam jangka waktu yang lama (tidak hanya saat buka puasa).
Berdasarkan pemaparan fungsi Sanggring Gumeno di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pelaksanaan Sanggring Gumeno secara simbolis merepresentasikan sikap keberagamaan masyarakat yang agamis. Dipilihnya bulan Ramadan sebagai bulan pelaksanaan merupakan konsekuensi
logis dari nilai-nilai dan syariat ajaran agama Islam. Bulan Ramadan merupakan bulan penuh berkah, pada bulan tersebut umat muslim dianjurkan untuk melipatgandakan amal ibadahnya.
Melalui Sanggring Gumeno masyarakat Gresik pada umumnya dan masyarakat Gumeno khususnya memanfaatkan momen bersejarah tersebut untuk merekatkan tali silaturahmi (ukhuwah islamiyah) dan juga dijadikan sebagai momentum berbagi bersama. Pelaksanaan di akhir Ramadan selaras dengan ritual keagamaan yang biasa dilaksanakan pada masyarakat Jawa seperti acara selikuran, selawe, telulikur, dan songolikur. Penentuan pelaksanaan ritual keagamaan di akhir Ramadan merepsentasikan perilaku masyarakat untuk menyambut datangnya malam seribu bulan atau malam lailatul qadar. Malam lailatul qadar memiliki keistimewaan tersendiri bagi umat muslim, oleh karena itu sebisa mungkin pada malam-malam ganjil di sepuluh Ramadan dilaksankan pelbagai acara keagamaan untuk menyambut bulan penuh ampunan tersebut.
SIMPULAN
Sanggring Gumeno ditinjau dari sudut pandang antropologi kuliner menampilkan konsep-konsep kebudayaan yang utuh. perilaku budaya masyrakat Desa Gumeno serta aspek akan struktur masyarakat yang solid termanifestasi dalam pelaksanaan Sanggring Gumeno tiap tahunnya. Melalui cita rasa yang khas makanan kolak ayam secara sadar menampilkan akulturasi budaya yang kompleks. Wangi (bau) daun bawang serta jintan yang menyengat menjadikan para penikmat seolah mengalami destinasi rasa antara masakan Timur Tengah dan Jawa. Perpaduan rasa manis khas Jawa serta aroma bumbu yang kental (jintan) ala masakan Timur Tengah kemudian disuguhkan dalam suasana buka bersama menambah nilai-
nilai akulturasi budaya yang ada. Adanya akulturasi budaya pada Sanggring Gumeno tidak terlepas dari fakta sejarah bahwa Gresik merupakan pusat perdangan antarpulau sekitar abad ke -11. Para pedangang dari Timur tengah (Gujarat, Arab, dan mesir) Cina, dan India datang ke Gresik tidak hanya untuk melakukan perdangangan tetapi juga membawa kepentingan lain seperti menikah dan menyebarkan agama. Oleh karena itu, penyebutan Gresik sebagai kota santri menjadi identitas kota Gresik. Secara sosiologis penyebutan Gresik sebagai kota santri merupakan produk kultural yang mengartikan bahwa masyarakat gresik merupakan masyrakat yang agamis.
Pada saat pelaksanaan pun tidak satupun warga yang memanfaatkan kolak ayam untuk diperjual belikan, semua makanaan disuguhkan di dalam masjid. Pada saat makan bersama inilah timbul memori “nyantri” dengan ciri khas kebersamaan, atau dalam konsep strata sosial disebut dengan sama rata dan sama rasa. Sanggring Gumeno terkait ritual keagamaan berjalan selaras dengan ajaran agama Islam. Agama Islam mengajarkan hubungan sesama manusia (Hablum Minallah) yaitu tentang hubungan makhluk dengan Allah SWT dan (Hablum Minannas) yaitu tentang hubungan baik antar manusia satu dengan manusia lainnya.
Salah satu fungsi Sanggring Gumeno dalam ritual keagamaan ialah sebagai ikatan sosial. Ikatan Sosial yang dimaksud merujuk pada diyakininya Sanggring Gumeno sebagai ulang tahun Desa Gumeno. Masyarakat luar serta kolega Desa Gumeno berbondong-bondong hadir pada acara tersebut. Pada momen ini terjadi perekatan solidaritas sesame umat muslim.
Selain itu, makanan kolak ayam sarat akan nutrisi yang terkandung dalam lima bahan dasar utama. nutrisi tersebut merupakan konsekuensi logis untuk
memperbaiki stamina umat ketika melaksanakan ibadah puasa. Pelaksanaan acara di akhir Bulan Ramdan menjadi "penguat" untuk tetap melaksakan ibadah puasa. atribut-atribut serta konsepsi di atas terjalin utuh dan berjalan berkelindan membentuk suatu pola yang termuat dalam tradisi kuliner bernama Sanggring Gumeno.
DAFTAR PUSTAKA
Badcock R. Christopher. 2008. Lévi-Strauss Strukturalisme dan Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Danandjadja, James. 1994. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Gardjito Murdijati, dkk. 2017 Kuliner Yogyakarta Pantas dikenang sepanjang masa: Jakarta Gramedia Pustaka Utama
Geertz, Clifford. 1989. Mojokuto, Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa. Jakarta: Grafiti Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kodiran. 2010. “Kebudayaan Jawa” dalam buku Manusia dan
Kebudayaan Indonesia.
Djambaran: Jakarta.
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. P.T Dian
Rakyat: Jakarta.
Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu
Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi I , Jakarta: UI Press.
Koentjaraningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi II , Jakarta: UI Press
Kuntowijoyo, 2008. “Penjelasan
Sejarah” Yogyakarta: Tiara
Wacana
Mead, Margaret.1960. Cultural Patterns And Technical Change. New York: Mentor Book.
Moelong, J. Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Nurti Yevita, 2017. “Kajian Makanan Dalam Perspektif Antropologi”, Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19. Universitas Andalas: Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik, Prodi Antropologi.
Pals, Daniel L. 2011. Seven Theories Of Religion. Di Terjemahkan Oleh Muzir & Syukri. Yogyakarta: IRCioD.
Peursen, Van C.A. 2018. Strategi Kebudayaan. PT. Kanisius: Yogyakarta
Rusdi, Moh. 1998. Antropologi Budaya. Surabaya IKIP University press.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2011. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma. Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2015.
Logika Antropologi Suatu
Percakapan Imajiner Mengenai Dasar Paradigma. Prenada Media Grup: Jakarta.
Sastro Supomo dan Suprihadi, Menghampiri Kebudayaan, 1982.
Bandung: Alumni.
Setiawan Rudi. 2016 “Memaknai Kuliner Tradisional diNusantara: Sebuah Tinjauan Etis” dalam jurnal RESPONS Volume 21 No. 01. Jakarta: Unika Atma Jaya.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Cetakan Kedua.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudarwan, dkk. 2019. “Wacana Keislaman dalam Antropologi Kuliner Indonesia” Jurnal Kajian Jurnalisme Volume 03 Nomor 01 Tahun 2019. Universitas
Padjadjaran Program Studi
Jurnalistik, Fakultas Ilmu
Komunikasi.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Supardan, Dadang. 2009. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT Bumi
Perkasa.
Wahyudi, Didik dan Arif Nur Ikhsan. 2010. Berdirinya Masjid Sunan Dalem dan Tradisi Kolak Ayam. Gresik: Neutron Komputer.
INTERNET
https://gln.kemdikbud.go.id/ diakses 20 Februari 2021)
http://kwriu.kemdikbud.go.id/ diakses 20
Februari 2021)
Discussion and feedback