DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2021.v5.i01.p01

p-ISSN: 2528-4517

Kesetaraan Gender di Bidang Politik Antara Harapan dan Realita

Ni Luh Arjani

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud [[email protected]]

Denpasar, Bali, Indonesia

Abstrak

Sampai saat ini persoalan kesetaraan gender masih tetap menjadi permasalahan yang belum terpecahkan, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik secara nasional maupun internasional. Di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya kesenjangan gender yang masih sangat menonjol adalah di bidang politik. Untuk mengatasi persoalan ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan quota 30% keterlibatan perempuan di bidang politik. Selain kebijakan ini, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Inpres No.9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (PUG). Kebijakan ini dimaksudkan agar semua program pembangunan mengintegrasikan isu gender di dalamnya. Namun demikian kebijakan affirmative action dan PUG ini sampai saat ini belum tercapai, artinya perempuan yang terlibat sebagai penentu kebijakan di legislative masih sangat minim. Ini artinya antara harapan dan realitas untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik masih belum berjalan maksimal.

Kata kunci: kesetaraan gender, politik, affirmative action.

  • 1.    Pendahuluan

Wacana kesetaraan gender telah mengemuka di ranah publik sejak lama, hanya saja baru populer di masyarakat Indonesia sekitar tahun 80-an terutama sejak dibentuknya Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita ( Men. UPW) tahun 1978 yang saat ini menjadi Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Melalui lembaga ini selanjutnya                  pemerintah

mengimplementasikan berbagai program yang terkait kesetaraan gender karena Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) menjadi visi dari pembangunan pemberdayaan perempuan di Indonesia.

Secara historis, gerakan perjuangan gender mulai muncul kepermukaan

sekitar tahun 40-an yang digagas oleh kaum feminis di dunia barat, kemudian mulai mencuat sekitar tahun 1977 ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchat atau sexist dalam membahas hubungan laki-laki dan perempuan. Ini merupakan perkembangan yang cerdas, karena sebenarnya masalah ketidaksetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagian besar dibentuk oleh pembedaan konstruksi “perempuan” dan “laki-laki” secara sosial budaya, dan bukan secara biologis (seks atau kelamin). Oleh karena itu, pemindahan wacana ketidaksetaraan tersebut dari panggung biologis ke panggung sosial budaya/gender secara teoritis lebih efektif (Nugroho, 2008; x). Selanjutnya hal ini menjadi semakin

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


menarik perhatian banyak ilmuwan sosial khususnya kaum feminis.

Seiring perjalanan waktu, dewasa ini persoalan gender tidak hanya menjadi isu dilingkup lokal maupun nasional namun sudah menjadi isu global, terbukti dengan dimasukkannya isu ini dalam berbagai pertemuan/konfrensi wanita tingkat dunia di bawah payung PBB, seperti pada konfrensi PBB di Kopenhagen (1980), Naerobi (1985), dan Konfrensi Beijing (1995), yang telah melahirkan Convention for Eliminating Discrimination Againts Woman (CEDAW), dan konfrensi PBB tahun 2000 yang menelorkan deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) dengan 8 isu sentral yang salah satu goalsnya (goals 3) menginginkan terwujudnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di tahun 2015. Namun pada tahun 2015 ternyata target MDGs terkait goals ke tiga (terwujudnya kesetaraan gender) belum tercapai, oleh karena itu isu kesetaraan gender masih berlanjut ke sustainable development goals (SDGs) yang targetnya tercapai di tahun 2030.

Munculnya perhatian terhadap isu gender ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Terjadinya perubahan paradigma pembangunan seperti ini, menjadi dasar untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat.

Kuatnya komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sudah tampak sejak pemerintah meratifikasi konvensi ILO No. III melalui Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957. Payung hukum ini menggariskan pengupahan

yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam jenis pekerjaan yang sama nilainya. Kemudian pada tahun 1984 Pemerintah RI juga telah meratifikasi Convention the Elimination of all Forms of Discrimination Againt Women (CEDAW) dengan Undang-undang. Nomor 7 Tahun 1984 yang menghendaki penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Berbagai kebijakan dan strategi pembangunan juga telah ditempuh oleh pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat, seperti Women in Development (WID), Women and Development (WAD), Gender and Divelopment (GAD) dan Gender Mainstreaming (GM). Pada tahun 2000 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan gender diberbagai bidang pembangunan seperti dalam pembangunan ekonomi, pendidikan, dan politik.

  • 2.    Kesetaraan Gender Di Bidang Politik Antara Harapan Dan Kenyataan.

Tahun 2019 dikatakan sebagai tahun politik karena di tahun ini dilangsungkan pemilihan umum baik untuk pemilihan anggota legislative maupun pemilu presiden. Pada saat ini pula suasana politik di masyarakat akan memanas yang dipicu oleh adanya persaingan antar parpol, kandidat legislative maupun calon presiden dan wakil presiden. Disisi lain, isu politik yang cukup hangat menjadi pembicaraan di ranah publik belakangan ini adalah isu kesetaraan gender terutama terkait dengan persyaratan 30% kuota perempuan bagi parpol yang mau ikut dalam Pemilu. Jika partai politik

tidak melibatkan 30% perempuan maka parpol tersebut tidak boleh ikut pemilu.

Kebijakan yang bersifat sementara ini (affirmative action) bertujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik karena selama ini eksistensi perempuan di politik masih sangat rendah. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan gender dan pemberdayaan perempuan baik di bidang lain maupun di bidang politik namun sampai saat ini masalah gender masih cukup menonjol. Persoalan gender di bidang politik tampak dari ketimpangan gender yang masih sangat menjolok baik di eksekutif, yudikatif maupun di legislatif. Kesenjangan gender di eksekutif cukup terlihat dari minimnya perempuan yang menduduki jabatan terutama eselon atau jabatan struktural di pemerintahan. Sementara di yudikatif tampak dari minimnya jumlah perempuan yang menjadi jaksa, hakim, dan polisi. Kenyataan ini tampak dari data yang dipaparkan pada uraian berikut ini.

Khusus keterlibatan perempuan di bidang politik praktis masih sangat kecil, meskipun secara yuridis dalam Undang-undang bidang Politik (UU No.8 Tahun 2012) tentang PEMILU DPR, DPD, dan DPRD, secara tegas memberikan jaminan terhadap kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam pemilu. Undang-undang ini juga mengamanatkan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pembentukan dan kepengurusan partai politik dan daftar calon anggota pemilu legislatif, namun keterlibatan perempuan dalam politik masih sangat rendah dan pengambil keputusan pada jabatan publik, baik legislatif maupun eksekutif masih rendah. Ini artinya bahwa antara harapan dan kenyataan masih belum sesuai.

Pada tahun 2017 di Provinsi Bali, dari 389 anggota DPRD yang ada di

tingkat provinsi dan di semua kabupaten/kota. jumlah anggota perempuan hanya 33 orang (8,5%) begitu pula dengan jumlah DPRD Provinsi Bali dari 55 orang anggota DPRD, hanya 5 orang ( 9,1%) perempuan. Secara rinci anggota DPRD Provinsi Bali dan Kabupaten/kota berdasarkan jenis kelamin periode 2014-2019 seperti terlihat pada Tabel 2.1. Upaya mewujudkan kesetaraan gender masih dihadapkan pada kendala cultural. Kendala cultural ditandai dengan adanya pola pikir patriarkhi yang masih kental artinya dunia politik hanya dianggap pantas dilakoni oleh laki-laki karena dunia politik identik dengan power/kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Disamping itu juga sering ada pandangan bahwa dunia politik dianggap sebagai ranah yang kotor dan keras sehingga kurang diminati oleh kaum perempuan yang secara stereotype berjiwa lemah lembut.

Tabel 2.1. Jumlah Anggota DPRD di Provinsi Bali Periode Tahun 2014-2019

Jenis Kelamin

No

Kabupaten/Kota

L

P

L + P

1.

Klungkung

27

3

30

2.

Kota Denpasar

44

1

45

3.

Karangasem

43

2

45

4.

Tabanan

27

3

30

5.

Gianyar

27

4

31

6.

Buleleng

39

6

45

7.

Jembrana

34

4

38

8.

Bangli

28

2

30

9.

Badung

37

3

40

10

Provinsi Bali

50

5

55

Jumlah

356

33

389

Sumber : KPU Provinsi Bali

Dari table di atas tergambar bahwa secara total di Kabupaten/kota di Bali, representasi perempuan di legislative (DPRD) hasil pemilu 2014 mencapai jumlah 389 orang. Dari jumlah ini hanya 8,5%perempuan, selebihnya adalah laki-laki. Sementara untuk kondisi keterwakilan perempuan di DPRD

Kabupaten/kota, pada periode 2014-2019 secara kuantitatif di Kabupaten Buleleng tampak paling tinggi yakni 6 orang (17,5%). Sementara untuk DPRD Kota Denpasar hanya ada 1 orang (2,5% dan 2.2%) anggota DPRD perempuan. Sementara untuk DPRD provinsi ada 5 orang (9,1%) perempuan. Angka ini menggambarkan harapan untuk bisa mencapai angka 30% masih belum tercapai sebagaimana amanat undang-undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum. Oleh karena itu perjuangan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik masih perlu dilakukan.

Keterlibatan perempuan di bidang politik tidak hanya terrepresentasi di parlemen atau legislatif, tetapi juga sebagai penyelenggara pemilu yang dalam hal ini sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di tingkat pusat, provinsi, maupun Kabupaten/kota. Untuk anggota KPU semua kabupaten/kota di provinsi Bali periode 2013-2018 jumlah anggota perempuan secara umum juga masih menunjukkan ketimpangan gender kecuali anggota KPU tingkat provinsi jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki, dari 5 komisioner, 3 orang (60%) adalah perempuan. Sementara untuk anggota KPU kabupaten/kota belum semuanya memenuhi kuota 30% seperti tampak pada Table 2.2 berikut ini.

Dari table ini tampak bahwa dari 7 kabupaten dan satu kota yang sudah memilih anggota KPU hanya tiga kabupaten yang sudah memenuhi syarat kuota 30% yakni Kabupaten Karangasem, Tabanan dan Gianyar, sedangkan kabupaten/kota lainnya baru mencapai 20%. Untuk Kabupaten Klungkung belum melakukan pemilihan anggota KPU periode 2013-2018 karena saat proses seleksi anggota KPU kabupaten ini sedang melaksanakan Pilkada.

Tabel: 2.2 Proporsi Anggota KPU Provinsi Bali dan Kab./Kota Menurut jenis Kelamin Periode 2013-2018

No

KABUPATEN/

2013-2018

KOTA/PROVINSI

L

P

JML

1

Buleleng

4

1

5

2

Jembrana

4

1

5

3

Tabanan

3

2

5

4

Badung

4

1

5

5

Denpasar

4

1

5

6

Gianyar

3

2

5

7

Bangli

4

1

5

8

Klungkung

-

-

-

9

Karangasem

3

2

5

10

Bali

2

3

5

JUMLAH

31

14

45

Sumber: KPU Provinsi Bali, 2013

Realitas yang ditunjukkan oleh data tersebut di atas secara nyata masih belum mencerminkan kesetaraan gender di bidang politik. Rendahnya partisipasi perempuan di bidang politik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi, mitos yang terkait dengan sosial budaya, stereotype, serta segregasi gender dalam bidang pekerjaan (Soetjipto dalam Notosusanto. 1997; 238-239). Sementara menurut Nantri (2003). Rendahnya partisipasi perempuan di bidang politik dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal. Faktor internal pada dasarnya bersumber dari dalam diri perempuan itu sendiri terutama karena adanya anggapan dari perempuan bahwa politik itu penuh kekerasan sehingga merasa enggan ikut terlibat di dalamnya; perempuan kadangkala tidak percaya diri sehingga tidak siap mental untuk ikut bersaing dengan lawan jenisnya. Sementara faktor ekternal bersumber dari luar diri perempuan seperti kurangnya dukungan dari pihak keluarga, dan faktor kultural ( Arjani, dkk; 2010).

Faktor kultural terutama dipengaruhi oleh budaya patriarkhi yang masih sangat kuat tertanam pada masyarakat Bali yang menganut system kekerabatan patrilineal.

Dalam konteks ini kekuasaan baik dalam keluarga maupun masyarakat didominasi oleh laki-laki. Oleh karena itu, jika perempuan ingin terjun ke ranah publik baik untuk kepentingan mencari nafkah atau berkiprah di dunia politik praktis kadangkala harus atas seijin suami bagi yang sudah berkeluarga dan seijin orang tua bagi mereka yang masih lajang. Disamping itu, keterbatasan lain yang menjadi kendala bagi perempuan untuk berpartisipasi di bidang politik adalah modal baik modal sosial, modal budaya dan modal ekonomi, sementara untuk bisa masuk ke dunia politik terutama menduduki jabatan sebagai anggota legislatif sangat dibutuhkan ketiga modal ini.

Perempuan minim modal sosial karena perempuan mempunyai peran utama di ranah domestik sehingga relasi sosial perempuan lebih terbatas dibandingkan laki-laki yang secara ideology gender berperan di dunia publik. Perempuan minim modal budaya terutama pendidikan karena budaya mengutamakan anak laki-laki dalam pendidikan masih tertanam di masyarakat yang juga dipengaruhi oleh budaya patrilineal. Sementara keterbatasan modal ekonomi juga erat kaitannya dengan peran utama perempuan di ranah domentik yang identik dengan pekerjaan yang tidak menghasilkan uang, sedangkan peran utama laki-laki di ranah public sebagai pencari nafkah yang dengan sendirinya menghasilkan uang.

  • 3.    Strategi Mewujudkan Kesetaraan

    Gender Di Bidang Politik

Salah satu hal penting yang perlu dilakukan secara serius dan konsisten untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik adalah mengimplementasikan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang strategi pengarusutamaan gender (PUG). Strategi ini dimaksudkan agar semua kebijakan/ program/kegiatan

pembangunan di segala bidang termasuk bidang politik harus mengintegrasikan isu gender di dalamnya. Disamping itu juga penting peningkatan pendidikan politik bagi perempuan guna menambah wawasan dan menumbuhkan kesadaran untuk berpartisipasi di bidang politik. Terwujudnya kesetaraan gender di bidang politik diharapkan dapat memperbaiki nasib perempuan yang selama ini dianggap sebagai insan yang yang kurang diperhitungkan baik kebutuhannya, persoalannya dan aspirasinya. Hal ini terjadi karena minimnya perempuan yang ikut menyalurkan aspirasinya di tingkat pengambil kebujakan.

  • 4.    Penutup

Sampai saat ini wacana untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik masih tetap ramai dibicarakan, hal ini disebabkan karena antara harapan yang diimpikan sejak beberapa kali pemilihan umum untuk meningkatkan peran perempuan di bidang politik belum pernah terwujud. Kebijakan affirmative action melalui quota 30% keterlibatan perempuanpun sudah diundangkan, namun hal ini belum pernah tercapai. Hal ini dipengauhi oleh berbagai faktor baik faktor internal maupun ekternal dari perempuan itu sendiri.

Daftar Pustaka

Arjani, Ni Luh, dkk, 2010. Partisipasi Perempuan di Bidang Politik di Bali. Hasil Penelitian. Pusat Studi Wanita UNUD. Denpasar.

KPP & UNFPA, 2005. Panduan dan Bunga Rampai Pembelajaran Pengarusutamaan Gender, Jakarta: KPPPA.

Muhadjir. 2005.      Negara dan

Perempuan. Jogyakarta: CV. Adipura

Nantri, Ayu Putu. 2003. “Perempuan dan Politik” dalam Jurnal Studi Gender Srikandi. Vol.III. No. 1 2003. Denpasar. Pusat Studi Wanita dan Perlindungan Anak UNUD

Nugroho, Riyant. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Jogjakarta; Pustaka Pelajar

Soetjipto, Ani,W. 1997. “Berbagai Hambatan Partisipasi Wanita dalam    Politik”    dalam

Notosusanto ( Penyunting) Perempuan            dan

Pemberdayaan