DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2020.v4.i02.p06

p-ISSN: 2528-4517

Lau Pahikung: Simbolisasi Identitas Perempuan di Sumba Timur

A.A. Ayu Murniasih*, Purwadi Soeriadiredja

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Jl.Nias 13 Sanglah, Denpasar, Bali.

*Corresponding author : [email protected]

Abstrak

Kajian ini bertujuan mencapai pemahaman tentang bagaimana masyarakat Umalulu, Sumba Timur memaknai lingkungan yang disimbolkan dalam kain tradisional yang mereka buat. Fokus kajian meliputi fungsi dan makna kain tradisional dalam kehidupan perempuan Umalulu di Sumba Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pengumpulkan data dengan metode pengamatan, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis etnogafis. Temuan mengungkapkan bahwa ada beberapa prinsip yang secara tetap menunjukkan suatu keseluruhan yang terstruktur. Prinsip pertama, pengaturan komposisi yang membagi permukaan kain tenun menjadi tiga bidang, yaitu satu bidang pusat dan dua bidang akhir secara simetris (dyadic-triadic). Pada kain lau, secara umum bidang atas dan bidang bawah saling berlainan. Bidang tengah diwakili oleh garis jahitan pertemuan dua bidang. Prinsip kedua, prinsip bayangan dalam cermin (mirror image). Prinsip ketiga, penggunaan angka-angka yang paling disukai masyarakat dalam mengklasifikasikan sesuatu (2, 4, 8, dan 16). Tujuan utama dari pembuatan kain sebagai alat untuk menahan pengaruh dari sekitaran alam. Akan tetapi, ada fungsi lain yang penting artinya bagi kehidupan masyarakat Sumba, yaitu busana adat, tanda hubungan kekeluargaan, pembungkus jenazah dan bekal kubur, harta benda dan lambang status, alat tukar menukar, barang hadiah, bahan dekorasi dan perlengkapan rumah.

Kata Kunci : Simbol, Identitas perempuan, kain tradisional.

PENDAHULUAN

Kaum wanita di Pulau Sumba (Nusa Tenggara Timur) menghasilkan seni kerajinan berupa kain tenun yang dikenal dengan sebutan “Kain Sumba”. Kerajinan tenun tersebut penuh hiasan dekoratif yang indah dengan bentuk-bentuk ragam hias yang mempunyai karakteristik tersendiri sehingga menimbulkan kekaguman.

Bagi orang Sumba, kain yang mereka buat tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk melindungi tubuh dari pengaruh alam saja, tetapi merupakan benda budaya yang mempunyai “makna”, yang mengekspresikan nilai-nilai tertentu. Adapun jenis kain tenun yang mereka buat adalah hinggi (selimut), lau

(sarung), tiara (ikat kepala, selendang), dan tamelingu (tudung kepala).

Ada dua macam teknik pembuatan ragam hias. Pada kain hinggi digunakan teknik pembuatan ragam hias yang disebut teknik “ikat”, yaitu suatu teknik pewarnaan benang tenun untuk membuat motif atau gambar tertentu dengan cara mengikatnya sebelum ditenun. Sedangkan ragam hias pada kain lau dibuat dengan teknik hikungu (sungkit, songket) atau pahikungu (menyongket), namun ada pula yang disulam.

Bermacam ragam hias yang dibuat pada kain tenun tergantung pada kemahiran wanita pembuatnya. Motif ragam hias yang umum digambarkan pada lau ialah motif binatang, tumbuhan,

Sunari Penjor: Journal of Anthropology


Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud


| 95


manusia dan andungu (pohon tengkorak). Untuk bidang atas lau umumnya tanpa ragam hias atau hanya garis-garis saja. Kain tenun diberi nama menurut ragam hias yang menjadi hiasan utama dalam kain itu, misalnya lau tau (kain manusia), lau andungu (kain pohon tengkorak), lau kurangu (kain udang), lau ruha (kain rusa) dan sebagainya.

Gambaran Umum Umalulu

Umalulu merupakan suatu wilayah yang lengkapnya disebut Tana Umalulu (Tanah Umalulu). Pada masa penjajahan Belanda, Tanah Umalulu dikenal sebagai Tanah Melolo, Landschaap Melolo atau Kerajaan Melolo. Kemudian pada masa kemerdekaan disebut Daerah Swapraja Melolo, dan kini wilayah Umalulu menjadi kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur, propinsi Nusa Tenggara Timur.

Secara keseluruhan keadaan geografis wilayah Umalulu terdiri dari daerah berbukit-bukit dan sabana (padang rumput), dengan keadaan tanah yang kurang subur untuk pertanian. Suatu hal yang menguntungkan ialah adanya sungai Umalulu yang mengalir di wilayah itu dan selalu berair walaupun pada musim kemarau. Di sekitar tepi sungai itulah penduduk Umalulu mendirikan tempat pemukiman mereka dan membuka ladang.

Sebagian besar penduduk Umalulu hidup dari bercocok tanam di ladang dan beternak. Pertanian berupa sawah tadah hujan dan sistem pengairan sederhana. Sumber penghasilan lain adalah membuat kain tenun yang lebih terkenal dengan sebutan “kain Sumba”. Selain itu ada pula dari pembuatan barang-barang kerajinan tangan.

Prinsip keturunan masyarakat Umalulu berdasarkan prinsip patrilineal (patrilinel descent), yaitu prinsip keturunan yang menghitung hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki saja.

Mereka mengenal empat macam kelompok kekerabatan. Kelompok kekerabatan yang terkecil ialah keluarga inti (nuclear family) yang disebut biliku, yaitu terdiri dari sepasang suami istri dengan anak-anaknya yang belum kawin. Kelompok kekerabatan lainnya ialah rumah tangga (household) dan disebut ukuruma, yang merupakan kelompok kekerabatan yang menjalankan ekonomi rumah tangga dan sebagai kesatuan yang melakukan usaha-usaha produktif. Kemudian ada yang disebut uma, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu keluarga inti senior ditambah dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya.Mereka berdiam di dalam satu rumah besar yang disebut uma juga. Berdiam dalam uma milik ayahnya adalah suatu hal yang sesuai dengan adat menetap sesudah kawin yang virilokal. Kelompok kekerabatan yang terbesar ialah kabihu (keluarga luas, clan), yaitu terdiri dari beberapa uma yang merasa diri berasal dari seorang nenek moyang dan antara satu dengan lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki saja.

Kehidupan masyarakat pedesaan di Umalulu berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut paraingu, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan kuataku disamakan dengan kampung. Secara tradisi yang menguasai tanah dalam suatu paraingu ialah kabihu-kabihu yang diakui sebagai mangu tanangu (penguasa tanah) di wilayah itu, yaitu terdiri dari kabihu ratu (klen pendeta) dan kabihu maramba (klen bangsawan). Kedua kabihu tersebut merupakan kesatuan sebagai pemegang kekuasaan yang meliputi semua bidang kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan kuataku dikepalai

oleh seorang mangu kuatakungu (penguasa kampung, kepala kampung). Selain itu pada masyarakat Umalulu dikenal pula adanya sistem pelapisan sosial yang didasarkan pada dedi (keturunan), yaitu ratu (pendeta), maramba (raja, bangsawan), kabihu (orang bebas) dan ata (hamba).

Setiap kabihu dalam suatu paraingu mempunyai hak dan kewajiban masing-masing tergantung pada tradisi serta sejarah leluhurnya. Walaupun kini wilayah Umalulu tidak lagi merupakan suatu wilayah yang berada di bawah satu pemerintahan adat, tapi bila ada hal-hal yang bersangkutan dengan adat maka sistem pemerintahan secara adat masih tetap dijalankan.

Prinsip Struktural dalam Kain Tenun Tradisional

Secara tradisional, kain tenun Sumba dirancang dengan baik dan dihiasi ragam hias yang diatur dalam komposisi harmonis. Kain tenun terbagi atas dua nai (lirang, separuh kain) yang ditenun tersendiri, kemudian disatukan dan dijahit untuk menjadi sehelai kain. Garis merupakan unsur penting dalam pengaturan komposisi, karena dapat menentukan bidang dan bentuk. Keserasian diperoleh dalam menempatkan motif-motif ragam hias yang akan digambarkan, komposisinya diatur secara simetris.

Ketika membuat disain kain tenun ada beberapa prinsip yang secara tetap menunjukkan suatu keseluruhan yang terstruktur. Prinsip pertama, pengaturan komposisi yang membagi permukaan kain tenun menjadi tiga bidang, yaitu satu bidang pusat dan dua bidang akhir (atas dan bawah) secara simetris (dyadic-triadic). Prinsip kedua, prinsip bayangan dalam cermin (mirror image). Untuk busana resmi, khususnya bagi laki-laki, ada dua helai kain yang dikenakan, yaitu yang dikenakan secara horizontal di

pinggang, dan yang dikenakan secara vertikal di pundak. Setiap kain akan mempunyai dua muka yang identik, yaitu pada bagian kiri dan kanan. Baik bagian atas maupun bagian bawah akan membentuk setengah lingkaran atau lekukan pada bidang tengahnya, sedangkan disain pada bidang-bidang akhir akan saling berhadapan. Sehingga kedua kain itu, walaupun berbeda cara pemakaiannya, tetapi mempunyai karakteristik yang sama. Hal itulah yang dimaksud dengan prinsip bayangan dalam cermin. Prinsip ketiga, penggunaan angka-angka yang paling disukai masyarakat dalam mengklasifikasikan atau menilai sesuatu. Angka-angka atau bilangan-bilangan itu ialah 2, 4, 8, dan 16 (Soeriadiredja:1983). Bilangan dua mempunyai arti penting dalam konsep bayangan dalam cermin, bilangan empat mempunyai arti penting dalam pengaturan kehidupan sosial, bilangan delapan merupakan bilangan yang dianggap sempurna, terutama segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara-upacara keagamaan, dan bilangan enam belas menandakan pada hal-hal yang sangat istimewa.

Bilangan-bilangan yang terdapat dalam kain tenun ialah pada disain yang berpasangan, yaitu pada dua panil yang merupakan bayangan dalam cermin, dan pada empat sudut yang membentuk bidang pada setiap helai kain. Bilangan delapan berhubungan dengan lajur-lajur dan bidang-bidang dari setiap disain. Secara umum, dalam separuh kain hinggi terdapat empat bagian (empat lajur) yang dihiasi ragam hias, yaitu talaba dita (bagian atas), padua (bagian tengah), talaba wawa (bagian bawah), dan tau (badan). Bila ternyata terdapat lebih dari empat lajur, tetap dianggap empat lajur saja. Lajur-lajur selebihnya dianggap sebagai bagian padua atau talaba dita. Ragam hias yang digambarkan pada

bagian tau merupakan ragam hias utama yang menentukan nama dari kain itu.

Aspek Fungsional dalam Kain Tenun Tradisional

Tujuan utama dari pembuatan kain, baik hinggi maupun lau, ialah untuk dipakai oleh pria atau wanita sebagai alat untuk menahan pengaruh dari sekitaran alam. Akan tetapi, masih ada fungsi lain yang penting artinya bagi kehidupan masyarakat Sumba, yaitu :

  • 1.    Busana Adat

Berdasarkan ketentuan adat, kelengkapan pakaian pria terdiri dari tiara (ikat kepala) atau disebut juga kambala; dua helai hinggi, sehelai dililitkan di pinggang (kalambungu), sehelai digantungkan di pundak (paduku); ruhu banggi (ikat pinggang) yang merupakan lilitan tali, ikat pinggang kulit atau kain tenun; kabiala (parang) yang diselipkan di sebelah kiri pinggang; kalumbutu (tempat sirih pinang) yang digantungkan di sebelah kanan pundak. Sebagai perlengkapan tambahan pada ruhu banggi diikatkan pula sebuah tuangalu (kotak kayu kecil) tempat menyimpan perhiasan.

Pakaian yang biasa dipakai sehari-hari ialah hinggi patinu mbulungu, hinggi papabetingu, atau hinggi kawuru. Sedangkan hinggi kombu tidak dipakai sehari-hari, melainkan bila ada peristiwa-peristiwa penting atau upacara. Kini mereka lebih menyukai kain buatan pabrik (hinggi tiara), karena lebih murah dan mudah didapat di toko-toko.

Pakaian yang dikenakan pada peristiwa-peristiwa penting, seperti pada pesta atau upacara religius, harus mengenakan pakaian yang baik dan bersih. Pakaian yang terbaik ialah hinggi kawuru atau hinggi kombu. Pada umumnya tidak ada perbedaan antara pakaian yang dikenakan oleh para bangsawan dengan pakaian orang biasa.

Bila ada, hal itu hanya menyangkut kualitas saja, dan kain yang mempunyai motif ragam hias tertentu, seperti motif ruu patola yang disebut juga patola ratu. Kain tenun yang mempunyai motif patola ratu ini hanya boleh dikenakan oleh para bangsawan saja.

Perlengkapan pakaian wanita terdiri dari lau. Cara mengenakan lau dengan cara mengepitnya di ketiak sebelah kiri, disangkutkan di pundak kiri, atau dilipat di pinggang, Kini selain lau, para wanita mengenakan juga kebaya atau pakaian atas lainnya. Dahulu, mereka hanya memakai lau saja dengan bertelanjang dada. Kain sarung yang dipakai sehari-hari ialah lau patinu mbulungu atau lau papabetingu dan lau tiara.

Bila hendak bepergian atau pada pesta dan upacara mereka mengenakan lau ruukadama, lau kawau, atau lau kombu. Akan tetapi, karena sarung-sarung itu terasa agak berat bila dipakai, maka lebih disukai sarung yang dibuat dari kain yang dibeli dari toko. Kain sarung semacam itu disebut lau tiara hatingu (sarung kain satin) atau lau tiara hutaru (sarung kain sutera). Agar menjadi bagus, sarung-sarung itu mereka hiasi dengan sulaman dari berbagai motif ragam hias seperti ayam, burung-burung, bunga-bunga dan sebagainya. Kain sarung yang dihiasi sulaman ini disebut lau pabunga (sarung yang dihiasi) atau lau pakambuli (sarung yang disulam).

Para wanita bangsawan ada yang menghiasi sarung mereka dengan uang logam Belanda terbuat dari perak bernilai dua setengah gulden atau uang emas Inggris (poundsterling), sarung demikian disebut lau utu amahu (sarung jahitan emas atau perak). Ada pula sarung yang dihiasi dengan manik-manik (lau utu hada) dan sejenis kerang kecil (lau wihi kau). Selain kain-kain sarung tersebut di atas, pada pesta dan upacara dapat pula dikenakan lau pahikungu atau lau pahudu. Perlengkapan lain yang harus

dibawa ialah buala hapa (tempat sirih pinang), perhiasan kepala atau sisir yang terbuat dan kulit penyu (hai jangga) di sanggulnya, kalung dan gelang manik-manik (muti ana hida) serta anting-anting mas.

  • 2.    Tanda Hubungan Kekeluargaan

Menurut pandangan masyarakat Sumba, hidup berkerabat atau payiara-palayiangu merupakan ngia parengga la handuka (tujuan tercepat dalam susah), artinya bila dalam kesusahan kepada kerabatlah dengan segera meminta pertolongan. Memberi sesuatu kepada kerabat tidak dinilai menurut barang yang akan diberikan atau yang akan diterima. Paling utama memenuhi apa yang dibutuhkan dan tidak ada tawar-menawar. Lalu-lintas barang atau hewan selalu diperhatikan arahnya. Suatu aturan tetap, bila arahnya kepada pihak yiara (keluarga wanita), maka berupa mas perak, kuda, dan kerbau. Sebaliknya, bila arahnya kepada pihak layia (keluarga laki-laki) berupa hinggi (kain selimut), lau (sarung), tiara (ikat kepala), hada (manik-manik), nggedingu (gading), dan wei (babi).

Pada perkawinan, pihak layia akan memberi mas kawin berupa barang-barang mas perak dan hewan. Sebagai balasannya pihak yiara memberi hinggi dan lau, banyaknya tergantung pada kesanggupan dan kemampuan keluarga yang bersangkutan. Ada kalanya sebelum perkawinan dilaksanakan, untuk mengikat persetujuan kedua keluarga, mereka saling memberi kawuku (tanda bukti). Dari pihak keluarga wanita memberi hinggi, lau dan tiara kepada pihak keluarga laki-laki, dan dari pihak keluarga laki-laki akan memberi dua mamuli, dua lulu amahu serta dua ekor kuda.

Pada saat kematian, bila yang meninggal dari pihak yiara, maka pihak layia membawa emas perak, kuda atau

kerbau. Bila yang meninggal dan pihak layia, pihak yiara membawa hinggi (kalau yang meninggal laki-laki) atau lau (kalau yang meninggal wanita). Demikian pula dalam mandara (mencari bahan makanan). Bila hendak meminta padi atau jagung ke pihak yiara, maka membawa emas perak. Sebaliknya bila ke pihak layia membawa hinggi atau lau, Demikianlah, bukan saja dalam urusan perkawinan atau kematian, tanda hubungan ini nyata pula dalam hubungan kekeluargaan sehari-hari. Kedua pihak itu selalu saling memberi dan menerima. Bila pihak layia membutuhkan hinggi atau lau, maka dapat memintanya pada pihak yiara, sebaliknya bila pihak yiara membutuhkan mamuli atau hewan, mereka dapat memintanya kepada pihak layia. Tujuan barang-barang dan hewan itu selalu tetap dan tidak dapat ditukar arahnya.

Selain dapat memelihara hubungan kekeluargaan, kain tenun dapat pula digunakan untuk memelihara hubungan baik dengan yang bukan keluarga. Misalnya dalam suatu pesta atau keramaian, tuan rumah ketika membagi sirih pinang atau dalam melayani makan minum para tamu hendaknya memperhatikan kedudukan seseorang dalam masyarakat, yaitu harus disesuikan dengan tingkatan derajat dan tingkatan usia. Apabila terjadi kekeliruan, dan orang yang bersangkutan merasa dihina atau dipermalukan, maka ia akan menuntut atau meninggalkan pesta itu. Untuk memperbaiki kembali keadaan itu, tuan rumah harus ndoku (mengaku salah) dengan memberi sejumlah kain kepada orang yang bersangkutan dan memotong seekor kerbau atau babi. Bila ia tidak melakukan hal itu maka hubungan akan menjadi tidak baik, bahkan dapat putus sama sekali atau mungkin saja ia akan diperlakukan dengan cara yang sama.

  • 3.    Pembungkus Jenazah dan Bekal Kubur

Menurut Kapita (1976), fungsi kain yang terpenting adalah untuk pembungkus jenazah dan bekal kubur. Pembungkus jenazah pria terdiri dari kain-kain selimut yang dibawa oleh kaum kerabatnya, sedangkan untuk wanita terdiri dari kain-kain sarung. Kain-kain pembungkus jenazah disebut yubuhu, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu yubuhu la tana (kain jenazah di tanah) yang dikuburkan bersama si mati, dan yubuhu la kaheli (kain jenazah di balai) yang disumbangkan kepada keluarga si mati. Yubuhu dikenakan pada jenazah ketika dilakukan upacara Pahadangu (membangunkan), yaitu ketika jenazah dimasukkan ke dalam keranda secara duduk dengan lutut ditekuk dan bertopang dagu. Pada saat itulah segala kain yang dibawa kaum kerabat si mati dikenakan dan diselubungkan pada jenazah. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pandangan orang Sumba, bahwa kehidupan di alam akhirat identik dengan kehidupan di alam nyata. Oleh karena itu, agar arwah si mati tidak hidup sengsara di alam akhirat, maka perlu diberi bekal secukupnya antara lain berupa dangangu ihi ngaru, yaitu mas perak serta hewan korban, dan yubuhu-karandi yang terdiri dari kain-kain selimut atau sarung serta ikat kepala.

Kain tenun dapat digunakan pula sebagai lambang kehadiran arwah seseorang yang telah mati. Mayat yang mati karena kemalangan atau kecelakaan (meti manjurangu) tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah, dan harus segera dikuburkan. Penguburan itu merupakan penguburan sementara, dan arwah si mati dianggap masih berada di tempat kecelakaan itu terjadi. Oleh karena itu, sebelum upacara penguburan dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan upacara Lua papiti hamangu, yaitu upacara untuk menjemput arwah di tempat terjadinya kecelakaan dengan maksud agar arwah si mati dapat

berkumpul dahulu dengan keluarganya dan tidak menjadi arwah penasaran. Arwah yang dijemput itu dilambangkan dengan sehelai kain. Bila orang yang mati itu laki-laki, maka kain yang digunakan adalah kain selimut, dan bila wanita digunakan kain sarung. Setelah itu dilakukan penggalian untuk mengambil mayat atau tulang belulang si mati yang kemudian dibungkus oleh kain itu dan dibawa ke dalam rumah. Sesudah wai maringu (pemberi berkat) mendinginkan mayat atau tulang belulang dengan percikan air suci, barulah dilakukan upacara penguburan seperti yang lazim dilakukan pada kematian biasa.

Kain tenun, khususnya hinggi, dapat pula melambangkan orang yang masih hidup. Hal itu dapat dilihat pada saat kelahiran seorang anak. Apabila ada seorang ibu hendak melahirkan dan suaminya tidak dapat hadir karena sedang bepergian atau hal lainnya, maka kehadiran si suami dapat diwakili oleh kain selimutnya. Hal itu dianggap penting sekali, karena menurut anggapan mereka si bayi akan sulit keluar dari rahim ibu bila tidak ditunggui oleh ayahnya. Dengan adanya kain selimut itu, si bayi diharapkan dapat lahir dengan selamat. Cara seperti tersebut disebut rambangu hinggi.

  • 4.    Harta Benda dan Lambang Status

Masyarakat Sumba menilai kain-kain selimut dan sarung sama dengan benda-benda yang terbuat dari emas dan perak serta hewan-hewan ternak, yaitu sebagai harta benda dan lambang status. Semakin banyak memilikinya, semakin terpandang pula dalam masyarakatnya. Harta benda yang berupa kain merupakan kekayaan pihak wanita dan juga merupakan lambang kewanitaan. Sedangkan harta benda yang berupa emas perak dan hewan ternak merupakan kekayaan pihak laki-laki dan juga sebagai lambang kelaki-lakian. Seorang gadis yang

mempunyai banyak simpanan kain selimut dan sarung akan menjadi idam-idaman para pemuda, apalagi bila kain-kain simpanannya itu adalah hasil karyanya sendiri. Demikian pula halnya dengan seorang istri, ia akan menjadi kebanggaan suaminya.

  • 5.    Alat Tukar Menukar

Ada sesuatu yang dibutuhkan tidak selamanya dipunyai, karenanya harus diusahakan dari orang lain. Bila seseorang membutuhkan kain, maka ia dapat pergi kepada orang yang mempunyainya dengan tukaran ternak atau benda mas perak. Sebaliknya bila membutuhkan hewan ternak atau emas perak, maka ia bisa pergi kepada orang yang mempunyainya dengan tukaran kain. Nilai barang-barang yang ditukarkan biasanya tergantung pada kualitas barang-barang itu dan didasarkan pada kesepakatan bersama antara orangorang yang hendak tukar menukar.

  • 6.    Barang Hadiah

Memberi hadiah, baik kepada orangorang yang masih ada hubungan kerabat maupun kepada orang-orang yang bukan kerabat, merupakan suatu hal yang biasa dilakukan orang Sumba. Barang-barang yang dihadiahkan umumnya berupa kain selimut atau kain sarung. Ada kalanya pula berupa benda-benda mas perak atau hewan ternak. Kain-kain tenun dihadiahkan bukan pada setiap saat, melainkan bila ada peristiwa-peristiwa penting seperti pada kelahiran seorang anak, perkawinan, kematian, atau dihadiahkan kepada orang-orang yang dianggap berjasa dan kepada tamu-tamu yang dihormati. Untuk pria dihadiahkan kain selimut, sedangkan untuk wanita dihadiahkan kain sarung.

  • 7.    Bahan Dekorasi atau Perlengkapan Rumah.

Kain tenun tradisional Sumba sebagai warisan budaya ternyata mempunyai kemampuan adaptif menghadapi perubahan. Hal itulah yang menyebabkan produk kebudayaan material masyarakat Sumba ini masih tetap bertahan dan berkembang. Berbagai upaya efisiensi produksi dilakukan guna mengejar tuntutan permintaan pasar eksternal. Hal itu mengakibatkan terjadi perubahan signifikan tidak saja pada segi formal estetis corak desain motif, tapi juga segi teknis dan fungsinya.

Perubahan pada corak tampak adanya tindakan reduktif seperti pengurangan bahkan penghilangan detail, perbesaran motif, atau perenggangan jarak antar motif. Penyederhanaan motif dan warna serta pengurangan komponen motif semakin lazim dilakukan. Perubahan ini bersifat subtansial, yaitu penyimpangan secara menyeluruh dari standar-standar adati (tradisional). Hal ini terkait dengan fungsi baru yang dimanfaatkan sebagai elemen dekorasi ruangan (Anas, 2006:6-9). Perubahan fungsi yang sebelumnya digunakan untuk keperluan adat yang sakral spiritual, kini digunakan pula untuk hiasan dekoratif yang sekuler berdasarkan pesanan. Misalnya dalam penggunaan motif habaku dan patola ratu. Dahulu kedua motif itu hanya boleh dibuat oleh para ratu atau marimba saja dalam kesempatan tertentu. Kini kedua motif itu oleh siapa pun dan pada saat kapan pun digunakan tanpa keraguan.

Adapun perubahan secara teknis tampak dalam penggunaan warna yang semula memakai zat pewarna alami yang dibuat sendiri, kini menggunakan zat pewarna sintetis yang dibeli di toko. Demikian pula penggunaan benang pintal, semula menggunakan benang pintal tangan, kini benang pintal mesin.

Sebelumnya hanya kaum perempuan saja yang membuat kain tenun, kini kaum pria pun turut berpartisipasi untuk menambah penghasilan.

KESIMPULAN

Secara tradisonal, kain tenun Sumba mempunyai prinsip struktural yang meliputi tiga aspek, yaitu pembagian dua tiga (dyadic-triadic), bayangan dalam cermin (mirror image), dan pemakaian bilangan-bilangan favorit dalam menilai atau mengklasifikasikan sesuatu (2,4,8,16). Ketiga prinsip itu memperlihatkan ciri antagonisme kosmologis yang bertepatan dengan klasifikasi kosmos yang membedakan adanya alam atas, alam tengah, dan alam bawah. Sistem klasifikasi itu, bagi alam atas dihubungkan dengan lingkungan pria yang sakral, dan bagi alam bawah dihubungkan dengan lingkungan wanita yang profan. Sedangkan alam tengah bersifat ambivalen.

Klasifikasi ke dalam dua kategori seperti bersifat pria dan bersifat wanita, sakral dan profan, alam atas dan alam bawah, memberikan pengertian bahwa kedua kategori itu saling bergantungan dan saling mengisi. Adanya pertentangan dalam kedua kategori itu merupakan keharusan untuk membentuk suatu totalitas.

Kain tenun tradisional, khususnya lau pahikungu merupakan lambang identitas perempuan. Selain fungsi tersebut, kain tenun mempunyai fungsi lain yang penting artinya dalam kehidupan masyarakat Sumba yang meliputi bidang religius, sosial dan ekonomi, yaitu sebagai busana adat, pembungkus jenazah, bekal kubur, tanda hubungan kekeluargaan, harta benda, alat tukar menukar, barang hadiah, dan bahan dekorasi.

Kain tenun tradisional Sumba sebagai warisan budaya mempunyai kemampuan adaptif menghadapi

perubahan. Berbagai upaya efisiensi produksi dilakukan guna mengejar tuntutan permintaan pasar, sehingga terjadi perubahan fungsi yang sebelumnya digunakan untuk keperluan adat yang sakral spiritual, kini digunakan pula untuk hiasan dekoratif yang sekuler berdasarkan pesanan.

DAFTAR PUSTAKA

Anas, Biranul. 2006 Morfologi Corak Kain    Tradisional    Indonesia:

Pencorakan Hinggi Sumba Timur dalam Perspektif    Pengaruh

Eksternal, makalah, Jakarta : Bentara Budaya.

Kapita, Oemboe Hina. 1976. Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Waingapu :   Panitia Penerbit

Naskah-naskah      Kebudayaan

Daerah Sumba, GKS.

Soeriadiredja, Purwadi. 1983. Simbolisme dalam Disain Kain di Watu Puda, Sumba Timur, Bandung : FS -UNPAD.