DOI: https://doi.org/10.24843/SP.2019.v3.i02.p06

p-ISSN: 2528-4517

Konsepsi Masyarakat Julah terhadap Kawin Manesin di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng

Ida Ayu Kade Bulan Cahyani*, Ida Bagus Gde Pujaastawa, I Gusti Putu Sudiarna Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

[[email protected]], [[email protected]], [[email protected]] Denpasar, Bali, Indonesia

*Corresponding Author

Abstrak

Perkawinan yang ideal merupakan suatu perkawinan yang didambakan oleh kehiduan manusia, namun tidak memungkiri dapat juga terjadinya suatu perkawinan yang tidak ideal yang dilarang oleh masyarakat setempat. Masyarakat Julah terdapat perkawinan yang dilarang dan dihindari untuk dilakukan, apabila perkawinan tersebut terjadi maka disebut sebagai perkawinan manesin dikarenakan bersifat memanes atau panas dan kotor bagi keluarga dan juga lingkungan Desa Julah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini; 1) Bagaimana bentuk-bentuk perkawinan manesin menurut konsepsi masyarakat di Desa Julah?; 2) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya perkawinan manesin pada masyarakat Desa Julah?; 3)Apa implikasi dari perkawinan manesin bagi masyarakat Desa Julah? Dalam penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif melalui observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi untuk mendapatkan sumber data yang primer dan sekunder, dengan analisis deskripstif. Teori yang digunakan merupakan teori strukturalisme dari Levi Strauss mengenai simbolik mengatur perkawinan di tunjang dengan teori tiga dimensi arti simbol dari Victor Turner. Adapun Perkawinan manesin ini merupakan suatu perkawinan yang terjadi antara seseorang dengan seseorang yang merupakan masih memiliki satu garis keturunan baik secara vertikal maupun horizontal atau dapat disebut dengan perkawinan sedarah (incest). Faktor terjadinya kawin manesin diantaranya faktor lingkungan dan budaya, faktor ekonomi dan lemahnya pengendalian sosial yang ada di Desa Julah, sehingga mengakibatkan suatu implikasi seperti berbagai permasalahan yang dialami oleh keluarga bersangkutan dan diwajibkan untuk membuatkan suatu upacara pembersihan diri, keluarga maupun desa yang dinamakan dengan melis gede.

Kata kunci: Kawin manesin, incest, kotor, melis gede.

Abstract

In all of human life, people demand their marriage to be ideal, it is undeniable that we as a human sometimes doing some thing’s that is forbidden especially forbidden marriage or manesin marriage between siblings. The community of Julah village has a forbidden marriage and avoided certain kind of marriage’s especially manesin marriage, the community called it as manesin marriage, it means that marriage is bad for the family and can make the whole family polluted also polluted social environment of Julah village. Therefore researcher has a few formulation for this research; 1) How’s the conception of Julah community about forms of manesin marriages in Julah village?;2) what factors that influence manesin marriages that happened on Julah village?; 3) what are the implications of manesin marriages on Julah village? On this research, the researcher used qualitative data through observation, interview, literature study and documentation to acquire primary and secondary data source, with descriptive analysis. Theory that used in these research are Structuralism from Levi Strauss about Symbolic Marriage Rules and as a secondary theory to support this research, three dimensional meaning of symbol theory by Victor Turner. Manesin marriage is a mariage that happens between siblings that generation descent down or sideways or inbreeding. There are certain factor’s that encourage people to do manesin marriage in Julah village; environment

Sunari Penjor: Journal of Anthropology

Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud

factor, cultural factor, economic factor and weak social control, so that causes an implication such as many problems experienced by the family whom are doing an manesin marriages and they are obliged to do a certain religious ceremony to cleansed themself, the name of the ceremony is melis gede

Keyword : Manesin marriage, incest, polluted, melis gede

PENDAHULUAN

Tradisi yang unik merupakan sebuah kebaanggaan yang di miliki oleh Pulau Bali, sehingga dapat dijumpai pada desa – desa yang masih mempertahankan sistem tradisionalnya sebagai identitas kultural masyarakat setempat, termasuk dalam tradisi perkawinan. Hukum adat suatu perkawinan merupakan ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membina rumah tangga yang dilakukan secara adat istiadat dan agamanya masing-masing dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak saudara maupun kerabat (Primadona, 2019).

Tradisi- tradisi di Bali dilakukan dengan sesuai dengan kaidah-kaidah atau awig-awig yang berlaku pada masing-masing desa di Bali. Upacara perkawinan merupakan sesuatu yang dianggap penting dan suci bagi setiap manusia sehingga perkawinan yang diharapkan merupakan perkawinan yang ideal (Lestawi et al 2019:187). Perkawinan ideal pada masyarakat Hindu di Bali dilakukan dengan proses yang sakral menggunakan unsur spiritual dan material dengan berpedoman pada awig-awig yang berlaku demi menciptakan suatu perkawinan yang diharapkan.

Peraturan perkawinan pada umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila mengacu pada norma adat Bali dan Undang – Undang perkawinan. Perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tidak berstatus sebagai kakak dan adik, ayah dan anak, atau ibu dan anak, perkawinan tersebut dianggap sangat tabu bagi masyarakat karena dalam dunia kesehatan perkawinan tersebut dalam mengakibatkan lahirnya anak dengan berbagai kekurangan baik

fisik maupun mental. Jenis perkawinan tersebut dapat dikatakan sebagai perkawinan sedarah atau incest. Suatu peraturan diharapkan dalam mengendalikan suatu penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan sosial serta digunakan sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku individu (Dewi, 2019: 184).

Peraturan tersebut tidak hanya berlaku bagi masyarakat Bali dataran, namun hal ini di terapkan juga pada Desa Bali Mula khususnya Desa Julah untuk menyimpan kearifan dan kepercayaan lokal dikemas dengan landasan dalam menjaga keharmonisan antarsesama manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa (Suastika & Jayanti, 2014: 159).

Perkawinan sedarah pada masyarakat Julah sangatlah dilarang dan dihindari, masyarakat mempercayai selain berdampak pada kesehatan perkawinan sedarah dapat berdampak pada berbagai hal baik secara sekala maupun niskala dalam kehidupan masyarakat Julah. Masyakarat julah menyebut perkawinan sedarah yakni perkawinan manesin, dimana kata manesin berasal dari kata manes yang artinya panas, maka dapat diartikan sebagai perkawinan manesin merupakan suatu perkawinan yang bersifat panas yang dapat menimbulkan banyak permasalahan yang akan terjadi bagi pelakunya. Namun kendati demikian, perkawinan manesin ini tetap terjadi di desa Julah.

Adapun batasan masalah dalam penelitian ini, pertama bentuk- bentuk perkawinan manesin menurut konsepsi masyarakat Desa Julah, kedua faktor-fakror yang memepengaruhi terjadinya perkawinan manesin di Desa Julah,

ketiga implikasi dari perkawinan manesin.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitaf yang sifatnya menyeluruh dan mendalam guna mendapatkan native’s point of view dari masyarakat Julah mengenai konsepsi perkawinan manesin di Desa Julah dalam memperoleh data secara langsung hasil dari melakukan observasi dan wawancara mendalam (indept interview) terhadap orang-orang yang memiliki kategori sebagai informan yang telah ditentukan dalam penelitian ini yang disebut dengan sumber data primer. Selain itu penelitian ini ditunjang dengan melakukan studi kepustakaan dan dokumentasi yang mengacu dengan penelitian ini untuk sumber data sekunder (Spradley, 2007: 5). Hasil dari data primer dan sekunder kemuadian akan dianalisis dengan metode kualitatif dengan menenkankan deskriptif interpretative yang dikaji menggunakan suatu teori untuk dapat menarik kesimpulan dari permasalahan penelitian ini (Kisworo,2019:44).

KERANGKA TEORI

Penelitian ini menggunakan teori pertukaran sosial dari Levi-Straus dan Victor Turner. Levi-Strauss memusatkan perhatiannya pada konsepsi tukar menukar sebagai asal mula kemunculan aturan pantangan incest terutama pada masyarakat tradisional yang memegang erat budaya agraris. Menurutnya batasan mengenai perkawinan sedarah atau incest diawali dengan perjodohan atau perkawinan seorang lelaki yang mencari wanita dari kelompok yang berbeda, suatu saat kelompok lelaki tersebut juga akan menyerahkan wanita dari kelompoknya untuk dijodohkan dengan kelompok istrinya, hubungan saling tukar menukar wanita tersebut dianggap dapat memunculkan persekutuan baru diantara kedua kelompok dengan berbagai tujuan

tentunya dalam lapangan kebutuhan yang sama. Demikianlah gejala tukar-menukar wanita antar-kelompok manusia kemudian membudaya menjadi pranata yang mantap, dengan itu juga berkembang pantangan kawin dengan saudara sekandung sendiri (la prohibition de l’incest), lalu pantangan tersebut menurunkan 2 konsep dasar yaitu struktur elementer dan struktur kompleks (Koentjaraningrat, 2014: 213-231). Victor Turner mendefinisikan simbol sebagai sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili dan mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau membayangkan dengan dalam kenyataan atau pikiran. Terdapat 3 arti dimensi simbol yaitu eksegetik, dimensi operasional dan dimensi posisional, ketiga unsur tersebut saling berhubungan satu sama lainnya di dalam masyarakat (Winangun,1990:18-20).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkawinan manesin pada masyarakat Julah merupakan suatu perkawinan yang dianggap tidak ideal, dalam perkawinan ini pelaku individu dapat mengakitbkan suatu marabahaya yang akan terjadi baik secara nyata maupun tidak nyata. Namun meskipun demikian, masyarakat Julah memiliki suatu upacara khusus untuk pelaku perkawinan manesin untuk dapat menetralkan atau membersikan diri, keluarga, dan lingkungan desa. upacara tersebut bernama melis gede.

Bentuk-Bentuk Perkawinan Manesin Menurut Konsepsi Masyarakat Desa Julah

Pranata hubungan antara seorang pria dan wanita, yang diresmikan menurut prosedur adat-istiadat, hukum atau agama dan masyarakat yang bersangkutan dan karena itu mempunyai konsekuensi ekonomis sosial, hukum,

dan keagamaan bagi para individu yang bersangkutan, para kaum kerabat mereka dan para keturunan mereka merupakan sebuah pengertian dari pekawinan. Masyarakat Julah mempercayai adanya hukum adat secara tertulis maupun tidak tertulis dalam proses perkawinan.

Perkawinan pada masyarakat Julah memiliki dampak yang sangat besar dalam menjalin sistem kekerabatan. Namun, hingga saat ini masyarakat masih melakukan yang namanya perkawinan manesin yang dianggap sumbang. Secara umum masyarakat Julah juga sudah mengetahui konsekuensi yang akan diterimanya. Perkawinan manesin yang di Desa Julah sangat bervariasi namun, beberapa diantaranya hanya dianggap manesin karena leluhurnya memiliki hubungan keluarga, namun juga menemukan terdapat yang melakukan perkawinan sumbang secara sadar dan nyata seperti yang di ungkapkan oleh Sidemen.

“ gini- gini sekarang lebih banyak yang melis karena dia punya biaya atau uang, kalau dulu masih jarang yang ngadain upacara melis, sebenarnya perkawinan manesin di Julah hanya mengait-ngaitkan leluhurnya, maksudnya jikalau orang sesama Julah menikah, sebelum menikah keluarganya mencari tahu terlebih dahulu siapa orangtuanya, siapa kakek neneknya begitu seterusnya hingga nantinya akan ketahuan kalau mereka ada ikatan keluarga, namun ada juga yang perkawinan manesin sungguhan seperti dia menikahi bibinya sendiri”.

Hubungan saling mencintai yang bersifat seksual sangatlah sulit untuk dihindari sehingga pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat sangat rentan untuk bisa melakukan yang bersifat perkawinan tabu tersebut (Arunde, 2018:102). Prosesi perkawinan di Desa Julah yakni dengan

prosesi ngrorod atau kawin lari, prosesi ini merupakan sebuah tradisi yang di sah oleh peraturan adat karena prosesi ini merupakan tradisi peninggalan leluhurnya yang harus senantiasa dijaga (Ningrat et al. 2018).

Berikut bentuk- bentuk perkawinan manesin yang dilarang di Desa Julah antara lain 1) Perkawinan keponakan dengan saudara kandung bapak atau ibu yaitu suatu perkawinan yang melibatkan dua keluarga yang laki-laki berstatus keponakan sedangkan perempuan merupakan adik dari orang tua si keponakan atau bisa disebut dengan keponakan menikah dengan bibi. Selain itu perkawinan seorang perempuan yang dianggap keponakannya dipersunting oleh laki-laki saudara kandung orangtua nya atau dapat disebut dengan keponakan menikah dengan paman. 2) Perkawinan antarsaudra sekandung, perkawinan ini dimaksud dimana seorang laki-laki dan perempuan yang memiliki status dalam satu keluarga sebagai adik dan kakak kandung yang menikah masih dari satu garis keturunan yang bersifat satu orang tua dan satu darah. 3) perkawinan dengan saudara atau misan termasuk ke dalam hubungan sedarah kesamping, 4) perkawinan Makedeng-kedengan Ngad adanya pertukaran antar anggota keluarga (umumnya antara dua keluarga) yang ditujukan untuk perkawinan. Perkawinan ini seseorang laki-laki yang menikahi seorang ipar dari kakak atau adiknya biasanya di sebut juga dengan saling tarik sembilu.

Jumlah perkawinan manesin yang ada di daerah Julah khususnya banjar Kawanan dan Kanginan, terdapat kurang lebih sekitar 20% dari jumlah KK yang terdeteksi. Selama 5 tahun terakhir dari tahun 2015 hingga 2020 sebanyak 75 KK kasus yang yang dimana pertahunnya terdapat 15 KK yang tercatat sebagai pasangan yang melakukan perkawinan manesin. Berdasarkan data dilapangan bentuk perkawinan manesin yang terjadi

di Desa Julah yaitu 1) Perkawinan antara bibi dengan keponakan, 2) Perkawinan antara bibi dengan keponakan, 3) Perkawinan dengan Saudara Misan/Mindon (sepupu).

Berkembangnya sistem masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan membuat eksogami desa telah mulai berkurang pada sebagian besar masyarakat Julah. Ketentuan larangan perkawinan tersebut tetap diberlakukan di dalam masyarakat lokal yang memiliki keterikatan kekerabatan satu jalur atau satu garis keturunan (Nikmah,2018:66). Perkawinan manesin yang terjadi di Desa Julah jumlah yang mendominasi yaitu suatu perkawinan manesin yang dianggap memiliki suatu hubungan keluarga dari leluhur-leluhurnya sejak dahulu, sehingga beberapa pelaku harus menerima konsekuensinya, namun terdapat juga kasus dimana apabila pelaku perkawinan manesin ini sudah meninggal, kemudian keluarganya kelak yang akan menanggung konsekuensi dari pelaku dan harus membuatkan suatu upacara khususnya.

Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Perkawinan Sumbang

Perkawinan tidak bisa dipisahkan dengan manusia karena perkawinan merupakan suatu hukum alam. Perkawinan bisa terjadi secara natural yaitu karena adanya perasaan suka secara mutual oleh kedua manusia, atau karena adanya paksaan yang berdampak pada umur perkawinan itu sendiri akibat tekanan yang dihasilkan dari berbagai pihak. Meskipun perkawinan yang diidam-idamkan adalah perkawinan yang berdasar pada perasaan suka yang mutual, rintangan atau halangan tidak akan bisa dihindari karena berbagai peraturan yang mengikat kehidupan manusia termasuk pelaksanaan perkawinan itu sendiri (Tilome & Alkatiri, 2020: 123).

Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan manesin di Desa Julah.

  • 1)    Faktor Lingkungan dan budaya menjadi faktor awal dan utama terbentuknya suatu perkawinan manesin, karena Desa Julah menurut sejarah dan letak geografis desa pada zaman kerajaan dikenal dengan sulitnya akses untuk keluar masuk desa, sehingga individu yang ingin mencari jodoh hanya bisa sesama Desa Julah. Peristiwa sejarah di masa lampau tentunya melibatkan masyarakat manusia dalam suasana alam lingkungan geografi tertentu. Interaksi antara manusia yang membuat sejarah serta keadaan alam fisiknya mutlak pernah terjadi di masa silam (Arta, 2019:113). Hal ini mengakibatkan perkawinan manesin menjadi semakin eksis di kalangan Desa Julah, semakin banyak yang menikah secara endogami maka hubungan kekerabatan masing-masing individu di Desa Julah menjadi sangat dekat bahkan menjadi hubungan sedarah hingga perkawinan manesin dapat terjadi, namun selain itu pemilihan jodoh masing-masing individu dikarenakan faktor budaya. Budaya di Desa Julah sangat banyak dan masih harus terjaga. Tidak hanya tradisi, Desa Julah terus berusaha semaksimal mungkin dan segala daya untuk melestarikan keadaan desanya misalnya dengan menata lingkungan dan menata bentuk bangunan agar sesuai dengan aslinya.

Masyarakat Julah memiliki pemikiran bahwa perkawinan yang di lakukan di dalam lingkungan yang sama akan mendukung baik dari tata cara dalam melaksanakan kehidupan dan berbagai macam tradisi yang ada. Bayaknya tradisi yang dimiliki masyarakat Julah inilah yang membuat masyarakat tersebut jarang menikahi perempuan dari luar desa, mereka meyakini perkawinan manesin yang bersifat engodami dapat mempererat tali

persaudaraan dalam menjaga budaya dan tanah kelahiran (Yusdiawati, 2017: 95).

  • 2)    Faktor ekonomi tak kalah pentingnya bagi masyarakat Julah. Masyarakat Desa Julah mayoritasnya memilih pekerjaan sebagai petani di karenakan beberapa diantaranya masih memiliki tanah yang di berikan oleh leluhurnya sebagai warisan yang kemudian dikelola atau di rawat oleh sanak saudara untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanah hasil warisan merupakan aset berharga bagi masyarakat Julah dan wajib dipelihara oleh ahli warisnya (Asmarajaya,2017:115). Keberadaan tanah warisan tersebut penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat Julah, sehingga ketakutan masyarakat Julah akan hilangnya hak waris tanah tersebut membuat masyarakat Julah jarang melakukan perkawinan eksogami, namun masyarakatnya lebih memilih menikah antarkeluarga karena sudah adanya kepercayaan yang terbangun untuk menjaga tanah warisan keluarga.

  • 3)    Lemahnya pengendalian sosial yang terdapat di Desa Julah menjadikan masyarakat enggan untuk mematuhi peraturan perkawinan yang ada. Segala tingkah laku individu, anggota kelompok sosial, dan kehidupan sosial selalu mempunyai suatu alat kontrol untuk sebuah batasan-batasan yang tertuang dalam bentuk perintah dan larangan. Perintah dan larangan atas sebuah perilaku dinamakan pengendalian terdapat suatu sanksi untuk pelanggar yang melakukan perkawinan manesin. Sanksi yang terdapat pada masyarakat Julah berupa suatu upacara khusus yang bertujuan untuk pembersihan diri, rumah, keluarga dan lingkungan Desa Julah dari perkawinan manesin, sanksi tersebut bersifat kurang represif dikarenakan sanksi tersebut berupa upacara dan apabila tidak dilaksanakan maka yang akan terkena dampak dari perkawinan manesin tersebut yaitu keluarga itu sendiri.

Meskipun demikian masyarakat yang dinggap melakukan perkawinan manesin tetap taat melakukan sanksi tersebut dikarenakan mereka mempunyai kepercayaan yang kuat atas dampak yang akan diakibatkan secara sekala dan niskala. Namun sanksi yang diberikan tidak membuat masyarakat untuk tidak melakukan perkawinan manesin mereka menganggap sanksi yang sedemikian rupa masih bisa mereka laksanakan kelak di kemudian hari dan setelah sanksi itu dilaksanakan mereka sudah dianggap bersih atau sudah tidak leteh lagi.

Implikasi Perkawinan Manesin

Implikasi merupakan sesuatu konsep yang didasari sebuah kebijakan yang di keluarkan oleh sebuah organisasi baik tradisional maupun modern. Dengan kata lain implikasi merupakan konsekuensi – konsekuensi dari proses aplikatif kebijakan yang digalakkan di tengah masyarakat, konsekuensi tersebut bisa bersifat positif maupun negatif tergantung dari kebijakan yang dikeluarkan dengan pengaplikasikan kepada masyarakat (Islamy, 2003:114115).

Konsekuensi tersebut dalam perkawinan manesin di Desa Julah terdapat 2 implikasi diantaranya:

  • 1)    Permasalahan dalam keluarga sering dialami oleh pelaku yang melakukan perkawinan manesin, permasalahan tersebut merupakan sebuah keyakinan yang bersifat terlihat dan tidak terlihat. Perkawinan manesin dalam dunia kesehatan memiliki resiko genetika yang dapat menyebabkan penyakit thalassemia dengan beragam jenisnya (mayor, minor, alfa, dan beta). Penyakit ini mengakibatkan gejala kekurangan darah akut, serta perkawinan antara keluarga dekat akan memyebabkan keturunan yang lemah jasmani dan rohani. (Khafizoh, 2017: 66).

Pada Desa Julah peristiwa seperti ini sangat jarang terjadi, namun masyarakat

mempercayai akan terjadinya konsekuensi yang akan terjadi. kepercayaan yang masih kental yakni permasalahan yang bersifat terlihat maupun tidak terlihat, seperti anak meninggal, keluarga mengalami sakit-sakitan hingga mendapatkan suatu pertanda melalui mimpi-mimpi yang tidak masuk akal. Pertanda untuk mengetahui perkawinan salah yakni pertanda melalui mimpi yang di datangkan dan di peringati oleh leluhur-leluhur pelaku.

  • 2)    Upacara Melis Gede merupakan sebuah ritual daur hidup pada masyarakat Julah yang diyakini sebagai sebauh tradisi pembersihan dini dalam perkawinan manesin. Nilai religius yang tinggi diimiliki oleh desa – desa Bali Mula dalam mengimplementasikan sebuah upacara pada kehidupan masyarakat (Dewi,2018:50).

Upacara melis gede dapat dilaksanakan pada pinglong apisan menurut kalender Julah, dalam pelaksanaannya upacara melis gede di pimpin oleh seorang balian yang menjadi orang tertua pada masing-masing keluarga besar. Upacara melis gede dilaksanakan pada empat tempat upacara yang pertama, pelaku melaksankan persembahyangan di luar areal Pura Dalem, pada prosesi ini biasanya dilakukan saat sebelumnya matahari terbit, berlangsungnya upcara bersifat sangat khusyuk dan sunyi. Prosesi dilakukan diluar areal Pura agar kesucian Pura Dalem masih terjaga, mengingat seseorang yang melakukan perkawinan manesin ini dianggap masih leteh atau tercemar. Kedua, upacara dilakukan di tukad pengelumbaan, prosesi ini dilakukan dengan sarana upakara di letakkan pada meja dari bambu berisikan hiasan dari janur serta beralaskan tikar yang sudah dipersiapkan oleh keluarga yang melaksanakan upacara melis gede.

Masyarakat Desa Julah mempercayai apabila upacara tersebut tidak

dilaksanakan di tukad pengelumbaan maka keluarga tersebut belum benar bersih secara sekala maupun niskala, dikarenakan tukad pangelumbaan ini dahulunya merupakan sebuah aliran sungai yang dipercaya dapat membersikan diri secara sekala dan niskala. Tukad pengelumbaan ini berada pada timur Desa Julah yang menjadi batas anatara Desa Julah dengan Desa Bondalem.

3), Melis gede selanjutnya dilaksanakan di sanggah kemulan atau kawitan rumah, pelaksanaan prosesi di sanggah kemulan atau kawitan bertujuan agar seluruh keluarga dan tempat tinggal mendapat kesucian dan menjadi bersih. Prosesi upacara yang dilakukan oleh masyarakat Julah dan sistem kepercayaan masyarakat lebih condong pada kepercayaan pada leluhur, oleh karena itu sanggah dadia/tempat pemujaan klan tidak dikenal, tetapi yang dikenal adalah sanggah misi atau tempat pemujaan leluhur (Mudra, 2017:76). Prosesi upacara di sanggah kemulan masih dipimpin oleh seorang balian keluarga, namun pada acara ini keluarga yang melaksanakan perkawinan sumbang mengundang dulun desa yang terdiri dari jero kubayan 2 (kiwa dan tengen), jero bawu 4 (kiwa dan tengen), penyarikan desa, bapa prajurit (kepala desa), penegen tengah dan krama teben atau muit, dulun desa ini diundang untuk menjadi saksi bahwa upacara tersebut sudah berlangsung dengan prosesi yang sudah ditetapkan.

Keempat, pada upacara melis gede selanjutnya dilaksanakan di segara atau pantai yang berdekatan dengan sumur tua milik Desa Julah. Pelaksanaan tahap kedua merupakan sebuah proses pembersihan diri yang dianggap sangat wajib dilaksanakan, dikarenakan pembersihan di pantai merupakan proses pembersihan yang sakral dan bersifat pembersihan secara menyeluruh maka dari itu pelaksanaan yang dilaksanakan di

segara ini juga diwajibkan mengundang krama desa yang terdiri dari dulun desa.

Para dulun desa pada prosesi ini tidak hanya datang untuk menyaksikan berlangsungnya upacara namun juga dulun desa seperti 2 jero kubayan, 4 jero bawu, penyarikan desa, dan bapa prajurit berperan dalam pembuatan sesajen bernama banten caru yang nantinya akan di persembahkan atau dihaturkan saat pecaruan di pantai pada akhir ritual, sementara itu krama tegak lainnya membantu membuat haturan yang nantinya akan di bagikan ke semua krama tegak dari dulun desa hingga muit yang hadir untuk di bawa pulang.

SIMPULAN

Perkawinan manesin yang dimaksudkan yaitu perkawinan yang melibatkan suatu keluarga yang masih memiliki ikatan atau hubungan darah baik secara vertikal maupun horizontal. Perkawinan manesin pada masyarakat Julah memiliki beberapa bentuk seperti bibi menikah dengan keponakan, kawin dengan misan dan kawin dengan keponakan, perkawinan tersebut dapat terjadi juga karena beberapa faktor seperti faktor lingkungan, faktor ekonomi, serta faktor lemahnya pengendalian sosial. Sehingga perkawinan manesin di Desa Julah ini berimplikasi terhadap beberapa kehidupan sosial masyarakat seperti terdapat keluarga yang mendapatkan petunjuk melalui mimpi, kemudian berbagai permasalahan keluarga yang mulai bermunculan sehingga mereka yang melakukan perkawinan manesin ini di wajibkan untuk melakukan suatu upacara pembersihan diri yang dinamakan melis gede. Upacara melis gede ini merupakan suatu upacara yang dipercaya dapat memberikan kesucian dan kebersihan kembali baik secara sekala maupun niskala kepada keluarga yang sudah melakukan perkawinan manesin, upacara ini juga wajib

disaksikan oleh perangkat desa adat yang di namakan dengan dulun desa.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan maka penulis bermaksud memberikan saran kepada peneliti selanjutnya yang sekiranya bermanfaat dan perlu dikembangkan lagi mengenai perkawinan manesin pada masyarakat Desa Julah. Seperti:   1. Meneliti

bagaimana pengendalian sosial yang dilakukan oleh pihak pengurus adat. 2. Untuk mendalami kehidupan masyarakat dalam melakukan perkawinan manesin, guna untuk dapat melengkapi kekurangan dari penelitian ini.

REFERENSI

Arunde, R. M. M. (2018). Tinjauan

Yuridis Tentang Perkawinan Sedarah Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974. Jurnal Hukum 4(2), 102

Asmarajaya, I. M. (2017). Sistem Kekerabatan Kepurusa Di Bali. Jurnal Unmas 7 (1)

Arta, K. S. (2019). Perdagangan Di Bali Utara Zaman Kerajaan Bali Kuno Perspektif Geografi Kesejarahan. Jurnal Undiksha 5(2), 113

Dewi, F. (2019). Kawin Sadarah Dalam Kaba Si Buyuang Karuik; Tinjauan Sosiologis Incest In Kaba Si Buyuang Karuik:   Sociological

Reviews. Jurnal Balai Bahasa Sumbar 13(2)184

Dewi, I. G. A. A. C (2018). Manak Salah Dalam Tradisi Lokal Di Desa Pakraman Julah Kabupaten Buleleng. Jurnal IHDN 1(1) 50

Lestawi, Et. Al. (2019). Pemberian Nama Adat Dalam Hukum Perkawinan Adat Di Desa Julah Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng.

Jurnal Ilmu Hukum 15(2) 187

Sutika, I. N. D & Jayanti, I. G. N (2014). Incest Dalam Kehidupan Sosial Religious Masyarakat Bali. Jurnal BPNB Bali 19(2) 159

Kisworo, R. (2019). Problematika Hukum Perkawinan Campuran Berdasarkan Kasus Pernikahan Jessika Iskandar dengan Ludwig Frans Willi Bald Dalam Perspektif Internasional. Jurnal Privat Law, 11(1), 44.

Tilome, A. A & Alkatiri, R. (2020). Makna Perkawinan Sedarah bagi Warga Suku Polahi di Indonesia Apris Ara Tilome. Jurnal Universitas      Muhammadiyah

Gorontalo 6(2) 123

Ningrat, et al. (2018). Perkawinan Ngerorod Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di Desa Julah Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng). Jurnal Undiksha 1(3)

Nikmah, R. (2018). Larangan Perkawinan Satu Suku (Endogami) Di Kota Atambua-Nusa Tenggara Timur. Jurnal UIN Jogja 3(1) 66

Primadona, A. (2019). Keabsahan Perkawinan Sedarah Masyarakat Adat Batak Toba Menurut Hukum Adat. Jurnal Hukum 2(1)

Yusdiawati. (2017). Isu-Isu Sosial Budaya. Jurnal Antropologi 19(2) 95

Khafizoh, A. (2017) Perkawinan Sedarah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Genetika. Jurnal Universitas Sains Al-Quran 3(1) 66

Spradley, J. P. (2007). Metode Etnografi. Jogjakarta: Tiara Wacana.

Winangun, Y. W. W. (1990). Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas Dan Komunitas Menurut Victor Turner. Yogyakarta:  Kanisius Anggota

Ikapi

Mudra, I. K. (2017). Kontribusi Program Desa Wisata Dalam Mentransisi Arsitektur Umah Tua Di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Jurnal Teknik Unud 4(1) 76