INTRODUKSI HIJAUAN MAKANAN TERNAK SAPI DI MINAHASA SELATAN
on
pastura Vol. 3 No. 1 : 5 - 8
ISSN : 2088-818X
INTRODUKSI HIJAUAN MAKANAN TERNAK SAPI
DI MINAHASA SELATAN
Femi H. Elly, P. O. V. Waleleng, Ingriet D. R. Lumenta dan F. N. S. Oroh Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Peranan ternak sapi sebagai sumber pangan berupa daging bagi masyarakat. Permasalahannya populasi ternak sapi di Sulawesi Utara cenderung mengalami penurunan. Lambatnya pertumbuhan populasi ternak sapi ditentukan oleh faktor eksternal diantaranya pakan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka telah dilakukan pengkajian tentang introduksi hijauan makanan ternak sapi di Minahasa Selatan. Dasar pemikiran bahwa ternak sapi merupakan komoditas andalan sehingga pemerintah perlu mengupayakan kebijakan berkaitan dengan ketersediaan hijauan pakan ternak secara kontinyu. Hijauan makanan ternak (forage) merupakan bahan makanan atau pakan utama bagi kehidupan ternak serta merupakan dasar dalam usaha pengembangan peternakan. Untuk meningkatkan produktivitas ternak, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penyediaan pakan sepanjang tahun baik kualitas dan kuantitas yang cukup. Dalam merespon kebijakan pemerintah maka di Minahasa Selatan telah dilakukan pengembangan hijauan makanan ternak sapi. Kesimpulannya, introduksi hijauan makanan ternak sangat bermanfaat bagi petani peternak dalam pengembangan ternak sapi. Berdasarkan introduksi hijauan maka perlu pendampingan bagi petani peternak untuk manajemen hijauan.
Kata kunci: hijauan, introduksi, ternak sapi
INTRODUCTION OF FORAGE OF CATTLE IN SOUTH MINAHASA
ABSTRACT
The role of cattle as a source of food for the community in the form of meat. The problem of cattle population in North Sulawesi tend to decrease. The slow growth of the cattle population is determined by external factors such as feed. Based on these ideas, has made the study of food forage introduction of cattle in South Minahasa. Premise that cattle is a commodity that the government should pursue policies relating to the availability of forage continuously. Forage fodder is a major food or feed for livestock and is the basis of life in the animal husbandry development effort. To increase the productivity of livestock, one of the important factors that must be considered is the provision of good quality feed year round and enough quantity. In response to the government policy in South Minahasa has made the development of cattle forage food. In conclusion, the introduction of green fodder is very beneficial to farmers in the development of cattle ranchers. Based on the introduction of forage necessary assistance to livestock farmers for forage management.
Keywords: forage, introduction, cattle
PENDAHULUAN
Program swasembada daging di tahun 2014 nampaknya sulit untuk mencapai keberhasilan yang optimal. Percepatan swasembada daging harus didukung oleh peningkatan produksi daging. Peningkatan produksi daging dapat dilakukan melalui peningkatan populasi ternak sapi. Populasi ternak sapi di Sulawesi Utara cenderung mengalami penurunan, tetapi disisi lain, permintaan terhadap daging sapi juga cenderung meningkat. Data Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara (2011) menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dan 2010 populasi ternak sapi mengalami penurunan yaitu masing-masing pertumbuhannya -1,60 dan -7,56. Kondisi ini menyebabkan produksi daging sapi tidak dapat memenuhi permintaan daging yang cenderung meningkat tersebut.
Kecenderungan peningkatan permintaan akan daging disebabkan karena meningkatnya penduduk yang diikuti dengan peningkatan pendapatan per kapita dari masyarakat Sulawesi Utara. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan permintaan daging lebih cepat dibanding pertumbuhan populasi ternak sapi serta produksi daging sapi. Fenomena ini yang menyebabkan impor daging tetap dilakukan.
Lambatnya pertumbuhan populasi dan produksi daging sapi ditentukan oleh faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut diantaranya manajemen reproduksi (Herianti dan Subuharta, 2013) dan ketersediaan pakan yang tidak mencukupi. Ternak sapi di Sulawesi Utara diusahakan secara tradisional, dalam arti ternak tidak dikandangkan. Ternak digembalakan di lahan-lahan pertanian dan dibiarkan mengkonsumsi limbah pertanian dan rumput yang tumbuh liar. Peternak
belum memahami kebutuhan pakan berdasarkan status fisiologisnya. Permasalahan yang utama yang sering dihadapi adalah masalah pakan (Elly, 2008; Elly et al, 2008; Salendu, 2012 dan Susanti et al., 2013). Prawiradiputra (2011) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menentukan baik buruknya pertumbuhan ternak sapi adalah pakan. Keterbatasan pengadaan hijauan ini berakibat rendahnya produksi ternak terutama pada musim kemarau, sehingga secara umum akan menghambat peluang pengembangan populasi ternak sapi. Keterbatasan pakan dapat menyebabkan populasi ternak di suatu daerah mengalami penurunan.
Peningkatan populasi ternak sapi sangat perlu dukungan ketersediaan hijauan pakan sepanjang tahun baik kuantitas maupun kulaitas. Hijauan pakan secara umum merupakan porsi terbesar untuk ransum ternak sapi. Tetapi, menurut Hermawan dan Utomo (2013), 62% peternak sapi menyatakan bahwa penyediaan hijauan pakan merupakan faktor pembatas usahatani ternak sapi. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perlu dilakukan pengkajian tentang introduksi hijauan makanan ternak sapi di Minahasa Selatan. Tujuannya adalah untuk mengkaji sejauhmana introduksi hijauan makanan ternak sapi terhadap pengembangan ternak sapi di Minahasa Selatan.
DASAR PEMIKIRAN
Kabupaten Minahasa Selatan memiliki potensi ternak sapi kedua terbanyak di Sulawesi Utara. Selain itu, Minahasa Selatan memiliki potensi lahan untuk pengembangan hijauan makanan ternak. Ternak sapi di daerah ini merupakan komoditas andalan sehingga oleh pemerintah akan dijadikan sebagai ternak unggulan. Hal ini disebabkan karena ternak sapi memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat pada umumnya dan petani peternak pada khususnya. Peranan ternak sapi diantaranya sebagai sumber pangan (daging), sebagai tabungan, sumber pendapatan dan devisa, sumber tenaga kerja, sumber pupuk organik serta sumber energi alternatif. Ternak sapi dapat dijual sewaktu-waktu apabila petani dan keluarganya membutuhkan uang baik untuk pendidikan anak-anak, kesehatan, membangun rumah bahkan untuk modal usahatani tanaman pangan, perkebunan dan lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pemerintah perlu mengupayakan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan pengembangan ternak sapi diantaranya ketersediaan hijauan pakan ternak secara kontinyu.
Hijauan makanan ternak (forage) merupakan bahan makanan atau pakan utama bagi kehidupan ternak serta merupakan dasar dalam usaha pengembangan peternakan. Untuk meningkatkan produktivitas ternak, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penyediaan pakan sepanjang tahun baik kualitas dan kuantitas yang cukup. Upaya tersebut dapat dilakukan agar pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak untuk mempertahankan kelestarian hidup dan keutuhan alat tubuh ternak (kebutuhan hidup pokok) dan tujuan produksi (kebutuhan produksi) dapat
berkesinambungan. Hal ini dimungkinkan bila kita mampu mengelola strategi penyediaan pakan hijauan baik rumput maupun legum (Lesman, 2011). Standar/ norma kebutuhan hijauan makanan ternak per ekor per hari berdasarkan Satuan Ternak Sapi menurut Kementerian Pertanian (2010) adalah: ternak dewasa {1 Satuan Ternak (ST)} memerlukan pakan hijauan sebanyak 35 kg, ternak muda (0,50 ST) sebanyak 1517,5 kg dan anak ternak (0,25 ST) sebanyak 7,5-9 kg/ ekor/hari.
PEMBAHASAN
Usaha ternak sapi di Sulawesi Utara pada umumnya masih diusahakan secara ekstensif. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh beberapa peneliti di Sulawesi Utara dan berlaku juga di daerah lain seperti dinyatakan Bamualim et al. (2004). Pengembangan peternakan sapi perlu mendapat perhatian karena setiap kenaikan jumlah populasi ternak sapi harus diikuti dengan peningkatan hijauan makanan ternak. Kemampuan peternak dalam penyediaan pakan akan menentukan jumlah ternak yang mampu dipelihara.
Hasil penelitian di Minahasa Selatan menunjukkan bahwa ternak sapi mengkonsumsi limbah pertanian dan beberapa jenis rumput (Salendu, 2012). Jenis limbah pertanian dan rumput yang dikonsumsi ternak sapi serta jumlahnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis limbah pertanian/rumput, rata-rata konsumsi (kg/ekor/hari) dan prosentase di Kabupaten Minahasa Selatan
Jenis Rumput/Jerami |
Rata-rata Konsumsi (kg/ekor/hari) |
Prosentase (%) |
Jerami Jagung |
9,32 |
54,95 |
Jerami Padi |
0,49 |
2,89 |
Rumput Australia |
1,17 |
6,90 |
Rumput “Lapangan” |
3,70 |
21,82 |
Rumput Gajah |
1,81 |
10,67 |
Rumput Lainnya |
0,47 |
2,77 |
T o t a l |
16,96 |
100,00 |
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar pakan yang dikonsumsi ternak sapi adalah jerami jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah Minahasa Selatan merupakan daerah swasembada jagung. Rumput lapangan merupakan urutan kedua pakan yang dikonsumsi ternak sapi. Hal ini yang menyebabkan produktivitas ternak sapi di daerah ini lebih rendah dibanding di Kabupaten Minahasa. Menurut Hutasoit (2004), dalam pengembangan peternakan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu diantaranya adalah faktor pakan. Faktor pakan bagi ternak sapi banyak dipengaruhi oleh ketersediaan hijauan karena sebagian besar pakan yang dikonsumsi adalah hijauan.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka telah diupayakan dan diintroduksi rumput unggul di Minahasa Selatan dengan kemampuan produksi dan kualitas melebihi rumput gajah. Menurut Lukiwati et al. (2005), Muslim dan Nurasa (2011), introduksi hijauan pakan ternak unggul sebenarnya telah lama dilakukan oleh
Gambar 1. Praktek cara memilih dan memotong bibit rumput gajah dwarf
Gambar 2. Rumput gajah dwarf di Desa Ongkaw
pemerintah. Introduksi hijauan di Kabupaten Minahasa Selatan khususnya di Desa Ongkaw Kecamatan Sinonsayang, diikuti dengan praktikum oleh mahasiswa Fakultas Peternakan. Mahasiswa dilatih menanam rumput gajah dwarf seperti terlihat pada Gambar 1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani peternak sapi di Desa Ongkaw telah mendapat bantuan ternak sapi tetapi pemeliharaannya masih secara tradisional. Artinya ternak digembalakan di lahan-lahan di bawah pohon kelapa dan mengkonsumsi limbah pertani serta rumput yang tumbuh liar. Hal ini seperti yang dinyatakan Salendu (2012). Pemeliharaan ternak sapi secara ekstensif berpeluang karena masih banyak tersedianya rumput lapangan serta hijauan lainnya yang berkualitas rendah. Rumput gajah dwarf telah diintroduksi di Desa Ongkaw di lahan di bawah pohon kelapa dengan kemiringan lahan sekitar 10%. Penanaman pakan selain bertujuan menghasilkan hijauan juga ditujukan untuk mencegah terjadinya erosi. Hasil introduksi rumput gajah dwarf dapat dilihat pada Gambar 2.
Produktivitas rumput gajah dwarf cukup tinggi dengan produksi hijauan segar 3,888 sampai dengan 4,671 kg per rumpun (Polakitan dan Paat, 2013). Atau, areal tanam di bawah pohon kelapa sekitar 80 persen diantara tegakan dapat dibudidayakan rumput ini dengan jarak tanam 0,5 × 1 meter dengan jumlah stek 16.000 menghasilkan hijauan segar 62.208-74.784 kg per pemotongan. Daun dan batang rumput gajah dwarf relatif berimbang (Polakitan dan Paat, 2013). Menurut Hutasoit (2004), banyak hasil penelitian tentang pakan ternak baik kuantitas maupun kualitas,
Gambar 3. Kandang ternak sapi dan rumput gajah dwarf di sekitar lokasi kandang di Desa Ongkaw
Gambar 4. Rumput gajah dwarf yang ditanam di halaman rumah.
Gambar 5. Pengawetan rumput gajah dwarf (silase)
namun kenyataannya sampai saat ini masih kekurangan persediaan pakan. Hal ini terutama pada musim kemarau dan masih kurangnya minat petani untuk menanam rumput. Petani peternak sapi di Desa Ongkaw setelah diintroduksi rumput gajah dwarf, maka ternak sapi telah dikandangkan. Selain itu, petani peternak mulai mengembangkan rumput tersebut di sekitar kandang ternak sapi (Gambar 3).
Petani peternak sapi di Desa Ongkaw telah melakukan pengembangan rumput dajah dwarf selain di lokasi perkandangan, di bawah pohon kelapa juga di lahan-lahan milik petani bahkan di pekarangan rumah. Pengembangan di pekarangan rumah petani dapat dilihat pada Gambar 4.
Pengadaan pakan hijauan makanan ternak sapi sangat tergantung pada penyediaan hijauan tersebut. Tersedianya hijauan yang cukup jumlah maupun kualitasnya dan berkesinambungan adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan
ternak sapi. Petani peternak sapi telah dilatih untuk melakukan pengawetan rumput gajah dwarf. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila terjadi over produksi. Pengawetan rumput gajah dwarf dalam bentuk silase (Gambar 5).
Tujuan pengawetan rumput dalam bentuk silase adalah untuk memanfaatkan over produksi dan silase bisa dimanfaatkan pada saat paceklik atau musim kemarau panjang. Salah satu faktor yang menentukan produktivitas ternak sapi adalah terjaminnya ketersediaan hijauan pakan yang bermutu (Mansyur et al., 2005).
SIMPULAN DAN SARAN
Introduksi hijauan ternak sapi berupa rumput gajah dwarf sangat bermanfaat bagi petani peternak sapi. Introduksi ini dapat diterima petani peternak sapi, malahan mereka telah melakukan pengembangan hijauan makanan ternak di lokasi perkandangan sapi dan di lahan-lahan milik petani.
Berdasarkan hasil kajian ini maka disarankan bagi pemerintah untuk tetap memotivasi petani peternak sapi untuk melakukan pengembangan hijauan makanan ternak di lahan-lahan yang belum dimanfaatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A., R.B. Wirdahayati dan M. Boer. 2004. Status dan Peranan Sapi Lokal Pesisir di Sumatera Barat. Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. p: 52-60
Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara. 2011. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara, Kalasey.
Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Elly, F.H., B.M. Sinaga., S.U. Kuntjoro and N. Kusnadi. 2008. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Melalui Integrasi Ternak Sapi Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
Herianti, I dan Subuharta. 2013. Kajian Perbaikan Pakan Pada Induk Sapi Potong Lokal di Peternakan Rakyat Kabupaten Kebumen. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p:121-126.
Hermawan A dan B. Utomo. 2013. Peran Ternak Ruminansia Dalam pengembangan Sistem Usaha Tani Konservasi di Lahan Kering DAS Bagian Hulu. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p:112-117.
Hutasoit, R. 2004. Tingkat Adopsi Tehnologi Hijauan Pakan Ternak di Desa Merenu Tapanuli Selatan. Prosiding Temu Tehnis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian Tahun 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. p.136-141.
Kementerian Pertanian. 2010. Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan. Blue Print. Kemen-terian Pertanian, Jakarta.
Lesman. 2011. Teknologi Pengawetan Makanan Ternak. http:// lestarimandiri.org/id/peternakan/pakan-ternak/91-pakan-ternak/152-teknologi-pengawetan-makanan-ter-nak.html
Lukiwati, D.W., N. Nuhidjat., A.H. Wibowo., J. Bambang., T. Nurdewanto. 2005. Peningkatan Produksi dan Nilai Nutrisi Hijauan Pueraria phaseoleides Oleh Pupuk Fosfor dalam suspense Fermentasi Acetabacter saccharomyces. Jurnal ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 7. No. 2. 2005. p: 82-86.
Mansyur., N. P. Indrani dan I. Susilowati. 2005. Peranan Legu-minosa Tanaman Penutup Pada Sistem Pertanaman Jagung untuk Penyediaan Hijauan Pakan. Prosiding Seminar Nasional Tehnologi Peternakan dan Veteriner. p: 879-885.
Muslim, C dan T. Nurasa. 2011. Kebijakan Pengembangan Ternak sapi Potong di Wilayah Sentra Produksi Berbasis Tanaman Pangan di Indonesia. Pusat Analisis Sosial ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang, departemen Pertanian.
Polakitan, D dan P.C. Paat. 2013. Kajian Produktivitas Rumput Gajah Dwarf Dengan Pemupukan NPK Yang Ditanam Diantara Tegakan Kelapa di Kabupaten Minahasa Selatan. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p: 94-100.
Prawiradiputra, B. 2011. Pasang Surut Penelitian dan Pengembangan hijauan Pakan Ternak di Indonesia. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Salendu, A.H.S. 2012. Perspektif Pengelolaan Agroekosistem Kelapa-Ternak Sapi di Minahasa Selatan. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
Susanti, A.E., A. Prabowo dan J. Karman. 2013. Identifikasi dan Pemecahan Masalah Penyediaan Pakan Sapi Dalam Mendukung Usaha Peternakan Rakyat di Sumatera Selatan. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p: 127-132.
8
Discussion and feedback