PENINGKATAN PRODUKSI DAN KECERNAAN BAHAN KERING ALFALFA DENGAN PEMUPUKAN FOSFAT
on
pastura Vol. 2 No. 1 : 8 - 11
ISSN : 2088-818X
PENINGKATAN PRODUKSI DAN KECERNAAN BAHAN KERING ALFALFA DENGAN PEMUPUKAN FOSFAT
Sunarni1, Karno2, dan Dwi Retno Lukiwati2 1Sekolah Menengah Kejuruan Suwakul, Semarang, 2Animal Agriculture Faculty, Diponegoro University, Semarang, Central Java, Indonesia, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Alfalfa (Medicago sativa L.) sebagai salah satu hijauan legum pakan untuk ternak ruminansia, sangat sensitif terhadap defisiensi fosfor. Pupuk superfosfat (SP) telah lama digunakan untuk mengatasi masalah tersebut. Namun mahalnya harga pupuk SP, maka perhatian kini beralih pada penggunaan pupuk yang lebih murah harganya yaitu fosfat alam atau batuan fosfat (BP). Percobaan lapang telah dilaksanakan pada tanah latosol (pH masam, defisien P). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pupuk fosfat dari sumber pupuk yang berbeda terhadap produksi dan kecernaan bahan kering hijauan alfalfa secara in vitro. Rancangan acak kelompok dengan 7 perlakuan dan 3 kali ulangan sebagai kelompok digunakan dalam penelitian ini. Perlakuan percobaan yang diberikan adalah T0 (kontrol), T1 (SP, 100 kg P2O5/ha), T2 (SP, 200 kg P2O5/ha), T3 (SP, 300 kg P2O5/ha), T4 (RP, 100 kg P2O5/ha), T5 (RP, 200 kg P2O5/ha), T6 (RP, 300 kg P2O5/ha). Ukuran tiap petak 2 m x 2 m, dan dipupuk dengan pupuk P (SP, RP) sesuai dengan perlakuan yang diberikan seperti tersebut diatas. Semua petak diberi pupuk dasar yaitu urea (50 kg N/ha), KCl (100 kg K2O/ha) dan pupuk kandang ‘ayam’ (2 ton/ha). Medicago sativa dipotong pada umur 12 minggu sesudah tanam dan dilanjutkan analisis di laboratorium untuk mendapatkan data produksi bahan kering (BK) dan kecernaan bahan kering (KcBK) hijauan alfalfa secara in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi BK nyata dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan. Pupuk SP menghasilkan produksi BK nyata lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol (tanpa pupuk P) dan pemupukan BP, kecuali pada BP dosis 300 kg P2O5/ha tidak berbeda nyata. Kecernaan bahan kering in vitro (KcBK in vitro) alfalfa tidak dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan. Tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan terhadap KcBK alfalfa. Oleh karena itu pupuk BP (300 kg P2O5/ha) dapat menggantikan SP untuk meningkatkan produksi BK dan KcBK Medicago sativa tidak berbeda pada tanah latosol masam.
Kata kunci: bahan kering, kecernaan, Medicago sativa, pupuk fosfat
DIRECT APPLICATION OF PHOSPHORUS FERTILIZER TO IMPROVE DRY MATTER PRODUCTION AND DIGESTIBILITY OF ALFALFA
ABSTRACT
Alfalfa (Medicago sativa L.) as one of legume forage crops for ruminant livestock is very sensitive to the phosphorus deficiency. Phosphorus fertilizers have been used widely to overcome those problem. However, the high cost of superphosphate (SP) is now focusing attention on cheaper rock phosphate (RP) fertilizer. A field experiment was conducted on a latosolic soil (low pH, and low available Bray II extractable P). The objective of the research is to evaluate the effect of phosphorus fertilizer from difference sources on dry matter production, and in vitro dry matter digestibility of alfalfa. Completely randomized block design with 7 treatments in 3 replicates was used in this field experiment. The treatments were T0 (control), T1 (SP, 100 kg P2O5/ha), T2 (SP, 200 kg P2O5/ha), T3 (SP, 300 kg P2O5/ha), T4 (RP, 100 kg P2O5/ha), T5 (RP, 200 kg P2O5/ha), T6 (RP, 300 kg P2O5/ha). Size of each plot was 2 m x 2 m, and fertilized with P fertilizer (SP, RP) according to the assigned treatment. All plot received basal fertilizer of urea (50 kg N/ha), KCl (100 kg K2O/ha) and poultry manure (2 ton/ha). Medicago sativa was defoliated on 12 weeks after planting and analyzed for dry matter (DM) production and in vitro DM digestibility. Result showed that DM production significantly influenced by the treatments. Superphosphate fertilization resulted DM production significantly higher compared to control and RP, except on RP 300 kg P2O5/ha was non-significant difference. In vitro dry matter digestibility (IVDMD) of alfalfa was not affected by the treatment. There was non-significant difference in IVDMD between the treatments. Therefore, RP (300 kg P2O5/ha) could replace SP to increased DM production and not affected for IVDMD of Medicago sativa in acid latosolic soil.
Keywords: digestibility, dry matter, Medicago sativa, phosphorus fertilizer
PENDAHULUAN
Alfalfa (Medicago sativa L) sebagai salah satu legum pakan sumber protein dan mineral untuk ternak ruminansia maupun pseudo-ruminant (kelinci). Alfalfa tumbuh lebih baik pada pH tanah netral, subur dan tidak tergenang air. Pemotongan hijauan alfalfa pada fase awal berbunga akan diperoleh produksi dan nutrisi dan persistensi lebih tinggi (Sheaffer & Evers, 2007). Lucerne (Medicago sativa L.) mampu beradaptasi pada area pertanian lahan kering (Cock, 2003). Alfalfa terdapat asli di Southwest Asia, meskipun banyak juga ditemukan di Central Asia dan Siberia. Budidaya alfalfa pertama kali ditemukan di Iran (Hanson & Barnes, 1978). Produksi protein per hektar alfalfa lebih tinggi dibanding legum pakan lainnya. Alfalfa termasuk tinggi kandungan mineral dan vitamin, sehingga disebut sebagai ‘King of Fodder’ dan ‘Queen of Forages’. Medicago sativa termasuk salah satu dari spesies tanaman pakan ‘perennial’ yang telah dikembangkan secara intensif (Skinner & Moore, 2007). Alfalfa mempunyai banyak nama antara lain blaue luzerne (German), lucerne (English), luzerna (Portuguese), luzerne (French), Luzerne (German), mielga (Spanish), dan murasaki-umagoyashi (Japenese) (Barnes et al., 2007).
Area lahan untuk budidaya tanaman pakan pada umumnya pH masam dan defisien P. Dilain pihak, alfalfa sebagai legum sensitif terhadap defisiensi fosfor. Oleh karena itu, defisiensi fosfor perlu diatasi dengan pemupukan P bersamaan atau sebelum waktu tanam (Abdullah, 2009; Lukiwati, 2007)). Pupuk superfosfat (SP) selama ini digunakan untuk mengatasi defisinsi P, misalnya SP-36 (36% P2O5) bersifat larut dalam air. Namun karena kini harga pupuk SP mahal bahkan langka ketika dibutuhkan, maka perhatian beralih pada pupuk batuan fosfat (BP). Pupuk BP digiling halus (27% P2O5) termasuk mineral apatit, tidak larut dalam air tetapi kelarutannya meningkat pada kondisi masam / tanah masam (Nassir, 2001). Oleh karena itu, sumber pupuk P yang mahal (SP) dapat digantikan oleh BP apabila penggunaannya pada tanah masam atau kondisi masam Penggunaan pupuk SP maupun BP dapat diberikan secara langsung kedalam tanah (Young et al., 1985). Lukiwati (2002) melaporkan bahwa produksi jagung, dan produksi bahan kering (BK) jerami lebih tinggi dengan pemupukan SP dan BP dibanding tanpa pemupukan P. Pupuk BP dengan dosis antara 80 – 360 kg P2O5/ha, menghasilkan produksi jagung setara dengan pemupukan SP pada tanah masam (Nassir, 2001). Pupuk P dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, terutama jika unsur hara P sebagai faktor pembatas (Lukiwati, 2002).
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh jenis pupuk P yang berbeda terhadap produksi bahan kering dan kecernaan BK alfalfa pada tanah masam.
MATERI DAN METODA
Percobaan lapang dan rancangan acak kelompok dengan 3 kelompok sebagai ulangan, telah dilaksanakan
pada tanah masam di Semarang selama 3 bulan. Hasil analisis pH tanah masing-masing kelompok yaitu 5.8 (block I), 5.7 (block II), and 5.7 (block III), dengan P tersedia (Olsen) 15.37 (block I), 14.89 (block II), and 15.39 ppm (block III).
Percobaan dilaksanakan pada tanah seluas 120 m2 dibagi menjadi 21 petak, dengan ukuran masing-masing 2 m x 2 m. Tiap petak terdapat 32 tanaman alfalfa dari 16 lubang tanam dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm. Perlakuan pemupukan P dari sumber pupuk yang berbeda yaitu RP (27% P2O5) and SP (36% P2O5) dengan dosis 100, 200, and 300 kg P2O5/ ha. Pupuk dasar yang diberikan pada seluruh petak percobaan adalah KCl, urea, dan pupuk kandang dengan dosis masing-masing 100 kg K2O/ha, 50 kg N/ha dan 2 ton/ha. Perlakuan pupuk P yang diberikan adalah T0 (kontrol, tanpa pupuk P), T1 – T3 (SP, 100 – 300 kg P2O5/ha) dan T4 – T6 (100 – 300 kg P2O5/ha). Pupuk kandang diberikan pada tiap petak secara sebar rata, kemudian diaduk dan dibenamkan. Urea, KCl dan pupuk P sesuai perlakuan, diberikan ke dalam lubang tanam bersamaan waktu pemindahan bibit alfalfa dari tempat persemaian.
Hijauan alfalfa dipotong 5 cm diatas permukaan tanah pada umur 12 minggu setelah tanam. Parameter yang diamati adalah produksi BK hijauan alfalfa dan kecernaan BK (KcBK). Produksi BK tiap petak sampel penelitian 1 m2 terdapat 4 lubang tanam. Produksi BK alfalfa dapat diketahui setelah kering-oven 700C selama 48 jam hingga berat konstan (Islam et al., 1992). Sampel-sampel penelitian kemudian digiling halus untuk penentuan KcBK in vitro menurut metoda Terry dan Tilley (1963).
Data produksi BK dan KcBK in vitro hijauan alfalfa di analisis ragam dengan menggunakan prosedur GLM – SAS, kemudian diuji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) (Steel and Torrie, 1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Bahan Kering
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi BK alfalfa nyata (P< 0.05) dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan. Tabel 1 menunjukkan bahwa pupuk P (SP, RP) menghasilkan produksi BK berbeda nyata (P<0.05) dibanding perlakuan kontrol (tanpa pemupukan P). Superfosfat pada dosis 100, 200, dan 300 kg P2O5/ha dan BP (300 kg P2O5/ha) menghasilkan produksi BK nyata lebih tinggi (P<0.05) dibanding tanpa pemupukan P. Pupuk SP-36 mengandung 36% P2O5dan bersifat larut dalam air sehingga lebih cepat diabsorbsi akar tanaman dibanding BP. Pemupukan P dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, terutama apabila unsur hara P sebagai faktor pembatas utama untuk produksi tanaman (Lukiwati, 2002).
Produksi BK pada dosis 100 kg dan 200 kg P2O5/ha pupuk BP tidak berbeda dibanding tanpa pemupukan. Hal ini disebabkan karena BP (27% P2O5) bersifat tidak larut dalam air (Nassir, 2001), sehingga tidak mudah di absorbsi akar tanaman. Meningkatnya dosis pupuk SP (100-300 kg P2O5/ha) menghasilkan produksi BK
Tabel 1. Produksi bahan kering alfalfa pada pemupukan fosfor yang berbeda
Pemupukan P |
Produksi bahan kering (g/m2) |
Kontrol (tanpa pemupukan P) |
84.61 ± 7.05 b* |
Superfosfat (kg P2O5/ha): 100 |
111.64 ± 10.23 a |
200 |
113.86 ± 3.91 a |
300 |
118.57 ± 11.82 a |
Batuan fosfat (kg P2O5/ha): 100 |
92.58 ± 4.85 b |
200 |
93.18 ± 4.38 b |
300 |
112.29 ± 9.96 a |
Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5% |
Tabel 2. Kecernaan bahan kering in vitro hijauan alfalfa pada pemupukan fosfor yang berbeda | |
Pemupukan P |
KcBK in vitro (%) |
Kontrol (tanpa pemupukan P) |
47.47 ±2.46 |
Superfosfat (kg P2O5/ha): 100 |
45.07 ± 1.84 |
200 |
46.83 ± 2.24 |
300 |
44.72 ± 4.34 |
Batuan fosfat (kg P2O5/ha): 100 |
51.54 ± 5.84 |
200 |
51.29 ± 6.79 |
300 |
50.30 ± 2.33 |
tidak berbeda, sedangkan BP dosis 300 kg P2O5/ha menghasilkan produksi BK nyata lebih tinggi (P<0.05) dibanding BP dosis 100 kg dan 200 kg P2O5/ha. Produksi BK nyata lebih tinggi (P<0.05) dengan pupuk SP dosis 100 dan 200 kg P2O5/ha dibanding BP pada dosis yang sama. Namun demikian, pupuk BP pada dosis 300 kg P2O5/ha menghasilkan produksi BK setara dengan 300 kg P2O5/ha (pupuk SP). Hijauan alfalfa dipotong pada umur 12 minggu pada masa berbunga dan menghasilkan biji serta banyak ranting atau cabang (Gambar 1). Cabang atau ranting secara cepat mengakumulasi ‘jaringan tua’ sepanjang perkembangan struktur tanaman, ketika tanaman kurang atau mendapat pemupukan berlebih. Dinamika akumulasi BK terjadi ketika cabang/ranting tanaman mulai menua (Abdullah, 2009). Pupuk BP (27% P2O5) mengandung mineral apatit tidak larut dalam air, tetapi kelarutannya meningkat pada tanah masam (Nassir, 2001). Diduga kelarutan BP pada dosis 300 kg P2O5/ha meningkatkan dan menghasilkan produksi BK setara dengan pupuk SP pada dosis yang sama. Oleh karena itu, sumber pupuk P yang mahal (SP) dapat digantikan oleh pupuk BP pada dosis 300 kg P2O5/ ha untuk menghasilkan produksi BK yang sama pada tanah masam.
Kecernaan Bahan Kering In Vitro
Kecernaan BK in vitro (KcBK in vitro) tidak nyata (P>0.05) dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan (Table 2). Kecernaan hijauan menunjukkan berapa banyak proporsi hijauan yang dapat dicerna oleh ternak, dan terdapat korelasi terhadap nilai nutrisinya. Kecernaan hijauan yang tinggi menunjukkan utilisasi nutrisi lebih tinggi untuk pertumbuhan dan produksi ternak. Kecernaan BK in vitro hijauan alfalfa berkisar antara 45-52% (Table 2). Applikasi pupuk P (SP dan RP) pada dosis 100-300 kg P2O5/ha tidak berpengaruh terhadap KcBK. Alfalfa dipotong pada umur 12 minggu setelah tanam, sudah berbunga dan menghasilkan biji serta banyak cabang tumbuh (Gambar 1).
Menurut Hanson dan Barnes (1978), umur potong hijauan alfalfa terbaik pada awal berbunga (10% berbunga) dengan kadar protein dan vitamin lebih tinggi dibanding umur potong lebih tua. Kondisi alfalfa pada saat dipotong dalam penelitian ini sudah mulai berbiji dan banyak terbentuk cabang, sehingga pengaruh pemupukan tidak nyata pada KcBK hijauan pada fase generatif (Abdullah, 2009).
SIMPULAN
Pupuk SP dan BP menghasilkan produksi BK hijauan alfafa lebih tinggi dibanding tanpa pemupukan P. Produksi BK alfalfa lebih tinggi dengan pemupukan SP dibanding BP, kecuali pada dosis 300 P2O5/ha. Pemupukan P tidak berpengaruh terhadap KcBK in vitro alfalfa. Pupuk SP (100 kg P2O5/ha) dapat digantikan oleh pupuk BP pada dosis 300 kg P2O5/ha di tanah masam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L. 2009. Growth pattern of Creeping Signalgrass (Brachiaria humidicola) in pasture fertilized with different nutrient sources. Journal of Animal Science and Technology, 32: 71-80.
Barnes RF., Nelson CJ. and Fick GW. 2007. Terminology and Classification of Forage Plants. Dalam: Forages. Eds. Barnes RF., Nelson CJ., Moore KJ. and Collins M. 6th edition. Vol. II. Blackwell Publishing. Carlton, Victoria Australia. pp. 3-14.(791 hlm)
Cock P.S. 2003. The adaptation of perennial legumes to Mediterranean Conditions. Dalam: New Perennial Legumes for Sustainable Agriculture. (Ed. Bennett S.J). hlm. 35-54.
Hanson, C.H. and Barnes, D.K. 1978. Alfalfa. Dalam: Forages. Third Ed. (Eds. M.E. Heath, D.S. Metcalfe, R.F. Barnes). The Iowa State University Press. Iowa, USA. hlm.136-147.
Lukiwati, D.R. 2002. Effect of rock phosphate and superphosphate fertilizer on the productivity of Maize var. Bisma. Dalam: Food Security in Nutrient-Stressed Environments: Exploiting Plants’ Genetic Capabilities. Kluwer Academic Publishers. London, J.J. Adu-Gyamfi (Ed.). hlm.183-187.
Lukiwati, D.R. 2007. Dry matter production and digestibility improvement of Centrosema pubescens and Pueraria phaseoloides with rock phosphate fertilization and VAM ibnoculation. Indonesian Journal of Agricultural Sciences, 9(1): 1-5.
Nassir, A. 2001. IMPHOS experience on direct application of phosphate rock in Asia. Dalam: Proc.of an International Meeting “Direct Application of Phosphate Rock and Related Appropriate Technology – Latest Developments and Practical Experiences. Kuala Lumpur. hlm. 110-122.
Sheaffer, C.C. and Evers, G.W. 2007. Cool-season Legumes for Humid Areas. Dalam: Barnes RF., Nelson CJ., Moore KJ. and Collins M.(Eds.) Forages. 6th Edition. Volume II. Blac-well Publishing. Carlton, Victoria-Australia. hlm.179-190.
Skinner RH. and Moore KJ. 2007. Growth and Development of Forage Plants. . Dalam: Barnes RF., Nelson CJ., Moore KJ. and Collins M.(Eds.) Forages. 6th Edition. Volume II. Blac-well Publishing. Carlton, Victoria-Australia. hlm. 53-66.
Steel, R.G.D. and Torrie, J.H. 1980. Principles and Procedures of Statistics. Second Edition. McGraw-Hill Book Company Inc., New York.
Ilustrasi 1. Alfalfa pada fase generatif
Terry, R.A. and Tilley, J.M.A. 1963. A two state technique for the in vitro digestion of forage crops. J.British Grassland. F.O.C. 18: 104-111.
Young, R.D., D.G. Westfall, and G.W. Colliver. 1985. Production, Marketing, and Use of Phosphorus Fertilizers. Dalam: Fertilizer Technology and Use. O.P. Englestad (Ed.). Third Ed. Published by Soil Soc.of Am., Inc. Madison, Wisconsin.
11
Discussion and feedback