pastura Vol. 2 No. 1 : 1 - 7

ISSN : 2088-818X


MERACIK PELUANG BISNIS INOVATIF

PADA KOMODITI TANAMAN DAN HIJAUAN PAKAN

L. Abdullah

Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Teknologi Pastura, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institit Pertanian Bogor, email : [email protected]

ABSTRAK

Tanaman dan hijauan pakan memiliki multifungsi selain sebagai sumber nutrisi yang khas dari hijauan juga merupakan komponen ekosistem yang dapat menjaga kelestarian lingkungan, keindahan lansekap dan fungsi kesehatan dan kosmetika bagi ternak dan manusia. Pengetahuan manusia tentang manfaat tanaman dan hijauan pakan telah mengubah komoditi menjadi lebih bernilai secara ekonomis dan memasuki pasar. Sebagai komoditi yang perlu diproduksi dan dikembangkan, tanaman dan hijauan pakan memerlukan dukungan industri benihnya dan inovasi yang dapat meningkatkan nilai tambah. Penelitian dan pengembangan dalam upaya mendapatkan informasi yang berhubungan dengan teknologi produksi, inovasi pengembangan komoditas agar bernilai tambah, penggunaan produk secara efisien dan penguasaan informasi pasar perlu didukung untuk memperkuat posisi kedua komoditi ini dalam bisnis.

Kata kunci : hijauan pakan, komersialisasi, penelitian dan pengembangan, bisnis hijauan

DISPENSING INNOVATIVE BUSINESS OPPORTUNITIES

ON CROPS AND FORAGE COMMODITIES

The crops and forage have multifunction as typical nutrients of forage and also the ecosystem component to protect environment preservation, besides for the beauty of landscape, sanitary, cosmetic for livestock and also humans. Human knowledge concerning on crop and forage benefits have been changing commodity into a more valuable economic for market access. Crops and forage as commodities need to be produced and developed. In addition, they should also be supported by forage seed industry and innovation that could raise possitive values. The research and development was carried out to achieve information related to production technology, positive value of innovation on commodity development, efficient use of product and market information control that need to be supported in order to strengthen both positions of commodities in business.

Keywords: forage, commercialization, research and development, forage business

PENDAHULUAN

Tanaman dan Hijauan Pakan telah dikenal sejak ditemukannya sistem pemeliharaan peternakan di benua Amerika dan Eropa serta di Mongolia. Perkembangan kebutuhan baik secara kuantitatif maupun kualitatif telah mendorong riset dan pengembangan tanaman dan hijauan pakan ke arah budidaya efisien dan komersialisasi produk. Dampak keberhasilan riset dan pengembangan tanaman dan hijauan pakan, dan manfaat yang dirasakan oleh peternak di seluruh dunia diindikasikan oleh terbentuknya industri benih hijauan pakan dan transformasi bisnis hijauan pakan di negara berkembang, seperti di Indonesia. Beberapa negara yang sukses mengembangkan industri benih tanaman pakan antara lain Amerika, Brazil, Australia, Thailand, India, Taiwan, sedangkan di Indonesia komoditas benih belum secara meluas dikembangkan dalam bentuk industri.

Peranan hijauan pakan dalam konstelasi ketahanan pangan berada pada sektor hulu, yang keberadannya sangat strategis. Harian nasional Republika tanggal 8

September 2012 pada halaman muka memberitakan tentang kekurangan hijauan pakan akibat musim kemarau, dan berpengaruh terhadap performa pertumbuhan ternak. Perlambatan pertumbuhan ternak berarti kerugian secara ekonomi bagi peternak. Secara strategis hijauan pakan merupakan buffer stock pakan yang dominan sekitar 70% (Abdullah 2007) terutama bagi peternakan tradisional (small holders) yang jumlahnya hampir mencapai 80% di Indonesia. Hijauan pakan alami telah diyakini menjadi komoditas yang strategis dalam menjaga populasi ternak nasional. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari populasi ternak ruminansia di provinsi NTT, yang menempati urutan ke-4 populasi sapi terbanyak di Indonesia, padahal sistem pemeliharaannya hanya mengandalkan hijauan pakan lokal.

Secara teknis hijauan pakan sangat berperan dalam menjaga kesehatan rumen dengan cara memelihara fungsi rumen melalui proses fermentasi. Kurangnya hijauan pakan menjadi salah satu penyebab utama gejala perpindahan posisi abomasum (abomasum

displacement). Pengalaman peternakan sapi perah di Jawa Barat menunjukan penurunan masa produksi dari 6-7 tahun menjadi 3-4 tahun karena gejala kelainan tersebut yang tidak jarang mengakibatkan kematian sapi dan merugikan peternak.

Penyediaan hijauan pakan berkualitas tinggi setiap waktu dapat mengurangi biaya pemeliharaan, karena dapat mengurangi biaya penggunaan konsentrat, yang harganya terus meningkat. Kesuksesan peternak dalam menyajikan hijauan pakan berkualitas tinggi seperti legum akan menambah efisiensi produksi ternak, karena selain biayanya murah juga nilai nutrisinya tinggi, yang memungkinkan pertumbuhan komparatif dengan pemberian ransum berbasis konsentrat. Hal inilah yang mendorong Australia mengembangkan areal lamtoro (McSweeney et al 2011) hingga lebih dari 100.000 ha. Paradigma lama penyediaan pakan untuk ruminansia di Indonesia telah menggeser proporsi konsentrat menjadi menu utama ransum, disebabkan oleh kurangnya eksplorasi penggunaan hijauan pakan berkualitas. Akibatnya harga ternak lokal menjadi lebih mahal dibandingkan dengan ternak impor dari Australian, sehingga pelaku industri sapi lebih menyukai impor daripada menggunakan sapi lokal, akibatnya industri sapi lokal di Indonesia tidak berkembang. Hasil kajian yang dilakukan penulis terkait biaya pemeliharaan secara intensif yang didominasi pakan konsentrat dan pemeliharaan ekstensif di padang penggembalaan (hijauan sebagai pakan utama) menunjukan bahwa biaya pemeliharaan sapi yang dikandangkan secara intensif memerlukan biaya 68% dari keseluruhan biaya produksi untuk mencapai umur sapi 20 bulan, sedangkan pemeliharaan secara ekstensif hanya memerlukan biaya sebesar 36% untuk mencapai umur sapi yang sama.

Peranan hijauan pakan lainnya bagi ternak ruminansia adalah meningkatkan mutu dan keamanan produk ternak yang mengkonsumsi hijauan pakan. Banyak laporan penelitian menunjukan bahwa pemberian hijauan pakan selama 158 hari nyata menghasilkan kandungan CLA cis-9, trans-11 (0.71% dari total asam lemak otot) lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian hijauan pakan yang hanya 99 hari (0.57% dari asam lemak otot Longissimus dorsii (Noci et al., 2003). Demikian pula sapi yang digembalakan (mengonsumsi hijauan pakan) 7-8 jam sehari menghasilkan susu yang mengandung asam lemak 18:3n-3, CLA dan TVA (trans vaccenic acid) 40%-70% lebih tinggi dari pada diukandangkan. Kandungan vitamin E pada daging ternak yang mengkonsumsi rumput dan legume lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan vitamin E pada ternak yang mengkonsumsi konsentrat, selama hijauan yang diberikan adalah segar. Isu keamanan pangan menjadi sangat relevan dengan perlunya mengembalikan bahan utama ransum ruminansia berasal dari hijauan pakan. Ketersediaan hijauan pakan juga terbukti dapat mempertahankan stabilitas usaha ternak ruminansia di beberapa perusahaan ternak sapi perah dan feedlot.

Tanaman pakan sebagai sumber hijauan pakan juga memiliki peran penting dalam memelihara keragaman hayati, kestabilan lingkungan dan menciptakan kondisi

lansekap yang indah, terutama pada hamparan padang rumput alami. Keindahan lansekap padang rumput alam maupun buatan merupakan pemandangan yang indah untuk dinikmati dan sekaligus merupakan sumber nutrisi (nutrient pool) bagi ternak ruminansia.

Tanaman pakan seperti rumput berperan sebagai penyimpan karbon pada bagian tanaman di bawah tanah (akar, bonggol akar) (Whitehead, 2000), yang digunakan sebagai cadangan energi bagi individu tanaman. Biomasa tanaman rumput yang terakumulasi di bawah tanah sebagai bahan organik dan karbon mencapai 90%, yang berarti menjadi sumber bahan organik penting bagi tanah. Jumlah energi yang terakumulasi pada bagian tanaman di atas tanah (hijauan) sebesar 10320 MJ/ ha, sedangkan pada bagian akar yang berada di bawah tanah mencapai 41076 MJ/ha (West dan Nelson, 2003).

Memperhatikan peran dan fungsi tanaman dan hijauan pakan yang berspektrum luas, maka peluang pengembangannya dengan sendirinya akan mengarah pada komersialisasi karena untuk menghasilkannya diperlukan input seperti modal biaya, ilmu dan teknologi dan kemampuan SDM yang memadai.

PELUANG BISNIS TANAMAN (BENIH) DAN HIJAUAN PAKAN

Peluang Bisnis Benih Tanaman Pakan

Jumlah kebutuhan hijauan pakan dan benih tanaman pakan secara nasional belum ada laporan, karena penggunaannya masih bersifat sporadis. Ruminansia sebagai hewan herbivora membutuhkan hijauan pakan sebanyak 10% dari bobot badan hidupnya. Konsumsi hijauan pakan satu satuan ternak berkisar 40-50 kg hijauan segar per hari, atau sekitar 8-10 kg hijauan kering per hari. Kebutuhan hijauan pakan nasional tahun 2009 yang dihitung berdasarkan seluruh populasi tetap ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba) (Ditjenak, 2009) baik untuk perbanyakan populasi maupun program penggemukan diperkirakan tidak kurang dari 39,6 juta ton hijauan kering. Angka ini akan terus bertambah sejalan dengan bertambahnya populasi ternak, terutama dalam rangka pencapaian program swasembada daging. Kebutuhan bahan kering hijauan pakan untuk ternak sapi pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 30,12 juta ton.

Pengembangan pakan di masyarakat dilakukan melalui pols, stek dan benih. Kebutuhan benih untuk penanaman tanaman pakan sangat tinggi sejalan dengan kebutuhan hijauan dan perluasan areal penanaman tanaman pakan. Untuk memenuhi kebutuhan hijauan yang tinggi setidaknya diperlukan dalam satu tahun pembukaan areal hijauan pakan sekurang-kurangnya 680.000 ha per tahun, sehingga dengan mempertimbangkan musim dan sifat agronomis tanaman pakan dapat mencapai lahan hijauan pakan berkelanjutan (lahan abadi) dalam 5 tahun seluas 3.4 juta ha yang tertanami sepanjang tahun. Lahan-lahan reklamasi pasca tambang merupakan lahan terbuka yang potensial untuk pengembangan tanaman pakan dan peternakan. Pengembalian lahan pasca penambangan dilaku-

kan melalui proses revegetasi dimana tanaman pakan dapat dijadikan sebagai salah satu komponen botani yang dikembangkan. Demikian pula pada lahan-lahan perkebunan sawit yang luasnya sekitar 8 juta ha (ICN, 2011) dan karet sekitar 3.6 juta ha yang dapat ditanami tanaman pakan secara integrasi.

Perwujudan lahan tanaman pakan berkelanjutan ini perlu didukung oleh industri benih tanaman pakan nasional. Kebutuhan benih tanaman pakan setiap spesies bervariasi antara 1- 20 kg/ha (Tabel 1). Angka proyeksi pengembangan lahan tanaman pakan berkelanjutan tersebut akan membutuhkan benih tanaman pakan per tahun antara 680 – 13.600 ton/tahun. Potensi ini akan membuka peluang bisnis penyediaan benih tanaman pakan, yang saat ini masih sangat langka di Indonesia.

Tabel 1. Kebutuhan benih tanaman pakan untuk penanaman

Jenis Rumput

Dosis semai (kg/ha)

Jenis Legum

Dosis semai (kg/ha)

Panicum maximum

2 - 6

Centrocema pubescens

3 - 5

Rumput para

2 - 6

Stylosanthes guianensis

2 - 5

Setaria

2 - 5

Pueraria javanica

1 - 3

Brachiaria decumben

3 - 6

Calopogonium muconoides

1 - 3

Brachiaria humidicola

5 - 7

Glycine wightii

2 - 3

Melinis minutiflora

2 - 5

Medicago sativa

8 - 12

Paspalum dilatatum

4 - 7

Leucaena leucocephala

1 - 2

Paspalum notatum

11 - 12

Clitoria ternatea

10-12

Chloris gayana

2 - 5

Arachis pintoi

15 - 20

Benih tanaman pakan merupakan komoditi industri yang strategis dan potensial secara bisnis. Saat ini Kebutuhan benih dalam negeri Indonesia masih secara dominan disuplai dari impor, suatu hal yang ironis dengan lahan negeri ini yang luas. Data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan hewan pada pertengahan tahun 2011 menunjukan angka impor benih tanaman pakan dari 12 jenis tanaman pakan sebanyak 6,88 ton, yang berasal dari Australia, Amerika Serikat, Thailand, Taiwan dan Pakistasn berturut-turut 4,95 ton, 1,69 ton, 0.30 ton, 2,0 ton dan 0.5 ton. Angka ini masih terbilang rendah padahal kebutuhan riil di lapangan masih sangat tinggi. Spesies yang dominan diimport seperti Brachiaria dan Cynodon adalah species tropis yang juga memungkinkan dihasilkan di Indonesia. Import kedua jenis tanaman pakan ini seringkali ditujukan untuk reklamasi lahan tambang sekaligus untuk areal pemanfaatan lain, diantaranya untuk pemeliharaan ternak.

Peluang Bisnis Hijauan Pakan

Kendala yang dialami oleh para importer benih tanaman pakan antara lain karena beberapa spesies dianggap menjadi Organisme Pengganggu bagi tanaman pangan. Berdasarkan hal ini maka beberapa importasi benih terutama benih rumput dihentikan. Spesies yang dianggap menganggu sebenarnya bukan langsung dari tanaman pakan tetapi beberapa benih yang diimport sebagai pembawa (carrier) jamur atau virus yang dapat menyerang tanaman pangan. Kondisi ini juga merupakan peluang bagi petani benih lokal untuk mengembangkan

Tabel 2. Persentase rumput dan legum yang diimpor dalam periode 2008-2011

Spesies

Australia

USA

Thailand

Taiwan

Pakistan

Paspalum dilatatum (Dallis grass)

2.01

0.59

-

Cynodon dactylon (Bermuda grass)

9.16

39.20

Brachiaria sp

31.58

Paspalum notatum (Bahia grass) Rumput + legum (campuran)

19.70

1.18

Medicago sativa (Alfalfa)

11.28

13.46

100

100

Chloris gayana (Rhode grass) Arachis pintoi (Kacang pinto)

0.50

1.18

Chamaecrista rotundifolia (Cassia)

10.68

Pennisetum setaceum

8.01

Forage shorgum

2.01

Rumput mix

5.06

44.38

100

Total

100

100

100

100

100

Sumber : Direktorat Pakan, Ditjenak KH, 2011

benih endemik yang sehat dan bebas dari penyakit. Peluang usaha benih tanaman pakan diduga akan memiliki prospek cerah dalam kurun waktu 5-10 tahun kedepan, mengingat kebutuhan benih tanaman pakan bagi industri peternakan, pertambangan, perkebunan dan pariwisata (kebun binatang, padang golf, resort dan sebagainya).

Kuantitas kebutuhan hijauan pakan sudah disampaikan diatas, namun ketersediaannya belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan sepanjang tahun karena beberapa faktor antara lain ketidakjelasan sistem tata guna lahan, musim kemarau yang panjang dan karakteristik hijauan pakan (akan dibahas kemudian). Produksi hijauan pakan di Indonesia belum secara khusus terprogram dalam kawasan yang luas, sehingga peternak selalu memiliki masalah dengan penyediaan hijauan pakan. Koperasi peternak sapi perah di Kabupaten Bandung harus mengangkut rumput dari Kabupaten Subang dan Sumedang yang jaraknya bisa mencapai 60-80 km untuk memenuhi konsumsi rumput sapi-sapinya. Di sisi lain komersialisasi rumput gajah masih sangat terbatas, karena masih terhambat oleh ketersediaan di sumber produksi, akibat persaingan penggunaan lahan. Namun secara sporadis bisnis pakan dalam skala rata-rata 4 ton/hari banyak dilakukan sebagai bisnis baru (new bussiness). Hal ini setidaknya bisa ditemukan situs-situs dalam jejaring dunia maya yang banyak menawarkan hijauan pakan dan benih tanaman pakan.

Harga rumput gajah potongan bervariasi tergantung musim dengan kisaran Rp.150-Rp.400/kg, bahkan dapat mencapai Rp. 750/kg jika saat musim Iedul Adha tiba untuk ternak kurban. Usaha produksi rumput seperti rumput gajah dapat menjadi usaha utama keluarga dengan memberikan keuntungan bersih hingga Rp. 4 juta/ha setiap 40 hari (kasus di Sukabumi). Keuntungan ekonomi ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

beberapa komoditas pangan seperti padi. Oleh karenanya tidak mengherankan bila minat masyarakat untuk menanam rumput gajah (terutama gajah Taiwan) sangat tinggi karena keuntungan ekonomis yang tinggi dan efisiensi dalam proses produksinya. Peluang bisnis hijauan pakan ini akan berlanjut selama manusia memerlukan produk hasil ternak ruminansia yang sehat dan aman. Peluang bisnis yang akan semakin membesar ini memerlukan strategi bisnis yang jitu dan dilakukan oleh profesional.

Tuntutan untuk mendapatkan produk peternakan sehat bukan hanya pada produk ternak ruminansia, namun juga pada ternak monogastrik seperti unggas dan kuda. Best practices yang sudah dilakukan di Amerika dan beberapa negara Eropa dapat menjadi pembelajaran bagi sistem peternaan di Indonesia. Beberapa fakta menyebutkan bahwa telur yang dihasilkan dari ayam yang mendapatkan legum dan dipelihara secara umbaran di pastura mengandung vitamin A, vitamin E dan omega-3 lebih tinggi dibandingkan dengan telur dari ayam yang dipelihara di kandang Karsten et al. (2003). Ayam yang digembalakan pada pastura hanya mengandung rumput memiliki kandungan asam lemak omega-3 dan vitamin pada telurnya lebih rendah dibandingkan dengan telur dari ayam yang digembalakan pada penggembalaan yang mengandung legum. Praktek pemberian hijauan segar yang digembalakan memungkinkan ayam mengonsumsi cacing dan insek (Glatz et al. 2005). Kajian lainnya dilaporkan bahwa daging ayam yang diumbar pada lahan penggembalaan khusus ayam memiliki kandungan thiamin lebih tinggi (Robertson et al. (1966)

Peluang usaha hijauan pakan juga diperkirakan akan berkembang karena akan menjadi industri pemasok pabrik pakan ransum komplit, yang akan menjadi trend baru pada sistem peternakan modern di wilayah padat penduduk. Hijauan olahan berupa silase atau hijauan limbah pabrik bioethanol atau bir akan mewarnai bisnis hijauan pakan di Indonesia. Karena sebagian besar rumput tropis memiliki kemampuan mengakumulasi karbon tinggi maka sebagian besar rumput akan dipilih menjadi komoditi dalam industri tersebut. Selain itu komoditi olahan seperti silase akan menjadi trend juga untuk dipasok ke peternakan yang berada di lokasi padat penduduk, yang tidak memungkinkan penanaman tanaman pakan disekitarnya.

Sumber protein pensubstitusi bungkil kedele dan tepung ikan kemungkinan akan diserahkan pada leguminosa yang sistem produksinya lebih mudah dan murah. Produksi tepung daun kemungkinan akan menjadi salah satu kegiatan usaha baru yang dapat berkembang dan memiliki prospek bisnis yang kompetitif, karena khas dan memerlukan skil produksi.

Sembilan Strategi untuk Bisnis Hijauan Pakan yang Survive

Seperti halnya bisnis lainnya, bisnis hijauan pakan agar dapat berkelanjutan memerlukan strategi yang tepat. Seorang ahli penyuluh pastura dan hijauan pakan Larry Redmon dari Texas Agri Life Extension Service, USA menyampaikan terdapat strategi yang tepat untuk

mempertahankan usaha produksi hijauan pakan. Kesembilan strategi tersebut adalah sebagai berikut : (a) Perencanaan produksi tertulis. Bisnis hijauan pakan seperti lainnya menuntut system recording yang baik sebagai landasan untuk melakukan perencanaan baik ditingkat produksi maupun distribusi; (b) Perhitungan kebutuhan yang tepat dituntunt untuk mengindari kerusakan dan over stay bahan baku di gudang; (c) Pengecekan kesuburan tanah dan pemupukan tepat dosis merupakan langkah penting untuk menjaga konsistensi produksi dan kualitas hijauan pakan yang diproduksi; (d) Perlindungan investasi dari organism pengganggu dilakukan agar hijauan yang sedang diproduksi mengalami kerusakan dan penurunan kualitas akibat serangan belalang (misalnya). Kerusakan akibat insekta dapat berakibat fatal terhadap investasi yang sudah dikeluarkan; (e) Perlindungan investasi pengawetan dan pengolahan hijauan; (f) Analysis kualitas secara rutin dilakukan untuk mengetahui secara pasti kebutuhan pemupukan dan ketepatan penanganan hijauan pakan yang diketahui mengandung kadar air tinggi; (g) Penggunaan legume diperlukan untuk meningkatkan kualitas hijauan pakan dan mengurangi beban biaya ransum pelanggan; (h) Pemilihan spesies yang adaptif terhadap system pemeliharaan yang rendah input dan (i) Penerapan inovasi sajian hijauan pakan bagi ternak dengan mempertimbangkan kemudahan distribusi dan pemberian pakannya.

Kesembilan strategi di atas menjadi faktor kunci agar peluang bisnis hijauan pakan dapat dikembangkan dalam bisnis skala industri. Strategi ini dilakukan dalam aktivitas produksi. Strategi lain adalah menjaga jejaring dan meningkatkan kepercayaan kepada peternak sehingga terjadi kelanjutan usaha.

KARAKTERISTIK HIJAUAN PAKAN DALAM BISNIS PAKAN

Keberhasilan bisnis suatu komoditi sangat ditentukan oleh karakteristik komoditi yang diusahakan. Sifat fisik komoditi yang bulky dan volumenous, mengandung kadar air tinggi menjadi pembatas utama dalam penyebaran, pengangkutan, penyimpanan dan penggunaan produk tersebut. Sebagian besar hijauan pakan di Indonesia memiliki karakteristik fisik yang menghambat bisnisnya. Akan tetapi karena kelangkaan maka hijauan pakan tetap menjadi komoditi yang dicari dan masuk dalam dunia bisnis. Meskipun karakteristik fisiknya yang dimiliki hijauan pakan menjadi kelemahannya, namun orisinalitas produk akan terjaga jika komoditi diperdagangkan dalam bentuk segar karena mudah diidentifikasi.

Secara bisnis di Indonesia belum ada kajian komprehensif mengenai karakteristik fisik hijauan pakan terhadap prospek bisnis, sehingga tidak cukup data untuk menggambarkan pengeruhnya. Tetapi secara umum dapat digambarkan bahwa sifat volumeneous hijauan pakan dapat mempengaruhi daya dan kapasitas simpan bahan di gudang. Studi yang dilakukan di Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Teknologi

Pastura, Fakultas Peternakan IPB (Sholihah, 2011) menunjukan bahwa modifikasi karakteristik fisik hijauan pakan Indigofera dapat meningkatkan daya simpan dan efisiensi ruang penyimpanan di gudang seperti ditunjukan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Bentuk pelet adalah representatif dari modifikasi fisik bahan yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penyimpanan dan daya simpan. Diameter pelet hijauan Indigofera yang berbeda berpengaruh secara signifikan terhadap daya simpan dan berat jenis (kerapatan).

Gambar 1. Daya simpan hijauan pakan yang dipelet dengan ukuran diameter berbeda (Sumber data : Sholihah, 2011)

Daya simpan pelet cenderung menurun dengan waktu penyimpanan lebih lama (15hari -60 hari). Namun secara statistic tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara nilai durability jika masih disimpan paling lama 60 hari setelah produksi pelet. Hal ini mengandung arti bahwa pelet yang dibuat sangat aman disimpan hingga waktu 60 hari. Nilai durability suatu bahan dianggap baik jika nilainya minimal 80%. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai durability pelet yang diuji berkisar antara 91.6%-97.8%

Kerapatan tumpukan memegang peranan penting dalam memperhitungkan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan dengan berat tertentu, seperti dalam pengisian bahan dalam mixer, elevator dan silo. Hasil penelitian menunjukan bahwa waktu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap berat jenis pelet daun yang diuji, sedangkan diameter pelet berngaruh nyata (p<0.05) terhadap berat jenis. Pelet berdiameter 8 mm memiliki berat jenis lebih rendah (1.32 g/L) dibandingkan dengan pelet berdiameter lebih kecil, yaitu 3mm dan 5 mm sebesar 1.34 g/L (Gambar 2).

Pelet berdiameter 8 mm memerlukan ruangan yang lebih besar dari pada pelet berukuran lebih kecil untuk berat yang sama, selain itu jumlah satuan pelet yang dapat ditampung lebih sedikit dari pada pelet ukuran lebih kecil. Hal ini juga terlihat dari nilai kerapatan tumpukan yang menunjukan nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai kerapatan tumpukan pelet berdiameter 3 mm dan 5 mm, seperti tampak pada Gambar 18. Nilai kerapatan tumpukan untuk pelet berdiameter 3 mm dan 5 mm masing-masing 0.629 kg/m3 dan 0.637 kg/m3 bandingkan nilai kerapatan pelet 8 mm 0.600 kg/ m3.

Tingkat efisiensi dalam penyimpanan (waktu maupaun ruang) merupakan indikator kunci dalam bisnis hijauan pakan, karena keberhasilan menyimpan

Gambar 2. Kerapatan tumpukan pelet daun Indigofera pada berbagai ukuran dan waktu simpan (Sumber data : Sholihah, 2011)

hijauan pakan berarti ketersediaan hijauan pakan pada musim kemarau atau di daerah yang tidak memiliki sumber daya lahan akan teratasi dengan baik. Jika kondisi ini dapat dipenuhi maka hijauan pakan dapat menjadi komoditi bisnis yang prospektif.

TANAMAN DAN HIJAUAN PAKAN GO-BUSINESS

Perluasan Lingkup Komoditi Hijauan Pakan

Agar hijauan pakan dapat memenuhi kriteria komoditas bisnis yang diharapkan sehingga mendorong tumbuhnya produsen hijauan pakan maka perlu dikembangkan paradigma baru dalam terminologi hijauan pakan. Perlu dibedakan antara tanaman pakan dengan hijauan pakan secara terminologis. Tanaman pakan dapat berarti semua jenis tanaman yang secara sengaja ditanam dan dikembangkan untuk menghasilkan produk utama hijauan pakan. Hijauan pakan diartikan sebagai bagian tanaman yang dapat dimakan ternak (edible) selain biji-bijian, yang dapat menyediakan makanan bagi ternak atau yang dipanen untuk pakan (Barnes et al., 2007). Bagian tanaman yang menjadi hijauan pakan meliputi daun, ranting, batang, pelepah dan bagian lain dari tanaman selain biji namun secara fisik dapat dimakan ternak. Berdasarkan terminologi ini hijauan pakan adalah produk yang dihasilkan dari tanaman pakan atau tumbuhan lain yang menghasilkan biomasa (berklorofil) yang dapat berfungsi sebagai hijauan pakan. Berdasarkan terminologi ini pula hijauan pakan dapat diperoleh dari semua tanaman pakan atau tanaman lain seperti jagung, shorgum, pelepah kelapa sawit, pelepah pisang, pelepah sagu dan lain-lain termasuk tanaman berdaun lebar (broad leaf forages).

Perluasan skup komoditi hijauan pakan ini meski dipandang tidak fokus dari segi keilmuan, namun dari segi bisnis akan memiliki prospek yang lebih luas dengan daya ungkit terhadap industri lebih kuat, sehingga bisnis hijauan pakan keberlanjutannya dapat dipertahankan. Ketersediaan sumber hijauan dengan cara seperti ini akan lebih baik jika input teknologi untuk meningkatkan nilai nutrisi melalui teknologi fortifikasi. Jika paradigma ini berkembang maka istilah integrasi sapi-sawit, sapi-jagung dan lainnya akan bergeser pada sistem produksi yang lebih united menjadi kesatuan sistem produksi, sehingga komunitas perkebunan sawit misalnya akan

lebih mudah mengadopsi program integrasi yang selama ini didengungkan. Bila paradigma ini benar-benar terbukti dianut oleh pelaku usaha peternakan dan perkebunan, maka bukan hal yang tidak mungkin suplai hijauan dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa harus tergantung pada musim dan perebutan lahan.

TRANSFORMASI BISNIS HIJAUAN PAKAN

Keberlangsungan bisnis hijauan pakan harus diawali dengan perubahan mindset mulai dari politisi, related leader (pusat dan daerah), peternak dan pebisnis hijauan itu sendiri, bahwa hijauan pakan sangat penting dan tidak tergantikan fungsinya dengan bahan lain bagi ternak. Persepsi yang sama akan mengarahkan energi yang sama untuk membangun industri hijauan pakan, sehingga hijauan pakan tidak lagi dipandang sebagai material biasa. Ditingkat politisi dan pimpinan wilayah perubahan mindset diperlukan dalam konteks penyelesailan persoalan konflik kepemilikan lahan (agraria) dan tataguna lahan yang sekarang menjadi isu sentral di beberapa wilayah Indonesia, sehingga investor sangat sulit memasuki wilayah usaha yang lahannya masih bermasalah, padahal diharapkan terjadi pengungkitan produktivitas lahan jika investasi berkembang di wilayah tersebut. Selain itu kebijakan pengurangan dampak kekeringan atau kerusakan padang penggembalaan menjadi porsi mereka.

Pada tataran produsen perubahan mindset diarahkan pada tingkat penggunaan input produksi yang optimal dan pemanfaatan inovasi agar sistem produksinya efisien, mudah didistribusi. Perubahan mindset juga harus terjadi di level marketing, mengingat komoditi ini sangat baru dan belum dikenal. Beberapa tahun terakhir terjadi perkembangan yang menggembirakan dimana para pedagang sapi menggunakan jasa marketing seperti sales promotion person (PSP) yang dididik khusus untuk menjadi pemasar ternak dan hijauan pakan. Upaya marketing hijauan pakan telah bergeser dari sistem tengkulak ke sistem layanan langsung melalui alat komunikasi tau social media seperti internet. Banyak situs pribadi maupun blog yang menawarkan penjualan hijauan pakan dan benih tanaman pakan. Reposisi mindset ini akan berdampak luas terhadap transformasi bisnis hijauan pakan yang tradisional ke bisnis hijauan pakan yang lebih modern. Optimisme ini perlu dibangun dengan kepercayaan diri penuh dari semua elemen termasuk ilmuwan, praktisi dan birokrat yang terkait dalam bidang pengembangan hijauan pakan.

Inovasi Pengembangan Multi Fungsi Tanaman dan Hijauan Pakan

Nilai tambah dan daya tarik ekonomi komoditi pakan merupakan salah satu faktor penting untuk dapat meningkatkan akses komoditi ini dalam bisnis. Fungsi konvensional hijauan pakan sebagai biomasa untuk pakan harus ditingkatkan pada taraf pakan fungsional karena khasiat (metabolit sekunder) yang dihasilkan di dalamnya, bukan sekedar fisik bahan

keringnya. Penelitian terhadap manfaat instrinsik hijauan pakan perlu diarahkan menjadi trend yang akan mengeksplorasi kegunaannya selain nutrisi bagi ternak, seperti untuk reproduksi, aroma produk, kesehatan kulit dan bulu serta cita rasa produk.

Fungsi hijauan pakan untuk obat (phytomedical/ pharmaceutical), kecantikan dan keindahan (cosmetical) dan fungsi kelestarian dan reklamasi (environmental) perlu dikembangkan, sehingga baik tanaman pakan maupun hijauan pakan akan menjadi salah satu central commodity dalam industri obat, kosmetik (untuk kecantikan dan odor pet animal) dan lingkungan untuk peternakan. Dilihat keragamannya, tumbuhan pakan terutama rumput sangat tinggi. Lebih dari 40.000 spesies rumput telah dibukukan dalam Flora van Java yang belum banyak diteliti kegunaannya selain untuk pakan langsung. Demikian halnya dengan tumbuhan daun lebar yang pada umumnya dianggap gulma oleh petani tanaman pangan kebanyakan mengandung senyawa metabolit yang berfungsi secara fisiologis untuk mempertahankan eksistensinya pada kondisi lingkungan ekstrim. Keberadaan senyawa metabolit dalam tanaman pakan bisa menjadi nilai tambah bagi ternak jika kita mengetahui cara mengelolanya. Tanin dan saponin adalah contoh senyawa kimia yang telah banyak diketahui berada dalam tumbuhan pakan dan membawa dampak positif dalam perlindungan protein dari degradasi mikroba dalam rumen dan diketahui dapat sebagai antihelmintik (anti cacing) (Beck and Reed, 2007) serta menekan populasi protozoa dan volume gas metan dalam rumen (Hu et al., 2005). Informasi nilai manfaat lain dari hijauan pakan Indonesia masih sangat jarang. Data antropologis melalui interaksi dengan masyarakat yang berpengalaman seperti tokoh adat, tabib dan shinse dalam menggunakan tumbuhan pakan sangat perlu dilakukan untuk mempermudah penggalian informasi terkait hal ini.

Teknologi integratif penunjang komersialisasi Hijauan Pakan

Perkembangan bisnis rumput gajah, hijauan jagung, gelagah dan sorgum terjadi dalam 5 tahun terakhir setelah diketahui bahwa beberapa rumput tropis yang secara fisiologis tergolong tanaman C4, yang mampu mengakumulasi bahan kering sangat tinggi dan efisien dalam penggunaan air, diketahui memiliki nilai energi yang tinggi jika difermentasi. Pasar komoditi ini yang jelas tergolong tanaman pakan kini mengalami persaingan dengan industri bioetanol, industri bir/nira atau bio-refinary industry. Hasil dari fermentasi adalah nira atau bir dan ampasnya yaitu serat. Kelangkaan hijauan segar akan dirasakan ketika industri ini (yang lebih memiliki nilai tambah) semakin berkembang. Limbah industri ini masih menyisakan bahan kering yang nilai nutrisinya mengalami perubahan (informasi mengenai nutrisi masih inkonsisten ada yang meningkat dan menurun). Tetapi industri ini mampu mengakumulasi biomasa dari tanaman rumput potensial dalam jumlah banyak, sehingga untuk keperluan makanan ternak bisa diintegrasikan dengan industri ini.

Karakteristik hijauan pakan yang mengandung kadar air tinggi seperti dibahas di atas menjadi pembatas pemasaran komoditi ini. Upaya untuk mengurangi kadar air dengan penjemuran di bawah matahari sering tidak konsisten hasilnya karena sangat tergantung pada cuaca. Pengeringan dengan menggunakan mesin dryer juga tidak efisien karena memerlukan energi yang tinggi, sehingga harga hijauan pakan menjadi mahal dan tidak kompetitif di pasar. Oleh karena itu perlu mengintegrasikan proses pengeringan ini dengan industri lain yang memiliki limbah panas yang kuat seperti industri baja, industri kaca dan industri porselen dan sebagainya. Limbah panas yang dihasilkan dari industri tersebut dapat dialirkan untuk mengeringkan hijauan pakan secara murah. Untuk keperluan transfer panas dibutuhkan peralatan yang dapat dirancang dengan mudah.

TANTANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Daya saing bisnis tanaman dan hijauan pakan terletak pada penguasaan informasi mengenai teknologi produksi, inovasi pengembangan komoditas agar bernilai tambah, penggunaan produk secara efisien dan penguasaan informasi pasar. Keempat komponen ini perlu didukung oleh data yang akurat. Oleh karena itu perlu program penelitian dan pengembangan terkait keempat hal diatas secara sistimatis. Beberapa aspek penelitian yang terkait dengan teknologi produksi, pengembangan produk dan pemanfaatan hijauan yang mendesak untuk diprogramkan antara lain : Bibit dan Benih Tanaman pakan, Perbaikan Kualitas Hijauan, Pengembangan Tanaman Pakan Unggul Adaptif, Perbaikan Teknik Kultur Tanaman Pakan dan Produk Olahan Hijauan Pakan dan Pengemasannya.

KESIMPULAN

Prospek bisnis tanaman dan hijauan pakan masih sangat terbuka, karena beberapa kelebihan yang dimilikinya, antara lain sebagai sumber nutrisi, sebagai sumber obat herbal, memiliki kemampuan dalam menjaga kestabilan lingkungan, membentuk komponen lansekap yang indah (estetika). Pengetahuan yang dapat meningkatkan nilai fungsi hijauan pakan dipercaya akan meningkatkan akses komoditi ini dalam dunia bisnis. Riset dan pengembangan dalam komoditi tanaman dan hijauan pakan perlu dilakukan dalam upaya mempercepat transformasi bisnis komoditi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L. 2006. The Development of Integrated Forage Production System for Ruminants in Rainy Tropical Regions-the Case of Research and Extension Activity in Java, Indonesia. Bulletin of Fac. Of Agric. Niigata University, Vol 58 No 2 Maret 2006, Hal 125-128

Barnes, R.F., C.J. Nelson and G.W. Fick. Terminology and Classification of Forage plants. In Barnes, R.F., CJ Nelson, K.J. Moore and M. collins. Eds. 2007. Forage : The Science of Grassland Agriculture, Vol II. Blackwell Publishing. 3-15.

Beck, J.L dan J.D Reed. 2007. Tannins : Anti quality effects on forage protein and digestion. In K. Launchbaugh Ed. Anti Quality factor in Rangeland and Pastureland Forages. University of Idaho, p. 18-22.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2009. Statistik Peternakan. Kementrian Pertanian RI, Jakarta.

Glatz, P. C., Y. J. Ru, Z. H. Miao, S. K. Wyatt, and B. J. Rodda. 2005. Integrating poultry into a crop and pasture farming system. International Journal of Poultry Science 4(4): 187-191.

Hu, W.L., J.X. Liu, Y.M. Wu and Y.Q. Guo. 2005. Effect of tea saponin on rumen. fermentation in vitro. Animal Feed Science and Technology. 120(3–4): 333–339.

Indonesian Commercial Newsletter (ICN), 2011. Industri Palm Oil di Indonesia. http://www.datacon.co.id/Sawit-2011ProfilIndustri.html

Karsten, H. D., G. L. Crews, R. C. Stout, and P. H. Patterson. 2003. The impact of outdoor coop housing and forage based diets vs. cage housing and mash diets on hen performance, egg composition and quality. International Poultry Scientific Forum, Atlanta.

Loor, J.J., F.D. Soriano, X. Lin, J.H. Herbein & C.E. Polan. 2003. Grazing allowance after the morning or afternoon miling for cows fed a total mixed ration (TMR) enhances trans 11-18:1 and cis9, trans 11-18;2 (rumenic acid) in milk fat to different extents. Animal Feed Science and Technology, 109:105-119.

McSweeney, C.S., N.T. Ngu., M.J. Halliday, S.R. Graham. H.E. Giles, S.A Dalzell and H.M Shelton. 2011. Enhanced ruminant production from leucaena – New insights into the role of ‘leucaena bug’. Proc. Of the 3rd International Conference on Sustainable Animal Agriculture For Development Countries, Nakhon Racthasima, Thailand, p: 88-89

Noci, F., A.P. Moloney, P. French dan F.J. Monahan. 2003. Influence of duration of grazing on the fatty acid profile of M longissimus dorsi from beef heifers. Proceeding of British Society of Animal Sciience, Winter Meeting, York. P233

Robertson, J., M. S. Vipond, D. Tapsfield, and J. P. Greaves. 1966. Studies on the composition of feed: Some differences in the composition of broiler and free range chickens. Br. J. Nutr. 20: 675-687

Sholihah, U.I. 2011. Pengaruh diameter pelet dan lama penyimpanan terhadap kualitas fisik daun legum Indigofera. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

West, C.P. and C.J. Nelson. 2003. Naturalized grassland ecosystem and their management. In RF Barnes, CJ., C.J. Nelson, K.J. Moore and M. collins, eds. Forages : an introduction to grassland agriculture, vol. 1, pp.315-337. Iowa State University Press, Ames, IA.

Whitehed DC. 2000. Nutrient Element in Grassland: Soil,Plant, Animal Relationship. Wallingford. CAB International Publising 367.

7