PENGARUH WAKTU DEKOMPOSISI DAN DOSIS PUPUK KOTORAN SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL HIJAUAN Asystasia gangetica (L.) subsp. MICRANTHA
on
p-ISSN 2088-818X e-ISSN 2549-8444
https://ojs.unud.ac.id/index.php/pastura
DOI:https://doi.org/10.24843/Pastura.2022.v11.i02.p10
pastura Vol. 11 No. 2 : 122 - 127
PENGARUH WAKTU DEKOMPOSISI DAN DOSIS PUPUK KOTORAN SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL HIJAUAN Asystasia gangetica (L.) subsp. MICRANTHA
I Gede Angga Bayu Pratama, M. Anuraga Putra Duarsa, dan I Wayan Wirawan
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar-Bali e-mail:[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dekomposisi, dosis pupuk terbaik dan interaksi antara waktu dekomposisi dengan dosis pupuk kotoran sapi terhadap pertumbuhan dan hasil hijauan Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha. Penelitian dilakukan di Rumah Kaca, Stasiun Penelitian Sesetan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana di Jalan Raya Sesetan Gang Markisa Denpasar. Penelitian berlangsung selama 3 bulan, menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor pertama adalah waktu dekomposisi yaitu 4 minggu (W4), 2 minggu (W2), tanpa dekomposisi (W0) dan faktor kedua adalah pemberian pupuk kotoran sapi dengan dosis 0 ton ha-1 (D0), 10 ton ha-1 (D10), 20 ton ha-1 (D20), 30 ton ha-1 (D30). Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali sehingga terdapat 48 unit percobaan. Variabel yang diamati yaitu variabel pertumbuhan, variabel hasil dan variabel karakteristik tumbuh tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara waktu dekomposisi dan dosis pada variabel nisbah berat kering daun dengan berat kering batang tetapi tidak menunjukkan adanya interaksi pada variabel lainnya. Waktu dekomposisi 4 dan 2 minggu nyata memberikan respon lebih baik dibandingkan tanpa dekomposisi. Peningkatan dosis pupuk dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hijauan Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi interaksi antara waktu dekomposisi dengan dosis pupuk terhadap variabel nisbah berat kering daun dengan berat kering batang, dan perlakuan dekomposisi 4 minggu (W4) dan dosis 30 ton ha-1 memberikan respon terbaik pada pertumbuhan dan hasil hijauan Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha.
Kata kunci: Asystasia gangetica, dekomposisi, kotoran sapi, pertumbuhan, hasil
THE EFFECT OF DECOMPOSITION TIME AND DOSAGES OF CATTLE MANURE FERTILIZERS ON THE GROWTH AND YIELD OF Asystasia gangetica (L.) subsp. MICRANTHA
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of decomposition time, the best fertilizer dose and the interaction between the decomposition time and the dose of cow manure on the growth and yield of Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha. The research was conducted at the Greenhouse, Sesetan Research Station, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University on Jalan Raya Sesetan Gang Markisa Denpasar. The study was done for about 3 months, using a completely randomized design (CRD) with a factorial pattern. The first factor is the decomposition time of 4 weeks (W4), 2 weeks (W2), without decomposition (W0) and the second factor is cow manure fertilizer at a dose of 0 t ha-1 (D0), 10 t ha-1 (D10), 20 t ha-1 (D20), 30 tons ha-1 (D30). Each treatment was repeated four times, so that there were 48 experimental units. The variables observed were growth variables, yield variables and plant growth characteristics variables. The results showed that there was an interaction between the time of decomposition and the dose on the ratio of leaf dry weight to stem dry weight but did not show any interaction on other variables. Decomposition time of 4 and 2 weeks actually gave a better response compared no decomposition treatment. Increasing the dose of fertilizer can increase the growth and yield of Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha. It can be concluded that there is an interaction between the decomposition time and the dose of fertilizer on the variable ratio of leaf dry weight to stem dry weight, and the decomposition treatment of 4 weeks (W4) and a dose of 30 t ha-1 gave the best response to the growth and yield of Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha.
Keywords: Asystasia gangetica, cow manure, decomposition, growth, yield
PENDAHULUAN
Ketersediaan hijauan pakan yang ada di Indonesia masih sangat terbatas karena kurangnya lahan yang ada dan pemanfaatan lahan yang belum maksimal. Dalam usaha peternakan, hijauan pakan sangat berpengaruh terhadap hasil dari suatu usaha peternakan. Oleh karena itu, penyediaan hijauan pakan harus tersedia baik secara kualitas, kuantitas, dan berkelanjutan. Menurut Farizaldi (2011), lebih dari 70% ransum ternak ruminansia terdiri atas pakan hijauan yang merupakan bagian terpenting dalam peternakan ruminansia. Ketersediaan hijauan pada musim hujan masih relatif banyak, tetapi pada musim kemarau ketersediaan hijauan pakan sangat terbatas. Oleh sebab itu, diperlukan pengembangbiakan tumbuhan pakan agar nantinya kebutuhan hijauan pakan untuk ternak dapat terpenuhi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangbiakkan tanaman Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha.
Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha merupakan salah satu tanaman yang dapat ditemukan di daerah tropis yang tumbuh secara merambat dengan cepat. Tumbuhan ini memiliki pertumbuhan yang cepat dan kompetitif serta sering kali digunakan sebagai pakan ternak ruminansia (Junedi, 2014). Tanaman Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha ini adalah termasuk dalam tanaman gulma dari perkebunan. Pemanfaatan gulma perkebunan sebagai pengganti hijauan pakan unggul merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan kurangnya ketersediaan hijauan pakan (Chee dan Faiz, 2000; Ali, 2010). Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha memiliki palatabilitas dan daya cerna yang tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai pakan ternak (Grubben dan Denton 2004), memiliki kadar protein kasar sebesar 19,3% (Adigun et al., 2014). Pada penelitian Stur dan Shelton (2000) menyebutkan bahwa Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha merupakan salah satu gulma yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi, sehingga bisa berpotensi sebagai pakan ternak. Hal ini membuat Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha ini menjadi alternatif untuk mengatasi kekurangan pakan pada musim kemarau.
Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha adalah dengan meningkatkan kesuburan tanah melalui pemupukan. Pemupukan bertujuan mengganti unsur hara yang hilang dan menambah persediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Salah satu pupuk yang baik digunakan adalah pupuk kotoran sapi.
Kotoran sapi adalah limbah hasil pencernaan sapi
dan hewan dari sub famili Bovinae. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi bergantung pada kondisi tingkat produksinya, jenis dan jumlah konsumsi pakan, serta individu ternak sendiri (Abdulgani, 1988). Kotoran sapi perlu didekomposisi oleh mikroba dan memerlukan lingkungan yang sesuai agar cepat matang sempurna dan tidak memberikan dampak negatif pada aspek sosial, estetika maupun kesehatan pada makhluk hidup dan lingkungan. Proses dekomposisi dapat dilakukan secara alami maupun dengan tambahan mikroorganisme sebagai fermentornya, sehingga waktu dekomposisi sangat bervariasi. Azlansyah (2014) menyatakan bibit kelapa sawit yang diberikan pupuk tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dengan dekomposisi selama 6 minggu menghasilkan pertumbuhan terbaik dibanding waktu dekomposisi 2 dan 4 minggu. Oleh karena itu, kecepatan dekomposisi dan kualitas kompos bergantung pada keadaan dan jenis mikroba yang aktif selama proses pengomposan. Kondisi optimum bagi aktivitas mikroba perlu diperhatikan selama proses pengom-posan misalnya aerasi, kelembaban, media tumbuh, dan sumber makanan bagi mikroba (Yuwono, 2006). Penelitian Nenobesi et al. (2017) mendapatkan bahwa penggunaan pupuk kotoran sapi mampu memperbaiki sifat fisik tanah vertisol dan meningkatkan produksi tanaman kacang hijau. Naimnule (2016) melaporkan pertumbuhan kacang hijau yang diberi perlakuan arang sekam dan pupuk kandang sapi jauh lebih baik dibandingkan yang tidak diberi perlakuan arang sekam dan pupuk kandang sapi. Pemanfaatan dosis 30 ton ha-1 pada tanaman setaria berbeda nyata dengan pemanfaatan kotoran sapi dengan dosis 20 ton ha-1 dan 10 ton ha-1 (Kusuma, 2018).
Berdasarkan uraian di atas, pemanfaatan kotoran sapi pada tanaman Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil dari tanaman tersebut serta didapatkan waktu dekomposisi dan dosis yang terbaik.
MATERI DAN METODE
Percobaan dilaksanakan di rumah kaca Stasiun Penelitian Fakultas Peternakan Universita Udayana dan berlangsung selama 12 minggu. Bahan tanam yang digunakan berasal dari biji tanaman Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha, sedangkan pupuk yang digunakan merupakan pupuk kotoran sapi. Percobaan mempergunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu waktu dekomposisi yang terdiri dari: 0 minggu (W0), 2 minggu (W2) dan 4 minggu (W4). Faktor kedua yaitu dosis pupuk yang terdiri dari: 0
ton ha-1 (D0), 10 ton ha-1 (D10), 20 ton ha-1 (D20), 30 ton ha-1 (D30). Terdapat 12 kombinasi perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali, sehingga terdapat 48 unit percobaan. Variabel yang diukur adalah variabel pertumbuhan, hasil, dan karakteristik tumbuh tanaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji sidik ragam (Gomez dan Gomez, 1995) dan apabila diantara nilai perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie, 1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara waktu dekomposisi dan dosis pupuk kotoran sapi terhadap nisbah berat kering daun dengan berat kering batang (Tabel 3). Nisbah berat kering daun dan berat kering batang berarti perbandingan antara produksi berat kering daun dengan produksi berat kering batang. Pada penelitian ini produksi daun yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan produksi batang terlihat pada pemberian dosis 0 ton ha-1, pada perlakuan tanpa dekomposisi, waktu dekomposisi 2 minggu, dan waktu dekomposisi 4 minggu. Ini memberikan indikasi bahwa pemberian dosis 0 ton ha-1 tanpa dekomposisi memberikan produksi daun relatif lebih banyak dari produksi batang, sedangkan terhadap variabel yang lainnya tidak menunjukkan adanya interaksi. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa antara waktu dekomposisi dan dosis pupuk kotoran sapi dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dalam mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman Asystasia gangetica (L.) subsp. Micr-antha. Menurut Gomez dan Gomez (1995) bahwa dua faktor perlakuan dikatakan berinteraksi apabila pengaruh suatu faktor perlakuan berubah pada saat perubahan taraf faktor perlakuan lainnya.
Pupuk kotoran sapi yang melalui proses dekomposisi berpengaruh nyata (P<0,05) lebih tinggi dibanding perlakuan tanpa dekomposisi kecuali pada variabel tinggi tanaman. Hal ini terjadi karena pada bahan organik yang telah terdekomposisi telah terjadi proses mineralisasi unsur hara dan terbentuk humus yang sangat bermanfaat bagi kesuburan dan kesehatan tanah (Setyorini dan Prihatini, 2003). Proses dekomposisi adalah proses biologi untuk menguraikan bahan organik menjadi bahan humus oleh mikroorganisme. Aktivitas dekomposisi oleh mikroorganisme mengubah organik komplek tersebut menjadi organik sederhana yang salah satunya menghasilkan unsur kalium yang dapat diserap tanaman (Widarti et al., 2015). Organisme perombak bahan organik meme-
Tabel 1. Pengaruh Waktu Dekomposisi dan Dosis Pupuk Kotoran Sapi terhadap Pertumbuhan Tanaman Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha
Variabel |
Dosis3) |
De W0 |
komposis W2 |
i2) W4 |
Rataan |
SEM4) |
Tinggi |
D0 |
36,23 |
36,23 |
36,23 |
36,23 B | |
D10 D20 |
44,93 |
43,40 |
45,75 |
44,70 A |
3,57 | |
tanaman | ||||||
(cm) |
46,13 |
47,75 |
49,88 |
45,03 A | ||
D30 |
40,60 |
45,63 |
48,88 |
47,92 A | ||
Rataan |
41,97 a1) |
43,25 a |
45,19 a | |||
D0 |
63,75 |
63,75 |
63,75 |
63,75 C | ||
Jumlah daun |
D10 |
98,25 |
120,75 |
112,50 |
110,50 B |
20,935 |
(helai) |
D20 |
119,50 |
127,00 |
129,75 |
115,91 B | |
D30 |
101,75 |
124,75 |
121,25 |
125,41 A | ||
Rataan |
95,82 b |
109,07 a |
106,82 a | |||
D0 |
8,25 |
8,25 |
8,25 |
8,25 C | ||
Jumlah cabang |
D10 D20 |
9,00 |
10,00 |
10,25 |
9,75 B |
0,116 |
(cabang) |
10,50 |
11,00 |
11,00 |
9,75 B | ||
D30 |
9,00 |
10,00 |
10,25 |
10,83 A | ||
Rataan |
9,18 b |
9,81 a |
9,93 a |
Keterangan:
1) Nilai dengan huruf kecil dalam satu baris dan huruf kapital dalam satu kolom menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
2) W0 = Tanpa Dekomposisi; W2 = Waktu Dekomposisi 2 minggu; W4 = Waktu Dekomposisi 4 minggu
3) D0 = Dosis 0 ton ha-1; D10 = Dosis 10 ton ha-1; D20 = Dosis 20 ton ha-1; D30 = Dosis 30 ton ha-1
4) SEM = Standard Error of the Treatment Means
gang peranan penting karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dan lain-lain) dan atmosfer (CH4 atau CO2) sebagai hara yang dapat digunakan kembali oleh tanaman (Saraswati et al., 2006).
Perlakuan pupuk tanpa dekomposisi (W0) nyata memiliki hasil paling rendah dibanding perlakuan lainnya (P<0,05). Hal ini sesuai dengan pendapat Setyorini et al. (2006) bahwa penggunaan bahan organik segar (belum mengalami proses dekomposisi) secara langsung yang dicampur ke dalam tanah akan mengalami proses peruraian secara aerob terlebih dahulu, sehingga mikroorganisme memerlukan hara N, P, dan K tanah untuk aktivitas penguraian bahan organik. Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses dekomposisi akan semakin lama, dan apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan akan dapat digunakan oleh tanaman. Pada umumnya bahan organik segar memiliki rasio C/N tinggi (jerami 50-70; dedaunan 50-60; kayu-kayuan >400). Menurut penelitian Dioha (2013), kotoran sapi mempunyai rasio C/N sebesar 24. Dalam waktu dekomposisi 2 minggu (W2) sudah menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan tanpa dekomposisi (W0).
Berdasarkan hasil penelitian perlakuan waktu dekomposisi 4 minggu (W4) dan 2 minggu (W2) me-
Tabel 2. Pengaruh Waktu Dekomposisi dan Dosis Pupuk Kotoran Sapi terhadap Hasil Hijauan Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha
Variabel |
Dosis3) |
Dekomposisi2) |
Rataan |
SEM4) | ||
W0 |
W2 |
W4 | ||||
Berat |
D0 |
3,43 |
3,43 |
3,43 |
3,43A1) | |
kering |
D10 |
3,50 |
3,40 |
3,53 |
3,47 A | |
daun (g) |
0,025 | |||||
D20 |
3,55 |
3,78 |
3,55 |
3,60 A | ||
D30 |
3,38 |
3,75 |
3,68 |
3,62 A | ||
Rataan |
3,46 a1) |
3,58 a |
3,54 a | |||
Berat |
D0 |
1,98 |
1,98 |
1,98 |
1,97 B | |
kering |
D10 |
2,65 |
3,18 |
3,30 |
2,89 A | |
batang |
D20 |
2,70 |
3,13 |
3,13 |
2,98 A |
0,013 |
(g) |
D30 |
2,75 |
2,85 |
3,08 |
3,04 A | |
Rataan |
2,51 b |
2,78 a |
2,86 a | |||
Berat |
D0 |
5,40 |
5,40 |
5,40 |
5,40 B | |
kering |
D10 |
6,15 |
6,58 |
6,83 |
6,49 A | |
total |
0,066 | |||||
hijauan |
D20 |
6,25 |
6,90 |
6,68 |
6,51 A | |
(g) |
D30 |
6,13 |
6,60 |
6,75 |
6,60 A | |
Rataan |
5,98 b |
6,36 a |
6,41 a |
Keterangan:
1) Nilai dengan huruf kecil dalam satu baris dan huruf kapital dalam satu kolom menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
2) W0 = Tanpa Dekomposisi; W2 = Waktu Dekomposisi 2 minggu; W4 = Waktu Dekomposisi 4 minggu
3) D0 = Dosis 0 ton ha-1; D10 = Dosis 10 ton ha-1; D20 = Dosis 20 ton ha-1; D30 = Dosis 30 ton ha-1
4) SEM = Standard Error of the Treatment Means
nunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada semua variabel sedangkan waktu dekomposisi 4 minggu (W4) dan 2 minggu berbeda nyata (P<0,05) dengan tanpa dekomposisi (W0), kecuali pada variabel tinggi tanaman dan berat kering daun. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perlakuan waktu dekomposisi 2 minggu (W2) sudah cukup untuk melakukan
dekomposisi pupuk kotoran sapi. Semakin lama proses pengomposan dilakukan, maka rasio C/N semakin kecil (Surtinah, 2013)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk kotoran sapi yang diberikan, maka semakin baik pertumbuhan dan hasil tanaman Asys-tasia gangetica (L.) subsp. Micrantha. Pada penelitian ini perlakuan 0 ton ha-1 (D0) memiliki rataan yang nyata paling rendah pada semua variabel (P<0,05). Hal ini dikarenakan tanah yang dipakai untuk penelitian memiliki unsur hara yang rendah terutama pada kandungan nitrogen (N) dan C-organik dalam tanah. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman memerlukan nutrisi terutama nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang cukup besar. Unsur hara makro tersebut diperlukan dalam jumlah yang cukup untuk memperoleh produksi yang maksimal. Sesuai pendapat Mulyani dan Kartasapoetra (1998) bahwa pupuk kandang sapi selain mengandung unsur hara makro, juga mengandung unsur hara mikro yang membantu menyediakan unsur hara untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pemberian dosis 10 ton ha-1, 20 ton ha-1, 30 ton ha-1 memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) dengan dosis 0 ton ha-1 terhadap variabel pertumbuhan. Sesuai dengan pendapat Kusuma (2018), pemanfaatan dosis 30 ton ha-1 pada tanaman setaria berbeda nyata dengan pemanfaatan kotoran kotoran sapi dengan dosis 20 ton ha-1 dan 10 ton ha-1 hasil dan karakteristik tumbuh tanaman. Hal ini terjadi karena unsur hara yang tersedia untuk tanaman cukup untuk membuat pertumbuhan berlangsung dengan
Tabel 3. Pengaruh Waktu Dekomposisi dan Dosis Pupuk Kotoran Sapi terhadap Karakteristik Tumbuh Tanaman Asystasia gangetica (L.) subsp. Micrantha | ||||||
Variabel |
Dosis3) |
Dekomposisi2) |
Rataan |
SEM4) | ||
W0 |
W2 |
W4 | ||||
Luas daun per pot (cm2) |
D0 |
950,788 |
950,788 |
950,788 |
950,787 B1) |
2,604,72 |
D10 |
942,740 |
899,893 |
1029,080 |
944,987 B | ||
D20 |
974,725 |
1113,078 |
1036,170 |
1041,32 A | ||
D30 |
833,780 |
914,183 |
906,418 |
826,293 C | ||
Rataan |
878,695 b1) |
969,485 a |
974,363 a | |||
Nisbah berat kering daun |
D0 |
1,73 a |
1,73 a |
1,73 a |
1,73 |
0,0012 |
dengan berat kering batang |
C |
C |
B |
A | ||
D10 |
1,32 b |
1,07 a |
1,07 a |
1,15 | ||
B |
A |
A |
C | |||
D20 |
1,32 b |
1,21 ab |
1,14 a |
1,22 | ||
B |
B |
A |
B | |||
D30 |
1,23 a |
1,31 b |
1,19 a |
1,24 | ||
A |
B |
A | ||||
Rataan |
1,40 a |
1,33 b |
1,28 b |
Keterangan:
1) Nilai dengan huruf kecil dalam satu baris dan huruf kapital dalam satu kolom menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
2) W0 = Tanpa Dekomposisi; W2 = Waktu Dekomposisi 2 minggu; W4 = Waktu Dekomposisi 4 minggu
3) D0 = Dosis 0 ton ha-1; D10 = Dosis 10 ton ha-1; D20 = Dosis 20 ton ha-1; D30 = Dosis 30 ton ha-1
4) SEM = Standard Error of the Treatment Means
baik. Sutedjo dan Kartasapoetra (2002) lebih lanjut menjelaskan bahwa untuk pertumbuhan vegetatif tanaman sangat diperlukan unsur hara seperti N, K dan unsur lainnnya dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Pupuk kotoran sapi banyak mengandung unsur hara nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang dapat berperan dalam pertumbuhan. Semakin tinggi residu bahan organik yang ada dalam tanah, maka semakin banyak N, P, dan K yang dapat diserap oleh tanaman dan semakin baik pertumbuhan yang dihasilkan (Safuan et al., 2012). Kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah juga akan mendorong pertumbuhan mikroba secara cepat, sehingga dapat memperbaiki aerasi tanah, menyediakan energi bagi kehidupan mikroba tanah, meningkatkan aktivitas jasad renik (mikroba tanah), dan meningkatkan kesehatan biologis tanah (Tisdale et al., 1993).
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa terjadi interaksi antara waktu dekomposisi dan dosis pupuk kotoran sapi serta perlakuan waktu dekomposisi 2 minggu dan dosis pupuk 30 ton ha-1 memberikan respon terbaik. Kepada petani peternak bahwa untuk meningkatkan produksi dan hasil tanaman Asysta-sia gangetica (L.) subsp. Micrantha dapat dipupuk dengan menggunakan pupuk kotoran sapi dengan dosis 30 ton ha-1, dengan waktu dekomposisi selama 2 minggu yang dinyatakan sudah cukup untuk melakukan dekomposisi kotoran sapi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, I. K. 1988. Seluk Beluk Kotoran Sapi serta Manfaat Praktisnya. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Adigun, J., Osipitan, A., Lagoke, S., Adeyemi, R. dan A. Afolami. 2014. Growth and yield performance of cowpea (Virginia unguiculata (L.) walp) as influenced by row-spacing and period of weed interference in South-West Nirgeria. Journal of Agricultural Science Archives, 6(40): 188-198.
Ali, A.I.M. 2010. Potensi pemanfaatan gulma sebagai pakan ternak pada integrase ternak ruminansia dengan perkebunan. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
Azlansyah, B. F., Silvina., dan M. Murniati. 2014. Pengaruh lama pengomposan tandan kosong kelapasawit (TKKS) terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit kelapa sawit (Elaeisguine-ensisJacq). Fakultas Pertanian Universitas Riau: Riau.
Chee, Y. K. dan A. Faiz. 2000. Forage resources in Malaysian rubber estates. ACIAR Proceeding Workshop. Bali, 21 – 29 Juni 2000. Page: 32-35.
Dioha, I. J. 2013. Effect of carbon to nitrogen ratio on biogas production. International Research Journal of Natural Sciences. Nigeria
Farizaldi. 2011. Produktivitas hijauan makanan ternak pada lahan perkebunan kelapasawit berbagai kelompok umur di PTPN 6 Kabupaten Batang-hari Provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 14:68-73.
Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. EdisiKedua. Jakarta: UI – Press, Hal: 13-16.
Grubben, G. J. H. dan O. A. Denton. 2004. Vegetables. Wageningen: PROTA (Plant Resources of Tropical Africa) Foundation.
Junedi, H. 2014. Pengaruh arasungsang (Asystasia gangetica (L.) T. Anders.) terhadap kadar air tersedia dan hasil kacang tanah pada ultisol; 2014 Sep 26-27; Palembang, Indonesia. Palembang (ID): Seminar Nasional Lahan Suboptimal. Hal: 156-159.
Stür, W. W. dan H. M. Shelton. 2000. Review of forage resources in plantation crops of Southeast Asia and the Pacific. ACIAR Proceeding Workshop. Bali, 21 – 29 Juni 2000.
Setyorini, D. dan T. Prihatini. 2003. Menuju “quality control” pupuk organik di Indonesia. Disampaikan dalam Pertemuan Persiapan Penyusunan Persyaratan Minimal PupukOrganik di Dit. Pupuk dan Pestisida, Ditjen Bina Sarana Pertanian, Jakarta 27 Maret 2003.
Kusuma, M. E. 2018. Efektifitas dosis pupuk organik kotoran sapi dan umur pemotongan terhadap produksi rumput Setaria (Setaria Spachelata) pada tanah berpasir. Jurnal Ilmu Hewani Tropika, 7(1): 7-11.
Mulyani, S. M. dan A. G. Kartasapoetra. 1998. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Naimnule, M. A. 2016. Pengaruh takaran arang sekam dan pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau (Vigna radiata, L.). Jurnal Savana Cendana, 1(4): 118–120.
Nenobesi, D., W. Mella, dan P. Soetedjo. 2017. Pemanfaatan Limbah Padat Kompos KotoranTernak dalam Meningkatkan Daya Dukung Lingkungan dan Biomassa Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.). Jurnal Pangan 26(1): 43–56.
Safuan, La Ode, dan A. Bahrun, 2012. Pengaruh bahan organik dan pupuk kalium terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman melon (Cucumis melo
L.). Jurnal Agroteknos 2 (2): 69-76.
Saraswati, R., E. Santoso, dan E. Yuniarti. 2006. Organisme Perombak Bahan Organik. Dalam Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Litbang.
Setyorini, D., R. Saraswati, dan E. K. Anwar. 2006. Kompos dalam Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Surtinah. 2013. Pengujian kandungan unsur hara dalam kompos yang berasal dari serasah tanaman jagung manis (Zea mays Saccharata). Jurnal Ilmiah Pertanian 11(1): 16-25.
Sutedjo. M. M. dan Kartasapoetra. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Tisdale, S. L., W. L. Nelson, dan J. V. Beatson. 1993. Soil fertility and fertilitas macmillan publishing. Co: New York.
Widarti, B. N., W. K. Wardhini, dan E. Sarwono. 2015. Pengaruh rasio C/N bahan baku pada pembuatan kompos dari kubis dan kulit pisang. Jurnal Integrasi Proses 5(2): 75-80.
Yuwono. 2006. Kecepatan dekomposisi dan kualitas kompos sampah organik. Jurnal Inovasi Pertanian 4(2): 116 – 123.
127
Discussion and feedback