pastura Vol. 3 No. 2 : 106 - 109

ISSN : 2088-818X

SUBSTITUSI GAMAL (Gliricidia sepium) DENGAN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) PADA RANSUM TERHADAP KECERNAAN IN-VITRO

  • A. A. Ayu Sri Trisnadewi, I G. L. O. Cakra, I W. Wirawan, I Made Mudita, dan N. L. G. Sumardani

Fakultas Peternakan Universitas Udayana JL. P. B Sudirman Denpasar

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggantian gamal dengan kaliandra (Calliandra calothyrsus) pada ransum terhadap degradasi rumen secara in-vitro. Penelitian mengunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari lima perlakuan dan tiga kali ulangan sehingga terdapat 15 unit percobaan. Adapun kelima perlakuan tersebut adalah: perlakuan A (ransum basal + 20% gamal), B (ransum basal + 15 % gamal + 5% kaliandra), C (ransum basal + 10% gamal + 10% kaliandra ), D (ransum basal + 5% gamal + 15 % kaliandra ), dan E (ransum basal + 20% kaliandra ). Peubah yang diamati adalah: degradasi ransum dalam cairan rumen in-vitro (kecernaan bahan kering [KCBK], kecernaan bahan organik [KCBK]), degradasi ransum dalam pepsin in-vitro (KCBK, KCBO), kadar ammonia, kadar VFA (Vollatyl Fatty Acid) dan pH cairan rumen in-vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggantian daun gamal dengan daun kaliandra sampai tingkat 20% dalam ransum, dapat menurunkan kecernaan bahan kering dan organik dalam rumen, tetapi sebaliknya meningkatkan kecernaan bahan kering dan organik dalam pepsin in-vitro. Disamping itu dapat menurunkan kadar N-NH3 dan VFA, tetapi meningkatkan pH cairan rumen in-vitro. Dapat disimpulkan bahwa tanin kaliandra dapat dipakai sebagai agen proteksi dari degradasi mikroorganisme rumen in-vitro di dalam ransum, dan penggunaan kaliandra sampai 20% dalam ransum sebagai protek protein ransum dapat menghasilkan kecernaan bahan kering dan bahan organik pepsin in-vitro tertinggi.

Kata kunci: tanin kaliandra, kecernaan in vitro, kadar amonia, kadar VFA, pH

THE SUBSTITUTION OF GLIRICIDIA (Gliricidia sepium) WITH CALLIANDRA (Calliandra calothyrsus) IN RATION TO IN-VITRO RUMEN DEGRADATION

ABSTRACT

The research was aimed to study the substitution of gamal (Gliricidia sepium) by caliandra (Calliandra calothyrsus) in ration to in-vitro rumen degradation. The research used completely randomized design (CRD) that consisted of five treatments and three replicates, so it has 15 units trial. The treatments were: A (basal ration+20% gliricidia), B (basal ration+15% gliricidia+5% calliandra), C (basal ration+10% gliricidia+10% calliandra), D (basal ration+5% gliricidia+15% calliandra), and E (basal ration+20% calliandra). Variables observed were ration degradation in rumen liquid in-vitro (digestibility of dry matter and organic matter), rumen degradation in pepsin in-vitro (digestibility of dry matter and organic matter), ammonia level, VFA (Volatyl Fatty Acid) level and acidity level (pH). The result of the research showed that substitution of gliricidia with calliandra up to 20% could reduce the dry matter and organic matter digestibility in rumen liquid in-vitro, but increase the dry matter and organic matter digestibility in pepsin in-vitro. N-NH3 dan VFA level were increase, but decrease the acidity level (pH) rumen liquid in-vitro. It can be concluded that tanin of calliandra could be used as protection agent from microorganism rumen in-vitro in the ration, and the using of calliandra up to 20% in ration yielding the highest dry matter and organic matter pepsin in vitro.

Key words: tannin calliandra, in vitro digestibility, amonia, VFA and pH level

PENDAHULUAN

Sampai saat ini acuan yang dipakai dalam menentukan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia, masih berdasarkan kandungan protein kasar dan kecernaan protein kasar yang diukur melalui selisih antara N-pakan dengan N-feses. Cara pendekatan ini tampaknya mengabaikan kenyataan yang sebenarnya terjadi pada pencernaan ruminansia, yaitu mengabaikan adanya proses fermentasi pada

reticulo-rumen yang dilakukan oleh mikroba rumen. Sehingga sering dijumpai bahwa pemberian pakan konsentrat tidak memberikan respon terhadap pertumbuhan terutama pada konsentrat yang banyak mengandung protein yang mudah terdegradasi di dalam rumen. Hal ini terjadi karena semua protein pakan itu dirombak dalam rumen oleh mikroba rumen sehingga hampir tidak ada yang lolos dari rumen. Sebagaimana kita ketahui bahwa hewan inang ternyata untuk pertumbuhannya tidak cukup hanya dengan

mengandalkan sumber protein dari protein mikroba, tetapi juga memerlukan protein yang berasal dari pakan yang lolos dari degradasi rumen (protein bypass).

Apabila dilihat dari kondisi fisiologi dan anatomi saluran pencernaan ternak ruminansia, maka komponen N pakan ada yang terdegradasi di dalam rumen untuk kepentingan pertumbuhan mikroba (sintesis protein mikroba) dan ada yang diserap melalui dinding rumen untuk diserap dalam bentuk amonia. Selanjutnya mikroba dapat digunakan sebagai sumber protein mikroba dalam usus halus bersama dengan protein pakan yang lolos dari rumen.

Pendekatan kebutuhan RDP (Rumen Degradable Protein) dan UDP (Undegradable Dietary Protein) yang dikembangkan oleh ARC (1984) merupakan suatu pendekatan yang memisahkan kebutuhan protein untuk mikroba yang berperan dalam degradasi pakan di dalam rumen dan kebutuhan ternak berupa protein yang lolos dari degradasi dalam rumen. Tingkat kelarutan dan degradasi protein pakan sangat mempengaruhi ketersediaan nitrogen dalam rumen. Sumber protein mudah terdegradasi (RDP) akan menghasilkan ketersediaan nitrogen yang tinggi dalam rumen dan menunjang sintesis protein mikroba rumen. Sedangkan sumber protein yang tidak terdegradasi dalam rumen (UDP) tidak menyediakan N dalam rumen dan tidak menunjang pertumbuhan mikroba rumen. Komponen protein yang terkandung dalam bahan pakan didominasi oleh fraksi yang mudah terdegradasi dalam rumen kecuali kaliandra.

Berdasarkan pernyataan di atas maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian tentang perbandingan RDP dan UDP yang optimal dalam mendukung sintesis protein mikroba sehingga dapat meningkatkan efesiensi penggunaan protein dalam rumen (mungkin bisa disebutkan di latar belakang – tujuan bahwa metode yang digunakan adalah in vitro, sehingga bisa sejalan dengan abstrak dan isi). Dengan menggunakan kaliandra untuk membatasi degradasi protein dalam rumen, maka diharapkan ternak inang dapat menerima pasokan protein pakan yang lebih tinggi untuk pembentukan daging.

MATERI DAN METODE

Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Materi Penelitian

Bahan ransum seperti daun kaliandra, daun gamal, jerami padi, dedak padi, dan casava dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan. (setelah itu dicampur atau dibuat pellet atau…?)Cairan rumen yang digunakan diambil dari isi rumen ternak sapi yang dipotong di rumah potong hewan di Pesanggaran, Denpasar. Untuk mendapatkan cairan rumen yang segar dalam pengangkutannya menggunakan termos air panas sehingga panasnya dapat dipertahankan.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 5 (lima) perlakuan dan 3 (tiga) ulangan, sehingga secara keseluruhan terdapat 15 (5x3) unit perlakuan. Adapun kelima perlakuan tersebut adalah: Perlakuan A (ransum basal + 20% gamal), B (ransum basal + 15 % gamal + 5% kaliandra), C (ransum basal + 10% gamal + 10% kaliandra ), D (ransum basal + 5% gamal + 15 % kaliandra ), dan E (ransum basal + 20% kaliandra).

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan yang digunakan dalam Pembuatan Ransum

Bahan

Perlakuan

A

B

C

D

E

Kaliandra

0

5

10

15

20

Gamal

20

15

10

5

0

Dedak padi

10

10

10

10

10

Ubi kayu

10

10

10

10

10

Rumput Gajah

60

60

60

60

60

Jumlah

100

100

100

100

100

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Degradasi ransum dalam cairan rumen in-vitro

(KCBK, KCBO)

  • 2.    Degradasi ransum dalam pepsin in-vitro (KCBK, KCBO)

  • 3.    Kadar ammonia, kadar VFA dan pH cairan rumen in-vitro

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam, dan apabila terdapat hasil yang berpengaruh nyata (P<0,05) diantara perlakuan maka analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)/ Honestly Significant Difference (HSD) (Sastrosupadi, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya persentase kaliandra sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20% dalam ransum atau masing-masing perlakuan B, C, D, dan E menyebabkan menurunnya kecernaan/degradasi bahan kering rumen in-vitro secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Hal ini disebabkan adanya kandungan tanin pada kaliandra karena tanin dapat mengikat protein, selulosa dan hemiselulosa sehingga aktivitas enzim protease dan enzim selulase menjadi terhambat. Meningkatnya persentase tanin (apakah ada dianalisis?) pada ransum menyebabkan karbohidrat dan protein dalam ransum diikat oleh tanin yang ada pada kaliandra, sehinggga karbohidrat dan protein sulit didegradasi oleh mikroorganisme rumen dan aktivitas enzim terhambat. Akibatnya degradasi atau kecernaan bahan kering rumen in-vitro semakin menurun sehingga ketersediaan karbohidrat dan protein untuk mikroorganisme juga menurun.

Menurut Jayanegara dan Sofyan (2008) bahwa keberadaan tanin berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein baik kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikrooragisme rumen sehingga lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Disisi lain, kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Ini dapat dilihat dari hasil penelitian pada perlakuan A dengan persentase gamal paling tinggi (20%) menghasilkan kecernaan bahan kering tertinggi, dan kecernaan bahan kering semakin menurun dengan meningkatnya persentase kaliandra dalam ransum. Selanjutnya Smith et al. (2005) disitasi Jayanegara dan Sofyan (2008) menyatakan tanin dapat berikatan dengan dinding sel mikroorganisme dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim. Tanin juga dapat berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen (Tanner et al. 1994 dalam Jayanegara dan Sofyan, 2008). Menurunnya kecernaan bahan kering dapat juga disebabkan oleh menurunnya aktivitas mikroba, yang disebabkan oleh adanya tanin.

Tabel 2. Pengaruh Penggantian Daun Gamal dengan Kaliandra terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik, N-NH3, VFA, dan pH In-vitro

Peubah

Perlakuan1)

A

B

C

D

E

KCBK Rumen (%)

38,85a)

37,44b

35,05c

32,72d

27,57e

KCBO Rumen (%)

41,21a

39,63b

36,75c

35,18d

29,66e

KCBK Pepsin (%)

58,01c

59,51b

59,74b

60,92b

62,65a

KCBO Pepsin (%)

59,33c

60,26bc

60,53bc

62,72ab

64,85a

N-NH3 (mM)

12,84a

11,80b

11,14c

10,93cd

10,57d

VFA (mM)

146,11a

140,78b

134,39c

122,44d

106,56e

pH

5,74d

5,98c

6,25b

6,33ab

6,48a

Keterangan:

1) A (ransum basal + 20% gamal), B (ransum basal + 15 % gamal + 5% kaliandra), C (ransum basal + 10% gamal + 10% kaliandra ), D (ransum basal + 5% gamal + 15 % kaliandra ), dan E (ransum basal + 20% kaliandra )

2) Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Kecernaan bahan organik dalam rumen in-vitro juga menurun secara nyata (P<0,05) dengan penggantian daun gamal dengan daun kaliandra sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20% dalam ransum. Penurunan kecernaan bahan organik disebabkan karena menurunnya kecernaan bahan kering. Sutardi (1980) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Selanjutnya Tillman et al. (1998) juga menyatakan bahwa sebagian besar bahan organik merupakan komponen bahan kering. Jika koefisien cerna bahan kering sama, maka koefisien cerna bahan organiknya juga sama. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan KCBK sehingga KCBO juga menurun.

Hal sebaliknya terjadi pada kecernaan bahan kering

dalam pepsin in-vitro, dimana terjadi peningkatan yang signifikan (P<0,05) dibandingkan dengan kecernaan bahan kering dalam cairan rumen. Nilai kecernaan bahan kering dalam pepsin pada perlakuan A adalah 58,01% dan pemberian perlakuan B, C, D, dan E meningkatkan kecernaan bahan kering dalam pepsin menjadi 59,51%, 59,74%, 60,92%, dan 62,65% atau masing-masing sebesar 2,59%, 2,98%, 5,02% dan 8,00% lebih tinggi daripada perlakuan A. Menurut Jayanegara dan Sofyan (2008), kompleks ikatan tanin-protein dapat lepas pada pH rendah di pasca rumen (abomasum) dan protein dapat didegradasi oleh enzim pepsin sehingga asam-asam amino yang dikandungnya tersedia bagi ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi tingkat degradasi protein dalam rumen. Peningkatan kecernaan bahan kering juga diikuti dengan cenderung meningkatnya kecernaan bahan organik dalam pepsin walaupun antara perlakuan A dengan perlakuan B, dan C tidak berbeda nyata (P>0,05), tetapi perlakuan A menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan perlakuan D dan E.

Di dalam rumen, protein difermentasi menjadi amonia (N-NH3), gas karbondioksida (CO2) dan metan (CH4). Amonia merupakan sumber nitrogen (N) utama bagi bakteri mengingat sebagian besar (82%) bakteri mampu memanfaatkan amonia sebagai sumber N. Disamping itu 40-60% N pakan akan diubah menjadi amonia oleh mikroba rumen dan 50-70% amonia yang dihasilkan dimanfaatkan untuk sintesis protein mikroba rumen (Sutardi, 1995 dalam Putra, 2006). Namun tingkat kelarutan dan degradasi protein pakan sangat mempengaruhi ketersediaan nitrogen dalam rumen. Sumber protein mudah terdegradasi (RDP) akan menghasilkan ketersediaan nitrogen dalam rumen. Sedangkan sumber protein yang tidak terdegradasi dalam rumen (UDP) tidak menyediakan N dalam rumen dan tidak mempengaruhi pertumbuhan mikroba rumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar N-NH3 rumen in-vitro menurun secara nyata (P<0,05) dengan meningkatnya persentase kaliandra dalam ransum atau pemberian perlakuan B, C, D, dan E. Hal ini disebabkan karena adanya tanin yang membentuk senyawa kompleks tanin-protein dan tanin-karbohidrat yang tidak dapat didegradasi oleh mikroba rumen, sehingga lebih banyak yang lewat rumen. Kemudian ikatan tanin itu dapat pecah dalam abomasum dengan kondisi pH rendah dan diserap di pasca rumen, sehingga protein dan karbohidrat dapat langsung dimanfaatkan oleh ternak inang itu sendiri.

N-NH3 merupakan hasil perombakan dari protein, sedangkan VFA merupakan hasil perombakan dari karbohidrat. Karbohidrat akan difermentasi oleh mikroba rumen membentuk VFA yang merupakan sumber energi siap pakai bagi mikroba rumen atau induk semang. Pembentukan VFA dalam rumen sangat penting mengingat 70-85% energi ruminansia bersumber dari VFA (Ginting, 2005 dalam Mudita, 2008). Kadar VFA rumen in-vitro juga menurun secara nyata (P<0,05) dengan pemberian perlakuan

B, C, D, dan E. Penurunan ini disebabkan karena perombakan karbohidrat terlarut oleh mikroba rumen menurun dengan adanya tanin pada kaliandra, dimana tanin tidak hanya berikatan dengan protein tetapi juga dengan senyawa lain seperti karbohidrat. Tanin merupakan senyawa polifenol kompleks yang mempunyai sifat dapat berikatan dengan protein atau polimer lainnya seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin membentuk suatu ikatan kompleks yang stabil, sehingga dapat menghambat kerja enzim protease (tripsin dan khimotripsin) dan enzim selulase. Tetapi penurunan kadar VFA rumen in-vitro hasil penelitian yang berkisar 106,56-146,11 mM masih dalam kisaran normal karena menurut Sutardi (1995) dalam Putra (2006), kadar VFA optimal yang dibutuhkan rumen untuk optimalisasi sintesis protein mikroba dan proses degradasi pakan berkisar antara 80-160 mM.

Berdasarkan hasil penelitian, pemberian perlakuan B, C, D, dan E menyebabkan peningkatan nilai pH rumen in-vitro secara nyata (P<0,05) masing-masing 5,98; 6,25; 6,33; dan 6,48 dibandingkan perlakuan A yang besarnya 5,74. Peningkatan pH disebabkan karena menurunnya perombakan karbohidrat terlarut dalam ransum dengan adanya tanin pada kaliandra. Walaupun berbeda nyata dengan perlakuan A tetapi nilainya masih dalam kisaran pH normal yaitu 5,5-7,2 (Owen dan Goetsch, 1988).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan:

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

  • 1.    Tanin kaliandra dapat dipakai sebagai agen pelindung dari degradasi mikroorganisme rumen in-vitro di dalam ransum.

  • 2.    Penggantian daun gamal dengan daun kaliandra dalam ransum, dapat menurunkan kecernaan bahan kering dan organik dalam rumen, tetapi sebaliknya meningkatkan kecernaan bahan kering dan organik dalam pepsin. Disamping itu dapat menurunkan kadar N-NH3 dan VFA, tetapi meningkatkan pH cairan rumen.

  • 3.    Penggunaan kaliandra sampai 20% dalam ransum sebagai protek protein ransum dapat menghasilkan kecernaan bahan kering dan bahan organik pepsin in-vitro tertinggi

Saran

Agar sumber protein dan karbohidrat ransum tidak terdegradasi oleh mikroorganisme rumen maka perlu diproteksi dengan tanin kaliandra agar dapat dimanfaatkan lebih optimal oleh ternak ruminansia.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih karena penelitian ini dapat terlaksana berkat bantuan dana dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana melalui dana penelitian Dosen Muda DIPA Universitas Udayana

DAFTAR PUSTAKA

Jayanegara, A., dan A. Sofyan. 2008. Penentuan Aktivitas Biologis Tanin Beberapa Hijauan secara in vitro Menggunakan ‘Hohenheim Gas Test” dengan Polietilen Glikol sebagai Determinan. Media Peternakan Vol. 31 No. 1. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Mudita, I M. 2008. Sintesis Protein Mikroba Rumen Sapi Bali yang Diberi Ransum Komplit Berbasis Jerami Padi Amo-niasi Urea dengan Suplementasi Multi Vitamin-mineral. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar.

Owens, F.N. dan A. L. Goetsch. 1988. Ruminal Fermentation. In D.C. Church Ed. The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A Reston Book. Prentice Hall. Eglewood Cliffs, New Jersey.

Putra, S. 2006. Perbaikan mutu pakan yang disuplementasi seng asetat dalam upaya meningkatkan populasi bakteri dan protein mikroba di dalam rumen, kecernaan bahan kering dan nutrien ransum sapi bali bunting, Majalah Ilmiah Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar 9 (1): 1-6.

Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawiroku-sumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan keenam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

109