Nandur

Vol. 2, No. 1, Januari 2022                                              https://ojs.unud.ac.id/index.php/nandur

EISSN: 2746-6957 | Halaman 41-51                                     Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

Stimulasi Tunas Eksplan Kalus Cendana (Santalum album L.)

Secara In Vitro dengan 2-Isopentenyladenine (2-iP)

Ida Ayu Sri Dewi Adriani, Rindang Dwiyani, Ida Ayu Putri Darmawati*)

Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

Jl. P.B. Sudirman, Denpasar, Bali 80232, Indonesia

*)Email: [email protected]

Abstract

Sandalwood (Santalum album L.) grows naturally in Indonesia, especially in Nusa Tenggara Timur area and this is one of 22 Santalum genus species in the world. Aim of the study is to determine the effect of 2-iP and the best concentration of 2-iP to stimulate callus explant shoots of Santalum album L. This studies carried out from September 2019 up to February 2020, the explants used were callus from bud culture from previous studies. The explants were planted at the Tissue Culture Laboratory, Faculty of Agriculture Udayana University Pulau Moyo street, Denpasar. This study used a completely randomized design (CRD) with 5 treatments, namely: (2-iP 0.0 ppm, 2-iP 0.5 ppm, 2-iP 1.0 ppm, 2-iP 1.5 ppm, 2-iP 2.0 ppm). The results showed that the addition of ZPT 2iP on WPM + 0.01 ppm NAA had a significant and very significant effect on the number of shoots, number of leaves and shoot length and had no significant effect on the emergence of shoots. The M1 treatment (WPM + 0.01 ppm NAA + 0.5 ppm 2-iP) showed the fastest time (1,55 MST) for the emergence of shoots on sandalwood callus explants. Treatment without the addition of zpt 2-iP (M0) could increase the number of shoots (2.87 pieces), number of leaves (5.59 strands) and shoot length (1.64 cm).

Keywords: Sandalwood, Callus, Cytokinin 2-iP and auxin NAA

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Cendana (Santalum album L.) tumbuh secara alami di Indonesia khususnya di Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dimana jenis ini merupakan salah satu dari 22 jenis dari genus santalum yang ada di dunia (Waluyo, 2006). Tanaman cendana tergolong tanaman yang sangat penting karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Cendana NTT mempunyai keunggulan diantaranya memiliki kadar minyak dan produksi kayu teras yang tinggi. Kayu cendana menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang harum dan banyak digemari, sehingga mempunyai nilai pasar yang cukup baik.(Surata, 2006). Perbanyakan tanaman cendana dapat dilakukan dengan cara mengecambahkan biji dan induksi kalus embriogenik secara kultur in vitro (Suryowinoto, 1996) Selama ini perbanyakan cendana secara tradisional yaitu secara generatif melalui biji, namun bibit yang berasal dari biji ini mengalami banyak kendala, di antaranya biji cepat mengalami penurunan daya kecambah, persentase perkecambahan yang rendah, satu biji hanya

menghasilkan satu tanaman, pertumbuhan lambat dan umur panen yang lama. Biji tanaman cendana termasuk biji yang endosperma, yaitu endosperma masih utuh ketika biji mengalami kemasakan, berbeda dengan biji yang non-endosperma, yaitu endosperma habis diserap oleh embrio ketika biji masak (Sukamto, 2011).

Percobaan kultur jaringan dilakukan dengan menggunakan eksplan biji muda cendana yang endospermanya masih meristematis hingga dimungkinkan mengalami morfogenetis membentuk kalus, somatik embrio, dan tunas pada media kultur yang tepat. Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik untuk menumbuhkan sel, jaringan ataupun irisan organ tanaman di laboratorium pada suatu media buatan yang mengandung nutrisi yang steril untuk menjadi plantlet. Jumlah tanaman baru yang dihasilkan tidak hanya satu, tapi bisa puluhan hingga ratusan (dari satu bahan tanam atau eksplan) sehingga teknik kultur jaringan digunakan sebagai metode perbanyakan tanaman. Metode perbanyakan tanaman yang dilakukan dengan teknik kultur jaringan tergolong perbanyakan vegetatif, artinya tidak melibatkan adanya fertilisasi antara sel telur dan sel kelamin jantan seperti halnya pembentukan biji pada tanaman, itu sebabnya plantlet yang dihasilkan identik dengan induknya (Dwiyani, 2015).

Salah satu faktor penentu keberhasilan dalam pelaksanaan kultur jaringan adalah pemberian zat pengatur tumbuh ke media kultur. Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang berperan dalam proses pembelahan sel, pembentukan organ, dan pembentukan mata tunas tumbuhan (George et al.,2008). Menurut Wetherell (1982) penggunaan sitokinin mempunyai peranan penting jika bersamaan dengan auksin yaitu merangsang pembelahan sel dalam jaringan yang dibuat eksplan serta merangsang pertumbuhan tunas dan daun. Zat Pengatur tumbuh 2-iP (2 isopenthyl adenin) merupakan salah satu sitokinin yang digunakan dalam penelitian ini. Sitokinin 2-iP merupakan sitokinin yang memiliki aktivitas yang hampir sama dengan fitohormon ziatin dalam menginduksi tunas. Selain itu 2-iP juga berfungsi juga untuk menstimulasi pertumbuhan dan mempunyai aktivitas tinggi dalam memacu pembelahan sel dalam kultur jaringan tanaman.

Zat Pengatur tumbuh 2-iP (2 isopenthyl adenin) merupakan salah satu sitokinin yang digunakan dalam penelitian ini. Sitokinin 2-iP merupakan sitokinin yang memiliki aktivitas yang hampir sama dengan fitohormon ziatin dalam menginduksi tunas. Selain itu 2-iP juga berfungsi juga untuk menstimulasi pertumbuhan dan mempunyai aktivitas tinggi dalam memacu pembelahan sel dalam kultur jaringan tanaman.

Pada penelitian ini, ZPT ditambahkan pada media dasar. Media dasar yang digunakan adalah Woody Plant Medium (WPM), merupakan media yang umum digunakan untuk kultur tanaman berkayu, termasuk cendana. Media ini pertama kali dipublikasikan oleh Lioyd and McCown (1981).

  • 2.    Bahan dan Metode

    2.1    Waktu dan Tempat Percobaan

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2019 sampai Februari 2020, di Laboraturium Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, di Jalan Pulau Moyo, Denpasar Selatan.

  • 2.2    Alat Dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalahAutoclaf, timbangan analitik, pipet ukur, laminar air flowcabinet (LAFC), lemari pendingin, handsprayer, pembakar bunsen, pinset, scapel, blade, batang pengaduk, botol kultur, cawan petri, erlenmeyer, becker glass, magneticstrirer, cawan petri, rak kultur, tisu, , karet gelang, api bunsen, spatula, pH meter, kertas label, aluminium foil dan plastik wrap. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu kalus Cendana (Santalum album L.) hasil kultur mata tunas aksilar Eka (angkatan 2016) yang sudah berupa kalus tersimpan di Laboratorium Kultur Jaringan FP,media Woody Plant Medium (WPM), gula, Pemadat (bio agar), Polyvinylpyrrolin (PVP) , Arang Aktif, Aquades steril, Auksin (NAA), Sitokinin (2-iP), Alkohol 70% dan Clorox (sodium hypochloride).

  • 2.3    Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor, dengan 5 taraf perlakuan sebagai berikut:

M0= WPM + 0,01 ppm NAA

M1= WPM + 0,01 ppm NAA + 0,5 ppm 2-iP

M2= WPM + 0,01 ppm NAA+ 1,0 ppm 2-iP

M3= WPM + 0,01 ppm NAA + 1,5 ppm 2-iP

M4 = WPM + 0,01 ppm NAA + 2,0 ppm 2-iP

Percobaan diulang 4x, sehingga diperlukan 20 unit percobaan. Setiap unit percobaan ditanam 2 potong eksplan kalus Cendana.

  • 2.4    Pelaksanaan Percobaan

    2.4.1    Sterilisasi Lingkungan Kerjadan Laminar

Kebersihan lingkungan kerja senantiasa mesti dan harus selalu terjaga, terutama di ruang tanam dan diruang simpan kultur harus dalam kondisi yang steril. Ruangan dijaga kebersihannya dengan cara disapu kemudian dipel sehingga ruangan tetap dalam kondisi yang steril. Sterilisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kemungkinan berhasilnya kultur jaringan, karena salah satu penyebab dari kontaminasi atau tidak berhasilnya kultur berasal dari lingkungan yang kurang steril. LAFC (Laminar Air Flow Cabinet) juga harus dalam kondisi steril sebelum digunakan. Cara sterilisasinya yaitu dengan membersihkan laminar dengan menyemprotkan alkohol 70% ke dalam LAFC, kemudian UV (sinar ultraviolet) dinyalakan selama 1-2 jam. UV dimatikan dan didiamkan selama 10 menit. Media tanam dan alat-alat yang akan digunakan di dalam laminar juga harus disemprot alkohol 70% terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam laminar.

  • 2.4.2    Sterilisasi alat

Alat-alat yang akan digunakan dalam penanaman eksplan seperti botol kultur, pinset, scapel, pisau, petri dish, alat-alat tersebut perlu di sterilisasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk mengurangi terjadinya kontaminasi. Sterilisasi alat dilakukan dengan cara botol-botol kultur yang sudah dibersihkan selanjutnya ditutup dengan menggunakan plastik kemudian diikat dengan karet gelang, sedangkan untuk yang alat yang lainnya seperti pinset, scapel, dan pisau dibungkus dengan menggunakan kertas coklat kemudian diikat dengan karet gelang. Botol-botol kultur dan alat-alat yang sudah terbungkus kemudian dimasukkan ke dalam autoklaf pada tekanan 17,5 psi (pond per square inch) dengan suhu 1210 C selama 60 menit.

  • 2.4.3    Pembuatan dan Sterilisasi Media

Bahan yang digunakan dalam pembuatan 1 liter media adalahmedia Woody Plant Medium (WPM) 2,41 gram, gula 30 gram, PVP 2 gram, pemadat (bio agar) 7 gram, arang aktif 2 gram dan ditambahkan dengan air mineral hingga volumenya 1000 ml. selanjutnya media dibagi menjadi empat bagian dengan berbagai konsentrasi. ZPT yang digunakan yaitu NAA dengan konsentrasi 0,01 ppm, 2-iP dengan konsentrasi 0 ppm. 0,5 ppm. 1,0 ppm. 1,5 ppm dan 2,0 ppm. Media dipanaskan sambil diaduk hingga mencapai suhu 800 C dengan kisaran pH 5,6-5,8. Media cair diangkat dan dituangkan ke dalam beker gelas yang sudah berisi ZPTNAA dan 2-iP, selanjutnya tuangkan ke dalam botol kultur yang telah disiapkan, dan tutup rapat botol menggunakan plastik dan diikat dengan karet gelang. Botol kultur yang sudah berisi media dipanaskan di autoklaf dengan tekanan 17,5 psi (pond per square inch) dengan suhu 121oselama 30 menit.

  • 2.4.4    Penanaman Eksplan

Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini berupa kalus Cendana (Santalum album L.)yang sudah steril dengan cara memotong eksplan kalus cendana sebesar 0,5 cm, kemudian dimasukkan ke botol kultur yang sudah berisi media, tutup botol menggunakan plastik dan ikat dengan karet gelang lakukan hal yang sama pada semua botol kultur yang akan digunakan. Botol-botol kultur yang sudah berisi eksplan kalus cendana lalu disimpan didalam rak kultur

  • 2.5    Variabel Yang Diamati

Pengamatan dilakukan setiap sebulan sekali setelah dilakukan penanaman. Adapun Variable yang akan diamati selama penelitian ini adalah:

  • 2.5.1    Persentase Kontaminasi, Browningdan Eksplan Hidup (%)

Eksplan dikatakan terkontaminasi apabila ada jamur atau bakteri pada eksplan atau media kultur. Eksplan yang mengalami pencoklatan/browning dihitung setiap bulan, kriteria eksplan browning apabila pencoklatan pada eksplan lebih dari separuh dari eksplan tersebut. Selanjutnya pengamatan terhadap eksplan yang hidup juga dilakukan setiap minggu setelah tanam (MST). Rumus untuk menghitung persentase kontaminasi,

browning dan eksplan yang hidup rumusnya sama hanya mengganti jumlah eksplan yang dicari.

  • 2.5.2    Waktu Tumbuh Tunas (HST)

Pengamatan waktu muncul tunas dilakukan pada saat muncul tunaspertama. Tunas akan muncul dari kalus yang ditanam pada media perlakuan. Pengamatan dilakukan sejak bulan pertama sampai 6 bulan.

  • 2.5.3    Jumlah Tunas (buah)

Jumlah tunas dihitung dari banyaknya tunas yang tumbuh pada setiap eksplan.Perhitungan jumlah tunas dihitung dari awal munculnya tunas sampai akhir pengamatan.

  • 2.5.4    Jumlah Daun (helai)

Jumlah daun dihitung dari banyaknya daun yang tumbuh pada setiap eksplan. Perhitungan jumlah daun dihitung sejak mulai munculnya daun pada eksplan sampai dengan akhir pengamatan.

  • 2.5.5    Panjang Tunas(cm)

Tinggi tunas diukur saat mulai eksplan muncul tunas, pengukuran panjang tunas dilakukan setiap minggu.

  • 2.6    Analisis Data

Data hasil pengamatan yang diperoleh, selanjutnya dianalisis sidik ragam dan jika perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji BNT taraf 5%. data yang tidak bisa dianalisis ditabulasi dan dibahas secara deskriptif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Hasil

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh 2-iP berpengaruh sangat nyata terhadap variabel yang diamati (Tabel 1).

Tabel 1. Signifikansi konsentrasi 2-iP terhadap semua variabel yang diamati

No                 Variabel                       Signifikasi

1

Saat muncul tunas

Ns

2

Jumlah tunas

**

3

Jumlah daun

**

4

Panjang tunas

*

Keterangan : (**) berpengaruh sangat nyata (P<0.01)

(*) berpengaruh nyata (P ≤ 0.05)

ns berpengaruh tidak nyata (P > 0.05)

Persentase kontaminasi, browning dan eksplan hidup pada perbanyakan Cendana (Santalum album L.) dapat dilihat pada (Tabel 2).

Tabel 2. Persentase Eksplan Kontaminasi, Browning dan Eksplan yang Hidup

Perlakuan

Kontaminasi (%)

Browning (%)

Eksplan Hidup (%)

M0

0

0

100

M1

50

25

25

M2

0

50

50

M3

25

25

50

M4

50

25

25

Pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh 2-iP (0 ppm, 0,5 ppm, 1,0 ppm, 1,5 ppm dan 2,0 ppm) dan NAA 0,01 ppm pada tunas eksplan kalus cendana (Santalum album L.) terhadap saat muncul tunas, jumlah tunas, jumlah daun, dan panjang tunas, dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap saat muncul tunas, Jumlah Tunas, Jumlah Daun

dan Panjang Tunas.

Perlakuan

Saat Muncul Tunas (minggu)

Jumlah Tunas (buah)

Jumlah Daun (helai)

Panjang Tunas (cm)

M0

2,55 a

2,87 a

5,59 a

1,64 a

M1

1,55 a

0,84 b

0,84 b

0,77 b

M2

2,33 a

1,22 b

1,28 b

0,99 b

M3

1,63 a

1,48 b

2,17 b

1,18 ab

M4

1,56 a

0,84 b

0,93 b

0,82 b

BNT

-

0,78

1,64

0,47

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan berbeda

tidak nyata pada uji BNT dengan taraf uji 5 %.

Berdasarkan Tabel 3 Perlakuan ZPT 2-iP pada berbagai konsentrasi berbeda berpengaruh nyata terhadap saat munculnya tunas. Kemunculan tunas tercepat pada perlakuan M1 (WPM + 0,5 ppm 2-iP dan 0,01 ppm NAA) dan terlama pada M0 (WPM + 0,01 ppm NAA). Pada variabel jumlah tunas, jumlah daun dan panjang tunas, antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak terdapat pada kontrol begitu juga dengan tunas terpanjang, nilainya berturut-turut adalah 2,87 buah, 5,59 helai dan 1,64 cm.

  • 3.2    Pembahasan

Penelitian tentang stimulasi tunas eksplan kalus Cendana (Santalum album L.) dengan menggunakan zat pengatur tumbuh 2-iP. Pertumbuhan tanaman dalam kultur jaringan tidak hanya dipengaruhi oleh hormon endogen yang ada didalam sel, tetapi juga

hormon eksogen yang ditambahkan ke dalam media perlakuan. Perlakuan kombinasi 2-iP dan NAA yang digunakan sebanyak 5 perlakuan dengan 4 kali ulangan dan lama pengamatan selama 6 bulan.

Salah satu permasalahan yang menghambat keberhasilan kultur jaringan adalah adanya kontaminasi dan browning. Fenomena terjadinya kontaminasi sangat beragam. Keragaman tersebut dapat dilihat dari jenis kontaminan yang lebih banyak didominasi oleh jamur dibandingkan bakteri (Gambar 1).Persentase kontaminasi tertinggi dari semua perlakuan dalam penelitian ini terjadi di M1 dan M4 yaitu sebesar 50% sama, sedangkan perlakuan dengan persentase kontaminasi terendah adalah M3 yaitu 25 %, waktu munculnya kontaminasi berbeda-beda setiap eksplan namun rata-rata eksplan mengalami kontaminasi mulai dari 1 MST. Kontaminasi merupakan salah satu factor penyebab pada kultur jaringan terutamana pada perkembangan dan pertumbuhan tanaman yang diusahakan, akibat dari kontaminasi ini eksplan dapat mati sebelum tumbuh menjadi plantlet (Karjadi dan Buchory, 2008).

Gambar 1. Kontaminasi Jamur; skala 1:125 cm Simbol panah menunjukkan kontaminasi jamur

Beberapa botol kultur yang berisi eksplan mengalami kontaminasi dan kontaminasi ini disebabkan oleh jamur, kontaminasi jamur terlihat pada media dan eksplan yang muncul spora berbentuk seperti kapas berwarna putih (Gambar 1).

Selain kontaminasi, dalam penelitian ini juga ada beberapa perlakuan yang mengalami browning (Tabel 2), persentase eksplan browning pada penelitian ini sebesar 50% dan 25%. Eksplan awalnya berwarna coklat kemudian menyebar sampai ke semua bagian eksplan berwarna coklat atau browning seperti yang terlihat pada (Gambar 2).

Menurut Santoso dan Nursandi (2003) browning dapat disebabkan oleh penggunaan bahan tanam yang tidak meristematik atau jaringan dewasa, tindakan sterilisasi berlebihan, media yang tidak cocok atau lingkungan yang tidak mendukung. Queiroz et al., (2008) mengemukakan bahwa browning terjadi akibat adanya enzim polifenol oksidase yang mengakibatkan terjadinya oksidasi senyawa fenol menjadi quinon yang memproduksi pigmen berwarna coklat ketika jaringan terluka akibat adanya pemotongan pada eksplan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kematian pada eksplan. Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase eksplan yang hidup dan dapat bertunas disemua perlakuan ada terutama yang dapat hidup 100% terdapat pada perlakuan 0,0 ppm 2-iP, kemuadian 50% dan 25% dari semua perlakuan.

Gambar 2. Kalus yang mengalami Browning; skala 1:125 cm Kalus Browning

ditunjukkan oleh panah

Adanya beberapa eksplan yang kontaminasi, browning tidak berpengaruh terhadap variabel-variabel yang diamati yaitu waktu muncul tunas, jumlah tunas, jumlah daun, jumlah daun, dan panjang tunas.

Hasil uji BNT 5% menujukkan bahwa perlakuan konsentrasi yang efektif dalam memicu munculnya tunas adalah 1,5 ppm 2-iP dan 0,01 ppm NAA yang ditunjukkan dengan pengaruh yang berbeda nyata dari semua perlakuan. Pada perlakuan tersebut didapatkan muncul tunas tercepat yaitu 3,00 MST sedangkan waktu muncul tunas yang lama yaitu di konsentrasi 1,0 ppm 2-iP + 0,01 ppm NAA (Gambar 3). Persentase eksplan hidup dapat dipengaruhi oleh persentase ekpslan kontaminasi dan Persentase ekplan hidup browning. Hasil pengamatan pada tabel 2 menunjukan perlakuan M0 (WPM + 0,01 ppm NAA), persentase eksplan hidup menjapai 100%. Hal tersebut diikuti dengan jumlah persentase eksplan hidup pada perlakuan M2 (WPM + 0,01 ppm NAA + 0,5 ppm 2-iP), M3 (WPM + 0,01 ppm NAA + 1,5 ppm 2-iP) mencapai 50%, sementara persentase eksplan hidup terendah pada perlakuan M1 (WPM + 0,01 ppm NAA + 0,5 ppm 2-iP), M4 (WPM + 0,01 ppm NAA + 2,0 ppm 2-iP) sebesar 25%. Tingginya persentase eksplan hidup dikarenakan eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksplan yang steril, sehingga tingkat kontaminasi terhadap eksplan rendah, selain itu penggunakan zat pengatur tumbuh juga dapat mempengaruhi pesentase hidup.

Gambar 3. Saat muncul tunas disetiap perlakuan 2-iP + NAA; skala 1:125 cm

Hasil analisis menunjukan bahwa persentase munculnya tunas pada perlakuan eksplan kalus dan komposisi NAA dengan 2-iP menunjukan berbeda tidak nyata, akan tetapi interaksi antara perlakuan ekplan kalus komposisi ZPT yang berbeda memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap munculnya tunas dapat dilihat pada tabel 3.

Pada pengamatan waktu muncul tunas tercepat terdapat pada perlakuan M1 (WPM + 0,01 ppm NAA + 0,5 ppm 2-iP) 1,55 (MST), M4 (WPM + 0,01 ppm NAA + 2,0 ppm 2-iP) 1,56 (MST), M3 (WPM + 0,01 ppm NAA + 1,5 ppm 2-iP) 1,63 (MST), M2 (WPM + 0,01 ppm NAA + 0,5 ppm 2-iP) 2,33 (MST) dan terendah terdapat pada perlakuan M0 (WPM + 0,01 ppm NAA) + 0,5 ppm 2-iP) 2,55 (MST). Hal ini menunjukan bahwa eksplan dan media tambahan 2-iP berpengaruh terhadap bentuk tunas. Sitokinin dengan konsentrasi lebih tinggi dari pada auksin atau tanpa auksin akan mendorong pembentukan tunas.

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa kalus dan komposisi dengan perlakuan yang berbeda yaitu M0 = WPM + 0,01 ppm NAA dan M3 = WPM + 0,01 ppm NAA + 1,5 ppm 2-iP merupakan media dengan kominasi zat pengatur tumbuhan sitokinin dan auksin.

Gambar 4. Jumlah tunas yang terbentuk disetiap perlakuan (Simbol Panah); skala 1:125 cm

Pada penelitian ini media WPM dengan penambahan 2-iP + NAA 0,01 ppm dapat memunculkan tunas, jumlah tunas, jumlah daun dan panjang tunas (Tabel 3) jumlah tunas tertinggi M0 (WPM + 0,01 ppm NAA) yaitu sebesar 2,87 (buah) dan jumlah tunas terendah M1 (WPM + 0,01 ppm NAA + 0,5 ppm 2-iP) dengan M4 (WPM + 0,01 ppm NAA + 2,0 ppm 2-iP) yaitu sebesar 0,84 (buah) sedangkan penelitian Warseno (2018) yang menggunakan media WPM serta penambahan 1 mg/l IAA dan 7 mg/l 2-iP merupakan media terbaik untuk induksi tunas pada R. radians yang diinisiasi dari kultur biji, dengan jumlah tunas rata-rata 15,80 + 3,45 cm dan tinggi tunas rata-rata 2,36 + 0,25 cm, sedangkan media yang menghasilkan jumlah dan tinggi tunas terendah (7,2 + 2,34

tunas dan 1,4 + 0,27 cm) adalah media WPM dengan penambahan 0,1 mg/l IAA dan tanpa penambahan 2iP.

Gambar 5. Jumlah daun dan panjang tunas akhir pengamatan(Simbol Panah); skala 1:125

Berdasarkan analisis ragam pemberian NAA, 2-iP dan keduanya berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Pada pertumbuhan pengamatan persentase eksplan jumlah daun tertinggi pada interaksi jenis eksplan dan komposisi 2-iP yang berbeda terdapat pada perlakuan yaitu M0 (WPM + 0,01 ppm NAA) dengan jumlah 5,59 (helai) dan terendah terdapat pada perlakuan M1 (WPM + 0,01 ppm NAA + 0,5 ppm 2-iP) dengan jumlah 0,84 (helai). Variabel panjang tunas Cendana menunjukkan bahwa perlakuan M0 (WPM + 0,01 ppm NAA) memiliki panjang tunas tertinggi 1,64 cm (dapat dilihat Tabel 3 dan Gambar 5), meskipun perlakuan M1 (WPM + 0,01 ppm NAA + 0,5 ppm 2-iP) memiliki panjang tunas terendah 0,77 cm. Pada Tabel 3 tidak dapat dijadikan patokan keefektifan penggunaan hormon karena perlakuan konsentrasi yang efektif hanya dapat dilakukan uji statistik.

Pemanjangan tunas diakibatkan adanya pemanjangan sel-selnya. Pemanjangan pada sel-sel sangat dipengaruhi oleh adanya hormon auksin. Penambahan 2-iP pada tiap perlakuan memberikan respon pada pertumbuhan saat muncul tunas, jumlah tunas, jumlah daun, dan panjang tunas. Konsentrasi 2-iP yang sesuai dengan kebutuhan plantlet terlihat pada perlakuan M3 (Tabel 3). Zat pengatur tumbuhan 2-iP berperan pada pembelahan sel.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian perlakuan penambahan ZPT 2-iP pada media WPM + 0.01 ppm NAA berpengaruh nyata dan sangat nyata pada variabel jumlah tunas, jumlah daun dan panjang tunas serta berpengaruh tidak nyata pada saat munculnya tunas. Perlakuan M1 (WPM + 0,01 ppm NAA+ 0,5 ppm 2-iP) menunjukkan waktu tercepat (1.55 MST) munculnya tunas pada eksplan kalus cendana. Perlakuan tanpa penambahan ZPT

2-iP (M0) dapat menambah jumlah tunas (2,87 buah), jumlah daun (5,59 helai) dan panjang tunas (1,64 cm).

Daftar Pustaka

Dwiyani, R. (2015). Kultur Jaringan Tanaman. Bali:Pelawa Sari.

George, E. F., & Sherrington, P. D. (1984). Plants Propagation by Tissue Culture. Handbook and Directory of Comercial Laboratories. Eugenetics Ltd. England.

Karjadi, A. K., & Buchory, A. (2008). Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Jaringan Meristem Kentang Kultivar Granola. 18(4):380-384.

Lloyd, G., McCown. B. (1981). Commercially feasible micropropagation of mountain laurel Kalmia latifolia by use of shoot tip culture. Comb Proc Intl Plant Prop Soc 1981, 30:421-427

Nursetiadi, E. (2008). Kajian Macam Media dan Konsentrasi BAP terhadap Multiplikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) Secara In Vitro. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.

Sukamto, A. L. (2011). Induksi Tanaman Cendana (santalum album L.) Triploid Melalui

Kultur Endosperma Secara Invitro.Vol. 14. No. 2

Surata, I. K. (2006). Teknik Budidaya Cendana. Dalam: Seminar Nasional Tentang Status

Silvikultur di Indonesia Saat ini. Yogyakarta. Hal. 1-27

Suryowinoto. (1996). Pemuliaan Tanaman Secara Invitro. Yogyakarta :Kanisius.

Waluyo, Tht. (2006). Penggunaan Pestisida Nabati Di Kehutanan. Informasiteknis 4

(1).Pusat Penelitian Dan Pengembangan Bioteknologi Dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogjakarta.

Wetherell, D. F. (1982). Induction To In Vitro Propagation. A Very Publishing Grup Inc. New. Jersey

51