ORIGINAL ARTICLE

MAJALAH ILMIAH FISIOTERAPI INDONESIA

Volume 11, Nomor 1 (2023), Halaman 53-57 P-ISSN 2303-1921, E-ISSN 2722-0443

TINGKAT AKTIVITAS FISIK SEDENTER MENINGKATKAN INSIDEN NON SPESIFIK LOW BACK PAIN DIBANDINGKAN TINGKAT AKTIVITAS FISIK TINGGI-POTONG LINTANG

Ferdi Perdana Putra1*, Gede Parta Kinandana2, I Nyoman Adiputra3, Anak Agung Gede Septian Utama4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali 2,4Departemen Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali 3Departemen Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali

*Koresponden: [email protected]

Diajukan: 25 April 2022 | Diterima: 26 Mei 2022 | Diterbitkan: 15 Januari 2023

DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2023.v11.i01.p10

ABSTRAK

Pendahuluan: Non spesifik low back pain (nsLBP) merupakan rasa nyeri yang dirasakan di sekitar punggung bawah tanpa penyebab yang spesifik. NsLBP terjadi akibat adanya kontraksi otot statis dalam waktu lama atau ketika melakukan aktivitas berlebih. Beberapa penelitian menunjukkan tingkat kejadian tertinggi nsLBP terjadi pada usia produktif terutama pada pekerja kantoran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan insiden nsLBP pada orang dengan tingkat aktivitas fisik tinggi dan sedenter di Kantor Walikota Denpasar.

Metode: Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling sebagai teknik pengambilan sampel. Subjek penelitian diobservasi dan variabel diukur satu kali setelah subjek penelitian mengisi kuisioner International Physical Activity Questionare dan Oswestry Disability Index. Desain penelitian ini digunakan untuk memperoleh gambaran perbandingan insiden nsLBP pada orang dengan aktivitas fisik tinggi dan sedenter di Kantor Walikota Denpasar.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 99 orang sampel penelitian di Kantor Walikota Denpasar terdapat sebanyak 23 orang (23,2%) mengalami nsLBP dan sebanyak 76 orang (76,8%) tidak mengalami nsLBP. Distribusi sampel yang mengalami insiden nsLBP lebih banyak terjadi pada subjek dengan tingkat aktivitas fisik sedenter (69,5%) dibandingkan dengan subjek dengan tingkat aktivitas fisik tinggi (30,4%) dari total semua subjek yang mengalami nsLBP (p=0.05).

Simpulan: Tingkat nsLBP lebih banyak ditemukan pada subjek penelitian dengan kelompok PA (physical activity) sedenter (40%) dibandingkan dengan kelompok PA tinggi (11,8%). Insiden nsLBP lebih tinggi terjadi pada orang dengan gaya hidup sedenter dibandingkan orang dengan tingkat aktivitas fisik yang tinggi.

Kata Kunci: non spesifik low back pain, tingkat aktivitas fisik, gaya hidup sedenter

PENDAHULUAN

Kantor merupakan tempat administrasi dari berbagai pekerjaan dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Tempat ini menyediakan berbagai fasilitas bekerja seperti komputer untuk berkomunikasi melalui e-mail, fax, dan lain-lain tergantung dari bisnis yang dijalankan. Lebih dari 50% populasi di dunia bekerja di perkantoran, terutama negara-negara yang memiliki populasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain, seperti China, India, dan Indonesia.1

Pekerjaan kantor mengharuskan orang-orang bekerja dalam posisi duduk untuk waktu yang lama dalam sehari. Kondisi tersebut dapat menyebabkan perilaku sedenter atau sedentary behavior (SB) bagi seseorang. SB dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang memiliki tingkat aktivitas fisik (physical activity) yang rendah atau pengeluaran energi dibawah 600 MET-min per minggu. Sedentary atau sitting behavior pada pekerja kantor merupakan salah satu faktor risiko obesitas, diabetes tipe 2, gangguan metabolisme jantung, penyakit arteri koroner, dan gangguan muskuloskeletal.2 Salah satu gangguan muskuloskeletal yang paling umum terjadi adalah low back pain.

Low back pain (LBP) dapat didefinisikan sebagai gangguan muskuloskeletal yang paling sering dijumpai pada masyarakat dan terus meningkat secara global. LBP menjadi kasus paling banyak menimbulkan keluhan nyeri nomor dua setelah sakit kepala serta menjadi penyebab nomor satu gangguan disabilitas.3 Insiden LBP dapat terjadi pada semua kalangan serta dapat meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini menyebabkan insiden LBP pada orang dewasa lebih tinggi dari anak-anak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat kejadian tertinggi LBP terjadi pada usia produktif atau pekerja sehingga LBP menjadi penyebab utama disabilitas dibandingkan dengan disabilitas yang disebabkan oleh masalah lainnya.4 LBP merupakan rasa nyeri yang terjadi di sekitar punggung bawah yang disertai ataupun tidak disertai rasa nyeri menjalar yang penyebabnya dapat diketahui secara spesifik seperti spondilosis, spondilolistesis, HNP, dan lain-lain. Sedangkan non spesifik low back pain merupakan rasa nyeri yang terjadi di sekitar punggung bawah tanpa adanya penyebab yang pasti dan biasanya hilang timbul.

Prevalensi LBP bervariasi di masing-masing negara namun diperkirakan mencapai 50% diseluruh dunia sedangkan di Indonesia mencapai 18%. Sebuah literatur melaporkan prevalensi non spesifik low back pain (nsLBP) pada pekerja kantoran di Costa Rica dan Nicaragua yaitu 46% dan 42,2%.5 Angka tersebut menunjukkan setengah dari

seluruh pekerja kantor di masing-masing negara tersebut menderita nsLBP. Pekerja kantoran menghabiskan sebagian besar waktu bekerja dalam posisi duduk. Faktor-faktor seperti posisi duduk, durasi duduk, dan juga postur tubuh dapat menjadi faktor risiko terjadinya nsLBP. Posisi dan postur buruk dapat meningkatkan beban otot punggung untuk menahan beban sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang bermanifestasi menjadi rasa sakit. Selain itu adanya kompresi spinal cord, radix dan facet joint yang diakibatkan muscle spasm juga dapat meningkatkan nyeri dan menjalar sampai tungkai bawah.

Menurut World Health Organization (WHO), satu dari empat orang dewasa memiliki aktivitas fisik yang rendah.6 Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya aktivitas sedenter yang dijumpai di sejumlah kalangan masyarakat, tidak hanya pekerja kantoran namun juga pelajar, mahasiswa, pedagang, serta ibu rumah tangga. Namun peningkatan LBP sebagian besar terjadi pada pekerja kantoran karena menghabiskan sekitar 95% waktu bekerja dalam posisi duduk.7

Akan tetapi, meskipun tingkat aktivitas fisik sedenter pada pekerja kantor sangat erat kaitannya dengan nsLBP, masih sedikit literatur yang menunjukkan bukti yang jelas dan juga beberapa penelitian yang kontradiksi. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan apakah risiko nsLBP lebih tinggi terjadi pada orang dengan tingkat aktivitas fisik tinggi atau sedenter.

METODE

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Desain penelitian ini digunakan untuk memperoleh gambaran perbandingan insiden nsLBP pada orang dengan aktivitas fisik tinggi dan sedenter di Kantor Walikota Denpasar. Sampel sejumlah 99 orang dipilih dengan teknik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari total sampel yang diukur yaitu 185 orang. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah wanita yang pekerjaan utamanya adalah pekerja kantor, jenis kelamin wanita, usia 2535 tahun, IMT normal (18,50-24,99), dan bersedia menjadi sampel penelitian. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah subjek yang memiliki riwayat cedera tulang belakang dan berdomisili bukan dari Denpasar. Subjek penelitian diobservasi dan variabel diukur satu kali setelah subjek penelitian mengisi formulir. Subjek drop out ketika subjek penelitian mengundurkan diri atau tidak bersedia mengisi kuisioner.

Penelitian dimulai pada tanggal 1 sampai 31 Desember 2021 di Kantor Walikota Denpasar. Pengurusan surat izin penelitian dilakukan selama kurang lebih 4 bulan. Sampel diukur menggunakan kuisioner penelitian dengan variabel independen tingkat aktivitas fisik tinggi dan sedenter, variabel dependen kejadian nsLBP, variabel kontrol usia, jenis kelamin, serta IMT, dan variabel perancu dalam penelitian ini yaitu posisi kerja, durasi kerja, dan sifat kerja. Sampel akan dijelaskan terlebih dahulu prosedur dari penelitian lalu meminta sampel untuk mengisi informed consent yang bersedia menjadi sampel penelitian. Sampel sebanyak 99 orang diobservasi dan diberikan kuisioner IPAQ dan ODI sebagai alat ukur penelitian. Kuisioner IPAQ digunakan untuk mengukur tingkat aktivitas fisik sampel penelitian, sedangkan ODI digunakan untuk mengukur tingkat disabilitas sampel penelitian terhadap nsLBP. Peneliti mengawasi sampel penelitian ketika mengisi kuisioner, menjawab pertanyaan dan mengarahkan sampel penelitian agar tidak terjadi misklarifikasi atau misunderstanding ketika menjawab pertanyaan untuk mengurangi bias dalam penelitian.

Analisis data pada penelitian ini meliputi analisis univariat dan bivariat. Adapun analisis yang dilakukan pada analisis univariat yaitu usia, tingkat aktivitas fisik, dan insiden nsLBP sehingga didapatkan karakteristik sampel penelitian. Sedangkan analisis bivariat pada penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan insiden nsLBP. Jenis uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Chi-Square Test dengan alat analisis statistik menggunakan aplikasi IBM SPSS Statistics 16.0.

HASIL

Dari hasil survei penelitian didapatkan sebanyak 185 pekerja kantor yang bekerja di Kantor Walikota Denpasar. Setelah dilakukan seleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan sebanyak 99 sampel yang memenuhi kriteria.

Gambar 1. Flow Diagram Sampel

Tabel 1. Data Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik

Frekuensi

Presentase (%)

Usia

25 tahun

17

17,17

26 tahun

8

8,08

27 tahun

6

6,06

28 tahun

14

14,14

29 tahun

6

6,06

30 tahun

6

6,06

31 tahun

5

5,05

32 tahun

7

7,07

33 tahun

10

10,1

34 tahun

5

5,05

35 tahun

15

15,15

Physical Activity

Tinggi

59

59,6

Sedenter

40

40,4

nsLBP

Ya

23

23,23

Tidak

76

76,76

Total

99

100

Berdasarkan data pada tabel 1. dapat dilihat bahwa distribusi subjek berdasarkan usia yang paling banyak yaitu usia 25 tahun sebanyak 17 orang (17,17%). Sebanyak 59 orang (59,6%) subjek penelitian memiliki tingkat aktivitas fisik tinggi yang lebih banyak dibandingkan dengan subjek penelitian yang memiliki tingkat aktivitas fisik sedenter yaitu sebanyak 40 orang (40,4%). Dapat dilihat juga bahwa terdapat 23 orang (23,23%) subjek peneliitan yang mengalami kejadian nsLBP.

Tabel 2. Uji Chi-Square Tingkat Aktivitas Fisik dengan Kejadian Non Spesifik Low Back Pain

Tingkat Aktivitas Fisik                                p

LBP                                    Total

Sedenter Tinggi

Ya

16

40%

7

11,8%

23

23,2%

0,002

Tidak

24

60%

52

88,2

76

76,8%

Total

40

100%

59

100%

99

100%

Tabel 2. menunjukkan data hasil penelitian terkait analisis perbandingan antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian nsLBP menggunakan chi-square test. Jumlah subjek penelitian yang mengalami nsLBP lebih banyak terjadi pada subjek dengan kategori PA sedenter yaitu sebanyak 16 orang (40%) dibandingkan dengan subjek dengan kategori PA tinggi yaitu sebanyak 7 orang (11,8%) dari total subjek penelitian yang mengalami nsLBP. Nilai p yang diperoleh dari uji chi-square test menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara tingkat aktivitas fisik pada pekerja kantor dengan kejadian nsLBP di Kantor Walikota Denpasar

DISKUSI

Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian pada penelitian ini merupakan pekerja kantor yang pekerjaan utamanya bekerja dengan komputer/laptop di Kantor Walikota Denpasar. Subjek penelitian ini berjumlah 99 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Karakteristik subjek pada penelitian ini menurut usia yang terbanyak dan termuda yaitu usia 25 tahun sebanyak 17 orang (17,17%) dan usia tertua yaitu 35 tahun sebanyak 15 orang (15,15%).

Kriteria inklusi pada subjek berjenis kelamin wanita karena kejadian nsLBP lebih cenderung terjadi pada wanita dibandingkan pria.8 Subjek penelitian semuanya berjenis kelamin wanita berjumlah 99 orang yang memiliki IMT ideal (18,5-24,99) dengan IMT terendah 18,52, IMT tertinggi 24,97, dengan rerata IMT 22,39. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu subjek tidak memiliki riwayat cedera tulang belakang untuk menghilangkan faktor bias dalam penelitian.

Tingkat aktivitas fisik diukur menggunakan International Physical Activity Questionare (IPAQ) dengan mayoritas tingkat aktivitas fisik sampel penelitian tinggi dengan jumlah 59 orang (59,6%) sedangkan tingkat aktivitas fisik sedenter dengan jumlah 40 orang (40,4%). Aktivitas fisik merupakan kegiatan yang dilakukan sehari-hari dengan pengeluaran energi tergantung aktivitas yang dilakukan dalam kategori rendah, sedang, atau tinggi. Gaya hidup sedenter atau tingkat aktivitas fisik rendah memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian nsLBP. Aktivitas yang tidak memerlukan banyak energi seperti duduk dan berbaring cenderung membuat pekerja kantoran masuk ke dalam kelompok aktivitas fisik sedenter.3,9

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 99 orang sampel penelitian di Kantor Walikota Denpasar terdapat sebanyak 23 orang (23,2%) mengalami nsLBP dan sebanyak 76 orang (76,8%) tidak mengalami nsLBP. Distribusi sampel yang mengalami insiden nsLBP lebih banyak terjadi pada subjek dengan tingkat aktivitas fisik sedenter yaitu sebanyak 16 orang (69,6%) dibandingkan dengan subjek dengan tingkat aktivitas fisik tinggi yaitu sebanyak 7 orang (30,4%). Dari hasil tersebut sebanyak 7 orang yang memiliki tingkat aktivitas fisik tinggi dan 14 orang yang memiliki tingkat tingkat aktivitas fisik sedenter mengalami disabilitas minimal, sebanyak 1 orang (4,3%) yang memiliki tingkat

tingkat aktivitas fisik sedenter mengalami disabilitas moderate, dan sebanyak 1 orang (4,3%) yang memiliki tingkat tingkat aktivitas fisik sedenter mengalami disabilitas severe.

Dari data tersebut dapat terlihat bahwa sampel penelitian lebih banyak yang memiliki tingkat aktivitas fisik tinggi, namun insiden nsLBP lebih banyak terjadi pada orang yang memiliki tingkat aktivitas sedenter dan sebagian besar tingkat disabilitas LBP yang dialami sampel penelitian yaitu tingkat minimal.

Hubungan Antara Tingkat Aktivitas Fisik dengan Kejadian Non Spesifik Low Back Pain

Hasil analisis bivariat chi-square test antara tingkat aktivitas fisik dan nsLBP menunjukkan nilai p sebesar 0.002 yang artinya p<0,05. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan adanya hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian nsLBP pada pekerja kantor di Kantor Walikota Denpasar.

Tingkat aktivitas fisik tinggi dapat menyebabkan ligamen dan otot pada daerah low back meregang terlalu kuat hingga mengakibatkan muscle tear. Aktivitas fisik tinggi yang melibatkan angkat beban atau postur buruk bermanifestasi pada terjadinya strain muscle sehingga terjadinya nyeri pada low back. Beberapa jenis aktivitas berat ini meliputi weight lifting, mencangkul, menggali, dan beberapa jenis olahraga seperti bulu tangkis dan tenis. Muscle strain terjadi akibat adanya beban yang terlalu berlebih pada otot sehingga meningkatkan ketegangan otot yang menyebabkan kerusakan pada muscle fiber sehingga mengakibatkan nyeri. Hal ini biasanya terjadi ketika otot berkontraksi secara eksentrik dengan beban yang diatas ambang batas otot. Selanjutnya akan terjadi inflamasi pada otot yang menginduksi terjadinya healing process atau regenerasi (destruction, repair, remodeling).10

Sampel penelitian menghabiskan waktunya sebagian besar dalam posisi duduk saat bekerja. Beberapa faktor dapat dikaitkan dengan kejadian nsLBP seperti durasi duduk, postur saat duduk, dan ergonomi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa duduk lebih dari 7 jam dapat secara signifikan meningkatkan risiko nsLBP pada pekerja kantoran.7 Duduk lama menyebabkan aktivitas otot ekstrinsik maupun intrinsik berlangsung secara terus-menerus pada daerah lower back. Posisi dan postur duduk juga sangat berpengaruh pada kekuatan kontraksi otot serta proprioseptif. Adanya kontraksi otot pada saat duduk menyebabkan peningkatan asam laktat yang mengakibatkan adanya spasme pada otot. Otot spasme dapat menekan jaringan di sekitarnya seperti facet joint dan akar saraf di foramen intervertebral sehingga menimbulkan nyeri di bagian lower back hingga menjalar ke hamstring dan ekstremitas bawah. Selain itu, duduk menyebabkan adanya penekanan beban pada korpus di spinal cord. Penekanan beban dominan bertumpu pada daerah lower back sehingga menyebabkan peningkatan kompresi pada diskus intervertebral. Kompresi di daerah lower back oleh diskus dapat mengakibatkan penekanan spinal cord di sekitarnya yang bermanifestasi menjadi low back pain.11

Hasil ini sama dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa sedentary lifestyle secara signifikan dapat meningkatkan insiden terjadinya low back pain atau reccuring low back pain. Terdapat 609 partisipan pada penelitian tersebut yang merupakan penduduk di North-East Poland.3 Hasil yang serupa juga ditemukan pada penelitian terbaru yang menunjukkan hasil sedentary lifestyle pada pekerja meningkatkan terjadinya back pain dan gangguan mental. Sebanyak 554 dari 2.906 partisipan akademisi maupun non akademisi direkrut untuk menjadi peserta penelitian di Qatar University dengan menggunakan metode non-random sampling (convenience sample).9

Perbandingan Insiden Non Spesifik Low Back Pain pada Pekerja Kantor dengan Tingkat Aktivitas Fisik Tinggi dan Sedenter

Data penelitian menunjukkan bahwa mayoritas sampel penelitian yang memiliki nsLBP masuk ke dalam kategori tingkat PA sedenter (MET≤600 min/week) sebanyak 16 orang (69,5%), sedangkan yang memiliki nsLBP kategori tingkat PA tinggi (MET≥3000 min/week) sebanyak 7 orang (30,4%) dengan jumlah total sampel yang mengalami nsLBP sebanyak 23 orang dari 99 orang total sampel penelitian. Pekerja kantor yang tidak mengalami nsLBP yang masuk ke dalam kategori tingkat PA sedenter sebanyak 24 orang (31,5%) sedangkan yang masuk ke dalam kategori tingkat PA tinggi sebanyak 52 orang (68,4%) dengan jumlah total 76 sampel. Berdasarkan hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian nsLBP yang ditandai dengan jumlah sampel yang mengalami nsLBP lebih dominan terjadi pada kelompok dengan tingkat PA sedenter dibandingkan dengan kelompok tingkat PA tinggi.

Pekerja kantor menghabiskan waktunya untuk bekerja dalam posisi duduk atau berbaring, baik itu ketika berada di kantor ataupun di rumah. Durasi duduk yang lama perlahan-lahan menyebabkan perubahan postur duduk dalam bekerja. Perubahan yang terjadi mengakibatkan peningkatan kontraksi otot oleh adanya perubahan posisi tubuh baik itu posisi kepala, pinggang, maupun ekstrimitas bawah yang berlangsung secara tidak sadar. Perubahan ini dapat terjadi secara simtomatik ataupun asimtomatik. Keadaan simtomatik memicu nyeri yang diakibatkan oleh kekakuan otot atau spasme otot punggung bawah yang mengakibatkan ketidaknyamanan dalam bekerja. Tingkat disabilitas tersebut juga bermacam-macam tergantung onset dan lingkungan individu tersebut. Jika lingkungan bekerja sangat tidak ergonomis, maka dapat mengakibatkan tingkat disabilitas low back pain yang sangat tinggi.2

Tingkat aktivitas fisik memang sangat berkaitan dengan insiden low back pain. Namun tingkat aktivitas fisik tinggi bukan berarti lebih baik dalam pencegahan insiden low back pain. Berdasarkan literatur sebelumnya, terdapat bukti kuat bahwa aktivitas fisik tinggi dan juga postur buruk menjadi faktor risiko terjadinya back pain. Aktivitas-aktivitas yang meliputi mengangkat, menarik, mendorong, dan memutar sangat berisiko meningkatkan insiden low back pain.12 Akan tetapi, fakta tersebut tidak konsisten untuk aktivitas olahraga yang memerlukan gerakan-gerakan tersebut.

Hal ini juga didukung oleh systematic review terbaru bahwa orang-orang dengan tingkat PA moderate memiliki 10% risiko lebih rendah mengalami low back pain. Penelitian tersebut lebih menganjurkan orang-orang untuk hidup dengan tingkat aktivitas sedang atau moderate.13 Secara alami, tingkat PA moderate membuat seseorang untuk tidak melakukan aktivitas secara statis ataupun berlebihan yang menyebabkan penurunan risiko terhadap nsLBP. Selain itu, aktivitas yang dilakukan pada tingkat PA moderate tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu berlebih yang membuat seseorang lebih fleksibel terhadap aktivitasnya sehari-hari.

Perlu untuk diketahui bahwa tidak semua orang dapat mengalami nsLBP walaupun memiliki tingkat PA sedenter. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetik, tingkat toleransi nyeri, maupun struktur dari tubuh seseorang itu sendiri, misalnya elastisitas otot, bentuk facet, dan faktor-faktor lainnya. Pada penelitian ini sendiri juga mendukung teori tersebut dengan menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 24 orang (60%) dari 40 orang yang tidak mengalami nsLBP namun memiliki tingkat PA sedenter.

Terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini, salah satunya adalah sebagian besar kuisioner sebagai alat ukur penelitian bersifat mengingat kembali yang dapat menyebabkan adanya bias dan overestimation. Selain itu, pengukuran dan klasifikasi aktivitas fisik dalam hal frekuensi, intensitas, dan durasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat menimbulkan misklarifikasi tingkat PA yang menyebabkan bias dalam penelitian serta beberapa variabel perancu seperti sifat kerja sampel penelitian yang work from home atau work from office, postur saat bekerja, dan durasi bekerja.

Hasil penelitian ini dapat menjadi representasi bahwa orang-orang yang memiliki tingkat aktivitas fisik sedenter berisiko mengalami kejadian nsLBP. Selain itu, faktor usia juga berpengaruh terhadap peningkatan insiden nsLBP. Proses penuaan yang terjadi dibarengi dengan tingkat aktivitas fisik sedenter dapat meningkatkan risiko terjadinya nsLBP.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan olah data SPSS, dapat disimpulkan bahwa insiden nsLBP lebih tinggi terjadi pada orang dengan gaya hidup sedenter dibandingkan orang dengan tingkat aktivitas fisik yang tinggi. Selain itu juga, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat aktivitas fisik dengan insiden nsLBP (p=0,002) di Kantor Walikota Denpasar. Sampel dengan gaya hidup sedenter lebih berisiko mengalami nsLBP. Penelitian yang bersifat multi-centre diperlukan untuk penelitian yang selanjutnya yang berfokus pada data penelitian yang bersifat lokal.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Vimalanathan K, Ramesh Babu T. The effect of indoor office environment on the work performance, health and well-being of office workers. J Environ Heal Sci Eng [Internet]. 2014 Dec 9;12(1):113. Available from: http://link.springer.com/10.1186/s40201-014-0113-7

  • 2.   Daneshmandi H, Choobineh A, Ghaem H, Karimi M. Adverse Effects of Prolonged Sitting Behavior on the General

Health of Office Workers. J Lifestyle Med [Internet]. 2017 Jul 31;7(2):69–75. Available from: http://www.jlifestylemed.org/journal/DOIx.php?id=10.15280/jlm.2017.7.2.69

  • 3.    Citko A, Górski S, Marcinowicz L, Górska A. Sedentary Lifestyle and Nonspecific Low Back Pain in Medical Personnel in North-East Poland. Biomed Res Int [Internet]. 2018 Sep 9;2018:1–8. Available from: https://www.hindawi.com/journals/bmri/2018/1965807/

  • 4.    Fatoye F, Gebrye T, Odeyemi I. Real-world incidence and prevalence of low back pain using routinely collected data. Rheumatol Int [Internet]. 2019 Apr 8;39(4):619–26. Available from: http://link.springer.com/10.1007/s00296-019-04273-0

  • 5.   Campos-Fumero A, Delclos GL, Douphrate DI, Felknor SA, Vargas-Prada S, Serra C, et al. Low back pain among

office workers in three Spanish-speaking countries: findings from the CUPID study. Inj Prev [Internet]. 2017 Jun;23(3):158–64. Available from: https://injuryprevention.bmj.com/lookup/doi/10.1136/injuryprev-2016-042091

  • 6.    OMS. Prevalence of Insufficient Physical Activity. World Heal Organ. 2016;1–3.

  • 7.    Bontrup C, Taylor WR, Fliesser M, Visscher R, Green T, Wippert P-M, et al. Low back pain and its relationship with sitting behaviour among sedentary office workers. Appl Ergon [Internet]. 2019 Nov;81:102894. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0003687019301279

  • 8.    Andini F. Risk Factors of Low Back Pain in Workers. Work J Major. 2015;4(1):12.

  • 9.    Hanna F, Daas RN, El-Shareif TJ, Al-Marridi HH, Al-Rojoub ZM, Adegboye OA. The Relationship Between Sedentary Behavior, Back Pain, and Psychosocial Correlates Among University Employees. Front Public Heal [Internet]. 2019 Apr 9;7. Available from: https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fpubh.2019.00080/full

  • 10.    Fernandes TL, Pedrinelli A, Hernandez AJ. MUSCLE INJURY – PHYSIOPATHOLOGY, DIAGNOSIS, TREATMENT AND CLINICAL PRESENTATION. Rev Bras Ortop (English Ed [Internet]. 2011 May;46(3):247–55. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S2255497115301907

  • 11.    Heneghan NR, Baker G, Thomas K, Falla D, Rushton A. What is the effect of prolonged sitting and physical activity on thoracic spine mobility? An observational study of young adults in a UK university setting. BMJ Open [Internet]. 2018 May 5;8(5):e019371. Available from: https://bmjopen.bmj.com/lookup/doi/10.1136/bmjopen-2017-019371

  • 12.    Heneweer H, Staes F, Aufdemkampe G, van Rijn M, Vanhees L. Physical activity and low back pain: a systematic review of recent literature. Eur Spine J [Internet]. 2011 Jun 9;20(6):826–45. Available from: http://link.springer.com/10.1007/s00586-010-1680-7

  • 13.    Alzahrani H, Mackey M, Stamatakis E, Zadro JR, Shirley D. The association between physical activity and low back pain: a systematic review and meta-analysis of observational studies. Sci Rep [Internet]. 2019 Dec 3;9(1):8244. Available from: http://www.nature.com/articles/s41598-019-44664-8


Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 11, Nomor 1 (2023), Halaman 53-57, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi |57|