KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN PEKERJAAN TERHADAP RISIKO MUSCULOSKELETAL DISORDERS PADA PEKERJA PABRIK-SEBUAH STUDI POTONG LINTANG

Amaze Grace Davidz Morato1*, Anak Agung Gede Eka Septian Utama2, Agung Wiwiek Indrayani3, Anak Agung Gede Angga Puspa Negara4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali 2,4Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali 3Departemen Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali

*Koresponden: [email protected]

Diajukan: 22 April 2022 | Diterima: 15 Mei 2022 | Diterbitkan: 15 Januari 2023

DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2023.v11.i01.p02

ABSTRAK

Pendahuluan: Musculoskeletal disorders (MSDs) adalah permasalahan akibat gangguan yang dikeluhkan oleh seseorang pada bagian muskuloskeletal seperti pada bagian otot, saraf, tendon, sendi, kartilago, dan spinal discs. Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi MSDs yaitu faktor individu, faktor pekerjaan, dan faktor lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu (umur, jenis kelamin, masa kerja, dan indeks massa tubuh (IMT) dan karakteristik pekerjaan (postur dan durasi kerja) terhadap risiko terjadinya keluhan musculoskeletal disorders pada pekerja di pabrik Cooperativa Café Timor (CCT) di Timor-Leste.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik cross sectional. Subjek penelitian ini berjumlah 100 orang pekerja dari pabrik CCT yang terpilih melalui purposive sampling technique berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil: Berdasarkan uji korelasi spearman dengan metode uji chi-square diperoleh hasil yaitu adanya hubungan pada variabel umur (p=0,000), jenis kelamin (p=0,012), masa kerja (p=0,000), postur kerja (p=0,000), durasi kerja (p=0,004) serta tidak ada hubungan pada variabel IMT (p=0,218) terhadap risiko terjadinya musculoskeletal disorders (MSDs).

Simpulan: Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara umur, jenis kelamin, masa kerja, postur dan durasi kerja, serta tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT terhadap risiko terjadinya keluhan musculoskeletal disorders. Pekerja dengan umur >35 tahun (23,4%), berjenis kelamin laki-laki (22,4%) dengan masa kerja (33,3%), postur kerja (62,5%) dan durasi kerja (22%) yang tinggi akan berpengaruh mengalami keluhan MSDs dengan risiko tinggi.

Kata Kunci: musculoskeletal disorders, pekerja pabrik, cooperativa café timor

PENDAHULUAN

Pada era globalisasi dengan meningkatnya kemajuan teknologi, peran dari tenaga manusia dalam proses produksi masih menjadi aspek utama yang digunakan sebagai alat manual dalam melakukan pekerjaan, terutama pekerjaan yang dilakukan secara manual (manual handling) tanpa adanya bantuan dari alat kerja, maka dibutuhkan tenaga kerja manusia dengan kemampuan yang lebih terutama pada bagian unit penggerak tubuh seperti otot dan tulang.1 Cooperativa Café Timor (CCT) merupakan perusahan koperasi pertanian yang berinvestasi sebagai salah satu sumber pendapatan negara Timor-Leste yang bergerak pada bidang produksi kopi dengan jumlah tenaga kerja manusia yang banyak.2

Pekerja yang melakukan pekerjaan membutuhkan kondisi tubuh yang sehat dan ketelitian yang ekstra supaya dapat selamat dan terhindar dari risiko, kecelakaan atau penyakit akibat kerja, namun manusia merupakan makhluk yang mempunyai keterbatasan baik dari aspek fisiologis maupun psikologis, sehingga dalam pekerjaan yang dikerjakan secara manual sering ditemukan kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK), terutama yang berkaitan dengan keluhan atau gangguan pada sistem muskuloskeletal atau yang biasa disebut dengan musculoskeletal disorders (MSDs).1

Menurut Health and Safety Executive (HSE), pada 2020/21 diperkirakan 28% dari 470.000 pekerja mengalami gangguan muskuloskeletal, dimana 45% mempengaruhi ekstremitas atas atau leher, 39% punggung, dan 16% ekstremitas bawah.3 Menurut Health and Safety Authority (HSA), data kecelakaan kerja tahun 2015 didapatkan 50% dari semua PAK berhubungan dengan penyakit muskuloskeletal, dimana pada tahun 2012 dari 1.000 pekerja 27,1% diantaranya mengalami PAK, dari 27,1% PAK yang terjadi didapatkan sekitar 32% PAK yang terjadi yaitu cedera muskuloskeletal, 24% dari semua kecelakaan kerja mengakibatkan cedera punggung (back injury) dan sekitar 43% cedera muskuloskeletal yang terjadi dipicu oleh pengangkatan beban.4

Hal tersebut disebabkan akibat kombinasi dari berbagai faktor risiko, salah satunya yaitu apabila seseorang melakukan aktivitas atau bekerja dalam posisi atau sikap kerja yang tidak ergonomis atau janggal. Penerapan posisi kerja yang ergonomis dalam beraktivitas atau bekerja merupakan suatu hal yang harus diterapkan bagi setiap tempat

atau stasiun kerja sehingga dapat meminimalisir dan mengurangi kelelahan, rasa tidak nyaman maupun keluhan atau masalah kesehatan lainnya dan akan meningkatkan produktivitas dan performa pekerja. Apabila terjadi ketidaksesuaian atau tidak terpenuhinya penerapan ergonomi antara pekerja dengan stasiun kerja, maka pekerja akan menerima beban tambahan yang menyebabkan peningkatan beban kerja dari otot ditambah waktu kerja yang lama mengakibatkan peningkatan kontraksi otot yang berlebihan, sehingga berdampak pada risiko timbulnya cidera atau keluhan pada sistem muskuloskeletal atau musculoskeletal disorders.5,6

Musculoskeletal disorders (MSDs) adalah permasalahan akibat gangguan yang dikeluhkan oleh seseorang pada bagian muskuloskeletal seperti pada bagian otot, saraf, tendon, sendi, kartilago, dan spinal discs.7 Manusia dalam melakukan aktivitas sehari-harinya membutuhkan atau memerlukan unit penggerak tubuh terpenting yaitu otot, sehingga apabila otot mengalami gangguan atau timbulnya rasa sakit pada otot maka aktivitas sehari-hari manusia seperti bekerja dapat terganggu dan menyebabkan menurunnya produktivitas kerja seseorang.

World Health Organization (WHO) menyatakan penyebab MSDs diakibatkan oleh kombinasi dari berbagai faktor risiko yang diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu faktor individu, faktor pekerjaan, dan faktor lingkungan. Faktor individu adalah faktor yang muncul dari pekerja atau individu itu sendiri seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, antropometri atau ukuran tubuh, dan kesehatan atau kesegaran jasmani. Faktor pekerjaan adalah faktor yang muncul dari pekerjaan seperti postur kerja, lama atau durasi kerja, gerakan repetitif, penggunaan tenaga atau manual handling, dan karakteristik objek. Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor dari lingkungan kerja seperti suhu, pencahayaan, vibrasi atau getaran, dan mikroklimat.5,8

Penelitian yang dilakukan oleh Laksana dan Srisantyorini pada tahun 2019 menunjukkan bahwa dari 55 orang pekerja pengelasan, dimana berdasarkan 6 faktor risiko yang dinilai memperoleh hasil yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara faktor IMT (p=0,023), masa kerja (p=0,013), kebiasaan olahraga (p=0,000), durasi kerja (p=0,005), postur kerja (p=0,013), dan repetisi (p=0,007) terhadap keluhan MSDs.9 Hasil penelitian Rahayu et al (2020) menunjukkan dari 103 pegawai 49 (47,6%) responden mengeluh mengalami keluhan muskuloskeletal sedang dan 54 (52,4%) responden mengeluh mengalami keluhan yang rendah, dimana berdasarkan 7 faktor risiko yang dinilai memperoleh hasil yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara usia (p=0,001), masa kerja (p=0,000) dan postur kerja (p=0,041) terhadap keluhan MSDs, sedangkan tidak adanya hubungan antara faktor jenis kelamin (p=0,764), IMT (p=0,066), aktivitas fisik (p=1,000), dan durasi kerja (p=0,421) terhadap keluhan MSDs.10

Pabrik CCT adalah suatu tempat kerja yang mempunyai banyaknya tenaga kerja manusia yang bekerja secara manual, dimana pekerja pada saat mengolah kopi mempunyai risiko yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3), yang dapat dinilai dari faktor individu dan faktor pekerjaan misalnya posisi kerja yang tidak ergonomis ditambah durasi kerja lebih dari 8 jam dalam sehari, sehingga peluang dari tenaga kerja untuk mengalami keluhan MSDs cukup besar. Berdasarkan masalah yang diuraikan, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu (jenis kelamin, umur, IMT, masa kerja) dan karakteristik pekerjaan (postur dan durasi kerja) terhadap risiko terjadinya keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja di pabrik CCT di Timor-Leste.

METODE

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional analitik dengan metode cross sectional. Subjek yang diperlukan sejumlah 100 orang pekerja dari pabrik CCT yang terpilih melalui purposive sampling technique berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dari penelitian ini yaitu pekerja aktif di pabrik CCT yang bersedia secara sukarela menjadi subjek dari awal hingga akhir penelitian dengan menandatangani formulir informed consent dan mempunyai tanda-tanda vital dalam batas normal, sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini yaitu pernah mengalami cedera muskuloskeletal akibat trauma di luar pekerjaan dalam jangka waktu 6 bulan terakhir, memiliki gangguan motorik, serta memiliki kelainan sejak lahir (kongenital).

Penelitian ini dilaksanakan pada 14 Januari 2022 di pabrik Cooperativa Café Timor (CCT) di Timor-Leste dengan variabel independen dari penelitian ini yaitu umur, jenis kelamin, masa kerja, IMT, postur dan durasi kerja, sedangkan variabel dependen dari penelitian ini yaitu keluhan MSDs. Pengambilan data variabel menggunakan kuesioner nordic body map (NBM) dengan validitas berkisar 0,501-0,823 dan reliabilitas 0,726.11 Tujuannya untuk mendapatkan data variabel berupa jenis kelamin, umur, IMT, durasi dan masa kerja, serta gambaran seputar keluhan muskuloskeletal, sedangkan untuk variabel IMT menggunakan timbangan dan meteran untuk mengukur berat badan dan tinggi badan subjek, dan terakhir menggunakan metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) dengan validitas 0,790 dan reliabilitas 0,925 untuk menganalisis postur kerja subjek.12,13

Semua data yang sudah terkumpul dianalisis menggunakan software SPSS 26.0. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat untuk menganalisis gambaran umum mengenai frekuensi dan persentase dari variabel yang diteliti, serta analisis bivariat menggunakan uji korelasi spearman dengan metode uji chi-square untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel. Penelitian ini sudah memenuhi izin dari Komisi Etik Universitas Udayana dengan nomor 01/UN14.2.2.VII.14/LT/2022.

HASIL

Setelah dilakukan pengambilan data yang kemudian dianalisis menggunakan software SPSS sehingga didapat hasil analisis univariat yang disajikan pada Tabel 1.

  • Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)

Umur

≤ 35 tahun 36 36

  • > 35 tahun 64 64

Lanjutan Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik

Frekuensi (n)

Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki

58

58

Perempuan

42

42

Masa kerja

Rendah (≤ 6 tahun)

61

61

Tinggi (> 6 tahun)

39

39

Indeks Masa Tubuh (IMT)

Underweight

10

10

Normal

60

60

Overweight

30

30

Postur Kerja

Rendah

6

6

Sedang

37

37

Tinggi

33

33

Sangat Tinggi

24

24

Durasi Kerja

Rendah (≤ 8 jam)

41

41

Tinggi (> 8 jam)

59

59

Keluhan MSDs

Rendah

45

45

Sedang

40

40

Tinggi

15

15

Pada Tabel 1. terlihat bahwa umur pekerja dengan subjek terbanyak berada pada kategori umur >35 tahun yakni sebanyak 64 pekerja. Tenaga kerja laki-laki lebih banyak mengikuti penelitian ini yakni sebanyak 58 pekerja. Subjek mayoritas dengan masa kerja rendah (≤6 tahun) sebanyak 61 pekerja. IMT terbanyak yaitu IMT normal yakn 60 pekerja. Selama bekerja kebanyakan pekerja bekerja dengan postur kerja sedang yakni 37 diikuti postur kerja Tingg yakni 33 pekerja. Mayoritas pekerja bekerja dengan durasi kerja tinggi (>8 jam) yakni sebanyak 59 pekerja, dimana mayoritas pekerja mengeluh MSDs rendah sebanyak 45 pekerja dan MSDs sedang sebanyak 40 orang.

Hasil analisis bivariat memakai uji korelasi spearman dengan metode uji chi-square antara kedua variabel yang kemudian ditampilkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Hubungan Umur dan Keluhan MSDs

Umur (tahun)

Keluhan MSDs

Total

Nilai p

Rendah

Sedang

Tinggi

≤ 35 tahun

31 (86,1%)

5 (13,9%)

0 (0,0%)

36

> 35 tahun

14 (21,9%)

35 (54,7%)

15 (23,4%)

64

0,000

Total

45 (45%)

40 (40%)

15 (15%)

100

Berdasarkan Tabel 2. keluhan MSDs dengan risiko tinggi lebih banyak dikeluhkan oleh tenaga kerja dengan umur >35 tahun yakni sebanyak 15 dari 64 pekerja. Mayoritas pekerja yang berumur >35 tahun mengeluh MSDs dengan risiko sedang yakni 35 dari 64 pekerja, sedangkan mayoritas pekerja yang berumur ≤35 tahun mengeluh MSDs dengan risiko rendah yakni 31 dari 36 pekerja. Hasil uji chi-square didapat nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti umur mempunya pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs.

Tabel 3. Hubungan Jenis Kelamin dan Keluhan MSDs

Jenis Kelamin

Rendah

Keluhan MSDs Sedang

Tinggi

Total

Nilai p

Laki-laki

20 (34,5%)

25 (43,1%)

13 (22,4%)

58

Perempuan

25 (59,5%)

15 (35,7%)

2 (4,8%)

42

0,012

Total

45 (45%)

40 (40%)

15 (15%)

100

Berdasarkan Tabel 3. keluhan MSDs dengan risiko tinggi lebih banyak dikeluhkan oleh pekerja laki-laki yakni sebanyak 13 dari 58 pekerja. Mayoritas pekerja laki-laki mengeluh MSDs dengan risiko sedang yakni 25 dari 58 pekerja, sedangkan mayoritas pekerja perempuan mengeluh MSDs dengan risiko rendah yakni 25 dari 42 pekerja. Hasil uji chisquare didapat nilai p=0,012 (p<0,05) yang berarti jenis kelamin mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs.

Tabel 4. Hubungan Masa Kerja dan Keluhan MSDs

Masa Kerja

Rendah

Keluhan MSDs Sedang

Tinggi

Total

Nilai p

Rendah

40 (65,6%)

19 (31,1%)

2 (3,3%)

61

Tinggi

5 (12,8%)

21 (53,8%)

13 (33,3%)

39

0,000

Total

45 (45%)

40 (40%)

15 (15%)

100

Berdasarkan Tabel 4. keluhan MSDs dengan risiko tinggi lebih banyak dikeluhkan oleh pekerja dengan masa kerja tinggi yakni sebanyak 13 dari 39 pekerja. Mayoritas pekerja dengan masa kerja tinggi mengeluh MSDs dengan risiko sedang yakni 21 dari 39 pekerja, sedangkan mayoritas pekerja dengan masa kerja rendah mengeluh MSDs dengan risiko rendah yakni 40 dari 61 pekerja. Hasil uji chi-square didapat nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti masa kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs.

Tabel 5. Hubungan IMT dan Keluhan MSDs

IMT

Rendah

Keluhan MSDs Sedang

Tinggi

Total

Nilai p

Underweight

7 (70%)

2 (20%)

1 (10%)

10

Normal

29 (48,3%)

23 (38,3%)

8 (13,3%)

60

0,218

Overweight

9 (30%)

15 (50%)

6 (20%)

30

Total

45 (45%)

40 (40%)

15 (15%)

100

Berdasarkan Tabel 5. keluhan MSDs dengan risiko tinggi lebih banyak dikeluhkan oleh pekerja dengan IMT normal yakni sebanyak 8 dari 60 pekerja. Mayoritas pekerja dengan IMT underweight mengeluh MSDs dengan risiko rendah yakni 7 dari 10 pekerja, sedangkan mayoritas pekerja dengan IMT normal mengeluh MSDs dengan risiko rendah yakni 29 dari 60 pekerja, dan mayoritas pekerja dengan IMT overweight mengeluh MSDs dengan risiko sedang yakni 15 dari 30 pekerja. Hasil uji chi-square didapat nilai p=0,218 (p>0,05) yang berarti IMT tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs.

Tabel 6. Hubungan Postur Kerja dan Keluhan MSDs

Postur Kerja

Rendah

Keluhan MSDs Sedang

Tinggi

Total

Nilai p

Rendah

6 (100%)

0 (0%)

0 (0%)

6

0,000

Sedang

37 (100%)

0 (0%)

0 (0%)

37

Tinggi

1 (3%)

32 (97%)

0 (0%)

33

Sangat Tinggi

1 (4,2%)

8 (33,3%)

15 (62,5%)

24

Total

45 (45%)

40 (40%)

15 (15%)

100

Berdasarkan Tabel 6. keluhan MSDs dengan risiko tinggi lebih banyak dikeluhkan oleh pekerja dengan postur kerja sangat tinggi yakni sebanyak 15 dari 24 pekerja. Mayoritas pekerja dengan postur kerja rendah mengeluh MSDs dengan risiko rendah yakni 6 dari 6 pekerja, sedangkan mayoritas pekerja dengan postur kerja sedang mengeluh MSDs dengan risiko rendah yakni 37 dari 37 pekerja, mayoritas pekerja dengan postur kerja tinggi mengeluh MSDs dengan risiko sedang yakni 32 dari 33 pekerja, dan mayoritas pekerja dengan postur kerja sangat tinggi mengeluh MSDs dengan risiko tinggi yakni 15 dari 24 pekerja . Hasil uji chi-square didapat nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti postur kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs.

Tabel 7. Hubungan Durasi Kerja dan Keluhan MSDs

Durasi Kerja

Keluhan MSDs

Total

Nilai p

Rendah

Sedang

Tinggi

Rendah

26 (63,4%)

13 (31,7%)

2 (4,9%)

41

Tinggi

19 (32,2%)

27 (45,8%)

13 (22%)

59

0,000

Total

45 (45%)

40 (40%)

15 (15%)

100

Berdasarkan Tabel 7. keluhan MSDs dengan risiko tinggi lebih banyak dikeluhkan oleh pekerja dengan duras kerja tinggi yakni sebanyak 13 dari 59 pekerja. Mayoritas pekerja dengan durasi kerja tinggi mengeluh MSDs dengan risiko sedang yakni 27 dari 59 pekerja, sedangkan mayoritas pekerja dengan durasi kerja rendah mengeluh MSDs dengan risiko rendah yakni 26 dari 41 pekerja. Hasil uji chi-square didapat nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti duras kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs.

DISKUSI

Hubungan Umur dengan Keluhan MSDs

Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kerja yang berumur >35 tahun lebih berisiko mengalami MSDs dengan risiko sedang (54,7%) dan tinggi (23,4%) dibandingkan tenaga kerja yang berumur ≤35 tahun. Hasil penelitian Putri et al, (2019) sejalan dengan penelitian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa mayoritas pekerja yang berumur >35 tahun mempunyai tingkat risiko yang lebih tinggi terhadap keluhan MSDs dibanding pekerja yang berumur ≤35 tahun.14

Hasil analisis bivariat didapat nilai p=0,000 yang berarti umur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs pada tenaga kerja di pabrik CCT. Hasil penelitian Nusa et al (2013) sejalan dengan penelian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa umur mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keluhan MSDs dengan hasil p=0,003 dan nilai r=0,465 yang berarti semakin tinggi umur individu maka semakin tinggi risiko dari individu tersebut untuk mengalami masalah MSDs.15 Selain itu penelitian dari Shobur et al, (2019) juga menemukan bahwa umur mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keluhan MSDs dengan nilai p=0,012 dan OR=8,000 yang berarti individu dengan umur tua memiliki risiko 8 kali peluang lebih besar mengalami masalah MSDs dibanding individu yang lebih muda.16

Menurut Tarwaka (2015) mengemukakan bahwa keluhan muskuloskeletal mulai terasa pada usia kerja 25-65 tahun, dimana kekuatan maksimal dari otot terjadi saat individu berada pada usia 20-29 tahun yang kemudian menurun seiring dengan bertambahnya usia, dan keluhan pertama sering kali muncul saat individu berumur 30 tahun.17 Menurut Salvendy (2012) dan Tarwaka (2015) mengemukakan bahwa pada usia 30 tahun terjadi degenerasi atau penurunan

kemampuan kerja pada jaringan tubuh sehingga menyebabkan peningkatan jumlah sel mati yang mengakibatkan terjadinya penurunan kapabilitas dan fungsi jaringan tubuh, sehingga terjadi peningkatan respon stres mekanik pada tubuh yang berdampak pada risiko terjadinya keluhan MSDs.17,18

Hubungan Jenis Kelamin dengan Keluhan MSDs

Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kerja laki-laki lebih berisiko mengalami MSDs dengan risiko sedang (43,1%) dan tinggi (22,4%) dibandingkan pekerja perempuan. Hasil penelitian Santosa dan Ariska (2018) tidak sejalan dengan penelitian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa prevalensi kejadian MSDs lebih tinggi pada tenaga kerja perempuan dibanding tenaga kerja laki-laki.19 Berdasarkan hasil pengamatan saat penelitian, hal tersebut berbeda karena pekerja di pabrik CCT terutama pekerja laki-laki ditempatkan pada bagian kerja yang lebih berat (pengangkatan beban 45-60 kg) sehingga pekerja laki-laki mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami keluhan MSDs dibandingkan pekerja perempuan.

Hasil analisis bivariat didapat nilai p=0,012 yang berarti jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs pada tenaga kerja di pabrik CCT, dikarenakan pekerja laki-laki mempunyai desain atau beban kerja lebih berat dari pada perempuan sehingga lebih berisiko mengalami keluhan MSDs. Hutabarat mengemukakan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan kekuatan otot yaitu sekitar 1:3, sehingga perlu untuk dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas.7,17 Hal tersebut sejalan dengan penelitian Shobur et al, (2019) yang menemukan bahwa gangguan muskuloskeletal dapat terjadi tergantung dari beban dan aktivitas kerja yang dilakukan.16

Menurut National Occupational Health and Safety Commission (Worksafe Australia) batas maksimal yang boleh diangkat oleh manusia yaitu <34 kg, apabila beban yang diangkat atau dipindahkan >34 kg maka sebaiknya menggunakan atau dibantu dengan peralatan mekanis.20 Beban berat yang biasanya diangkat oleh pekerja di pabrik CCT yaitu sekitar 45-60 kg, dimana beban yang diangkat sebaiknya dibantu secara mekanis. Dengan penambahan beban kerja ditambah durasi waktu kerja yang lama dapat menyebabkan peningkatan kontraksi dan kinerja otot, sehingga aliran darah ke otot menjadi berkuran menyebabkan menurunnya kadar oksigen di otot dan menperlambat proses metabolisme karbohidrat, mengakibatkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan terjadinya keluhan MSDs.17

Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan MSDs

Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kerja yang bekerja dengan masa kerja tinggi (>6 tahun) lebih berisiko mengalami MSDs dengan risiko sedang (53,8%) dan tinggi (33,3%) dibandingkan pekerja dengan masa kerja rendah (≤6 tahun). Hasil penelitian Helmina et al, (2019) sejalan dengan penelitian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa pekerja yang bekerja semakin lama, memiliki risiko lebih tinggi terhadap keluhan MSDs akibat semakin lamanya terpapar paparan di tempat kerja dibanding pekerja yang baru bekerja.21

Hasil analisis bivariat didapat nilai p=0,000 yang berarti masa kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs pada tenaga kerja di pabrik CCT. Hasil penelitian Tjahayuningtyas (2019) sejalan dengan penelitian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa masa kerja mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keluhan MSDs dengan hasil p=0,019 dan nilai coefficient (Cramer’s)=0,456 yang berarti adanya kekuatan hubungan yang cukup positif, dimana semakin lamanya seseorang bekerja maka semakin meningkat risiko dari orang tersebut untuk mengalami masalah MSDs.6 Selain itu penelitian dari Shobur et al, (2019) juga menemukan bahwa masa kerja mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keluhan MSDs dengan nilai p=0,027 dan OR=6,708 yang berarti individu yang bekerja >5 tahun memiliki risiko 6,708 kali peluang lebih besar mengalami masalah MSDs dibanding individu yang bekerja ≤5 tahun.16

Hal ini terjadi karena apabila seseorang bekerja semakin lama terutama untuk jenis pekerjaan yang dikerjakan terus-menerus secara berulang-ulang dan menggunakan kekuatan kerja yang besar, maka dapat mengakibatkan akumulasi tekanan pada otot yang semakin meningkat, seiring bertambahnya waktu menyebabkan terjadinya keluhan musculoskeletal.17

Hubungan IMT dengan Keluhan MSDs

Berdasarkan hasil penelitian, pekerja dengan IMT normal lebih berisiko mengalami MSDs dengan risiko sedang (38,8%) dan tinggi (13,3%) dibandingkan pekerja dengan IMT underweight dan overweight. Hasil analisis bivariat didapat nilai p=0,218 yang berarti IMT tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs pada tenaga kerja di pabrik CCT. Hasil penelitian Viester et al (2013) dan Purnawijaya et al (2015) tidak mendukung penelitian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa IMT mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keluhan MSDs dengan nilai p=0,001, hubungan ini terjadi karena adanya gaya gravitasi pada sistem muskuloskeletal (ekstremitas bawah dan punggung), sehingga individu dengan IMT berlebih cenderung adanya tekanan mekanik tambahan pada tubuh yang berdampak pada risiko terjadinya MSDs.22,23

Hasil penelitian Tjahayuningtyas (2019) sejalan dengan penelitian ini, dimana penelitiannya menunjukan IMT tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap MSDs dengan nilai p=0,332 dan coefficient (Cramer’s)= -0,162 yang berarti adanya arah hubungan yang negatif, dimana semakin tingginya nilai IMT seseorang maka semakin rendah risiko dari orang tersebut untuk mengalami masalah MSDs.6 Selain itu penelitian dari Guit et al, (2020) juga menemukan bahwa IMT tidak menunjukkan pengaruh terhadap keluhan MSDs dengan nilai p=0,525, dimana tidak terdapatnya perbedaan hasil yang didapatkan antara pekerja dengan IMT normal dan pekerja dengan IMT tidak normal untuk mengalami keluhan MSDs, tetapi tergantung dari umur, jenis pekerjaan, berat beban kerja, postur kerja, dan lamanya seseorang bekerja yang berpotensi untuk menimbulkan keluhan MSDs.24

Menurut Laksana dan Srisantyorini, IMT adalah salah satu faktor yang berisiko menimbulkan masalah MSDs,9 tetapi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kali ini diperoleh hasil yang berbeda. Hasil yang didapatkan berbeda

akibat tidak terkontrolnya variabel aktivitas fisik dan kesegaran jasmani, dimana subjek yang sering melakukan aktivitas fisik dan mempunyai kesegaran jasmani yang baik mempunyai kekuatan dan aktivitas otot lebih baik, meningkatkan kapasitas aerobik sehingga aliran darah dalam sel tubuh lebih lancar dan pengeluaran bahan sisa dari sel menjadi lebih baik, oleh karena itu dapat mengurangi risiko terjadinya MSDs.21 Selain itu karena tidak dikontrolnya jumlah komposisi lemak dalam tubuh, sehingga tidak diketahuinya apakah nilai IMT yang didapat mengandung banyak massa otot atau massa lemak, dimana jika yang memperberat nilai IMT yaitu massa otot maka akan berpengaruh terhadap kekuatan otot yang semakin meningkat sehingga lebih kecil risiko untuk mengalami keluhan MSDs.25

Hubungan Postur Kerja dengan Keluhan MSDs

Berdasarkan hasil penelitian, pekerja dengan postur kerja tinggi dan sangat tinggi lebih berisiko mengalami MSDs dengan risiko sedang dan tinggi dibandingkan pekerja dengan postur kerja rendah dan sedang. Hasil penelitian Laksana dan Srisantyorini (2020) sejalan dengan penelitian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa pekerja yang bekerja dengan postur kerja tinggi (nilai REBA tinggi) memiliki tingkat risiko lebih tinggi terhadap keluhan MSDs dibandingkan pekerja dengan postur kerja rendah (nilai REBA kecil).9

Hasil analisis bivariat didapat nilai p=0,000 yang berarti postur kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs pada tenaga kerja di pabrik CCT. Hasil penelitian Arfiasari (2014) sejalan dengan penelitian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa postur kerja mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keluhan MSDs dengan hasil p=0,019 dan nilai r=0,439 yang berarti semakin tinggi nilai postur kerja seseorang maka semakin tinggi risiko dari orang tersebut untuk mengalami masalah MSDs.26 Selain itu penelitian dari Laksana dan Srisantyorini (2020) juga menemukan bahwa postur kerja mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keluhan MSDs dengan nilai p=0,013 dan OR=4,929 yang berarti pekerja dengan nilai REBA yang tinggi memiliki risiko 4,929 kali peluang lebih besar mengalami masalah MSDs dibanding pekerja dengan nilai REBA yang kecil.9

Hal tersebut terjadi karena pekerja laki-laki, pada saat mereka melakukan pekerjaan sering kali mereka harus mengangkat beban kerja tambahan (beban eksternal) ditambah dengan postur atau sikap kerja yang buruk dan statis menyebabkan peningkatan kontraksi pada otot, sehingga berkurangnya aliran darah ke otot, menyebabkan menurunnya kadar oksigen di otot dan memperlambat proses metabolisme karbohidrat, mengakibatkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan terjadinya keluhan MSDs.27 Berbeda dengan pekerja perempuan, mereka mempunyai desain beban kerja yang berbeda dari laki-laki. Pekerja perempuan sering kali melakukan kegiatan dengan posisi duduk atau berdiri tanpa adanya beban tambahan, namun untuk desain kursi yang digunakan tidak sesuai dengan antropometri dan tanpa sandaran sehingga berisiko terhadap postur yang tidak alamiah yang menyebabkan risiko terjadinya keluhan MSDs.10

Hubungan Durasi Kerja dengan Keluhan MSDs

Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kerja yang bekerja dengan durasi kerja tinggi (>8 jam) lebih berisiko mengalami MSDs dengan risiko sedang (45,8%) dan tinggi (22%) dibandingkan pekerja dengan durasi kerja rendah (≤8 jam). Hasil penelitian Shobur et al, (2019) sejalan dengan penelitian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa pekerja yang bekerja dengan waktu kerja yang semakin lama memiliki risiko lebih tinggi terhadap keluhan MSDs.16

Hasil analisis bivariat didapat nilai p=0,004 yang berarti durasi kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keluhan MSDs pada tenaga kerja di pabrik CCT. Hasil penelitian Laksana dan Srisantyorini (2020) sejalan dengan penelitian ini, dimana penelitiannya menemukan bahwa durasi kerja mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keluhan MSDs dengan hasil p=0,005 dan nilai OR=6,923 yang berarti individu dengan durasi kerja yang semakin lama memiliki risiko 6,923 kali peluang lebih besar mengalami masalah MSDs.9 Selain itu penelitian dari Shobur et al, (2019) juga menemukan bahwa durasi kerja mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap keluhan MSDs dengan nilai p=0,027 dan OR=6,708 yang berarti dengan durasi kerja yang semakin lama memiliki risiko 6,708 kali peluang lebih besar mengalami masalah MSDs.16

Hal ini terjadi karena semakin lama durasi kerja seseorang, dan kurang atau minimnya durasi istirahat kerja, maka dapat mengakibatkan meningkatnya kinerja otot skeletal dan persendian akibat ketidakseimbangan antara waktu kerja dengan waktu istirahat seseorang sehingga meningkatkan beban kerja yang menyebakan akumulasi tekanan pada otot yang semakin meningkat, seiring bertambahnya waktu menyebabkan otot menjadi lelah yang berdampak pada terjadinya keluhan MSDs dan menurunnya produktivitas kerja dari pekerja.27

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan atau pengaruh yang signifikan antara umur, jenis kelamin, masa kerja, postur kerja, dan durasi kerja, serta tidak terdapat hubungan atau pengaruh yang signifikan antara IMT dengan keluhan MSDs. Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada tenaga kerja dapat melakukan stretching sebelum, pada saat, dan sesudah melakukan pekerjaan, menerapkan gaya hidup yang sehat, mengikuti pelatihan mengenai postur kerja yang baik dan ergonomis, serta mengikuti pelatihan mengenai prosedur pengangkatan beban yang benar. Diharapkan juga kepada peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya untuk mengamati penyebab lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya keluhan MSDs seperti kebiasaan olahraga, aktivitas fisik/kesegaran jasmani, komposisi lemak dan otot tubuh, desain kerja, faktor-faktor lingkungan dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Purnomo H. Manual Materials Handling. I. Universitas Islam Indonesia; 2017. doi:10.1002/9781119276531.ch3 2. Piedade SM. Cooperativa Cafe Timor.; 2015.

  • 3.    HSE. Work-related musculoskeletal disorders statistics in Great Britain, 2021. In: Hse.Gov.Uk. ; 2021:1-22.

  • 4.    HSA. Manual Handling Infographics. Vol 24.; 2015. doi:10.11164/jjsps.24.4_966_2

  • 5.    Tarwaka. Dasar-Dasar Keselamatan Kerja Serta Pencegahan Kecelakaan Di Tempat Kerja. Harapan Press;

2016.

  • 6.    Tjahayuningtyas A. Faktor Yang Mempengaruhi Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Informal. Indones J Occup Saf Heal. 2019;8(1):1-10. doi:10.20473/ijosh.v8i1.2019.1-10

  • 7.    Hutabarat J. Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi. Vol 148. Cetakan I. Media Nusa Creative; 2017.

  • 8.    Mayasari D, Saftarina F. Ergonomi Sebagai Upaya Pencegahan Musculoskeletal Disorders pada Pekerja. J

Kedokt Univ Lampung. 2016;1(2):369-379.

  • 9.    Laksana AJ, Srisantyorini T. Analisis Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Operator Pengelasan (Welding) Bagian Manufacturing di PT X Tahun 2019. J Kaji dan Pengemb Kesehat Masy. 2020;1(1):64-73.

  • 10.    Rahayu PT, Arbitera C, Amrullah AA. Hubungan Faktor Individu dan Faktor Pekerjaan terhadap Keluhan Musculoskeletal Disorders pada Pegawai. J Kesehat. 2020;11(3):449-456. doi:10.26630/jk.v11i3.2221

  • 11.    Ramdan IM, Duma K, Setyowati DL. Reliability and Validity Test of the Indonesian Version of the Nordic Musculoskeletal Questionnaire (NMQ) to Measure Musculoskeletal Disorders (MSD) in Traditional Women Weavers. Glob Med Heal Commun. 2019;7(2):123-130. doi:10.29313/gmhc.v7i2.4132

  • 12.    Widyanti A. Validity and Inter-Rater Reliability of Postural Analysis Among New Raters. Malaysian J Public Heal Med. 2020;20(1):161-166. doi:10.37268/MJPHM/VOL.20/NO.SPECIAL1/ART.707

  • 13.    Schwartz AH, Albin TJ, Gerberich SG. Intra-Rater and Inter-Rater Reliability of the Rapid Entire Body Assessment (REBA) Tool. Int J Ind Ergon. 2019;71:111-116. doi:10.1016/j.ergon.2019.02.010

  • 14.    Putri BA. The Correlation between Age, Years of Service, and Working Postures and the Complaints of Musculoskeletal Disorders. Indones J Occup Saf Heal. 2019;8(2):187-196. doi:10.20473/ijosh.v8i2.2019.187-196

  • 15.    Nusa Y, Joseph WBS, Lampus BS. Hubungan Antara Umur, Lama Kerja Dan Getaran Dengan Keluhan Sistem Muskuloskeletal Pada Sopir Bus Trayek Manado - Langowan Di Terminal Karombasan. Published online 2013. https://fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/JURNAL_YOUANI-NUSA-091511016.pdf

  • 16.    Shobur S, Maksuk M, Sari FI. Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Tenun Ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang. J Med (Media Inf Kesehatan). 2019;6(2):113-122. doi:10.36743/medikes.v6i2.188

  • 17.    Tarwaka. Ergonomi Industri Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi Dan Aplikasi Di Tempat Kerja. Edisi II. Harapan Press Solo; 2015.

  • 18.   Salvendy G. Handbook of Human Factors. 4th ed. (Salvendy G, ed.). John Wiley & Sons, Inc; 2012.

  • 19.    Santosa A, Ariska DK. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Musculoskeletal Disorders pada Pekerja Batik di Kecamatan Sokaraja Banyumas. J Ilm Ilmu-ilmu Kesehat. 2018;16(1):42-46.

  • 20.    Aji BB. Ergonomi Mengangkat Dan Mengangkut Menurut NIOSH.; 2015.

  • 21.    Helmina, Diani N, Hafifah I. Hubungan Umur, Jenis Kelamin, Masa Kerja dan Kebiasaan Olahraga dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Perawat. Caring Nurs J. 2019;3(1):23-30.

  • 22.    Viester L, Verhagen EA, Hengel KMO, Koppes LL, Van Der Beek AJ, Bongers PM. The relation between body mass index and musculoskeletal symptoms in the working population. BMC Musculoskelet Disord. 2013;14(238). doi:10.1186/1471-2474-14-238

  • 23.    Purnawijaya MA, Aidatmika IPG. Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Gangguan Muskuloskeletal dan Distribusinya Menggunakan Nordic Body Map Pada Anggota Senam Satria Nusantara di Lapangan Nitimandala Renon.                         Published                         online                          2015.

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/5e453efe89362b645ce687b7a5730a30.pdf

  • 24.    Guit EG, Joseph WBS, Mandagi CKF. Hubungan Antara Ukuran Tubuh dan Sikap Kerja Dengan Keluhan Muskuloskeletal Pada Petani Pengupas Kelapa Di Kelurahan Gunung Woka Kecamatan Lembeh Utara Kota Bitung. J KESMAS. 2020;9(7):67-71.

  • 25.    Ningrum NA, Ekawati, Widjasena B. Hubungan Indeks Massa Tubuh Dan Kekuatan Otot Kaki Dengan Keluhan Nyeri Otot Kaki Pada Buruh Angkut Barang (Porter) Di Stasiun Kereta Api Pasar Senen Kota Jakarta. J Kesehat Masy. 2017;5(5):273-280.

  • 26.    Arfiasari AD. Hubungan Postur Kerja Dengan Keluhan Muskuloskeletal dan Produktivitas Kerja Pada Pekerja Bagian Pengepakan di Pt. Djitoe Indonesia Tobako. Perpust UMS. 2014;3(2):1-46.

  • 27.    Utami U, Karimuna SiR, Jufri N. Hubungan Lama Kerja, Sikap Kerja Dan Beban Kerja Dengan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Petani Padi Di Desa Ahuhu Kecamatan Meluhu Kabupaten Konawe Tahun 2017. J Ilm Mhs Kehatan Masy. 2017;2(6):1-10.


Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 11, Nomor 1 (2023), Halaman 6-12, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi |12|