ORIGINAL ARTICLE

MAJALAH ILMIAH FISIOTERAPI INDONESIA

Volume 10, Nomor 3 (2022 , Halaman 137-143 P-ISSN 2303-1921, E-ISSN 2722-0443

PROLONGED SITTING MEMENGARUHI KEJADIAN LOWER CROSSED SYNDROME PADA PERAJIN UKIRAN KAYU DI DESA SUMITA KECAMATAN GIANYAR

Ni Komang Mega Junianti1*, I Putu Yudi Pramana Putra2, Ni Wayan Tianing3, Ari Wibawa4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali

2,4Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali 3Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali *Koresponden: [email protected]

Diajukan: 16 Juli 2021 | Diterima: 27 Juli 2021 | Diterbitkan: 20 September 2022

DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2022.v10.i03.p02

ABSTRAK

Pendahuluan: Perajin ukiran kayu merupakan salah satu pekerjaan informal yang memiliki risiko mengalami gangguan musculoskeletal. Hal tersebut diakibatkan oleh sebagian besar proses pembuatan ukiran kayu dikerjakan dalam posisi duduk bekerja. Posisi duduk statis yang dipertahankan dalam waktu yang lama oleh perajin saat bekerja dapat menyebabkan gangguan musculoskeletal, salah satunya adalah lower crossed syndrome. Penelitian ini bertujun untuk mengertahui hubungan prolonged sitting dengan kejadian lower crossed syndrome pada perajin ukiran kayu di Desa Sumita, Kecamatan Gianyar.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain studi cross sectional yang dilakukan pada Februari-April 2021. Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik concecutive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 66 orang. Variabel dependen yang diukur yaitu lower crossed syndrome menggunakan modified Thomas test, pengukuran panjang otot spinal extensor, dan pengukuran kekuatan otot abdominal serta gluteus maximus. Variabel independen yaitu prolonged sitting didapatkan berdasarkan hasil wawancara.

Hasil: Hasil analisis data menggunakan uji chi square diperoleh p=0,012 (nilai p<0,05) dan OR 5,500 yang menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara prolonged sitting dengan kejadian lower crossed syndrome, dimana perajin ukiran kayu dengan prolonged sitting≥7 jam/hari memiliki risiko 5,5 kali lebih besar mengalami lower crossed syndrome. Simpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara prolonged sitting dengan kejadian LCS pada perajin ukiran kayu di Desa Sumita Kecamatan Gianyar.

Kata Kunci: prolonged sitting, lower crossed syndrome, musculoskeletal disorder, perajin ukiran kayu

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki jumlah angkatan kerja berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2019 terdapat 136,18 juta jiwa serta terdapat 129,36 juta jiwa penduduk yang bekerja, dimana didominasi oleh pekerja informal sebanyak 74,08 juta jiwa (57,27%).1 Industri atau usaha kerajinan kayu merupakan salah satu usaha informal kecil menengah, dimana proses produksinya masih dengan peralatan serta cara tradisional yang mengandalkan tenaga manusia. Salah satu usaha dari kerajinan kayu adalah seni ukir. Seni ukir adalah seni membentuk pola atau gambar menggunakan alat pahat, palu serta alat-alat lainnya pada media kayu, batu atau bahan-bahan lainnya dimana pengerjaannya juga membutuhkan waktu yang lama bagi perajin dalam menyelesaikan sebuah ukiran kayu, yang menyebabkan perajin seni ukir bekerja dengan posisi duduk lama hingga berjam-jam.2 Dalam setiap proses pembuatan ukiran kayu, perajin ukiran kayu memiliki risiko mengalami kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja (PAK). International Labour Organization (ILO) menyebutkan bahwa terdapat 160 juta kasus penyakit akibat kerja setiap tahunnya yang didominasi oleh gangguan musculoskeletal dan gangguan pernapasan.3 Gangguan musculoskeletal paling umum, yaitu permasalahan yang timbul terkait dengan pekerjaan yang merupakan dampak dari pekerjaan yang berat maupun statis.4 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Samara et al., (2005), 1,5 sampai 5 jam dalam posisi duduk statis dapat meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan musculoskeletal yaitu nyeri pada punggung bawah 2,35 kali lebih besar.5 Penelitian yang dilakukan oleh Wiratma dan Adiputra (2015) di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali diketahui bahwa dari 50 orang perajin ukiran kayu, keluhan muncul paling banyak di area punggung yaitu pada 38 orang (76%), 35 orang (70%) memiliki keluhan pada leher atas, sebanyak 30 orang (60%) pada leher bawah, sebanyak 34 orang (68%) pada pinggang dan sebanyak 20 orang (40%) pada pinggul.6

Salah satu gangguan musculoskeletal akibat duduk lama (prolonged sitting) yang statis, yaitu Lower crossed syndrome (LCS). LCS merupakan ketidakseimbangan dari sistem musculoskeletal, dimana terdapat pola yang khas yaitu kelemahan dari otot abdominal serta gluteus maximus dan pemendekan (tightness) dari otot iliopsoas serta otot ekstensor punggung yang menyilang diantara bagian dorsal serta ventral tubuh.7 LCS adalah salah satu gangguan kombinasi dari ketidakseimbangan otot biomekanik yang disebabkan oleh tekanan yang berlebih pada struktur punggung bawah.8 Terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya LCS, salah satunya duduk lama yang menyebabkan gangguan ketegangan otot dan homeostasis struktural sehingga menimbulkan ketidakseimbangan

otot yang mencakup peningkatan kinerja dari otot tipe 1 (tonic) dan melemahnya otot tipe 2 (phasic) akibat dari adaptasi postur tubuh yang tidak baik saat duduk lama pada orang yang duduk hampir sepanjang hari maupun pada orang yang menghabiskan setengah hari dengan duduk.9

Berdasarkan observasi pada tempat perajin ukiran kayu di Desa Sumita Kecamatan Gianyar, mayoritas perajin memiliki postur kerja yang tidak ergonomis serta duduk dengan waktu yang relatif lama. Perajin ukiran kayu cenderung bekerja dengan duduk di lantai dengan posisi membungkuk dan bekerja seharian penuh dengan jeda istirahat hanya satu kali pada jam makan siang. Kurangnya pengetahuan perajin terkait dampak dari posisi duduk yang tidak ergonomis mengakibatkan perajin cenderung mengabaikan risiko munculnya keluhan musculoskeletal yang dapat ditimbulkan apabila dilakukan dalam waktu yang lama. Sehingga tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui hubungan prolonged sitting dengan kejadian LCS pada perajin ukiran kayu di Desa Sumita Kecamatan Gianyar.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik yang menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian dilakukan di wilayah Desa Sumita, Kecamatan Gianyar pada bulan Februari-April 2021. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 66 orang, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan concecutive sampling serta sampel telah memenuhi kriteria inklusi meliputi perajin ukiran kayu dengan umur 25-60 tahun, sudah menjadi perajin ukiran kayu minimal 1 tahun, sampel penlitian sudah menandatangani informed consent yang telah disiapkan peneliti.

Variabel independent pada penelitian ini adalah prolonged sitting yang didapatkan berdasarkan hasil wawancara sedangkan variabel dependen penelitian ini adalah LCS yang didiagnosis melalui beberapa pengukuran yaitu pengukuran panjang otot iliopsoas dengan modified thomast test menggunakan universal goniometer, panjang dari otot spinal extensor dengan menggunakan mid line serta mengukur kekuatan otot abdominal dan gluteus maximus di ukur sesuai grading manual muscle testing. Variabel yang dikontrol pada penelitian ini yaitu masa kerja serta umur dari subjek penelitian. Penelitian diawali dengan dengan menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedur penelitian dilanjutkan dengan pengambilan data sesuai kriteria inklusi dan ekslusi serta pengisian informed consent. Kemudian dilanjutkan dengan pengisian formulir identitas dan data subjek penelitian melalui wawancara, pengukuran panjang otot iliopsoas dengan modified Thomas test menggunakan goniometer, pengukuran panjang otot spinal extensor menggunakan mid line, pengukuran kekuatan otot abdominal dengan isometric abdominal test menggunakan grading dari manual muscle testing, dan pengukuran kekuatan otot gluteus maximus pada kedua sisi dengan grading dari manual muscle testing. Hasil data kemudian dianalisis menggunakan aplikasi SPSS. Analisis data yang dilakukan antara lain yaitu analisis univariat untuk mengetahui karakteristik umum sampel dan analisis bivariat dengan uji chi square untuk melihat hubungan prolonged sitting dengan LCS.

HASIL

Sampel pada penelitian ini adalah perajin ukiran kayu di Desa Sumita Kecamatan Gianyar dengan rentang usia 25-60 tahun yang bersedia mengikuti penelitian. Karakteristik sampel dalam penelitian meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, IMT, prolonged sitting, masa kerja, durasi kerja, jeda istirahat, hasil modified thomas test, pengukuran panjang otot spinal extensors serta hasil pengukuran kekuatan otot abdominal dan gluteus maximus dijelaskan melalui analisis univariat. Berikut merupakan hasil analisis data pada penelitian ini.

Tabel 1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, dan Indeks Massa Tubuh, Variabel Frekuensi (n) Presentasi (%)

Modified Thomas Test

Kiri

Normal

32

48,5

Tight

34

51,5

Kanan

Normal

23

34,8

Tight

43

65,2

Panjang Otot Spinal Extensor

Normal

11

16,7

Tight

55

83,3

Tabel 1. menunjukan sebagian besar sampel penelitian berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 49 orang (74,2%) dan sisanya sebanyak 17 orang (25,18%) berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar sampel penelitian ini berada pada rentang umur 31-39 tahun sebanyak 20 orang (30,3%). Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar sampel penelitian berpendidikan SMA/SMK sebanyak 31 orang (47%). Apabila dilihat dari indeks massa tubuh (IMT) sebagian besar sampel memiliki IMT normal (18,5-22,9) sebanyak 28 (42,4%) dan sebagian kecil dengan IMT yang tergolong obesitas tingkat II (≥30) sebanyak 3 (4,5%).

Tabel 2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Prolonged Sitting, Masa Kerja, Durasi Kerja dan Jeda Istirahat

Variabel

Frekuensi (n)

Presentase (%)

Prolonged Sitting

< 7 jam/hari

10

15,2

≥ 7 jam/hari

56

84,8

Lanjutan Tabel 2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Prolonged Sitting Masa Kerja, Durasi Kerja dan Jeda Istirahat

Variabel

Frekuensi (n

Presentase(%

Masa Kerja

< 20 tahun

24

36,4

≥ 20 tahun

42

63,6

Durasi Kerja

< 8 jam/hari

14

21,2

≥ 8 jam/hari

52

78,8

Jeda Istirahat

< 60 menit

16

24,2

≥ 60 menit

50

75,8

Tabel 2. Menunjukan sebagian besar sampel bekerja dengan prolonged sitting ≥ 7 jam/hari sebanyak 56 orang (84,8%) dan sisanya sebanyak 10 orang (15.2%) bekerja dengan prolonged sitting < 7 jam/hari. Sebagaian besar sampel dalam penelitian ini memiliki masa kerja ≥ 20 tahun, yaitu sebanyak 42 (63,6 %) dan sisanya sebanyak 24 (36,4%) dengan masa kerja < 20 tahun. Terdapat sebanyak 52 orang (78,8%) dengan durasi kerja ≥ 8 jam/hari dan 14 orang (21,2%) dengan durasi kerja < 8 jam/hari. Sampel dalam penelitian ini sebagian besar bekerja dengan jeda istirahat ≥ 60 menit, yaitu sebanyak 50 orang (75,8%).

Tabel 3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Pengukuran Panjang Otot Untuk Menganalisis LCS

Variabel Frekuensi (n Presentasi(%

Modified Thomas Test

Kiri

Normal

32

48,5

Tight

34

51,5

Kanan

Normal

23

34,8

Tight

43

65,2

Panjang Otot Spinal Extensor

Normal

11

16,7

Tight

55

83,3

Berdasarkan Tabel 3. dapat diketahui bahwa sebanyak 34 orang (51,5%) mengalami tightness pada otot iliopsoas kiri dan sebanyak 43 orang (65,2%) mengalami tightness pada otot iliopsoas kanan serta sebanyak 55 orang (83,3%) mengalami tightness pada otot spinal extensor.

Tabel 4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Pengukuran Kekuatan Otot Abdominal Dan Gluteus Maximus Untuk Menganalisis LCS

Variabel Frekuensi (n Presentasi (%

Kekuatan Otot Abdominal

Good          7            10,6

Weak         59           89,4

Kekuatan Otot Gluteus maximus

Kiri

Good

20

30,3

Weak

46

69,7

Kanan

Good

10

15,2

Weak

56

84,8

Tabel 4. menunjukan terdapat 59 orang (89,4%) memiliki otot abdominal yang weak serta sebanyak 56 orang (84,8%) memiliki otot gluteus maximus kanan yang weak dan sebanyak 46 orang (69,7%) memiliki otot gluteus kanan

yang weak.

Tabel 5. Gambaran Prevalensi LCS pada Perajin Ukiran Kayu di Desa Sumita Kecamatan Gianyar LCS

Karakteristik                            Total

Ya       Tidak

Jenis Kelamin

Laki-laki       38 (77,6%) 11 (22,4%)   49

Perempuan   10 (58,8%) 7 (41,2%)   17

Lanjutan Tabel 5. Gambaran Prevalensi LCS pada Perajin

Ukiran Kayu di Desa Sumita Kecamatan Gianyar

Karakteristik

LCS

Total

Ya

Tidak

Umur

< 31

6 (42,9%)

8 (57,1%)

14

31-39

14 (70%)

6 (30%)

20

39-44

14 (82,4%)

3 (17,6%)

17

Prolonged Sitting

< 7 jam/hari

4 (40%)

6 (60%)

10

≥ 7 jam/hari

44 (78,6%)

12 (21,4%)

56

Masa Kerja

< 20 tahun

11 (45,8%)

13 (54,2%)

24

≥ 20 tahun

37 (88,1%)

5 (11,9%)

42

Durasi Kerja

< 8 jam/hari

6 (42,9%)

8 (57,1%)

14

≥ 8 jam/hari

42 (80,8%)

10 (19,2%)

52

Jeda Istirahat

< 60 menit

9 (56,3%)

7 (43,8%)

16

≥ 60 menit

39 (78%)

11 (22%)

50

Berdasarkan Tabel 5. dapat diketahui bahwa dari total keseluruhan 66 sampel terdapat 48 (72.7%) mengalami LCS, dimana sebanyak 38 orang (77,6%) yang mengalami LCS berjenis kelamin laki-laki dan sisanya sebanyak 10 orang (58,8%) berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan umur, LCS paling banyak ditemukan pada kelompok umur > 44 tahun sebanyak 14 (93,3%) dari 15 orang dan paling sedikit ditemukan pada kelompok umur < 31 tahun sebanyak 6 (42,9%) dari 14 orang pada kelompok umur tersebut. Berdasarkan prolonged sitting sebanyak 44 (78,6%) dari 56 orang dengan prolonged sitting ≥ 7 jam/hari dan sebanyak 4 (40%) dari 10 orang dengan prolonged sitting < 7 jam/hari mengalami LCS. Terdapat 37 (88,1%) dari 42 orang dengan masa kerja ≥ 20 tahun dan terdapat sebanyak 11 (45,8%) dari 24 orang dengan masa kerja < 20 tahun mengalami LCS. Sebanyak 42 (80,8%) dari 52 orang dengan durasi kerja ≥ 8 jam/hari dan 6 (42,9%) dari 14 orang dengan durasi kerja < 8 jam/hari mengalami LCS. Berdasarkan jeda istirahat terdapat sebanyak 39 (78%) dari 50 orang dengan jeda istirahat ≥ 60 menit/hari mengalami LCS. Sedangkan sampel dengan jeda istirahat < 60 menit/hari mengalami LCS sebanyak 9 (56,3%) dari 16 orang.

Tabel 6. Analisis Bivariat Hubungan Prolonged Sitting terhadap kejadian LCS menggunakan uji Chi Square

Variabel

L

Ya

CS

Tidak

Total

OR

p value

Prolonged Sitting

< 7 jam/hari

4 (40%)

6 (60%)

10

,

0,012

≥ 7 jam/hari

44 (78,6%)

12 (21,4%)

56

Tabel 6. menampilkan tabel tabulasi silang yang memuat hasil analisis uji statistik menggunakan uji chi square dan hubungan antara variabel prolonged sitting dengan variable LCS. Berdasarkan hasil uji chi square pada taraf kepercayaan 95% (α≤0,05), didapatkan hasil p value <0,05 yaitu p value = 0,012 dan OR 5,500 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya terdapat hubungan prolonged sitting dengan kejadian LCS. Selain itu, perajin ukiran kayu dengan prolonged sitting ≥ 7 jam/hari memiliki risiko 5,5 kali lebih besar mengalami LCS.

DISKUSI

Karakteristik Sampel Penelitian

Penelitian ini dilakukan Desa Sumita, Kecamatan Gianyar pada bulan Februari hingga April 2021. Subjek penelitian berjumlah 66 orang yang merupakan perajin ukiran kayu dengan rentang umur berkisar antara 25-60 tahun dan telah memenuhi kriteria inklusi serta eksklusi.

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar sampel penelitian berada pada rentang umur 31-39 tahun sebanyak 20 orang (30,3%). Sedangkan hanya sebanyak 14 orang (21,2%) dengan umur < 31 tahun. Kejadian LCS ditemukan paling banyak pada kelompok umur > 44 tahun sebanyak 14 (93,3%) dari 15 orang dan paling sedikit ditemukan pada kelompok umur < 31 tahun sebanyak 6 (42,9%) dari 14 orang pada kelompok umur tersebut. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2019) yang menemukan bahwa individu dengan umur > 35 tahun memiliki tingkat keluhan yang tinggi terhadap musculoskeletal disorder sedangkan individu dengan umur < 35 tahun memiliki tingkat keluhan yang rendah terhadap musculoskeletal disorder.10 Semakin tinggi umur maka risiko terjadinya keluhan musculoskeletal dapat semakin meningkat.11 Hal serupa juga ditemukan oleh Shobur et al., (2019) pada penelitiannya dengan nilai p value = 0,012 dan OR = 8,000 yang menunjukan individu dengan umur yang semakin tua memiliki risiko munculnya keluhan musculoskeletal 8 kali lebih besar dibandingkan pada individu dengan umur muda.12 Keluhan pada musculoskeletal biasanya muncul pada umur 25-65 tahun. Keluhan musculoskeletal yang muncul meningkat seiring bertambahanya umur, dimana keluhan pertama sering kali muncul saat individu berumur 35 tahun. Individu akan mengalami penurunan kekuatan otot sebesar 25% dan penurunan kemampuan sesorik motorik

sebesar 60% saat mencapai umur 50-60 tahun. Kemampuan fisik dari individu yang berumur diatas 60 tahun hanya mencapai 25% dari kemampuan kerja dari individu yang berumur dibawah 60 tahun, dimana kemampuan fisik maksimal terjadi pada umur 25 tahun.13 Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh Tjahayuningtyas (2019) dengan nilai p value = 0.102 (α >0,05) menunjukan bahwa umur pekerja tidak berhubungan dengan gangguan musculoskeletal. Gangguan musculoskletal juga dapat terjadi pada umur 15-21 tahun, dimana hal tersebut diakibatkan oleh postur dengan level ergonomis yang rendah serta beban kerja yang berat.4

Berdasarkan tabel 1. sebagian besar sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak 49 (74,2%) dan 17 (28,5 %) sisanya berjenis kelamin perempuan. Hal ini disebabkan perajin ukiran kayu dalam melakukan pekerjaannya memerlukan ketelitian, keahlian dan kekuatan otot dan fisik karena dalam pengerjaannya dilakukan berulang dengan posisi duduk yang statis. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tjahayuningtyas (2019), dimana sebagian besar responden pada pekerja informal industri pembuatan tahu berjenis kelamin laki-laki sebanyak 32 (84,2%) berjenis kelamin laki-laki karena proses pengerjaannya yang membutuhkan kekuatan otot dan tenaga yang besar akibat pekerjaan yang berulang dalam posisi tubuh yang tidak ergonomis dan berdiri secara terus-menerus.4 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 38 orang (77,6%) yang mengalami LCS berjenis kelamin laki-laki dan sisanya sebanyak 10 orang (58,8%) berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan penelitian Shobur et al., (2019) melaporkan bahwa tidak terdapat hubungan jenis kelamin dengan musculoskeletal disorder. Hal tersebut dikarenakan, gangguan musculoskeletal dapat terjadi tergantung dari beban kerja serta aktivitas kerja yang dilakukannya dan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki untuk mengalami gangguan musculoskelatal. Beberapa hasil penelitian menunjukan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan musuloskeletal disorder, dimana kemampuan otot pada perempuan lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki.14 Kemampuan otot perempuan secara fisiologis lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 3:1.15

Berdasarkan indeks massa tubuh dari sampel penelitian terdapat 28 orang (42,4%) dengan IMT yang tergolong normal, 13 orang (19,7%) dengan IMT yang tergolong overweight, 22 orang (33,3%) dengan IMT yang tergolong obesitas tingkat 1, dan 3 orang (4,5%) dengan IMT yang tergolong obesitas tingkat 2. IMT yang tergolong tinggi atau melebihi batas normal pada perajin ukiran kayu diakibatkan oleh aktivitas kerja pada posisi duduk dalam waktu yang lama dan kurangnya minat perajin untuk melakukan aktivitas olahraga. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian oleh Tjahayuningtyas (2019) pada pekerja pembuat tahu yaitu tidak terdapat hubungan antara IMT dengan kejadian gangguan musculoskeletal dengan arah hubungan yang negatif yang berarti semakin tinggi IMT seseorang, maka tingkat keluhan musculoskeletal yang dialami akan semakin rendah. Semakin tinggi IMT seseorang maka semakin baik keadaan gizinya sehingga memiliki ketahanan tubuh serta kapasitas kerja yang baik.4

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar sampel penelitian memiliki masa kerja ≥ 20 tahun, yaitu sebanyak 42 orang (63,6%) dan sisanya 24 orang (36,4%) memiliki masa kerja < 20 tahun. Perajin ukiran kayu di wilayah Desa Sumita memiliki masa kerja yang tinggi, hal tersebut dikarenankan perajin melakukan pekerjaannya secara turun-temurun. Masa kerja yang tinggi mengakibatkan otot menerima beban statis secara berulang yang terakumulasi dalam waktu yang lama sehingga mengakibatkan gangguan musculoskeletal.16

Berdasarkan hasil penelitian terdapat 52 orang (78,8%) dengan durasi kerja ≥ 8 jam/hari dan hanya sebagian kecil sampel penelitian dengan durasi kerja < 8 jam/hari yaitu sebanyak 14 orang (21,2%). Durasi kerja merupakan jumlah waktu yang dihabiskan untuk melakukan pekerjaan dalam sehari. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa durasi kerja yang baik pada umumnya dilakukan selama 7-8 jam/hari atau 40 jam/minggu.17 Pekerja pada sektor informal cenderung melakukan pekerjaanya hampir setiap hari dan dalam menyelesaikan pekerjaannya masih menggunakan peralatan manual yang memerlukan tenaga yang lebih besar, hal tersebut mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya keluhan musculoskeletal yang dirasakan pekerja.18

Berdasarkan jeda istirahat, sebagian besar sampel penelitian ini memiliki jeda istirahat ≥ 60 menit, yaitu sebanyak 50 orang (75,8%) dan sisanya sebanyak 16 orang (24,2%) memiliki jeda istirahat < 60 menit. Perajin ukiran kayu merupakan salah satu pekerjaan informal dimana jeda istirahat cenderung tidak menentu dan tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk beristirahat, perajin cenderung memanfaatkan jeda istirahat untuk mengerjakan kegiatan lainnya. Hal tersebut mengakibatkan tubuh tidak dapat melakukan pemulihan serta relaksasi dari pekerjaan yang berdampak kepada peningkatan beban kerja pada otot.19

Berdasarkan hasil penelitian, perajin bekerja dengan prolonged sitting ≥ 7 jam/hari sebanyak 56 orang (84,8%) dan sisanya sebanyak 10 orang (15.2%) bekerja dengan prolonged sitting < 7 jam/hari. Terdapat sebanyak 44 orang (78,6%) dengan prolonged sitting ≥ 7 jam/hari dan sisanya sebanyak 4 orang (40%) dengan prolonged sitting < 7 jam/hari mengalami LCS. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian oleh Wirakesuma et al., (2019) yang menyebutkan terdapat hubungan secara statistik antara duduk lama dengan kejadian nyeri punggung bawah, dimana mayoritas responden memiliki durasi duduk yang tinggi dengan rerata 6,43 jam per hari. Durasi duduk yang tinggi pada perajin ukiran kayu dikarenakan mayoritas perajin ukiran kayu melakukan pekerjaannya dirumah, dimana mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk duduk bekerja.20 Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Zatadin (2018) dimana terdapat hubungan yang signifikan antara durasi duduk terhadap keluhan musculoskeletal.21 Posisi duduk statis yang dilakukan 1,5 sampai 5 jam dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan musculoskeletal yaitu nyeri pada punggung bawah 2,35 kali lebih besar. Posisi duduk apabila dipertahankan selama setengah hari waktu kerja atau lebih memiliki risiko 1,6 kali untuk terjadinya nyeri pada punggung bawah.5

Hubungan Prolonged Sitting Dengan Kejadian Lower Crossed Syndrome

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan terdapat 44 (78,6%) dari 56 orang dengan prolonged sitting ≥ 7 jam/hari dan sebanyak 4 (40%) dari 10 orang dengan prolonged sitting < 7 jam/hari mengalami LCS. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan hasil p value <0,05 yaitu p value = 0,012 dan OR 5,500 yang menunjukan terdapat hubungan antara

prolonged sitting dengan kejadian LCS pada perajin ukiran kayu di Desa Sumita Kecamatan Gianyar. Hal tersebut menunjukan bahwa perajin ukiran kayu dengan prolonged sitting ≥ 7 jam/hari berisiko 5,5 kali lebih besar mengalami LCS dibandingkan dengan perajin ukiran kayu yang dengan dengan prolonged sitting < 7 jam/hari.

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Wirakesuma et al., (2019) yang mengatakan peningkatan waktu yang dihabiskan untuk duduk bekerja mengakibatkan semakin lama pula pekerja terpapar faktor risiko, sehingga mengakibatkan munculnya keluhan musculoskeletal. Berdasarkan penelitian dari Boukabache et al., (2020), prolonged sitting berhubungan dengan penurunan passive hip extension, dimana penurunan passive hip extension merupakan akibat dari tightness otot hip flexor.22 Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian ini, dimana ditemukan sebanyak 34 orang (51,5%) mengalami tightness otot hip flexor pada tungkai kiri dan sebanyak 43 (65,2%) tightness otot hip flexor pada tungkai kanan yang mengakibatkan terjadinya penurunan passive hip extension.

Berdasarkan pengukuran panjang otot spinal extensor dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 55 orang (83,3%) mengalami tightness dan sebanyak 59 orang (89,4%) mengalami kelemahan pada otot abdominal. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Heneghan et al., (2018) yang menemukan prolonged sitting ≥ 7 jam/hari memiliki hubungan terhadap rentangan gerak yang rendah pada rotasi aktif dari thoracic spine. Prolonged sitting mengakibatkan kekakuan atau tightness pada otot spinal dan mengindikasikan gangguan pada struktur otot abdominal, dimana otot abdominal memanjang untuk memfasilitasi rotasi dari thoracal.23

Berdasarkan pengukuran kekuatan otot gluteus maximus dalam penelitian ini, ditemukan sebanyak 46 orang (69,7%) mengalami kelemahan pada sisi kiri dan sebanyak 56 orang (84,8%) mengalami kelemahan otot pada sisi kanan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian dari Pristianto et al., (2019) menunjukan bahwa prolonged sitting berhubungan dengan kelemahan otot gluteus. Kondisi otot gluteus maximus yang melemah dapat memengaruhi aktivasi otot lainnya, dimana hal tersebut mengakibatkan timbulnya kompensasi gerakan pada bagian punggung bawah dan hip. Kompensasi tersebut menyebabkan otot spinal extensor dan hip flexor menjadi tight serta otot abdominal menjadi lemah. Pada LCS otot yang terlibat meliputi bagian anterior, yaitu otot abdominal yang bertugas menginhibisi dan otot iliopsoas bertugas memfasilitasi. Pada bagian posterior terdapat otot gluteus maximus yang bertugas menginhibisi dan yang bertugas memfasilitasi yaitu otot extensor spinal.24 Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Sherrington’s law dari reciprocal innervations, yaitu otot yang mengalami tightness mengakibatkan respon reflek, yaitu menginhibisi serta melemahnya otot pada sisi berlawanan (otot antagonis).25 Respon reflek inhibisi yang muncul mengakibatkan otot antogonis yaitu otot gluteus tidak dapat berkontraksi dalam waktu yang cukup lama yang mengakibatkan otot secara perlahan mengalami atrofi yang memicu terjadinya kelemahan pada otot.26 Pola duduk yang monoton serta statis dapat menyebabkan kelelahan dan sensasi tegang pada otot bagian gluteal serta pinggang.27 Hal tersebut sejalan dengan penelitian oleh Janda (1978) dimana subjek dengan postur yang statis saat duduk lama akan mengakibatkan tightness pada otot hip flexor, sehingga menimbulkan respon refleks, yaitu menginhibisi aktivasi serta memperlemah otot gluteus yang merupakan otot pada sisi berlawanan.28

Perajin ukiran kayu cenderung melakukan pekerjaan dengan duduk bekerja, tanpa mempertimbangan posisi tubuh yang ergonomis yang diakibatkan oleh tuntutan kerja. Perajin ukiran kayu melakukan aktivitas pekerjaannya secara monoton dan cenderung duduk lama dengan posisi duduk yang janggal (awkward posture). Postur janggal (awkward posture) merupakan posisi tubuh yang dianggap menyimpang dari posisi netral saat melakukan aktivitas yang diakibatkan oleh keterabatasan tubuh dalam menghadapi beban dalam waktu lama.29 Posisi duduk yang janggal adalah posisi tubuh yang dianggap tidak biasa seperti membungkuk atau condong kedepan, kepala menunduk, dan menengadah yang dipertahankan dalam waktu yang lama.20 Perajin ukiran kayu di Desa Sumita Kecamatan Gianyar bekerja dengan postur yang janggal yaitu pada posisi duduk membungkuk dilantai dengan posisi kaki yang cenderung menyilang atau diregangkan dengan posisi lutut yang ditekuk atau diluruskan.

Gangguan musculoskeletal lebih sering muncul pada posisi duduk membungkuk. Posisi duduk membungkuk mengakibatkan otot-otot spinal extensor lebih sering mengalami kontraksi sehingga lebih cepat terjadi ketegangan yang berlebih.30 Posisi duduk membungkuk dengan sudut antara 20-60 derajat memiliki risiko dalam menimbulkan gangguan otot, khususnya pada otot punggung bawah.31 Prolonged sitting pada pekerja dapat menimbulkan spasme atau ketegangan pada otot, dapat membangun tinggi dari tulang belakang dan menyebabkan inactive stiffness pada lumbar sehingga mengurangi mobilitas dari lumbar. Penurunan fleksibilitas yang terjadi dapat menyebabkan sesorang mengalami beberapa musculoskeletal overuse injury serta penurunan tingkat fungsional.32 Pekerja disarankan mengambil istirahat yang aktif diantara aktivitas kerja yang monoton dalam jangka waktu yang lama.33 Latihan yang rutin dengan melibatkan stretch shorten cycle seperti bejalan kaki disela-sela aktivitas kerja dapat mengimbangi efek yang ditimbulkan dari prolonged sitting.22 Keluhan yang muncul akibat muscle imbalance pada LCS menyebabkan joint dusfunction yaitu berupa strain pada ligamen dan peningkatan tekanan pada segmen L4-L5 dan L5-S1, sacroilliac joint, dan hip joint. Apabila tidak ditangani dapat menimbulkan nyeri terutama pada punggung bawah, hip dan lutut serta perubahan postural seperti anterior pelvic tilt, peningkatan lordosis lumbar, lateral lumbar shift, rotasi ekternal dari hip dan hyperextension pada region lutut.7

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan uji analisis chi square yang telah dilakukan, diperoleh hasil p value = 0,012 (nilai p<0,05) dan OR 5,500. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan yang signifikan antara prolonged sitting dengan kejadian LCS pada perajin ukiran kayu di Desa Sumita Kecamatan Gianyar, dimana perajin ukiran kayu dengan prolonged sitting ≥ 7 jam/hari memiliki risiko 5,5 kali lebih besar mengalami LCS.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    BPS. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2019 [Internet]. Badan Pusat Statistik. Jakarta; 2019.

Available from: https://nakertrans.jogjaprov.go.id

  • 2.    Antyesti AD, Nugraha MHS, Griadhi IPA, Saraswati KGNLP. Hubungan Faktor Risiko Ergonomi saat Bekerja dengan Keluhan Muskuloskeletal pada Pengrajin Ukiran Kayu di Gianyar. Maj Ilm Fisioter Indones [Internet]. 2020;8(2):42–51. Available from: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/index

  • 3.    ILO. International Labor Organization (ILO) The Prevention Of Occupational Diseases. Encycl Toxicol Third Ed. 2014;

  • 4.    Tjahayuningtyas A. Faktor yang Mempengaruhi Keluhan Musculoaskeletal Disorders (MSDs) pada Pekerja Informal. Indones J Occup Saf Heal. 2019;8(1):1–10.

  • 5.    Samara D, Basuki B, Jannis J. Duduk Statis Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Nyeri Punggung Bawah Pada Pekerja Perempuan. Universa Med. 2005;24(2):73–9.

  • 6.    Wiratma AIK, Adiputra HSILM. Gambaran Keluhan Muskuloskeletal Pada Perajin Ukiran Kayu Di Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem. E-Jurnal Med Udayana. 2015;4(10):1–12.

  • 7.    Das S, Sarkar B, Sharma R, Mondal M, Kumar P, Sahay P. Prevalence of Lower Crossed Syndrome in Young Adults : A Crossectional Study. Int J Adv Res. 2017;5(6):2217-28.

  • 8.    Kale SS, Gijare S. Prevalence of Lower Crossed Syndrome in School Going Children of Age 11 To 15 Years. Indian J Physiother Occup Ther. 2019;13(2):11–4.

  • 9.    Zaprawa K, Filipowicz P. Lower Crossed Syndrome ( LSD ). Adv Sci Med. 2018;3(1):13–5.

  • 10.    Putri BA. The Correlation between Age, Years of Service, and Working Postures and the Complaints of Musculoskeletal Disorders. Indones J Occup Saf Heal. 2019;8(2):187–96.

  • 11.    Nusa Y, Joseph WBS, Lampus BS. Hubungan antara Umur, Lama Kerja dan Getaran dengan Keluhan Sistem Muskuloskeletal pada Sopir Bus Trayek Manado-Langawon di Terminal Karombasan. 2013;

  • 12.    Shobur S, Maksuk, Sari FI. Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pekerja Tenun Ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang. Med (Media Inf Kesehatan). 2019;6(2):113–22.

  • 13.    Tarwaka, Bakri SHA, Sudiajeng L. Ergonomics for Safety, Occupational Health and Productivity. 1st edn. Surakarta: UNIBA Press; 2004.

  • 14.    Tarwaka. Ergonomi IndustriDasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi danAplikasi di Tempat Kerja. Surakarta: Badan Penerbit Harapan Press; 2015.

  • 15.    Ramadhani AE, Wahyudati S. Gambaran Gangguan Fungsional dan Kualitas Hidup pada Pasien Low Back Pain Mekanik. Media Med Muda [Internet]. 2015;4(4):264–72. Available from: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico%0A

  • 16.    Sulistiyo TH, Sitorus RJ, Ngudiantoro. Analisis faktor risiko ergonomi dan musculoskeletal disorders pada radiografer instalasi radiologi rumah sakit di kota Palembang. JKK. 2018;5(1):26–37.

  • 17.    Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 T 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003. Undang-Undang [Internet]. 2003;1:1–34. Available from: http://www.kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003

  • 18.    Sani NT, Widajati N. Hubungan Lama Waktu Kerja dan Beban Kerja Fisik dengan Keluhan Muculoskeletal Disorders di Pekerja Informal. Indones J Occup Saf Heal. 2021;10(1):79–87.

  • 19.    Belayana IBGB, Darmadi IGW, Mahayana IMB. Hubungan Faktor Waktu Kerja, Waktu Istirahat dan Sikap kerja terhadap Keluhan Nyeri Tengkuk pada Pengerajin Ukiran Kayu. J Kesehat Lingkung. 2014;4(1):6–15.

  • 20.    Wirakesuma DPN, Sawitri AAS, Sari KAK. Hubungan antara perilaku duduk pengrajin ukir kayu dengan nyeri punggung bawah di Kecamatan Tegallalang,Gianyar,Bali. Intisari Sains Medis. 2019;10(3):649–54.

  • 21.    Zatadin ZM. Hubungan posisi duduk dan lama duduk terhadap kejadian nyeri punggung bawah (NPB) pada penjahit sektor informal di Kecamatan Laweyan Kota Surakarta. [Skripsi] Univ Muhammadiyah Surakarta. 2018;

  • 22.    Boukabache A, Brookes N, Preece SJ. Prolonged Sitting and Physical Inactivity are Associated with Limited Hip Extension: A Cross-sectional Study. Musculoskelet Sci Pract [Internet]. 2020;102282. Available from: https://doi.org/10.1016/j.msksp.2020.102282

  • 23.    Heneghan NR, Baker G, Thomas K, Falla D, Rushton A. What is the effect of prolonged sitting and physical activity on thoracic spine mobility ? An observational study of young adults in a UK university setting. BMJ Open. 2018;8.

  • 24.    Pristianto A, Fauziah HN, Setyaningsih R. Kelemahan Otot Gluteal Sebagai Faktor Resiko Munculnya Keluhan Nyeri Punggung Bawah. J Fisioter dan Rehabil. 2019;3(2):1–8.

  • 25.    Sherrington CS. On reciprocal innervation of antagonistic muscles. Proc R SocLond B BiolSci79B: 337.7; 1907.

  • 26.    Yahia A, Jribi S, Ghroubi S, Elleuch M, Baklouti S, Habib Elleuch M. Evaluation of the posture and muscular strength of the trunk and inferior members of patients with chronic lumbar pain. Jt Bone Spine [Internet]. 2011;78(3):291–7. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jbspin.2010.09.008

  • 27.    Le P, Marras WS. Evaluating the low back biomechanics of three different office workstations: Seated, standing, and perching. Appl Ergon. 2016;56(September):170–8.

  • 28.    Janda V. Muscles, central nervous regulation and back problems. In Neurobiological mechanisms in manipulative therapy. ed IM Korr. 1978;Plenum Pre:27–41.

  • 29.    Mayasari D, Saftarina F. Ergonomi Sebagai Upaya Pencegahan Musculoskletal Disorders. J Kedokt Univ Lampunh. 2016;1(2):369–79.

  • 30.    Pirade A, Angliadi E, Senkey SL. Hubungan Posisi dan Lama Duduk dengan Nyeri Punggung Bawah (NBP) Mekanik Kronik pada Karyawan Bank. J Biomedik. 2013;5(1):98–104.

  • 31.    Utami U, Karimuna SR, Jufri N. Hubungan Lama Kerja, Sikap Kerja dan Beban Kerja dengan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada Petani Padi di Desa Ahuhu Kecamatan Meluhu Kabupaten Konawe Tahun 2017. J Ilm Mhs Kesehat Masy. 2017;2(6):1–10.

  • 32.    Yadav R, Basista R. Effect of Prolonged Sitting on Hamstring Muscle Flexibility and Lumbar Lordosis in Collegiate Student. Int J Heal Sci Res [Internet]. 2020;10(9):280–9. Available from: www.ijhsr.org

  • 33.    Rachmat N, Utomo PC, Sambada ER, Andyarini EN. Hubungan Lama Duduk dan Sikap Duduk terhadap Keluhan Nyeri Punggung Bawah pada Penjahit Rumahan Di Kecamatan Tasikmadu. J Heal Sci Prev. 2019;3(2):79–85.


Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 10, Nomor 3 (2022), Halaman 137-143, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi |144|