POSISI DUDUK MENGEMUDI DENGAN KEJADIAN FORWARD HEAD POSTURE PADA SOPIR BUS RAPID TRANSIT DI PROVINSI BALI

Jovanka Rayhan Susilo1*, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi2, Ni Komang Ayu Juni Antari3, Sayu Aryantari Putri Thanaya4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali 2,3,4Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

*Koresponden: [email protected]

Diajukan: 5 Juli 2021 | Diterima: 9 Juli 2022 | Diterbitkan: 5 Mei 2022

DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2022.v10.i02.p06

ABSTRAK

Pendahuluan: Pengoperasian transportasi umum khususnya bus membutuhkan sopir yang berkompeten dalam menjalankan tugasnya demi menjamin keamanan dan keselamatan penumpangnya. Faktor penting yang seharusnya menunjang dalam melakukan aktivitas pekerjaan sebagai seorang sopir adalah untuk tetap menjaga posisi duduk mengemudi secara ergonomis agar tidak terjadi permasalahan pada postur yang mengganggu. Salah satu akibat dari tidak ergonomisnya posisi duduk mengemudi pada sopir adalah Forward Head Posture (FHP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan posisi duduk mengemudi dengan kejadian forward head posture pada sopir Bus Rapid Transit.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional yang dilakukan pada bulan Maret - April 2021. Sampel penelitian adalah sopir bus Trans Sarbagita dan Trans Metro Dewata dengan jumlah 54 sampel yang dipilih melalui teknik consecutive sampling. Peneliti melakukan anamnesis dan pemeriksaan sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, lalu mengukur posisi duduk mengemudi menggunakan Rapid Upper Limb Assessment (RULA), dan forward head posture dengan mencari nilai Craniovertebral Angle (CVA).

Hasil: Analisis yang digunakan adalah analisis bivariat dengan uji chi square. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan (p=0,001), antara posisi duduk mengemudi dengan FHP pada sopir Bus Rapid Transit di Provinsi Bali.

Simpulan: Terdapat hubungan antara posisi duduk mengemudi dengan kejadian forward head posture pada sopir Bus Rapid Transit di Provinsi Bali.

Kata Kunci: posisi duduk mengemudi, FHP, sopir bus

PENDAHULUAN

Pengoperasiaan sebuah transportasi umum membutuhkan sopir yang berkompeten agar menjamin keamanan dan keselamatan penumpangnya. Faktor penting dan kebiasaan yang seharusnya menunjang dalam melakukan aktivitas pekerjaan sebagai seorang sopir adalah untuk tetap menjaga posisi mengemudi secara ergonomis. Pada dasarnya posisi ergonomis penting bagi setiap orang dalam menjalani aktivitas kesehariannya agar tidak terjadi permasalahan pada postur yang mengganggu.1 Posisi mengemudi sangat berpengaruh dalam menentukan kesehatan kerja sopir. Posisi mengemudi disertai postur duduk yang tidak ergonomis dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan keluhan kesehatan jika dilakukan secara terus menerus.2 Posisi duduk mengemudi yang baik dan benar adalah duduk tegak dengan punggung lurus dan bahu sedikit kebelakang.3

Memperhatikan aspek ergonomis berupa posisi duduk mengemudi yang benar sangat penting untuk seorang sopir bus karena dapat meminimalisir nyeri, mengurangi kelelahan otot, dan meningkatkan produktivitas kerja sopir.4 Kelelahan pada pengemudi merupakan sesuatu yang harus diwaspadai karena dapat menyebabkan kecelakaan dengan presentase 20 persen dari seluruh penyebab kecelakaan.5 6 Keluhan lain yang dapat terjadi jika sopir kurang memperhatikan aspek ergonomis yaitu Musculoskeletal Disorders. Musculoskeletal Disorders (MSDs). MSDs didefiniskan sebagai pelemahan sistem muskuloskeletal (termasuk saraf dan pembuluh darah) yang disebabkan atau diperparah oleh pekerjaan itu sendiri atau lingkungan dimana pekerjaan itu dilaksanakan. MSDs terjadi dominannya pada punggung, leher, ekstrimitas atas, dan pada beberapa kasus, ekstrimitas bawah, menyebabkan nyeri yang signifikan dan ketidaknyamanan dengan disabilitas dan opname (pada kasus saraf).7 Salah satu akibat dari tidak ergonomisnya posisi duduk mengemudi pada sopir adalah Forward Head Posture (FHP).

Pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun dan durasi bekerja lebih dari 6 jam sehari dengan posisi duduk mendominasi dalam aktivitasnya seperti pada sopir bus dan pegawai kantor di depan komputer, dapat mengakibatkan FHP jika dilakukan secara tidak ergonomis.8 FHP yang dilakukan secara terus menerus tanpa disadari dapat menimbulkan masalah perubahan postur yang serius pada leher, bahu dan tulang belakang. Perubahan postur pada leher, bahu, dan tulang belakang dapat beresiko menimbulkan nyeri leher dan berbagai macam keluhan sakit kepala

yang hebat.9 Nyeri pada leher yang muncul dari penggunaan postur yang tidak tepat tentu sangat mempengaruhi seseorang dalam segi kenyamanan yang berakibat pada menurunnya daya konsentrasi dalam melakukan sebuah aktivitas yang akhirnya dapat mengurangi produktivitas seseorang.10 Prevalensi kejadian FHP pada penelitian yang dilakukan pada sopir taksi di Jakarta menunjukan 49 dari 113 responden sopir mengalami FHP.11 Hasil wawancara dengan sopir bus rapid transit di Bali menunjukkan 3 orang pernah mengalami sakit leher tingkat sedang selama 3 bulan terakhir dimana sakit leher memiliki korelasi dengan FHP.11

Di Bali, terdapat 2 perusahaan bus rapid transit yaitu Trans Sarbagita yang mulai beroperasi pada tahun 2011 dan Trans Metro Dewata yang mulai beroperasi pada tahun 2020. Pada kedua perusahaan bus tersebut menunjukan para sopir cenderung tidak ergonomis yaitu dalam posisi monoton melihat kedepan dengan bagian belakang tubuh tidak bersandar pada kursi pengemudi agar dapat lebih berkonsentrasi melihat situasi lalu lintas. Terlebih jika mengemudi pada malam hari dengan kondisi kurangnya pencahayaan maka intensitas para sopir dalam melihat kedepan lebih meningkat. Durasi sopir bus Trans Sarbagita dan Trans Metro Dewata bekerja diketahui selama 8 jam dengan sistem 1 hari kerja dan 1 hari berikutnya libur. Seorang pekerja atau dalam hal ini seorang sopir tidak memperhatikan aspek ergonomi dalam aktivitas menyetir seperti misalnya melakukan suatu kegiatan dengan posisi monoton terus menerus maka secara tidak langsung akan membebani dari otot tersebut tanpa memberikan jeda untuk otot relaksasi sehingga perasaan yang dialami oleh pekerja tersebut akan menjadi cepat lelah.1

Faktor lain FHP yang sering tidak disadari sopir adalah sudut pengaturan kursi atau sering disebut sudut inklinasi. Sekilas posisi mengemudi bus dan bentuk ruang kemudi bus jika dibandingkan dengan ruang kemudi pada mobil pribadi yang beredar di pasaran terlihat serupa. Perbedaan pada ruang kemudi bus adalah posisi setir terletak sedikit dibawah antara perut dan dada sementara pada mobil pribadi terletak sedikit di atas yaitu antara leher dan dada pada orang dengan postur tinggi sementara untuk orang dengan postur pendek posisinya bisa diantara leher dan wajah. Perbedaan posisi tersebut tentu saja memerlukan adaptasi koordinasi yang berbeda sehingga membutuhkan respon otot yang juga berbeda.

Penanganan FHP akan lebih efektif jika dilakukan secara preventif atau pencegahan dengan menjaga postur pengemudi tetap ergonomis dan mengurangi aktifitas mengemudi yang monoton. Dalam skala yang lebih kompleks, fisioterapi dapat melakukan intervensi berdasarkan gangguan-gangguan fungsi gerak yang terjadi seperti memperbaiki alignmet, mengurangi spasme pada otot yang terdampak FHP, serta menguatkan otot-otot yang lemah akibat FHP. Di Bali, belum ada penelitian yang menghubungkan resiko posisi mengemudi bus dengan kejadian FHP. Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengetahui adakah hubungan posisi duduk mengemudi dengan kejadian Forward Head Posture pada sopir Bus Rapid Transit di Provinsi Bali.

METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Terminal Batubulan, Kabupaten Gianyar dan Terminal Pesiapan, Kabupaten Tabanan yang telah dilaksanakan pada bulan April 2021. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling dan memenuhi kriteria inklusi ekslusi. Kriteria inklusi penelitian ini adalah sopir berusia 30-69 berjenis kelamin laki-laki dengan masa kerja sebagai sopir bus lebih dari 2 tahun dan bersedia mengisi inform consent. Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu sopir memiliki riwayat sakit leher berat dalam 6 bulan terakhir dan sopir dengan riwayat trauma berat dan cedera berat pada leher. Sampel yang didapatkan pada penelitian ini sejumlah 54 sampel penelitian. Variabel independen dalam penelitian ini adalah posisi duduk mengemudi. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah FHP. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, masa kerja, dan durasi bekerja yaitu 8 jam sehari.

Pengukuran posisi duduk mengemudi dinilai menggunakan teknik fotografi dari arah samping saat sopir sedang mengemudi lalu foto dianalisis dengan lembar pemeriksaan Rapid Upper Limb Assesment (RULA), setelah itu peneliti melakukan skoring berdasarkan hasil RULA. FHP diukur menggunakan teknik fotografi dari arah lateral sopir lalu foto dianalisis menggunakan busur derajat untuk mencari nilai Cranivertebral Angle (CVA). Sampel dikategorikan mengalami FHP jika nilai CVA dibawah 49 derajat.

Uji statistika yang digunakan peneliti adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat digunakan untuk menganalisis gambaran umum tentang presentase usia, jenis kelamin sampel, pengukuran sudut craniovertebral, dan hasil perhitungan dari skala RULA dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara posisi duduk dengan risiko terjadinya FHP. Jenis uji bivariat yang akan digunakan adalah chi-square. Chi-square dapat mengukur data variabel yang bersifat nominal. Pada penelitian ini, FHP, dan posisi duduk termasuk kedalam nominal.

Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Ethical clearance/keterangan kelaikan etik dengan nomor 1154/UN14.2.2.VII.14/LT/2021. Informed consent telah diperoleh dari sampel penelitian sebelum melakukan penelitian.

HASIL

Tabel 1. Karakteristik Sampel

Jumlah (n)

Persentase (%)

Usia 30-39 tahun

13

24,1

40-49 tahun

25

46,3

50-59 tahun

15

27,8

60-69 tahun

1

1,9

Lanjutan Tabel 1. Karakteristik Sampe

Jumlah (n)

Persentase (%)

Skor RULA

Resiko Rendah MSDs

30

55,6

Resiko Rendah MSDs

23

42,6

Resiko Tinggi MSDs

1

1,9

Nilai CVA

Tidak FHP

33

61,1

FHP

21

38,9

Berdasarkan Tabel 1. maka diketahui distribusi sampel berdasarkan usia terbanyak adalah 40-49 tahun yaitu sebanyak 25 sampel (46,3%), 50-59 tahun sebanyak 15 sampel (27,8%), 30-39 tahun sebanyak 13 sampel (24,1%), dan 60-69 tahun sebanyak 1 sampel (1,9%). Pada penelitian ini, memang merupakan sopir dengan kategori usia 30 tahun keatas saja, yang memiliki dugaan sudah banyak mengalami keluhan muskuloskeletal. Untuk distribusi sampe berdasarkan skor RULA lebih banyak memiliki tingkat resiko yaitu resiko rendah mengalami MSDs dengan jumlah 30 sampel (55,6%), tingkat resiko sedang mengalami MSDs sebanyak 23 sampel (42,6%), dan tingkat resiko tinggi mengalami MSDs sebanyak 1 sampel (1,9%). Distribusi berdasarkan nilai CVA pada sampel lebih banyak memiliki kategori tidak FHP dengan jumlah 33 sampel (61,1%), untuk kategori FHP memiliki jumlah sampel sebanyak 21 sampe (38,9%).

Tabel 2. Uji Chi Square Posisi Duduk Mengemudi (Skor RULA) dengan FHP pada Sopir Bus

Nilai CVA

Rendah

Tingkat Resiko MSDs Sedang

Tinggi

Total

p

Tidak FHP

29

(53,7%)

4        (7,4%)

0

(0,0%)

33

(61,1%)

FHP

1

(1,9%)

19     (35,2%)

1

(1,9%)

21

(38,9%)

0,001

Jumlah

30

(55,6%)

23      (42,6%)

1

(1,9%)

54

(100%)

Berdasarkan Tabel 2. di atas diketahui nilai signifikansi atau nilai p sebesar 0,001, karena nilai p < 0,05 maka artinya ada hubungan yang signifikan antara antara posisi duduk mengemudi dengan kejadian forward head posture pada sopir bus rapid transit di Provinsi Bali.

DISKUSI

Karakteristik Sampel

Dalam penelitian ini karakteristik sampel merupakan sopir bus yang berusia 30-69 tahun yang terdiri dari sopir bus Trans Sarbagita koridor 1 dan koridor 2 serta sopir bus Trans Metro Dewata koridor 1 dengan durasi bekerja yang sama yaitu 8 jam perhari yang dipilih menggunakan consecutive sampling sejumlah 54 sampel. Persebaran berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel 1 menunjukan bahwa sampel terbanyak ada pada usia 40-49 tahun yang berjumlah sebanyak 25 sampel (46,3%). Rentang tersebut mendominasi usia sopir karena sebagian besar sopir bus sudah pernah bekerja sebelumnya pada perusahaan bus lain seperti bus antar kota antar provinsi dengan masa kerja dan pengalaman lebih dari 10 tahun.

Usia 50-59 tahun sebanyak 15 sampel (27,8%), usia 30-39 tahun sebanyak 13 sampel (24,1%), dan usia 6069 tahun sebanyak 1 sampel (1,9%). Pada rentang usia 60-69 tahun, 1 orang tersebut merupakan sopir berusia 65 tahun pada perusahaan bus Trans Sarbagita dan masih diijinkan mengemudi dengan masa kerja tahun terakhir karena batas maksimal bekerja sebagai sopir pada perusahaan Trans Sarbagita adalah 65 tahun. Menurut Sukmaningrum,12 usia tersebut bukanlah usia produktif lagi karena usia produktif hanya dalam rentang 15-64 tahun. Pada perusahaan Bus Trans Sarbagita jumlah sopir keseluruhan hanya sejumlah 10 orang sehingga peneliti mengambil sampel keseluruhan dan termasuk sampel 65 tahun tersebut.

Seluruh sampel dalam penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki karena dalam lingkup seluruh sopir bus rapid transit di Bali belum ditemukan pengemudi berjenis kelamin perempuan. Laki-laki juga memiliki tingkat energi dan kekuatan otot lebih besar sehingga berdampak pada stamina yang lebih besar yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas sebagai seorang sopir.13 Masa kerja sebagai sopir bus lebih dari 2 tahun yang dimaksud pada kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah walaupun perusahaan bus Trans Metro Dewata baru berdiri pada tahun 2020, sebagian besar sopir yang bertugas di sana sudah pernah bekerja sebelumnya pada perusahaan lain seperti Trans Sarbagita yang sudah berdiri sejak tahun 2011 dan perusahaan bus lainnya seperti bus pariwisata dan bus antar kota antar provinsi sehingga banyak sampel sopir pada perusahaan Trans Metro Dewata sudah memiliki masa kerja lebih dari 2 tahun.

Posisi duduk mengemudi didapatkan dari hasil pengukuran menggunakan skoring RULA dengan interpretasi kategori resiko minimal mengalami MSDs (1-2), resiko rendah mengalami MSDs (3-4), resiko sedang mengalami MSDs (5-6), dan resiko tinggi mengalami MSDs (>6). Pada penelitian ini, hanya digunakan 3 interpretasi saja yaitu resiko rendah mengalami MSDs, resiko sedang mengalami MSDs, dan resiko tinggi mengalami MSDs karena tidak ditemukan sampel sopir bus dengan kategori resiko minimal mengalami MSDs. Berdasarkan hasil penelitian mengenai posisi duduk mengemudi pada sopir bus rapid transit di Provinsi Bali yang digambarkan dalam tingkat resiko pada skor RULA terbanyak pada kategori resiko rendah mengalami MSDs sebanyak 30 sampel (55,6%), resiko sedang mengalami MSDs sebanyak 23 sampel (42,6%), dan resiko tinggi mengalami MSDs sebanyak 1 orang (1,9%).

Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar sopir Bus Rapid Transit (BRT) di Bali sudah menerapkan posisi ergonomi yang baik dalam mengemudi. Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada pengemudi angkutan umum di Terminal Mengwi mengungkapkan, dari 24 jenis sebaran keluhan MSDs, keluhan pada pinggang menempati urutan pertama terbanyak dengan 17 responden lalu pada urutan kedua adalah keluhan pada leher sebanyak 12 responden.14

Penelitian ini menunjukkan paling banyak sopir mengalami resiko rendah mengalami MSDs pada skor RULA. Menurut penelitian yang dilakukan Lee,15 ada beberapa faktor yang mempengaruhi posisi duduk mengemudi seorang sopir diantaranya adalah bentuk dan tekstur permukaan kursi pengemudi, jenis sandaran kursi dan sudut pengaturannya, penyangga punggung untuk mengemudi, posisi setir dan pedal kaki, pandangan mata dan jarak antara kepala sopir dan langit-langit ruang kemudi.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian ini dimana pada dasarnya kondisi bangku kemudi pada bus Trans Sarbagita dan Trans Metro Dewata sudah cukup ergonomis namun masih ditemukan beberapa pengemudi dengan skor RULA kategori resiko sedang sampai tinggi mengalami MSDs diakibatkan oleh perbedaan dalam sikap mengemudi yang tidak sesuai secara ergonomis. Hal ini juga sesuai dengan penelitian MY Irwan yang mengatakan bahwa pengemudi dengan masa kerja lebih dari 1 tahun sebagian besar memiliki postur mengemudi yang cenderung tidak wajar dan memiliki nilai skor RULA dengan tingkat resiko rendah mengalami MSDs atau perlu perbaikan segera dan sisanya memiliki resiko sedang mengalami MSDs atau perlu perbaikan kebiaaan mengemudi secepat mungkin.16 Pada penelitian tersebut sebagian kecil sampel yang memiliki skor resiko sedang diakibatkan oleh postur yang salah selama mengemudi dan tidak mengikuti pedoman ergonomi yang baik.

Faktor yang sama juga dijelaskan oleh Hermanns dkk juga Costanzo dkk yang menyebutkan bahwa postur yang tidak benar dapat menjadi faktor MSDs selain dari kelelahan mengemudi pada sopir.17 18 Penelitian ini menganalisis apakah terdapat hubungan posisi duduk mengemudi dengan kejadian FHP pada sopir bus. FHP diukur menggunakan metode fotografi dari arah lateral kemudian foto tersebut diukur menggunakan busur atau goniometer untuk mendapatkan sudut kraniovertebra (craniovertebral angle). Berdasarkan tabel 5.1 dari 54 sampel terdapat 33 sampel (61,1%) tidak mengalami FHP dan 21 sampel (38,9%) mengalami FHP. Hasil tersebut menunjukkan sebagian besar sopir bus BRT di Provinsi Bali sudah memiliki kondisi muskuloskeletal yang baik dalam menunjang aktivitasnya dalam bekerja.

Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa aktivitas sehari-hari yang lebih berpotensi menyebabkan FHP adalah membaca, bermain ponsel pintar, dan bermain laptop dibandingkan dengan mengemudi.19 Sejalan dengan penelitian ini dimana jumlah sampel kategori tidak FHP lebih banyak dibandingkan yang FHP. Sopir BRT baik Trans Sarbagita maupun Trans Metro Dewata sudah menjalani pelatihan selama 1 bulan sebelum diterima pada perusahaan tidak hanya berfokus pada teori keselamatan berkendara tetapi juga teori ergonomi yang baik dalam berkendara sehingga jumlah penderita FHP lebih sedikit. Sampel yang memiliki kategori FHP berasal dari beberapa sopir yang kurang menjaga postur yang baik selama mengemudi.

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan pada sopir taksi di Jakarta yang menyebutkan bahwa hanya 46,7% pengemudi dari seluruh sampel yang mengalami nyeri akut dimana nyeri akut tersebut berhubungan dengan FHP.11 Sistem ruang kemudi yang semakin nyaman dan semakin ergonomis membuat sopir dengan kategori FHP juga semakin berkurang.

Hubungan antara Posisi Duduk Mengemudi dengan Kejadian Forward Head Posture pada Sopir Bus

Hasil analisis hubungan posisi duduk mengemudi dengan kejadian forward head posture pada sopir bus ini menunjukkan nilai p sebesar 0,001 dimana nilai p < 0.05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara posisi duduk mengemudi dengan kejadian forward head posture pada sopir bus rapid transit di Provinsi Bali.

Penelitian ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada penjahit dalam posisi duduk yang dilakukan di Iran ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara skor RULA dan keluhan muskuloskeletal yang terjadi terutama pada bagian leher (p=0,001). Dari 251 sampel dimana hanya 7 sampel yang memiliki nilai skor RULA 1-4 (resiko minimal-resiko sedang mengalami MSDs), dan dan 244 sampel memiliki skor>5 (resiko sedang mengalami MSDs). Dari keseluruhan sampel terdapat 136 orang mengalami gejala gangguan muskuloskeletal salah satunya adalah FHP akibat dari aktivitas duduk sambil menjahit dengan memajukan kepala dan badan rata-rata sebesar 20 derajat dalam waktu terus menerus.20

Pada penelitian ini ditemukan posisi duduk yang digambarkan dengan skor RULA memiliki hasil lebih banyak sampel dengan kategori resiko rendah mengalami MSDs, begitupun dengan FHP lebih banyak sopir yang memiliki kategori tidak FHP. Kondisi tersebut karena pada dasarnya kondisi bangku kemudi pada bus Trans Sarbagita dan Trans Metro Dewata sudah cukup ergonomis namun masih ditemukan beberapa pengemudi dengan skor RULA kategori resiko sedang sampai tinggi mengalami MSDs diakibatkan oleh perbedaan dalam sikap mengemudi yang tidak sesuai secara ergonomis.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermanns dkk postur yang salah selain menyebabkan gangguan muskuloskeletal juga dapat menyebabkan kelelahan pada pengemudi.17 Kelelahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi sikap awas dan waspada pada sopir untuk menjaga posturnya dengan baik sehingga cenderung abai dan berakhir dengan postur yang salah dalam waktu yang lama. Pada seorang sopir, aktivitas otot yang cenderung meningkat saat posisi mengemudi terutama terjadi saat memutar setir secara terus menerus adalah diantaranya Biceps brachii, Deltoid anterior, dan Upper trapezius dimana FHP erat kaitannya dengan aktivitas dari ketidakseimbangan kerja otot saat otot Upper trapezius bekerja secara berlebihan.21

Posisi duduk yang salah dapat menyebabkan FHP dan MSDs pada sopir dijelaskan oleh beberapa penelitian yaitu seiring usia pergerakan otot dan fleksibilitas otot akan berkurang,22 dan menunjukkan penurunan kekuatan otot yang drastis pada usia 50 tahun disertai dengan pemulihan yang memakan waktu lama pada jaringan otot-otot tulang belakang jika terjadi kerusakan atau cedera.23 Kelemahan otot ditambah dengan vibrasi yang sangat intens saat mengemudi yang mengenai sebagian besar tubuh pada akhirnya semakin melemahkan otot sehingga menyebabkan FHP. 24

Pada penelitian ini, berdasarkan pengukuran FHP terdapat 4 orang dengan kategori tidak mengalami FHP tetapi memiliki tingkat resiko sedang mengalami MSDs dalam pengukuran RULA. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak selalu posisi duduk yang salah dapat menyebabkan FHP. sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mary dkk (2021) yang mengatakan bahwa faktor lain seseorang mudah mengalami kondisi FHP adalah gaya hidup sedentary atau gaya hidup seseorang dengan sedikit bergerak dalam kesehariannya. 25

Pada penelitian tersebut menunjukan hasil dari nilai CVA yang signifikan (P=0,000) antara sampel yang terbiasa melakukan latihan serta aktivitas fisik dengan sampel yang memiliki gaya hidup sedentary. Pada masa modernisasi saat ini aktivitas seseorang tidak terlepas dari smartphone. Seseorang yang terus menerus bermain telpon pintar selama lebih dari 4 jam memiliki nilai CVA yang lebih kecil dibanding yang bermain telpon pintar kurang dari 4 jam.26 Hal tersebut membenarkan bahwa ada faktor lain yang menyebabkan FHP pada seorang sopir bus selain posisi duduk yang tidak ergonomis.

Secara biomekanik, posisi duduk dapat meyebabkan FHP adalah karena bergesernya tekanan di titik center of pressure (COP) yang terjadi pada area leher akibat gerakan yang sering dilakuakan oleh sopir selama mengemudi seperti memutar setir, memperbaiki posisi duduk agar nyaman, dan pengereman kendaraan. Gerakan-gerakan tersebut akan meningkat intensitasnya setelah 45 menit mengemudi yang menyebabkan pergeseran amplitudo COP hingga 3 cm dengan dampak pada otot-otot ekstremitas atas seperti deltoid yang berfungsi sebagai penyangga beban kepala dan upper trapezius yang berfungsi untuk ekstensi leher menjadi lemah akibat penekanan berlebih sehingga menyebabkan FHP.27

SIMPULAN

Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara posisi duduk mengemudi dengan kejadian forward head posture pada sopir bus rapid transit di Provinsi Bali.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Sutrisni NW, Sutjana IDP, Adiatmika IPG. Pengaturan Organisasi Kerja Berorientasi Ergonomi Menurunkan Respon Fisiologis Pekerja dan Waktu Bongkar Muat di Komplek Pergudangan Bulog Batubulan Divisi Regional Bali. Jurnal Ergonomi Indonesia. 2018;4(2). ISSN:1411-951X.

  • 2.    Rina R, Hansen H, Fadzul F. Hubungan Sikap Kerja Mengemudi dan Durasi Mengemudi dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Pengemudi Bus di Terminal Lempake Kota Samarinda Tahun 2016. 2016.

  • 3.    Sengadji MI. Hubungan Antara Posisi Mengemudi Terhadap Low Back Pain Pada Sopir Angkot di Kota Malang. Saintika Medika: Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Keluarga. 2017;11(1):14-21.

  • 4.    Sitanggang RF. Analisis Determinan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Supir Bus Perusahaan Otobus (PO) Indonesia Mulia Indah (IMI). 2018.

  • 5.    MacLean AW, Davies DR, Thiele K. The hazards and prevention of driving while sleepy. Sleep Med. Rev. 2003;7 (6):507-521.

  • 6.    Fernandes R, Hatfield J, Soames Job RF. A Systematic investigation of the differential predictors for speeding, drink-driving, driving while fatigued, and not wearing a seat belt, among young drivers. Transp. Res. Part F: Traffic Psychol. Behav. 2010;13(3):179-196.

  • 7.    Health and Safety Executive (HSE). Work-Related Musculoskeletal Disorder (WRMSDs) Statistics, Great Britain 2016. 2016.

  • 8.    Nejati P, Lotfian S, Moezy A, Nejati M. The study correlation between forward head posture and neck pain in Iranian office workers. Iran University of Medical Science. Department of Sport Medicine. International Journal of Occupational Medicine and Enviromental Health. 2015;28(2):295-303.

  • 9.    Newell RS, Blouin JS, Street J, Cripton PA, Siegmud GP. Neck Posture and Muscle Activity are Different when

Upside Down: A Human Volunteer Study. Journal of Biomechanics. 2013;46:2837-2843.

  • 10.    Dieter EP, Mense S, Michael S. Soft Tissue Pain Syndromes: Clinical Diagnosis and Pathogenesis. Journal of Muskuloskeletal Pain. 2004;12(3):23-25.

  • 11.    Setiawati S, Friska D, Ichsan S. Posisi kepala dan Faktor Risiko Lain yang Berhubungan dengan Kejadian Nyeri Tengkuk Akut pada Pengemudi Taksi. Posisi Kepala dan Faktor Risiko. Program Magister Kedokteran Kerja. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2018;6(1).

  • 12.    Sukmaningrum A. Memanfaatkan Usia Produktif Dengan Usaha Kreatif Industri Pembuatan Kaos Pada Remaja Di Gresik. Paradigma. 2017;5(3).

  • 13.    Syahmirza IL. Perbedaan Pengaruh Metode Latihan Beban Terhadap Kekuatan dan Daya Tahan Otot Biceps Brachialis Ditinjau dari Perbedaan Gender. Jakarta. Universitas Esa Unggul. 2012.

  • 14.    Sekaaram V, Ani LS. Prevalensi musculoskeletal disorders (MSDs) pada pengemudi angkutan umum di terminal mengwi, kabupaten Badung-Bali. Intisari Sains Medis. 2017;8(2):118-124.

  • 15.    Lee NS. Review of selected literature related to seating discomfort. 1990.

  • 16.    MY IS, Ruhaizin S, Ismail MH, AM AZ. Accessing Driving Posture Among Elderly Taxi Drivers In Malaysian Using Rula And Qec Approach. Malaysian Journal of Public Health Medicine. 2020;20(Special1):116-123.

  • 17.    Hermanns I, Raffler N, Ellegast RP, Fischer S, Gores B. Simultaneous field measuring method of vibration and body posture for assessment of seated occupational driving tasks. Appl Ergon. 2008;38: 255-263.

  • 18.    Costanzo A, Graziani G, Orsi G. Driving ergonomy: New methodology for the assessment of stresses on upper limbs. Safety Sci Monitor. 1999;(3):1-11.

  • 19.    Singh S, Kaushal K, Jasrotia S. Prevalence of forward head posture and its impact on the activity of daily living among students of Adesh University–A cross-sectional study. Adesh University Journal of Medical Sciences &

Research. 2020;2(2):99-102.

  • 20.   Dianat I, Kord M, Yahyazade P, Karimi MA, Stedmon AW. Association of individual and work-related risk factors

with musculoskeletal symptoms among Iranian sewing machine operators. Applied ergonomics. 2015;(51):180-188.

  • 21.   Im B, Kim Y, Chung Y, Hwang S. Effects of scapular stabilization exercise on neck posture and muscle activation

in individuals with neck pain and forward head posture. Journal of physical therapy science. 2015;28(3):951-955.

  • 22.    Herlihy B. The Human Body in Health and Illness-E-Book. Elsevier Health Sciences. 2017.

  • 23.    McGill S. Low Back Disorders: Evidence Based Prevention and Rehabilitation. 2nd ed. University of Waterloo. Champaign. IL: Human Kenetics. 2007.

  • 24.    Bulduk EÖ, Bulduk S, Süren T, Ovalı F. Assessing exposure to risk factors for work-related musculoskeletal disorders using Quick Exposure Check (QEC) in taxi drivers. International Journal of Industrial Ergonomics. 2014;44(6):817-820.

  • 25.    Mary SD, Bhargavy S. Effect of movement therapy in individuals with abnormal head posture. www. ijmaes. org. 2021.

  • 26.    Jung SI, Lee NK, Kang KW, Kim K, Do YL. The effect of smartphone usage time on posture and respiratory function. Journal of physical therapy science. 2016;28(1):186-189.

  • 27.    Albert WJ, Everson D, Rae M, Callaghan JP, Croll J, Kuruganti U. Biomechanical and ergonomic assessment of urban transit operators. Work. 2014;47(1):33-44.


Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 10, Nomor 2 (2022), Halaman 89-94, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi | 94 |