HUBUNGAN SIKAP KERJA SAAT MENGETIK TERHADAP KELUHAN MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS PADA PEKERJA KANTOR DI DENPASAR
on
ORIGINAL ARTICLE
Vol 7 No 3 (2019), P-ISSN 2303-1921
MAJALAH ILMIAH FISIOTERAPI INDONESIA
HUBUNGAN SIKAP KERJA SAAT MENGETIK
TERHADAP KELUHAN MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS PADA PEKERJA KANTOR DI DENPASAR
Rifqy Fatara1, Putu Ayu Sita Saraswati2, I Dewa Ayu Inten Dwi Primayanti3
1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 3Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana rifqyfatara@gmail.com
ABSTRAK
Karakteristik gangguan kesehatan yang disebabkan oleh aktivitas mengetik dengan komputer cenderung pada cidera tingkat rendah yang muncul seiring waktu akibat sikap kerja yang salah, lama dan berulang, salah satunya adalah Myofascial Pain Syndrome (MPS) otot upper trapezius dengan gejala utama nyeri tekan dan terdapat nodul pada otot. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sikap kerja saat mengetik terhadap MPS otot upper trapezius pada pekerja kantor di Denpasar. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Maret 2018. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan sampel berjumlah 53 orang. Pengukuran MPS otot upper trapezius dilakukan dengan pemeriksaan fisioterapi. Pengukuran sikap kerja saat mengetik dengan metode Rapid Upper Limb Assesment (RULA). Uji hipotesis yang digunakan adalah Chi Square Test untuk menganalisis signifikansi hubungan antara sikap kerja saat mengetik dengan MPS otot upper trapezius. Pada perhitungan analisis data, diperoleh nilai p sebesar 0,000 sehingga p < 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap kerja saat mengetik terhadap MPS otot upper trapezius pada pekerja kantor di Denpasar.
Kata Kunci: Sikap kerja mengetik, myofascial pain syndrome upper trapezius
THE RELATION BETWEEN WORK POSTURE WHEN TYPING WITH COMPLAINTS OF MYOFASCIAL PAIN SYNDROME IN UPPER TRAPEZIUS MUSCLE AMONG OFFICE WORKERS IN DENPASAR
ABSTRACT
Characteristic of health disorders caused by typing activity with computers tend to be low-grade injuries that arise over time due to wrong, long and repetitive work posture, one of which is Myofascial Pain Syndrome (MPS) in upper trapezius muscle with the main symptoms of tenderness and there are nodules in muscle. This study aims to determine the relationship of typing work posture with MPS in upper trapezius muscle among office workers in Denpasar. This study is an observational analytic study with cross sectional design conducted on March 2018. Sampling is done by purposive sampling technique with sample of 53 people. MPS in upper trapezius muscle measured with physiotherapy examination. Measurement of typing work posture with Rapid Upper Limb Assessment (RULA) method. Hypothesis test used is Chi Square Test to analyze the significance of relationship between typing work posture with MPS in upper trapezius muscle. In the calculation of data analysis, obtained p value of 0.000 which means p<0.05. Then it can be concluded that there is a significant relationship between work attitude when typing against MPS upper trapezius muscle in office workers in Denpasar.
Keywords: Typing work posture, upper trapezius myofascial pain syndrome
PENDAHULUAN
Dalam melakukan pekerjaan, manusia banyak berinteraksi dengan peralatan-peralatan yang membantunya dalam bekerja. Seperti pada pekerjaan kantor yang dewasa ini banyak menggunakan peralatan komputer karena banyak kemudahan-kemudahan dalam pekerjaan yang didapat dengan menggunakan komputer. Namun tanpa disadari, penggunaan komputer banyak menimbulkan efek yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia, terutama jika bekerja dengan waktu yang lama dan pada posisi yang salah. Walaupun muncul secara bertahap, hasil akhir yang terjadi tetap sama, yaitu berupa gangguan kesehatan yang serius seperti gangguan otot rangka. Gangguan tersebut rata-rata diakibatkan oleh kurangnya aliran darah serta ketegangan di bagian tubuh yang sama secara terus menerus dan berulang.1
Di antara sekian banyak keluhan penyakit otot rangka, salah satu penyakit yang dapat terjadi adalah Myofascial Pain Syndrome (MPS). Prevalensi kejadian MPS secara umum yang dihubungkan dengan tingkat populasi kehidupan adalah sebesar 85 %.2 Sindrom nyeri myofascial merupakan nyeri otot yang ditandai dengan timbulnya satu atau beberapa titik picu yang disebut dengan trigger points. Sindrom ini disebabkan oleh faktor mekanik dan faktor medis. Kondisi ini sering ditemukan pada semua orang dengan keadaan inaktivitas akibat posisi beraktivitas dengan posisi tidak ergonomis dalam waktu lama.3 MPS ditandai dengan adanya nodul yang dapat terpalpasi serta hiperiritabilitas dalam serat otot rangka yang disebut dengan “trigger point”. Trigger points (TrP) ialah benjolan/nodul yang hipersensitif pada sebuah taut band.4
Faktor yang berpengaruh terhadap MPS adalah kondisi akut atau kronik otot yang bekerja secara berlebihan, beban kerja yang berat, stress psikologis, ketidaknormalan fungsi sendi, serta kerusakan motor control. Faktor-faktor tersebut sering dipicu oleh aktivitas sikap kerja seperti penggunaan komputer dan gadget dalam waktu yang lama. Penggunaan teknologi tersebut sering dilakukan dalam posisi yang tidak ergonomis atau buruk, sehingga menyebabkan terjadinya trauma pada otot akibat pembebanan yang berlebih dan salah satu otot yang sering mengalami MPS adalah otot upper trapezius.4
Otot upper trapezius berfungsi untuk melakukan gerakan elevasi dan depresi bahu. Seringkali otot ini mengalami tightness dan stiffness karena fungsinya sebagai stabilisator. Gerakan seseorang yang seringkali kurang memperhatikan posisi tubuh, misalnya saat seorang bekerja di depan komputer dalam waktu yang cukup lama. Kontraksi otot terus menerus (statis) karena postur tubuh yang tidak ergonomis dalam waktu yang lama dapat memicu cidera pada otot terutama otot upper trapezius dan dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman seperti pegal dan punggung terasa kaku. Kondisi seperti ini jika tidak dilakukan penanganan secara dini akan menyebabkan terjadinya nyeri di sepanjang leher dan punggung serta keterbatasan gerak.4
Pekerjaan kantor dilakukan menggunakan komputer dengan sebagian besar dilakukan dalam posisi kerja duduk dan dalam waktu yang relatif lama dengan mempertahankan posisi tulang belakang yang cenderung membungkuk. Posisi leher membungkuk dalam waktu yang lama akan membuat otot upper trapezius berkontraksi terus menerus. Kontraksi yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan adanya ketegangan atau pemendekan dari otot tersebut yang menyebabkan kelelahan otot. Posisi kerja ini dapat menjadi faktor resiko timbulnya keluhan nyeri akibat gangguan muskuloskeletal, khususnya keluhan MPS otot upper trapezius. Oleh sebab itu, perlu ada upaya penatalaksanaan dengan berpedoman pada aspek ergonomi.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional yang dilaksanakan di Denpasar pada Februari hingga Maret tahun 2018. Sampel penelitian ini adalah pekerja kantor di Denpasar yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan pengambilan sampel dengan Purposive Sampling yang berjumlah 53 sampel. Kriteria inklusi penelitian yaitu bersedia menjadi subjek penelitian, berusia 20 sampai 50 tahun, bekerja minimal 4 jam sehari, masa kerja minimal 6 bulan, dan bekerja menggunakan komputer. Kriteria eksklusi yaitu mengalami kelainan postural, memiliki riwayat cedera di leher atau bahu, dan memiliki penyakit saraf pada leher.
Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas adalah sikap kerja saat mengetik yang diukur menggunakan metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA). Variabel terikat pada penelitian ini adalah myofascial pain syndrome otot upper trapezius yang diukur dengan pemeriksaan manual palpasi, Visual Analogue Scale (VAS) dan pengukuran lingkup gerak sendi lateral fleksi leher.
Data yang didapatkan kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak komputer dengan uji deskriptif (univariat) dan uji statistik chi-square test (bivariat).
HASIL
Dari hasil penelitian, didapatkan jumlah sampel 53 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Berikut akan dijelaskan data hasil penelitian mengenai gambaran karakteristik sampel dan variabel penelitian. Gambaran distribusi frekuensi yang diamati yaitu usia, durasi kerja, masa kerja, kategori skor RULA, dan keluhan MPS otot upper trapezius.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi Presentase (%)
20-25 |
6 |
11,3 |
26-30 |
4 |
7,5 |
31-35 |
7 |
13,2 |
36-40 |
9 |
17,0 |
41-45 |
13 |
24,5 |
46-50 |
14 |
26,4 |
Jumlah |
53 |
100,0 |
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dari 53 sampel diketahui frekuensi sampel terbanyak pada kelompok usia 46-50 tahun sejumlah 14 orang (26,4%), diikuti kelompok usia 41-45 tahun sejumlah 13 orang (24,5%), kelompok usia 36-40 tahun sejumlah 9 orang (17%), kelompok usia 31-35 tahun sejumlah 7 orang (13,2%), kelompok usia 20-25 tahun sejumlah 6 orang (11,3%), dan kelompok usia 26-30 tahun sejumlah 4 orang (7,5%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Durasi Kerja Durasi Kerja (jam) Frekuensi Presentase (%)
8 |
38 |
71,7 |
9 |
5 |
9,4 |
10 |
6 |
11,3 |
11 |
1 |
1,9 |
12 |
3 |
5,7 |
Jumlah 53 100,0
Berdasarkan Tabel 2 di atas, dari 53 sampel, sampel dengan durasi kerja 8 jam sebanyak 38 orang (71,7%), durasi kerja 9 jam sebanyak 5 orang (9,4%), durasi kerja 10 jam sebanyak 6 orang (11,3%), durasi kerja 11 jam sebanyak 1 orang (1,9%), dan durasi kerja 12 jam sebanyak 3 orang (5,7%).
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Masa Kerja Masa Kerja (tahun) Frekuensi Presentase (%)
6-Feb |
11 |
20,8 |
11-Jul |
5 |
9,4 |
16-Dec |
11 |
20,8 |
17-21 |
14 |
26,4 |
22-26 |
8 |
15,1 |
27-31 |
4 |
7,5 |
Jumlah 53 100,0
Berdasarkan Tabel 5.3 di atas, dari 53 sampel, yang memiliki masa kerja 2-6 tahun sebanyak 11 orang (20,8%), masa kerja 7-11 tahun sebanyak 5 orang (9,4%), masa kerja 12-16 tahun sebanyak 11 orang (20,8%), masa kerja 1721 tahun sebanyak 14 orang (26,4%), masa kerja 22-26 tahun sebanyak 8 orang (15,1%), dan masa kerja 27-31 tahun sebanyak 4 orang (7,5%).
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Skor RULA
Skor RULA Kategori Risiko |
Frekuensi |
Presentase (%) | |
3 – 4 |
Rendah |
16 |
30,2 |
5 – 6 |
Sedang |
24 |
45,3 |
7 |
Tinggi |
13 |
24,5 |
Jumlah |
53 |
100,0 |
Berdasarkan Tabel 4 di atas, menunjukkan bahwa frekuensi pada sampel berdasarkan skor RULA yang berisiko rendah berjumlah 16 orang (30,2%), pada risiko sedang berjumlah 24 orang (45,3%), dan pada risiko tinggi berjumlah 13 orang (24,5%).
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Keluhan MPS
MPS |
Frekuensi |
Presentase (%) |
Ya |
34 |
64,2 |
Tidak |
19 |
35,8 |
Jumlah |
53 |
100,0 |
Berdasarkan tabel 5 di atas untuk distribusi frekuensi keluhan myofascial pain syndrome otot upper trapezius terdapat 34 orang (64,2%) yang mengalami MPS sedangkan terdapat 19 orang (35,2%) yang tidak mengalami MPS otot upper trapezius.
Tabel 6. Hubungan Sikap Kerja dengan Keluhan Myofascial Pain Syndrome
MPS
Sikap Kerja |
Ya |
Tidak |
Risiko Rendah |
3 (18,8%) |
13 (81,2%) |
Risiko Sedang |
19 (79,2%) |
5 (20,8%) |
Risiko Tinggi |
12 (92,3%) |
1 (7,7%) |
Jumlah 34 (64,2%) 19 (35,8%) 0,000
Hasil penelitian setelah dilakukan uji Chi Square Test mendapatkan nilai p=0,000 yang berarti p≤0,05 sehingga menunjukkan bahwaaada hubungan yangabermakna antara sikap kerja terhadap keluhan myofascial painasyndrome otot upper trapezius.
DISKUSI
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 53 orang responden yang berumur 20-50 tahun, didapatkan sampel kategori usia 20-25 tahun dengan keluhan MPS sebanyak 2 orang (3,8%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 4 (7,5%)
Open Access Journal : https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/index | 15 |
orang, kategori usia 26-30 tahun dengan keluhan MPS tidak ada (0,0%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 4 (7,5%) orang, kategori usia 31-35 tahun dengan keluhan MPS sebanyak 5 orang (9,4%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 2 orang (3,8%), kategori usia 36-40 tahun dengan MPS sebanyak 3 orang (5,7%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 6 orang (11,3%), kategori usia 41-45 tahun dengan keluhan MPS sebanyak 13 orang (24,5%) dan tanpa keluhan MPS tidak ada (0,0%), dan kategori usia 46-50 tahun dengan keluhan MPS sebanyak 11 orang (20,8%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 3 orang (5,7%).
Perubahan yang jelas pada sistem otot dengan bertambahnya usia adalah berkurangnya masa otot yang lebih disebabkan karena atrofi dan degenerasi. Kecepatan sintesis protein otot menurun dengan meningkatnya umur, dan ikut memberi kontribusi atas terjadinya atrofi otot dan menurunnya kemampuan reparasi setelah terjadinya kerusakan pada jaringan. Atrofi otot menyebabkan daya elastisitas otot berkurang yang berakibat bertambahnya ketidakmampuan tubuh dalam beraktivitas. Jika hal ini berlangsung terus menerus maka akan mengakibatkan tightness dan terjadinya myofascial pain syndrome.4
Hasil penelitian dari 53 orang sampel dikelompokkan ke dalam 6 kategori masa kerja. Dengan rincian kategori masa kerja 2-6 tahun tahun dengan keluhan MPS sebanyak 3 orang (5,7%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 8 orang (15,1%), kategori masa kerja 7-11 tahun dengan keluhan MPS sebanyak 4 orang (7,4%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 1 orang (1,9%), kategori masa kerja 12-16 tahun sebanyak 7 orang (13,2%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 4 orang (7,5%), kategori masa kerja 17-21 tahun dengan keluhan MPS sebanyak 8 orang (15,1%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 6 orang (11,3%), kategori masa kerja 22-26 tahun dengan keluhan MPS sebanyak 8 orang (15,1%) dan tanpa keluhan MPS tidak ada (0,0%), dan kategori usia 27-31 tahun dengan keluhan MPS sebanyak 4 orang (7,5%) dan tanpa keluhan MPS tidak ada (0,0%).
Masa kerja berkaitan dengan kemampuan adaptasi antara pekerja dengan pekerjaan serta lingkungan kerjanya. Proses adaptasi dapat memberikan efek positif yaitu menurunkan ketegangan dan peningkatan aktivitas atau performasi kerja, dan efek negatifnya adalah menurunnya ketahanan tubuh akibat tekanan yang didapat dari proses kerja. Tekanan fisik pada jangka waktu tertentu akan mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kinerja otot, hal tersebut tidak hanya disebabkan karena beban kerja yang berat namun juga lebih pada beban kerja yang terakumulasi setiap harinya pada suatu masa yang lama.5
Berdasarkan penelitian ini, dari 53 sampel memiliki durasi kerja yang berbeda dan dikelompokkan ke dalam 5 kategori durasi kerja dengan rincian durasi kerja 8 jam dengan keluhan MPS sebanyak 22 orang (41,5%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 16 orang (30,2%), durasi kerja 9 jam dengan keluhan MPS sebanyak 5 orang (9,4%) dan tanpa keluhan MPS tidak ada (0,0%), durasi kerja 10 jam dengan keluhan MPS sebanyak 5 orang (9,4%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 1 orang (1,9%), durasi kerja 11 jam dengan keluhan MPS sebanyak 1 orang (1,9%) dan tanpa keluhan MPS tidak ada (0,0%), dan durasi kerja 12 jam dengan keluhan MPS sebanyak 1 orang (1,9%) dan tanpa keluhan MPS sebanyak 2 orang (3,8%).
Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan pekerja mengakibatkan pekerjaan tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan menyebabkan penurunan kualitas dan hasil kerja. Bekerja dengan waktu yang berkepanjangan, akan meningkatkan asam laktat dan penurunan kadar gula dalam tubuh yang menimbulkan kecenderungan terhadap kelelahan, gangguan metabolis, dan rentan terhadap tightness otot dan myofascial pain syndrome.6
Pada penelitian ini, hubungan sikap kerja terhadap keluhan myofascial pain syndrome otot upper trapezius dapat diketahui dengan menggunakan metode statistik Chi-Square Test yang tertera pada Tabel 6. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada hasil nilai p=0,000 yang berarti p ≤ 0,05 yang menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara sikap kerja terhadap keluhan myofascial pain syndrome otot upper trapezius. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tidak ergonomis sikap kerja, maka semakin tinggi keluhan myofascial pain syndrome, begitu pula sebaliknya, semakin rendah ergonomis sikap kerja, maka semakin rendah juga keluhan myofascial pain syndrome.
Posisi kerja yang tidak ergonomis dapat mengakibatkan peredaran darah yang tidak lancar dan menyebabkan lengan cepat lelah. Selain itu, pekerjaan dilakukan dalam posisi statis yang membuat otot-otot berkontraksi secara terus menerus yang pada akhirnya dapat menambah besarnya postur buruk pada pekerja kantor terjadinya overstretching, overshortening, dan overloading pada otot. Hal ini akan menyebabkan serabut otot menjadi rusak dan diikuti oleh ruptur dari membran sel otot (sarcolemma). Pergerakan yang berulang (repetitive movement), gerakan dengan kecepatan tinggi, dan posisi tubuh yang buruk akan mengakibatkan terjadinya mikro trauma.7
Mikro trauma akan menyebabkan kerusakan pada sarcoplasmic reticulum, yang menghasilkan pelepasan dari ion Ca2+. Kehadiran ion Ca2+ akan menyebabkan interaksi myofillament secara konstan dan mendukung terjadinya kontraksi otot tanpa adanya potensial aksi secara volunter. Kontraksi 30% sampai 50% dari maksimal yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan kegagalan pada sirkulasi darah. Akibat hal tersebut, area trauma menjadi kaku, iskemik, dan meningkatnya zat sisa metabolisme pada area tersebut.8
Hipoksia lokal yang berat dan krisis energi pada jaringan akan menyebabkan pelepasan substansi yang dapat menstimulasi nociceptors pada otot, dan menyebabkan terjadinya nyeri. Selanjutnya, pemendekan yang terjadi pada sarcomere, akan menyebabkan berkurangnya panjang otot. Patofisiologi pemendekan dari otot, berhubungan dengan muscle guarding akibat adanya nyeri yang akan menyebabkan berkurangnya fleksibilitas otot dan merupakan gejala utama dari myofascial pain syndrome.8
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap kerja saat mengetik terhadap keluhan myofascial pain syndrome otot upper trapezius pada pekerja kantor di Denpasar
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Wijaya, Candra. 2010. Hubungan Lama Bekerja Menggunakan Komputer dengan Nyeri Otot Leher pada Karyawan PT. Enseval Medika Prima Jakarta Timur. Skripsi Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul
-
2. Fleckenstein J. 2010. Discrepancy Between Prevalence and Perceived Effectiveness of Treatment Methods in
Myofascial Pain Syndrome: Results of A Cross-Sectional, Nationwide Survey. BMC MusculoskeletaDisord. 11:32
-
3. Saraswati, Putu Ayu Sita et al. 2018. Penambahan Integrated Neuromuscular Inhibition Technique Lebih
Menurunkan Disabilitas Leher Daripada Contract Relax Stretching Pada Intervensi Ultrasound Dalam Kasus Sindrom Myofascial Otot Upper Trapezius. Sport and Fitness Journal. Vol. 1 No.1 Januari 2018
-
4. Anggraeni, N. C. 2013. Penerapan Myofascial Release Technique Sama Baik Dengan Ischemic Compression Tecnique dalam Menurunkan Nyeri Pada Sindroma Miofascial Otot Upper Trapezius. Denpasar. Universitas Udayana
-
5. Zain, Asrori. 2017. Sikap Kerja dan Kejadian Myofascial Pain Syndrome pada Leher dan Bahu Pemetik Kopi di Desa Pasrujambe Kabupaten Lumajang, Universitas Jember
-
6. Suma’mur, P.K. 2013. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) Edisi 2. CV Sagung Seto. Jakarta
-
7. Fatmawati, Veni. 2013. Penurunan Nyeri dan Disabilitas dengan Integrated Neuromuscular Inhibition Technique (INIT) dan Massage Efflurage Pada Myofascial Trigger Point Syndrome Otot Trapesius Bagian Atas. Sport and Fitness Journal. . Vol. 1, No. 1: 60-71.
-
8. Kharismawan, Putu M., Winaya, I Made N., Adiputra, I Nyoman. 2015. Perbedaan Intervensi MuscleaEnergy Technique dan Infrared dengan Positional Release Technique dan Infrared terhadap Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius. Denpasar. Universitas Udayana
Open Access Journal : https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/index | 17 |
Discussion and feedback