PENANGANAN FISIOTERAPI PADA MORBUS HANSEN MULTIBASILER DISERTAI XEROSIS DAN DROP FOOT

Nur Intan Mulyawati1*, Wahyu Tri Sudaryanto2, Teguh Prihastomo3

1Program Studi Profesi Fisioterapi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, Jawa Tengah

  • 2,3RSUD Kusta Donorejo Kelet, Jepara, Jawa Tengah

*Koresponden: [email protected]

Diajukan: 6 Juli 2022 | Diterima: 19 Juli 2022 | Diterbitkan: 20 Juli 2023

DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2023.v11.i02.p17

ABSTRAK

Pendahuluan: Morbus Hansen atau biasa dikenal kusta adalah penyakit menahun yang menyerang sistem saraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang akan mengakibatkan sebagian anggota tubuh pasien tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kusta dapat mengganggu kelembapan kulit yang menyebabkan xerosis dan bisa menyebabkan kecacatan seperti dropfoot. Kusta dapat menular disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium leprae, membutuhkan masa inkubasi yang lama dan susah untuk sembuh 100%. Pasien yang terkena kusta ditandai dengan bercak putih atau merah pada kulit.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode case report (studi kasus). Pasien merupakan seorang pria usia 37 tahun, pada 2018 dinyatakan sembuh dari kusta, pasien kambuh kembali 2 bulan yang lalu, yang dirasakan badan demam dan keringat dingin disertai badan lemah untuk menggerakkan telapak kaki kanan tidak mampu untuk di tekuk ke atas sehingga kesulitan untuk berjalan dan jongkok. Pasien juga mengeluhkan kulit yang kering pada tungkai. Penelitian dilakukan di RS Kusta Donorojo pada pasien dengan diagnosa Morbus Hansen Multibasiler. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat dari intervensi stretching, passive, active, strengthening exercise, pumping ankle, oiling, dan gait training pada pasien morbus hansen multibasiler yang disertai xerosis serta drop foot.

Hasil: Terdapat penambahan lingkup gerak sendi, pengurangan oedema, penambahan kelembapan kulit dari xerosis dan penambahan kemampuan fungsional.

Simpulan: Disimpulkan bahwa penanganan fisioterapi pada Morbus Hansen Multibasiler yang disertai Xerosis dan Dropfoot terbukti bermanfaat pada pasien dalam proses terapi yang sedang dijalani.

Kata Kunci: kusta, xerosis, drop foot

PENDAHULUAN

Menurut WHO didapatkan data pada tahun 2020 terdapat 127.558 kasus kusta atau morbus hansen baru yang terdeteksi dari 139 negara dari 6 wilayah WHO. Menurut Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015 hal 30-31, Prevalensi kusta di Jawa Tengah tahun 2015 adalah 0,61/10.000 penduduk atau 6,1/100.000 penduduk, yang berarti telah mencapai target yaitu <1/10.000 penduduk.

Menurut Buku Penyakit Menular di Sekitar Anda, diterbitkan tahun 2015, penyakit ini merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Myobacterium Leprae. Kusta adalah penyakit menahun yang menyerang sistem saraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang akan mengakibatkan sebagian anggota tubuh pasien tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.1

WHO membuat klasifikasi kusta menjadi tiga kelompok yaitu, pausibasiller (satu lesi kulit), pausibasiller leprosy (dua sampai lima lesi kulit), dan kusta multibasiler (lebih dari lima lesi kulit). Pausibasiller dengan Multibasiler dapat dilihat perbedaannya dari jumlah cabang saraf tepi yang diserang, pausibasiller menyerang satu cabang sedangkan multibasiler menyerang banyak cabang saraf tepi.2

Kusta yang disebabkan oleh bakteri myobacterium leprae ini menyerang pada persarafan tepi seperti pada otonom sehingga dapat terjadi kerusakan kelenjar keringat dan penurunan kelembapan kulit kemudian timbul xerosis. Kusta membutuhkan masa inkubasi yang lama dan kusta susah untuk sembuh 100%. Pasien yang terkena kusta ditandai dengan bercak putih atau merah pada kulit. Selain itu ada tiga tingkat kecacatan pada kusta antara lain tingkat 0, 1, dan 2. Tingkat 0 adalah cacat yang tidak menunjukkan kelainan akibat kusta, tingkat cacat I yaitu cacat yang disebabkan oleh sensorik yang tidak terlihat seperti kehilangan sentuhan di kornea mata, telapak tangan, dan telapak kaki, dan tingkat 2 berarti kecacatan atau kerusakan yang terlihat seperti bell’s palsy, claw hand, dan drop foot.3 Maka disinilah peran fisioterapi untuk mengatasi xerosis dan juga dropfoot pada kasus kusta.

Dropfoot adalah gangguan pada saraf peroneus yang mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot dibagian anterior dari kaki bagian bawah yang mengakibatkan seseorang kesulitan untuk mengangkat ankle atau dorsifleksi.4 Xerosis adalah istilah untuk kulit kering dan dapat ditangani dengan produk yang melembapkan kulit.5

Gejala awal yang muncul pada pengidap morbus hansen antara lain bercak putih dan merah pada kulit yang tidak terasa saat di sentuh. Penyakit ini belum ditemukan media penularannya apa, hal ini bisa tertular kepada sesama orang yang mengidap morbus hansen.3 Penularan penyakit Morbus Hansen Multibasiller bisa terjadi karena paparan

terus menerus karena inkubasi yang cukup lama. Hal ini mampu terjadi di lingkungan keluarga, pekerjaan, pendidikan dan lain sebagainya.

Intervensi oiling treatment, ankle pumping, bridging exercise, balance exercise dan latihan stimulus sensoris pada kaki yang dilakukan pada pasien morbus hansen menunjukkan adanya perubahan yang signifikan6. Fisioterapi dapat menangani xerosis dengan metode moisturizing dan oiling serta menangani dropfoot dengan stretching, passive exercise, active exercise, strengthening.

METODE

Pada penelitian ini menggunakan metode case report (studi kasus) yang dilakukan secara langsung berdasarkan pengalaman pasien.7 Studi kasus merupakan penelitian yang membahas serta mengkaji suatu unit penelitian secara intensif. Rancangan dari studi kasus dipengaruhi oleh keadaan kasus, tetapi tetap mempertimbangkan faktor waktu penelitian.8 Penelitian ini dilakukan dengan meneliti pasien seorang pria berusia 37 tahun yang berada di RS Kusta Donorojo. Penelitian ini dilakukan pada bulan januari 2023 dan dilakukan selama 2 minggu.

Pasien merupakan seorang pria usia 37 tahun dan merupakan pensiunan pelayaran. Setelah tahun 2018 dinyatakan sembuh dari kusta, pasien kambuh kembali 2 bulan yang lalu, yang dirasakan badan demam dan keringat dingin disertai badan lemah untuk menggerakkan telapak kaki kanan tidak mampu untuk di tekuk ke atas sehingga kesulitan untuk berjalan dan jongkok. Pasien juga mengeluhkan kulit yang kering pada tungkai.

Saat dilakukan pemeriksaan inspeksi didapatkan saat berjalan, fase initial contact dan pre swing, pasien mengangkat semua bagian dextra foot secara bersamaan. Pada pemeriksaan palpasi didapatkan pitting oedema pada kedua tungkai, xerosis di kedua tungkai, dan penebalan saraf tibialis posterior. Saat pasien diminta menggerakkan tungkai aktif, didapatkan tidak mampu dorsifleksi dextra foot dan untuk gerakan lain pasien mampu namun tidak full ROM. Gerakan pasif saat dilakukan mampu full ROM dan saat gerakan isometrik pasien mampu menahan tahanan dari terapis untuk semua gerakan kecuali dorsifleksi pada foot dextra.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdapat 7 alat ukur. Alat ukur yang pertama yaitu goniometer untuk mengukur lingkup gerak sendi pada ankle. Lingkup gerak sendi yang normal pada ankle untuk bidang sagital yaitu 25⁰ - 0⁰ - 35⁰ dan untuk bidang frontal yaitu 30⁰ - 0⁰ - 20⁰. Alat ukur yang kedua yaitu MMT untuk mengukur kekuatan otot. Nilai 0 bila otot tidak berkontraksi, nilai 1 terjadi kontraksi namun tidak ada gerakan, nilai 2 untuk otot berkontraksi namun tidak melawan gravitasi, nilai 3 otot mampu berkontraksi dan bergerak secara penuh melawan gravitasi namun tidak bisa melawan tahanan, nilai 4 untuk otot mampu berkontraksi dan bergerak secara penuh melawan gravitasi dan dapat melawan tahanan minimal, serta untuk nilai 5 otot mampu berkontraksi dan bergerak secara penuh melawan gravitasi dan dapat melawan tahanan maksimal. Alat ukur ketiga yaitu untuk pengukuran oedema dengan menggunakan meterline. Alat ukur keempat yaitu tes khusus kusta dengan dilakukan perabaan saraf untuk mengetahui penebalan saraf dan nyeri, fungsi saraf motorik, serta fungsi saraf sensorik. Alat ukur kelima dengan ODSS (Overall Dry Skin Score) untuk mengukur tingkat kelembapan kulit. Nilai 0 berarti tidak terdapat xerosis; nilai 1 untuk sisik halus, kulit kasar, dan kusam; nilai 2 sisik halus dan sedang, kulit kasar ringan, dan warna keputihan; nilai 3 untuk sisik halus-kasar, terdistribusi seragam, kulit kasar tampak kemerahan ringan dan keretakan superfisial; serta nilai 4 untuk didominasi kulit kasar tampak jelas, kemerahan, dan keretakan. Alat ukur terakhir yaitu FADI untuk mengukur kemampuan fungsional. Aspek yang diukur yaitu aktivitas dan klasifikasi nyeri. Nilai 0 untuk rasa tak tertahankan; nilai 1 untuk berat; nilai 2 untuk sedang; nilai 3 bila dirasakan ringan; dan nilai 4 bila tidak ada gangguan.

Intervensi yang diberikan pada pasien ini antara lain untuk lingkup gerak sendi dan kekuatan otot menggunakan exercise (stretching, passive, active dan strengthening), untuk oedema pada tungkai dengan menggunakan pumping ankle, untuk xerosis menggunakan oiling, dan untuk gait yang benar menggunakan gait training. Menggunakan metode oiling dengan membalurkan oil (olive oil) pada area kulit yang kering atau xerosis.9 Untuk menghilangkan xerosis dan menjaga kelembapan kulit. Edukasi pasien untuk melakukan 2x sehari setelah mandi di pagi dan sore hari. Melakukan pumping ankle dengan gerakan ankle pasien ke arah dorsifleksi dan plantar fleksi secara bergantian, hal ini dilakukan untuk mengurangi oedema. Lakukan masing-masing kaki bergantian selama 10-15 kali serta 2 kali seminggu.10 Melakukan passive exercise dengan handling tangan terapi pada metatarsal dan ankle pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara pasif, gerakan ini dilakukan oleh terapis kepada ankle pasien ke arah pasien tidak mampu menggerakkan secara mandiri.11 Dalam kasus ini berikan passive exercise untuk gerakan dorsifleksi pada foot dextra. Lakukan latihan ini sekali dalam setiap hari sebanyak 10-15 kali repetisi, 2 kali seminggu. Menginstruksikan untuk active exercise dengan meminta pasien untuk menggerakkan kedua ankle-nya dengan kemampuannya sendiri.6 Lakukan latihan ini 10-15 kali repetisi, 2 kali seminggu. Melakukan strengthening exercise dengan handling tangan terapi pada metatarsal dan ankle pasien. Strengthening exercise berfungsi untuk meningkatkan kerja otot dengan diberikannya tahanan dalam gerakan akan memicu terjadinya peningkatan kerja serabut otot.12 Instruksikan pasien untuk melawan tahanan yang diberikan pada terapis dengan kemampuan diri sendiri ke arah dorsifleksi, plantar fleksi, eversi, dan inversi. Lakukan latihan ini sekali dalam setiap hari sebanyak 10-15 kali repetisi, 2 kali seminggu. Melakukan gait training dengan menginstruksikan pasien untuk berjalan kemudian koreksi pola jalan pasien dan memberikan contoh yang benar. Pada kasus ini pasien diajarkan cara initial contact (bagian calcaneus mendarat lebih dahulu) dan pre-swing (phallanges diangkat paling terakhir) yang baik dan benar. Latihan ini dilakukan setiap hari.

HASIL

Setelah diberikan intervensi selama tiga kali pertemuan berupa lain untuk lingkup gerak sendi dan kekuatan otot menggunakan exercise (stretching, passive, active dan strengthening), untuk oedema pada tungkai dengan menggunakan pumping ankle, untuk xerosis menggunakan oiling, dan untuk gait yang benar menggunakan gait training didapatkan hasil yang ditampilan pada Tabel 1. sampai Tabel 10.

Tabel 1. HasilPemeriksaanLingkup Gerak SendiPertemuan

ke-1 dan ke-2

Bidang Gerak Ankle

Pertemuan ke-1

Pertemuan ke-2

Pertemuan ke-2

Pertemuan ke-3

Normal

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Kanan

Kr

Kanan

Kr

S

(Plantar-

S.15o-0o-

S.20o-0o-

S.15o-0o-

S.20o-0o-

S.15o-0o-

S.20o-0o-

S.20o-0o-

S.20o-0o-

S.25o-0o-

Dorsi Fleksi)

0o

25o

0o

25o

0o

25o

0o

25o

35o

F (Eversi-Inversi)

F.10o-0o-

10o

F.25o-0o-

15o

F.10o-0o-

10o

F.25o-0o-

15o

F.15o-0o-

15o

F.25o-0o-

20o

F.15o-0o-

15o

F.25o-0o-

20o

F.30o-0o-

20o

Tabel 1. menunjukan lingkup gerak sendi yang diukur menggunakan goniometer terdapat perubahan berupa penambahan lingkup gerak sendi pada pertemuan kedua di bidang sagital ankle kiri dan bidang frontal pada ankle kanan dan kiri. Terlihat juga perubahan pada pertemuan ke-4 di bidang sagital pada plantar ankle kanan.

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Kekuatan Otot Ankle Dextra

Bidang Gerak Ankle Dextra

Skor

Pertemuan ke-1

Pertemuan ke-2

Pertemuan ke-3

Pertemuan ke-4

Dorsi Fleksi

3

3

3

3

Plantar Fleksi

5

5

5

5

Eversi

5

5

5

5

Inversi

5

5

5

5

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Kekuatan Otot Ankle Sinistra

Bidang Gerak Ankle Sinistra

Skor

Pertemuan ke-1    Pertemuan ke-2    Pertemuan ke-3    Pertemuan ke-4

Dorsi Fleksi

Plantar Fleksi

Eversi

Inversi

0                                                                                              0                                                                                              0                                                                                               0

5                   5                   5                   5

5                   5                   5                   5

5                   5                   5                   5

Tabel 2. dan Tabel 3.menunjukan kekuatan otot yang diukurmenggunakanMMT tidak terdapat perubahan.

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Oedema

Cara Mengukur

Pertemuan ke-1    Pertemuan ke-2   Pertemuan ke-3   Pertemuan ke-4

Kanan     Kiri Kanan     Kiri Kanan     Kiri Kanan     Kiri

Figure of Eight

5 cm di atas malleolus lateral

10 cm di atas malleolus lateral

15 cm di atas malleolus lateral

67        54       67        54       61       56       59        54

26        25       26        25       26        23       24       23

29           28           29           28           29           26          29           27

31       31       31       31       32       30       31       30

Tabel 4. menunjukan pengukuran oedema menggunakan midline didapatkan pengurangan oedema pada pertemuan kedua dan ketiga di kedua ankle dan tungkai.

Tabel 5. HasilPemeriksaanNyeri dan RabaPertemuan ke-2 dan ke-3

Pertemuan ke-2

Pertemuan ke-3

Pertemuan ke-4

Saraf

Kanan

Kiri

Kanan

Nyeri

Raba

Nyeri

Raba

Nyeri

Raba

Nyeri

Raba

Nyeri

Raba

Nyeri

Raba

Auriqularis Magnus Radialis

--

N

N

--

N

N

--

N

N

--

N

N

--

N

N

--

N

N

Radialis Cutaneus

+

T

+

T

+

T

+

T

+

T

+

T

Ulnaris

+

T

+

T

+

T

+

T

+

T

+

T

Peroneus

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Tibialis posterior

+

T

+

T

+

T

+

T

+

T

+

T

Tabel 6. Hasil Pengukuran Fungsi Saraf Motoris

Gerakan

Pertemuan ke-2

Pertemuan ke-3

Pertemuan ke-4

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Facial

Menutup mata

5

5

5

5

5

5

Celah kelopak mata

5

5

5

5

5

5

Lanjutan Tabel 6. Hasil Pengukuran Fungsi Saraf Motoris

Gerakan

Pertemuan ke-2

Pertemuan ke-3

Pertemuan ke-4

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Ulnar

Abduksi jari kelingking

3

3

3

3

3

3

Abduksi jari telunjuk

3

3

3

3

3

3

Posisi intrinsik (4,5)

4

4

4

4

4

4

Posisi intrinsik (2,3)

4

4

4

4

4

4

Flexor Digitorum Profundus (Jari 4,5) - Flexor Carpi Ulnaris

4

4

4

4

4

4

Median

Abduksi ibu jari

3

3

3

3

3

3

Opposisi ibu jari

3

3

3

3

3

3

Flexor Pollicis LongusFlexor Digitorum Superfisialis (Jari

1)

3

3

3

3

3

3

Radial

Ekstensi pergelangan tangan

5

5

5

5

5

5

Common Peroneal

Dorsi Fleksi

0

5

0

5

0

5

Eversi

5

5

5

5

5

5

Extensor Hallucis – Ekstensi Jari

0

4

0

4

0

4

Posterior Tibial

Tibialis PosteriorFlexor Hallucis

4

4

4

4

4

4

Tabel 7. Hasil PengukuranFungsi Saraf Sensoris

Letak                 Pertemuan ke-2

Pertemuan ke-3

Pertemuan ke-4

Telapak tangan kanan

Jari kelingking tidak terasa

Jari kelingking tidak terasa

Jari kelingking tidak terasa

Telapak tangan kiri

Jari kelingking tidak terasa

Jari kelingking tidak terasa

Jari kelingking tidak terasa

Telapak kaki kanan

Seluruh bagian tidak terasa

Seluruh bagian tidak terasa

Seluruh bagian tidak terasa

Telapak kaki kiri

Seluruh bagian tidak terasa

Seluruh bagian tidak terasa

Seluruh bagian tidak terasa

Tabe 5., Tabel 6., dan Tabel 7. menunjukan hasil tes khusus selama tiga kali pertemuan tidak terdapat perubahan pada penebalan saraf, fungsi saraf mototis dan fungsi saraf sensoris.

Tabel 8. Hasil Pengukuran Kelembapan Kulit (Overall Dry Skin Score)

Tungkai          Pertemuan ke-1       Pertemuan ke-2       Pertemuan ke-3      Pertemuan ke-4

Dextra                         3                     3                     3                    2

Sinistra                           3                       3                       3                      2

Tabel 8. menunjukan setelah tiga kali pertemuan terdapat perubahan pada kelembapan kulit dipertemuan ketiga yang semula bernilai 3 (Sisik halus-kasar, terdistribusi seragam, kulit kasar) menjadi 2 (Sisik halus dan sedang, kulit kasar ringan dan tampilan warna keputihan) pada kedua tungkai dan ankle.

Tabel 9. Hasil Pengukuran Kemampuan Fungsional (Foot and Ankle Disability Index)

Aktivitas               Pertemuan ke-1 Pertemuan ke-2    Pertemuan ke-3    Pertemuan ke-4

Berdiri

3

3

3

3

Berjalan pada permukaan tanah

4

4

4

4

Berjalan pada permukaan tanah tanpa sepatu

4

4

4

4

Berjalan pada permukaan tidak rata

2

2

2

2

Berjalan pada permukaan yang

naik/turun

3

3

3

3

Tidur

4

4

4

4

Permulaan jalan

4

4

4

4

Jalan 10 menit

2

2

2

2

Tanggung jawab di rumah

4

4

4

4

Perawatan diri Aktivitas berat

4

4

4

4

(Mendorong/menarik, memanjat, membawa barang)

2

2

2

2

Menaiki tanjakan

3

3

3

3

Menuruni turunan

2

2

3

3

Menaiki tangga

3

3

3

3

Menuruni tangga

2

2

3

3

Lanjutan Tabel 9. Hasil PengukuranKemampuan Fungsional (Foot and Ankle Disability Index)

Aktivitas

Pertemuan ke-1

Pertemuan ke-2

Pertemuan ke-3

Pertemuan ke-4

Squat

1

1

2

2

Menyentuh jari-jari kaki

3

3

3

3

Berjalan kurang dari 5 menit

2

2

2

2

Berjalan 15 menit atau lebih

2

2

2

2

Aktivitas sehari-hari

4

4

4

4

Aktivitas ringan (berdiri dan

4

4

4

4

berjalan)

Rekreasi

3

3

3

3

Total

65

65

68

68

Tabel 10. Hasil Pemeriksaan Kualitas Nyeri

Klasifikasi nyeri

Pertemuan ke-1

Pertemuan ke-2

Pertemuan ke-3

Pertemuan ke-4

Nyeri general

4

4

4

4

Nyeri saat aktivitas normal

4

4

4

4

Nyeri saat istirahat

4

4

4

4

Nyeri di pagi hari

4

4

4

4

Total

16

16

16

16

Tabel 9. dan Tabel 10. menunjukan setelah tiga kali pertemuan, terdapat perubahan pada hari kedua yaitu pasien mampu squat yang awalnya terasa berat menjadi sedang dan pasien mampu menuruni tangga dan turunan yang awalnya terasa sedang menjadi ringan untuk dilakukan.

DISKUSI

Penelitian yang dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan terapi, didapatkan hasil yang berbeda dari komponen-komponen yang diukur. Pada pengukuran lingkup gerak sendi selama dilakukan tiga kali terapi didapatkan perubahan berupa penambahan pada pertemuan kedua di bidang sagital ankle kiri dan bidang frontal pada ankle kanan dan kiri serta perubahan pada pertemuan ketiga di bidang sagital pada plantar ankle kanan. Hal ini menunjukkan terdapat perubahan pada awal pengukuran dan akhir pengukuran di seluruh bidang namun tidak terdapat perubahan pada ankle kiri maupun kanan untuk gerakkan dorsi fleksi. Pada pengukuran kekuatan otot dalam tiga kali pertemuan terapi didapatkan hasil tidak terdapat perubahan. Hasil menunjukkan bahwa untuk gerakan dorsi fleksi ankle sinistra yaitu 0 dan ankle dextra yaitu 3, serta untuk gerakan pada bidang lain didapatkan 5. Pengukuran oedema yang menggunakan midline didapatkan terdapat pengurangan oedema pada pertemuan kedua dan ketiga di kedua ankle dan tungkai kanan maupun kiri. Hasil dari pengukuran kemampuan fungsional terdapat perubahan pada hari kedua yaitu pasien mampu squat yang awalnya terasa berat menjadi sedang dan pasien mampu menuruni tangga dan turunan yang awalnya terasa sedang menjadi ringan untuk dilakukan. Menurut penelitian Setiawan dkk. pada tahun 2021, pada pasien drop foot diberikan penanganan berupa stretching, ROM exercise, dan strengthening terbukti efektif untuk meningkatkan lingkup gerak sendi, kekuatan otot, dan kemampuan fungsional.13

Hasil tes khusus POD selama tiga kali pertemuan tidak terdapat perubahan pada penebalan saraf, fungsi saraf mototis dan fungsi saraf sensoris. Hasil didapatkan sama dari pertemuan 0 hingga 3. Menurut penelitian Putri dkk. pada tahun 2023, pada pasien morbus hansen multi basiler yang menggunakan intervensi berupa stretching release, active movement exercis, dan strengthening exercise didapatkan perubahan pada fungsi motoris dan sensoris setelah dilakukan terapi hingga 14 kali. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi tersebut efektif untuk fungsi motoris dan sensoris jika dilakukan treatment hingga 14 kali.6

Didapatkan setelah tiga kali pertemuan terdapat perubahan pada kelembapan kulit dipertemuan ketiga yang semula bernilai 3 (Sisik halus-kasar, terdistribusi seragam, kulit kasar) menjadi 2 (Sisik halus dan sedang, kulit kasar ringan dan tampilan warna keputihan) pada kedua tungkai dan ankle. Menurut penelitian Firdausi dkk. pada tahun 2023, pada pasien morbus hansen multibasiller diberikan intervensi berupa oiling treatment terdapat peningkatan kelembapan kulit setelah 4 kali treatment. Hal ini sejalan dengan penelitian ini bahwa oiling terbukti efektif untuk mengatasi xerosis dan meningkatkan kelembapan kulit.14

Penelitian menemukan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah kurangnya durasi penelitian yang hanya berjalan selama 2 minggu. Jika durasi penelitian bisa lebih dari 2 minggu, hasil yang diperoleh tentu lebih signifikan dibanding penelitian yang sudah peneliti lakukan. Perlu dilakukan penelitian dengan durasi yang lebih panjang untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang efektivitas terapi yang dilakukan. Dengan memperpanjang durasi penelitian, kita dapat melihat efek jangka panjang dari terapi tersebut dan memperoleh informasi yang lebih akurat tentang perubahan jangka panjang pada pasien. Disarankan untuk melakukan penelitian dengan kelompok kontrol yang sesuai. Dalam penelitian ini, mungkin berguna untuk membandingkan kelompok pasien yang menerima terapi dengan kelompok kontrol yang tidak menerima terapi. Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk mengevaluasi secara lebih akurat sejauh mana perbaikan yang terlihat dapat diatribusikan kepada terapi yang diberikan. Menambah jumlah sampel penelitian yang lebih besar dapat meningkatkan validitas hasil penelitian. Dalam penelitian ini, jumlah sampel mungkin terbatas, sehingga memperbesar sampel dapat membantu mengurangi variabilitas dan memberikan hasil yang lebih representatif. Mencakup opsi opini pasien dan penilaian kepuasan terhadap terapi yang diterima juga penting. Melibatkan pandangan pasien dalam penelitian dapat memberikan wawasan yang berharga tentang pengalaman mereka selama terapi dan membantu peneliti memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi. Dengan memperhatikan saran-saran ini, penelitian mendatang dapat lebih

mengatasi keterbatasan dan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang efektivitas terapi yang dilakukan.

Hasil penelitian ini dapat memberi pelajaran bahwa pentingnya kesadaran diri untuk menjaga kebersihan, karena kita tidak tahu apakah kita membawa virus ataupun bakteri kepada orang di sekeliling kita sehingga mampu menularkan penyakit ke orang lain. Peran kita untuk menjaga kebersihan tentu bisa membantu memutus mata rantai penularan penyakit ini. Meskipun penelitian ini dilakukan pada satu pasien, hasil yang ditemukan memberikan indikasi bahwa terapi tersebut dapat memberikan manfaat yang serupa pada pasien lain dengan kondisi yang serupa. Hal ini menunjukkan bahwa terapi tersebut memiliki potensi aplikasi yang lebih luas dalam penanganan kasus sejenis dan dapat menjadi pertimbangan untuk pasien-pasien dengan keluhan serupa dalam praktik klinis. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dan variasi kasus yang lebih luas untuk mengonfirmasi generalisasi tersebut.

SIMPULAN

Disimpulkan bahwa pasien pria yang berusia 37 tahun dengan mengeluhkan telapak kaki sebelah kanan tidak bisa digerakkan ke atas dan kesulitan saat berjalan dan jongkok serta kulit kering pada area kaki setelah dilakukan terapi berupa oiling, gait training, passive exercise, stretching exercise, active exercise, dan strengthening exercise didapatkan hasil terdapat penambahan lingkup gerak sendi, pengurangan oedema, penambahan kelembapan kulit dari xerosis dan penambahan kemampuan fungsional. Hasil penelitian memberikan pelajaran bahwa pentingnya kesadaran diri untuk menjaga kebersihan diri maupun lingkungan sekitar, dan potensi terapi tersebut dalam meningkatkan kondisi fisik dan fungsi pasien serta memberikan dasar untuk pengembangan terapi serupa pada kasus serupa di kemudian hari.

UCAPAN TERIMA KASIH ATAU INFORMASI LAINNYA

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang senantiasa mendukung serta memiliki peran pada penelitian “Penanganan Fisioterapi pada Morbus Hansen Multibasiler disertai Xerosis dan Drop Foot”. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumber informasi tambahan yang dapat membantu serta disebarluaskan kepada masyarakat. Dari pengakuan pasien setelah diberikan perawatan, beliau mengaku bahwa setelah diterapi, kakinya terasa lebih ringan dan kulit kering pada kaki berangsur berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Jayanti R, Pudjianto M. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Kontraktur Achilles Sinistra Et Causa Morbus Hansen Multi Basiler. 2018.

  • 2.    Hendra T. Diagnosis and Management of Leprosy. Med Prof J Lampung. 2022;11(2):247-250.

  • 3.    Prihastomo T, Sudaryanto WT. Nerve Function Examination as a Screening for Prevention of Disability in Morbus Hansen at Kelet General Hospital, Central Java: A Case Report. Open Access Indones J Med Rev. 2022;2(6):287-290.

  • 4.    Agnesia DP. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Drop Foot Dextra dengan Modalitas Infrared, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation dan Terapi Latihan. 2022. https://eprints.uwhs.ac.id/1338/.

  • 5.    Lusmana RLW. Pengaruh Rose Body Butter Terhadap Xerosis Pada Kaki. 2021.

  • 6.    Undzira Z, Putri K, Pristianto A, Prihastomo T, Fisioterapi PP, Surakarta UM. Manajemen Fisioterapi Pada Pasien Drop Foot E . C . Morbus Hansen Multi Basiler: Studi Kasus. 2023;2(April):342-352.

  • 7.    Kurniawan R. Case Report Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Frozen Shoulder. J Innov Res Knowl. 2021;1(7):435-440.

  • 8.    Hapsari AI, Rosyid FN, Irianti AD. Efektifitas Thermo Terapy (Terapi Hangat) untuk Meredakan Nyeri Dada pada Pasien Acute Coronary Syndrome (ACS) di Ruang ICCU RS Soeradji Tirtonegoro Klaten: Case Report. Proceeding Natl Heal Conf Sci. 2022.

  • 9.    Ebenezer GJ, Scollard DM. Treatment and Evaluation Advances in Leprosy Neuropathy. Neurotherapeutics. 2021;18(4):2337-2350. doi:10.1007/s13311-021-01153-z

  • 10.    Pristianto A, Rahman F. Terapi Latihan Dasar. In: Muhammadiyah University Press; 2018.

  • 11.    Muthiah S, Hendrik H, Suharto S. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Gangguan Fungsional Berjalan Akibat Fraktur 1/3 Distal Cruris Dextra Post Pemasangan Plate and Screw di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar 2013. Media Fisioter Politek Kesehat Makassar. 2019;11(1):20-31.

  • 12.    Setiawan D, Pristianto A. Program Fisioterapi pada Kondisi Drop Foot Pasca Total Hip Arthroplasty: A Case Report. Physio J. 2022;1(2):15-20.

  • 13.    Setiawan D, Pristianto A. Program Fisioterapi pada Kondisi Drop Foot Pasca Total Hip Arthroplasty: A Case Report. Physiotherapy. 2021;1:1-6.

  • 14.    Firdausi AI, Herawati I, Prihastomo T. Managemen Fisioterapi pada Kasus Xerosis EC Morbus Hansen Multi Basiller di RS Kusta Kelet Donorojo (Studi Kasus). J Innov Res Knowl. 2023;2(12):4553-4560.

Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 11, Nomor 2 (2023), Halaman 202-207, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi |207|