E-Jurnal Manajemen, Vol. 11, No. 3, 2022 : 614-634

ISSN : 2302-8912


DOI: https://doi.org/10.24843/EJMUNUD.2022.v11.i03.p10

MODEL HUBUNGAN KOMPLEKSITAS PEKERJAAN, BEBAN KERJA, STRES KERJA, DAN KEPUASAN KERJA GURU SMA PADA YAYASAN PENDIDIKAN XYZ DI SURABAYA

Marcel Samallo1 Fenika Wulani 2

1, 2Sekolah Pascasarjana, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Indonesia

Email: [email protected]

ABSTRAK

Guru merupakan sumber daya penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dan kepuasan kerja adalah salah satu sikap kerja yang bisa meningkatkan kinerja mereka. Oleh karenanya, sekolah perlu memahami faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kepuasan kerja guru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh kompleksitas pekerjaan dan beban kerja pada stres kerja, pengaruh stres kerja pada kepuasan kerja, dan efek mediasi stres kerja pada hubungan antara kompleksitas pekerjaan dan beban kerja dengan kepuasan kerja guru. Responden studi ini adalah seratus sepuluh guru di tiga SMA di Surabaya yang dikelola oleh yayasan pendidikan XYZ di Surabaya. Data dikumpulkan dengan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan PLS-SEM. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kompleksitas pekerjaan dan beban kerja berpengaruh positif terhadap stres kerja, dan stres kerja memediasi hubungan antara kompleksitas pekerjaan dan beban kerja dengan kepuasan kerja. Berbeda dari yang dihipotesiskan, stres kerja berpengaruh positif pada kepuasan kerja.

Kata kunci: kompleksitas pekerjaan, beban kerja, stres kerja, kepuasan kerja, guru

ABSTRACT

Teachers are an important resource to improve the quality of education, and job satisfaction is one of the work attitudes that can improve their performance. Therefore, schools need to understand the factors that can affect teacher job satisfaction. The purpose of this study was to identify the effect of work complexity and workload on job stress, the effect of job stress on job satisfaction, and the mediating effect of job stress on the relationship between work complexity and workload and teacher job satisfaction. The respondents of this study were one hundred and ten teachers in three high schools in Surabaya, which the XYZ educational foundation in Surabaya managed. Data were collected by questionnaire and analysed using PLS-SEM. This study indicates that work complexity and workload have a positive effect on job stress, and job stress mediates the relationship between work complexity and workload and job satisfaction. Different from the hypothesis, job stress has a positive effect on job satisfaction.

Keywords: work complexity, workload, job stress, job satisfaction, teacher

PENDAHULUAN

Kepuasan kerja guru adalah faktor penting yang perlu menjadi perhatian sekolah karena perannya dalam menentukan kualitas (Toropova et al., 2021) dan kinerja guru (Hong et al., 2021). Guru yang puas akan memberikan kualitas kerja lebih baik, lebih memberikan dukungan pada siswa dan berkomitmen pada pekerjaannya (Toropova et al., 2021). Namun demikian, memasuki tahun 2020 terjadi krisis global akibat pandemi yang dirasakan oleh semua orang. Dampak krisis begitu luar biasa sehingga menorehkan permasalahan di banyak bidang kehidupan. Semua pihak telah berupaya dengan sekuat tenaga untuk meredam krisis ini, tetapi pada kenyataannya, krisis tetap menyerang dan memberikan dampak. Dunia pendidikan menjadi salah satu bidang yang sangat terdampak (Hong et al., 2021). Kegiatan belajar mengajar terhenti sesaat, tersentak oleh keharusan untuk mengubah metode pembelajaran menjadi metode belajar yang sesuai dengan protokol kesehatan, tanpa mengurangi esensi dari pendidikan. Perubahan itu pun harus dilakukan dengan cepat dan segera sehingga sedikit banyak dimungkinkan dapat membawa tekanan dan masalah baru bagi sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa.

Para guru dituntut untuk menjalankan lebih banyak peran, tidak hanya dalam hal efektifitas belajar mengajar namun juga memotivasi siswa untuk memperhatikan protokol kesehatan, dan memberikan dukungan emosional bagi siswanya (Adit, 2020). Bahkan guru diminta untuk cepat beradaptasi dengan cara belajar mengajar baru dan menguasai teknologi pembelajaran virtual (Hendrawan, 2021). Oleh karenanya, adalah dimungkinkan para guru mengalami adanya kompleksitas pekerjaan dan beban kerja yang meningkat. Kompleksitas pekerjaan dan beban kerja yang berlebihan bisa mempengaruhi kepuasan kerja (Chan, Song & Yao, 2014; Inegbedion et al., 2020). Namun demikian, beban kerja yang berlebihan juga bisa menimbulkan stres kerja (Ingusci et al., 2021). Bahkan guru yang memiliki beban kerja yang berlebihan dapat mengalami stres kerja yang dicirikan dengan sakit kepala, punggung, dan beberapa sakit lainnya (Kongcharoen et al., 2020). Lebih lanjut, kompleksitas pekerjaan juga bisa berdampak pada munculnya stres kerja (Xie & Johns, 1995).

Stres kerja terjadi ketika individu mempersepsikan adanya tuntutan yang melebihi kemampuan mereka untuk memenuhinya (Rabenu, Tziner & Sharoni, 2017). Respon individu pada stres kerja ini bisa secara fisik dan psikis (Junaedi & Wulani, 2021), seperti sakit kepala, kelelahan, dan kecemasan (Cohen & Wills, 1985). Beberapa studi telah menemukan bahwa stres kerja bisa berdampak pada kepuasan kerja (Sesen & Ertan, 2021; Singh & Nayak, 2015; Yousaf et al., 2020). Studi-studi tersebut menyebutkan bahwa karyawan yang mempersepsikan adanya beban kerja berlebih akan mengalami stres kerja. Stres kerja juga bisa didorong oleh adanya kompleksitas dan sulitnya pekerjaan (Sesen & Ertan, 2021). Dengan demikian, dapat dibuat simpulan bahwa pada situasi pandemi ini, tuntutan kerja guru berupa kompleksitas pekerjaan dan beban kerja yang berlebihan dimungkinkan bisa beresiko pada meningkatnya stres kerja dan menurunnya kepuasan kerja. Tentunya konsekuensi ini dapat merugikan sekolah, yang juga dituntut untuk menghasilkan kinerja guru yang tinggi. Namun demikian, masih belum banyak studi yang menginvestigasi hubungan antara kompleksitas pekerjaan

dan stres kerja pada guru. Lebih lanjut, peran mediasi stres kerja sebagai mekanisme yang menjelaskan proses pengaruh kompleksitas pekerjaan dan beban kerja pada kepuasan kerja guru juga belum banyak dieksplorasi.

Model hubungan yang dibangun dalam studi ini berbasis pada teori conservation of resources (COR). COR adalah teori yang penting digunakan untuk memahami stres di organisasi (Hobfoll et al., 2018). Prinsip teori COR adalah bahwa kehilangan sumberdaya dapat berpengaruh secara cepat pada individu dan bahwa individu harus berinvestasi pada sumberdaya untuk mencegah hilangnya sumberdaya dan mengganti sumberdaya yang hilang (Hobfoll et al., 2018). Sumberdaya ini bisa berupa kekuatan, pengetahuan, koneksi sosial (Hobfoll et al., 2015), waktu dan kondisi pekerjaan (Leung et al., 2020). Pekerjaan yang berlebih dan kompleks bisa meminta individu mengeluarkan sumberdaya lebih bahkan kehilangan sumberdaya tersebut (Bai et al., 2021). Mengacu pada teori COR, stres kerja dapat muncul sebagai akibat individu yang merasakan adanya ancaman kehilangan sumberdaya (Hobfoll et al., 2018) dan bahwa stres kerja dapat berdampak negatif pada sikap kerja (Yousaf et al., 2020) seperti kepuasan kerja (Westman et al., 2004). Para guru yang mengalami adanya tuntutan pekerjaan semakin tinggi yaitu tugas-tugasnya menjadi semakin kompleks dan meningkat jumlahnya dimungkinkan akan terserap sumberdayanya, seperti waktu, tenaga, dan pengetahuannya. Hal ini akan memunculkan stres kerja yang ditandai dengan kondisi fisik dan psikis yang menurun. Sebagai konsekuensinya, kepuasan kerja guru dimungkinkan akan terganggu.

Studi ini dilakukan pada guru-guru yang bekerja di tiga Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dikelola oleh yayasan pendidikan XYZ di Surabaya. Selama masa pandemi ini, guru-guru di tiga SMA tersebut mengalami tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi. Waktu mereka banyak dihabiskan untuk mempersiapkan pembelajaran jarak jauh, seperti membuat materi dalam bentuk video atau presentasi dengan aplikasi tertentu. Para guru diminta memastikan siswanya mengikuti pembelajaran daring dan memahami berbagai karakter dan sikap mereka, melengkapi administrasi sekolah dan terus-menerus membangun komunikasi dengan sekolah, siswa, bahkan orang tua mereka, baik itu di jam kerja maupun di luar jam kerja. Mereka diminta mengikuti berbagai pelatihan daring, seperti penggunakan aplikasi learning management system (LMS) yang dipakai selama pembelajaran daring. Lebih lanjut, mereka juga diminta mempersiapkan promosi-promosi sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan oleh yayasan pendidikan XYZ. Dengan berbagai aktivitas tersebut, maka dimungkinkan para guru di tiga SMA tersebut mengalami stres kerja. Studi ini bertujuan untuk menginvestigasi dampak kompleksitas pekerjaan dan beban kerja pada stres kerja, dampak stres kerja pada kepuasan kerja, dan peran mediasi stres kerja pada hubungan antara faktor-faktor tuntutan kerja dan kepuasan kerja guru di tiga SMA yang bernaung di bawah yayasan pendidikan XYZ di Surabaya.

Kompleksitas pekerjaan merupakan sejauh mana tugas-tugas dari suatu pekerjaan itu kompleks dan sulit (Morgeson & Humphrey, 2006), tugas yang tidak terstruktur dan membingungkan (Mohd-Sanusi & Mohd-Iskandar, 2007), dan memberikan tantangan yang membutuhkan sumberdaya personal untuk

menyelesaikannya (Bai et al., 2021). Kompleksitas juga bisa merujuk pada beranekaragamnya tugas yang membutuhkan lebih banyak pengetahuan (Shalley et al., 2009), melibatkan sejumlah komponen dan informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya serta adanya kerumitan di dalamnya (Mohd-Sanusi & Mohd-Iskandar, 2007). Dengan demikian, kompleksitas pekerjaan dapat bercirikan adanya tugas-tugas yang bervariasi, menantang, sulit dan rumit, melibatkan banyak komponen dan infomasi, serta membutuhkan sumberdaya seperti pengetahuan yang beragam untuk menyelesaikannya. Mengacu Kyndt et al. (2011), kompleksitas pekerjaan dapat diukur berbasis persepsi seseorang atas pekerjaannya. Kompleksitas pekerjan dapat dipersepsikan sebagai reaksi seseorang atas karaktersitik tugas dengan alasan seperti pengenalan mereka atas tugas, ketersediaan waktu, informasi, dan sumberdaya (Kyndt et al., 2011). Dengan demikian, persepsi ini menimbulkan kemungkinan bahwa suatu tugas sulit bagi seseorang, namun mungkin juga mudah bagi orang lain. Lebih lanjut, informasi yang berubah-ubah, banyaknya jumlah informasi yang harus diproses dan tahapan pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan mengindikasikan adanya kompleksitas pekerjaan yang akan dihadapi oleh karyawan (Saraswati & Hrp, 2019).

Beban kerja merupakan tuntutan kerja yang dihadapi karyawan untuk bekerja dan memberikan respon lebih cepat, serta melakukan beberapa tugas dengan batas waktu tertentu (Ingusci et al., 2021). Lebih lanjut, beban kerja juga bisa merujuk pada jumlah penugasan yang diberikan kepada seseorang dengan suatu waktu tertentu (Inegbedion et al., 2020), waktu yang dikorbankan untuk menyelesaikan tugas pekerjaan (Buckimham, 2004), dan tugas-tugas yang memerlukan banyak usaha dan melelahkan (Macdonald, 2003). Berdasarkan pengertian beban kerja di atas dapat disimpulkan bahwa beban kerja adalah tuntutan pekerjaan berupa sejumlah penugasan yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu yang bisa mengorbankan waktu seseorang atas kegiatannya yang lain.

Stres kerja merupakan respon individu secara fisik dan psikis sebagai akibat kurangnya sumberdaya yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas-tugasnya (Harms et al., 2017). Sumberdaya bisa merujuk pada kemampuan seseorang dalam menghadapi stres, waktu, informasi, dan pengetahuan (Hobfoll, 1989). Salah satu sumber stres adalah kondisi pekerjaan dan respon orang atas stressor tersebut bisa berupa masalah kesehatan fisik seperti sakit kepala dan masalah psikis seperti kecemasan (Junaedi & Wulani, 2021). Lebih lanjut, individu akan mengalami stres ketika dihadapkan pada teknologi informasi dan kebutuhan pengetahuan serta keahlian terkait (Ingusci et al., 2021). Secara khusus, stres kerja juga dialami guru terkait berbagai tuntutan pekerjaan yang menimbulkan respon mereka berupa gangguan atas kesehatan mental, dan fisik seperti sakit kepala, tenggorokan dan saraf (Kongcharoen et al., 2020).

Kepuasan kerja merupakan bagian dari sikap kerja (Wagner, 2017) dan penilaian individu atas berbagai aspek pekerjaannya sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan (Meier & Spector, 2015). Kepuasan kerja juga dapat dinyatakan sebagai keadaan emosional karyawan di mana terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja oleh perusahaan dengan tingkat balas jasa yang diinginkan karyawan (Priyono & Marnis, 2008). Kepuasan kerja juga bisa merujuk pada situasi

menyenangkan atas pengalaman kerjanya (Fila et al., 2014). Jadi individu akan puas jika ia mendapatkan perlakuan baik di pekerjaannya (Fila et al., 2014). Individu yang puas dalam pekerjaannya akan berkomitmen (Fila et al., 2014), berperilaku positif seperti perilaku citizenship (Wulani & Junaedi, 2020) dan berdampak pada kinerja dan keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya (Silen, 2016).

Mengacu teori conservation of resources (COR), orang bisa mengalami stres ketika mereka merasa mengalami ancaman dari lingkungannya atau tuntutan situasional yang berakibat pada habisnya sumberdaya mereka, dan ketika mereka tidak bisa memperoleh sumberdaya penting meskipun sudah diusahakan (Hobfoll, 1989; Hobfoll et al., 2018). Tuntutan situasional karyawan bisa jadi adalah pekerjaannya, misalnya jumlah tugas, tingkat kesulitan, dan kompleksnya suatu tugas yang harus diselesaikan dalam batas waktu tertentu. Merujuk pada Hobfoll (1989), investasi individu berupa waktu dan tenaga bisa jadi tidak cukup untuk memenuhi tuntutan (misalnya pekerjaan) yang dihadapinya (Hobfoll, 1989). Situasi ini bisa menjadi ancaman kehilangan sumberdaya bagi individu (Hobfoll et al., 2018). Selanjutnya individu yang kekurangan sumberdaya ini akan mengalami strain atau reaksi atas stres-nya seperti kecemasan dan kelelahan (Crawford, LePine & Rich, 2010). Berbasis pada teori COR ini, dapat diargumentasikan bahwa individu yang mempersepsikan bahwa dirinya memperoleh beban kerja berlebihan dan kompleksitas pekerjaan yang tinggi namun sumberdaya yang dimilikinya tidak cukup akan mengalami stres kerja.

Karyawan yang mempersepsikan bahwa pekerjaannya adalah kompleks yaitu memiliki tugas-tugas yang sulit dan tidak sederhana dimungkinkan akan lebih terserap sumberdayanya. Beban kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang membutuhkan sumber daya fisik dan mental seseorang maka persepsi akan beban kerja dapat menimbulkan stres (Kyndt et al., 2011). Apalagi karena beban kerja melibatkan batas waktu tertentu dan besarnya jumlah penugasan (Inegbedion et al., 2020), maka sangat dimungkinkan individu yang mempersepsikan adanya beban kerja yang tinggi akan mengalami stres. Studi Macdonald (2003) dan Ingusci et al. (2021) menemukan bahwa semakin tinggi beban kerja semakin tinggi pula stres kerja. Belum banyak studi yang menginvestigasi hubungan antara kompleksitas pekerjaan dan stres kerja, namun studi Wu, Peng dan Estay (2018) menemukan bahwa kompleksitas pekerjaan berhubungan positif dengan stres individu akan peran pekerjaannya.

Pada konteks pekerjaan sebagai guru, sumberdaya bisa meliputi waktu, tenaga, pikiran para guru yang dilimpahkan untuk menyelesaikan berbagai tugas yang bisa jadi belum pernah dilakukan secara sepenuhnya di masa lalu. Misalnya saja menggunakan aplikasi berbasis teknologi, memotivasi siswa, dan berkomunikasi dengan orang tua siswa. Kegiatan ini dimungkinkan bisa meningkatkan persepsi akan kompleksnya tugas mereka. Demikian juga dengan beban kerja mereka yaitu sejumlah tugas yang sebelumnya tidak menjadi jenis tugas yang harus mereka selesaikan. Bahkan mereka harus menyelesaikan tumpukan tugas tersebut dalam batas waktu tertentu. Adalah dimungkinkan bahwa tingginya kompleksitas pekerjaan dan beban kerja ini bisa memunculkan persepsi kurang bahkan habisnya sumber daya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sebagai

konsekuensi, tuntutan pekerjaan ini akan meningkatkan stres kerja. Berdasarkan pembahasan tersebut, studi ini menawarkan hipotesis sebagai berikut:

H1: Kompleksitas pekerjaan memiliki pengaruh positif pada stres kerja.

H2: Beban kerja memiliki pengaruh positif pada stres kerja.

Kepuasan kerja merupakan kondisi menyenangkan yang dialami individu di pekerjaannya (Hong, Liu & Zhang, 2021). Individu yang mengalami stres akan menunjukkan reaksi kecemasan, kemarahan, dan masalah kesehatan fisik. Mengacu teori COR, individu bisa mengalami stres akibat berkurang atau kehabisan sumberdayanya (Hobfoll et al., 2018). Ketiadaan sumberdaya ini akan berdampak pada berkurangnya kesehatan dan kepuasan akan hidupnya (Yu, Lau & Lau, 2021). Lebih lanjut, karena ketidakcukupan atau kehabisan sumberdaya ini, individu bisa mengalami kondisi kesehatan yang buruk dan ketidakmampuan melakukan pekerjaan seperti yang diharapkan. Sebagai akibatnya, individu yang mengalami stres dapat berpersepsi bahwa kondisi pekerjaan tidak menyenangkan. Secara empiris studi oleh Brewer dan McMaha-Landers (2003) menunjukkan adanya hubungan antara stres kerja dan kepuasan kerja. Beberapa studi juga menemukan adanya hubungan negatif antara stres kerja dan kepuasan kerja (misalnya, Yousaf et al., 2020; Sesen & Ertan, 2021). Lebih lanjut, studi von der Embse et al. (2016) menemukan bahwa guru yang mengalami stres berkurang kepuasan kerjanya. Dengan demikian, individu yang mengalami stres kerja yang ditandai dengan adanya masalah kesehatan dan ketidakmampuan mengerjakan tugas seperti yang seharusnya akan mengalami penurunan kepuasan kerja. Berbasis pembahasan ini, penelitian saat ini memberikan hipotesis:

H3: Stres kerja memiliki pengaruh negatif pada kepuasan kerja.

Baik kompleksitas pekerjaan maupun beban kerja merupakan bentuk faktor kondisi pekerjaan yang jika dipersepsikan tinggi oleh individu akan meningkatkan stres mereka (Ingusci et al., 2021; Wu et al., 2018). Pengalaman stres ini bisa terlihat dari reaksi individu atas stresnya, seperti berkurangnya kesehatan fisik dan psikis (Kongcharoen et al., 2020). Sebagai konsekuensinya, individu dimungkinkan memberikan penilaian negatif atau memiliki emosi negatif atas pengalaman kerjanya. Penilaian negatif ini merujuk pada berkurangnya kepuasan kerja (Singh & Nayak, 2015). Beberapa studi telah menginvestigasi peran stres kerja sebagai variabel mediasi pada hubungan antara faktor-faktor pekerjaan dan kepuasan kerja (misalnya, Sesen & Ertan, 2021; Singh & Nayak, 2015). Oleh karena itu, dalam studi ini, kompleksitas pekerjaan dan beban kerja sebagai faktor-faktor terkait pekerjaan dimungkinkan dapat meningkatkan stres kerja dan selanjutnya menurunkan kepuasan kerja guru. Hipotesis yang diberikan adalah:

H4: Pengaruh kompleksitas pekerjaan pada kepuasan kerja dimediasi oleh stres kerja.

H5: Pengaruh beban kerja pada kepuasan kerja dimediasi oleh stres kerja.

Model hubungan antara kompleksitas pekerjaan, beban kerja, stres kerja, dan kepuasan kerja ditunjukkan pada gambar 1. Pada gambar 1 juga ditampilkan jalur hubungan antar variabel dan informasi mengenai hipotesis pada tiap jalur tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang menggunakan data berupa angka-angka dan dianalisis secara statsitik (Kuncoro, 2007:20-23). Dalam penelitian ini terdapat empat variabel penelitian yang meliputi dua variabel eksogen yaitu kompleksitas pekerjaan dan beban kerja, variabel mediasi yaitu stres kerja, dan variabel endogen yaitu kepuasan kerja.

Studi ini menggunakan metode penyampelan jenuh yaitu sampel adalah seluruh anggota populasi. Responden pada studi ini adalah seluruh guru tetap yang bekerja di tiga SMA di Surabaya. Ketiganya adalah sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan yayasan pendidikan XYZ di Surabaya. Studi ini menggunakan sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari survei lapangan (Kuncoro, 2007:25) atau langsung dari responden. Data dikumpulkan dengan mendistribusikan kuesioner melalui google form kepada 110 (seratus sepuluh) guru tetap. Masing-masing adalah, 50 (lima puluh) guru di SMA pertama, 40 (empat puluh) guru di SMA kedua, dan 20 (dua puluh) guru di SMA ketiga. Seluruh kuesioner yang kembali lengkap terisi dapat digunakan dalam pengujian hipotesis.

Kuesioner studi ini meliputi isian mengenai profil data respoden dan pernyataan indikator-indikator dari konstruk penelitian. Responden diminta melengkapi profilnya yang meliputi data gender, usia, pendidikan, dan lama bekerja sebagai guru. Pengisian kuesioner ini bersifat anonim, yaitu responden tidak diminta untuk mencantumkan nama mereka. Hal ini adalah salah satu cara untuk mengurangi bias pengisian kuesioner (Podsakoff et al., 2003). Sedangkan konstruk penelitian ini meliputi kompleksitas pekerjaan, beban kerja, stres kerja, dan kepuasan kerja. Pengukuran konstruk menggunakan instrumen survei yang sudah

pernah digunakan dalam berbagai penelitian lain. Kompleksitas pekerjaan merupakan persepsi individu mengenai sejauh mana tugas-tugas pekerjaannya adalah sulit dan tidak sederhana. Variabel ini diukur dengan mengadopsi empat indikator dari Morgeson dan Humphrey (2006). Beban kerja merupakan persepsi individu mengenai banyaknya tugas yang harus diselesaikan dan mengganggu kehidupan di luar kerjanya. Variabel ini diukur dengan mengadopsi empat indikator dari Buckimham (2004). Stres kerja merupakan kondisi individu yang mengalami dampak tekanan pekerjaan yang ada. Variabel ini diukur dengan mengadopsi tujuh indikator dari Anderson, Coffey dan Byerly (2002). Lebih lanjut, kepuasan kerja merupakan perasaan senang individu terhadap pekerjannya. Pengukuran kepuasan kerja dilakukan dengan mengadopsi tiga indikator yang dipakai dalam penelitian Wulani dan Junaedi (2020). Responden diminta untuk merespon pernyataan-pernyataan (indikator penelitian) dalam kuesioner pada skala lima poin (1 = sangat tidak setuju – 5 = sangat setuju).

Data responden yang telah terkumpul masuk pada tahap analisis data. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan software PLS – SEM (Partial Least Squares- Structural Equation Modeling). Dalam pengolahan data dengan PLS-SEM ini, analisis data dilakukan dengan dua tahapan yaitu pengujian model pengukuran (measurement model/outer model) dan pengujian model struktural (structural model/inner model). Pengujian model pengukuran bertujuan untuk menguji kualitas data yang meliputi pengujian validitas dan reliabilitas. Pengujian validitas terdiri dari dua uji yaitu validitas konvergen dan diskriminan. Validitas konvergen merupakan sejauhmana indikator-indikator suatu konstruk berkorelasi secara positif (Hair et al., 2017). Adanya validitas konvergen pada data diperoleh dari hasil nilai outer loading dan nilai average variance extracted (AVE). Sedangkan validitas diskriminan merupakan sejauh mana suatu konstruk berbeda dengan konstruk lainnya. Pada Penelitian ini, pengujian validitas diskriminan menggunakan pendekatan cross-loading. Dalam pendekatan ini, validitas diskriminan dicapai jika korelasi indikator-indikator dengan konstruknya lebih tinggi dibanding korelasi mereka dengan konstruk lainnya (Hair et al., 2017). Lebih lanjut, reliabilitas suatu konstruk dilihat dari nilai composite reliability (CR) yang menunjukkan sejauhmana adanya konsistensi reliabilitas internal (Hair et al., 2017).

Selanjutnya, tahap pengujian model struktural dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian. Pada pengujian ini, signifikasi pengaruh variabel eksogen terhadap endogen didasarkan pada nilai t hitung dan nilai p. Besaran dan arah pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen dapat diidentifikasi berbasis nilai koefisien jalur. Sedangkan sejauhmana variabel endogen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel eksogen ditunjukkan dari nilai R square atau koefisien determinasi (Hair et al., 2017).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari distribusi kuesioner adalah bahwa seluruh kuesioner kembali lengkap terisi dan dapat digunakan dalam pengolahan data. Berdasarkan Tabel 1, keseratus sepuluh responden studi ini meliputi perempuan sebanyak 71 guru (64,5%) dan laki-laki berjumlah 39 guru (35,5%). Mereka berusia pada rentang

kurang dari 30 tahun sampai lebih dari sama dengan 50 tahun. Sebagian besar responden berada di usia kurang dari 30 tahun yaitu sebanyak 32 orang (29,1%). Jumlah responden terbesar kedua berada pada rentang usia lebih besar sama dengan 50 tahun yaitu sebanyak 30 orang (27,3%) dan jumlah responden terbesar ketiga berada pada rentang usia 30 sampai kurang dari 35 tahun sebanyak 27 responden (24,5%).

Tabel 1 juga menunjukan bahwa responden dengan pendidikan terakhir tamatan S1 (strata 1) sebanyak 85 orang (77,3%). Jumlah ini lebih banyak dibandingkan responden dengan pendidikan terakhir tamatan S2 (strata 2) yaitu sebanyak 25 orang (22,7%). Lebih lanjut, responden dalam penelitian ini memiliki lama bekerja kurang dari 5 tahun sampai lebih besar sama dengan 30 tahun. Sebagian besar responden memiliki lama bekerja pada rentang 5 sampai kurang dari 10 tahun yaitu sebanyak 37 orang (33,6%). Jumlah responden terbesar kedua memiliki lama bekerja kurang 5 tahun yaitu sebanyak 25 orang (22,7%). Sedangkan responden terbesar ketiga memiliki lama bekerja pada rentang 25 sampai kurang dari 30 tahun sebanyak 13 orang (11,8%). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa responden studi ini mayoritas adalah perempuan (64,5%), berusia kurang dari 35 tahun (53,6%), berpendidikan terakhir adalah S1 (77,3%), dan telah bekerja kurang dari 10 tahun (56,3%).

Tabel 1.

Profil Responden

Profil

Katagori

Frekuensi

Persentase

Gender

Laki-laki

39

35,5%

Perempuan

71

64,5%

Total responden

110

100%

Pendidikan terakhir

S1

85

77,3%

S2

25

22,7%

Total responden

110

100%

Usia (dalam tahun)

< 30

32

29,1%

30 - < 35

27

24,5%

35 - < 40

7

6,4%

40 - < 45

5

4,5%

45 - < 50

9

8,2%

> =50

30

27,3%

Total responden

110

100%

Lama kerja (dalam

< 5

25

22,7%

tahun)

5 - < 10

37

33,6%

10 - < 15

7

6,4%

15 - < 20

11

10%

20 - < 25

10

9,1%

25 - < 30

13

11,8%

≥ 30

7

6,4%

Total responden

110

100%

Sumber: data diolah (202

1)

Selanjutnya, dilakukan pengolahan data responden yang terkumpul dengan menggunakan alat analisis PLS-SEM. Analisis ini meliputi dua tahapan. Pertama, untuk menganalisis kualitas data dilakukan pengujian model pengukuran (outer model). Dalam pengujian model pengukuran dapat diidentifikasi hasil uji reliabilitas dan uji validitas. Kedua, dilakukan pengujian model struktural (inner model). Pada pengujian model struktural ini dapat diidentifikasi nilai koefisien jalur pada tiap hubungan antar variabel yang diuji dan signifikansi hubungan tersebut.

Pada pengujian model pengukuran dilakukan pengujian reliabilitas dan validitas. Hasil uji menunjukkan bahwa reliabilitas terpenuhi yaitu berbasis nilai pada composite reliability (atau disingkat CR) yang melebihi angka 0,8. Konstruk kompleksitas pekerjaan, beban kerja, stres kerja, dan kepuasan kerja memiliki nilai CR lebih dari 0,8 yang menunjukkan adanya reliabilitas yang baik (Hair et al., 2017). Hasil pengujian reliabilitas ditampilkan pada tabel 2.

Tabel 2.

Hasil Uji Reliabilitas

Variabel

Composite Reliability (CR)

Kompleksitas pekerjaan (KOMP)

0,837

Beban kerja (BK)

0,847

Stres Kerja (SK)

0,858

Kepuasan Kerja (KEP)

0,906

Sumber: data diolah (2021)

Pengujian validitas terdiri dari uji validitas konvergen dan uji validitas diskriminan. Pengujian validitas konvergen berbasis pada nilai dari outer loading dan nilai dari average variance extracted (AVE). Outer loading pada seluruh indikator dari variabel kompleksitas pekerjaan, beban kerja, stres kerja, dan kepuasan kerja telah menunjukkan nilai yang melebihi 0,6. Lebih lanjut, AVE seluruh variabel penelitian menunjukkan nilai lebih besar dari 0,5. Dengan demikian seluruh indikator penelitian dapat dikatakan valid (Hair et al., 2017). Tabel 3 menunjukkan hasil uji validitas konvergen.

Tabel 3.

Hasil Uji Validitas Konvergen

Variabel       AVE Indikator               KOMP BK SK     KEP

Kompleksitas              Komp 1 Saya diminta untuk     0,743

pekerjaan (KOMP) 0,563 menyelesaikan banyak tugas

secara bersamaan

Bersambung…

Lanjutan Tabel 3…

Variabel

AVE

Indikator

KOMP

BK

SK    KEP

Komp 2 Tugas pekerjaan yang saya lakukan terlalu sulit

0,732

Komp 3 Pekerjaan saya termasuk tugas-tugas yang sulit untuk dilakukan

0,813

Komp 4 Pekerjaan saya termasuk tugas-tugas yang tidak sederhana

0,810

Beban kerja (BK)

0,649

BK 1 Waktu kerja saya tidak cukup untuk menyelesaikan tugas harian

0,782

BK 2 Pekerjaan saya terlalu mengganggu kehidupan pribadi saya

0,746

BK 3 Saya merasa sulit menyeimbangkan komitmen saya terhadap pekerjaan dan keluarga

0,699

BK 4 Saya memiliki sedikit waktu untuk diri saya, karena jam kerja yang begitu padat

0,770

Stres Kerja (SK)

0,601

SK 1 Pekerjaan yang saya lakukan sangat menguras emosi

0,660

SK 2 Setiap jam kerja berakhir, saya merasa lelah

0,808

SK 3 Saya merasa lelah ketika saya bangun di pagi hari dan menghadapi aktifitas berikutnya

0,788

SK 4 Saya merasa stres

0,789

SK 5 Saya mengalami masalah kesehatan ringan seperti sakit kepala, insomnia, atau sakit perut

0,747

SK 6 Saya merasa gugup

0,710

Bersambung…

Lanjutan Tabel 3…

Variabel

AVE

Indikator

KOMP BK

SK

KEP

SK 7 Saya merasa tidak mampu untuk mengerjakan pekerjaan saat stres

0,812

Kepuasan Kerja (KEP)

0,579

Kep 1 Saya puas dengan pekerjaan saya

0,756

Kep 2 Saya menyukai pekerjaan saya

0,825

Kep 3 Saya senang bekerja                              0,835

disini

Sumber: data diolah (2021)

Pengujian validitas diskriminan menggunakan pendekatan cross loading. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai korelasi suatu indikator dengan konstruknya adalah lebih besar dibanding nilai korelasinya dengan konstruk lainnya. Oleh karenanya, semua konstruk dapat dikatakan memiliki validitas diskriminan, yaitu tiap konstruk adalah menangkap fenomena yang berbeda satu sama lain (Hair et al., 2017). Tabel 4 menampilkan hasil dari uji validitas diskriminan.

Tabel 4.

Hasil Uji Validitas Diskriminan

Beban Kerja (BK)

Kepuasan

Kerja (KEP)

Kompleksitas

Kerja (KOMP)

Stres Kerja (SK)

BK1

0.782

0.565

0.600

0.695

BK2

0.746

0.590

0.606

0.616

BK3

0.699

0.548

0.572

0.594

BK4

0.770

0.576

0.553

0.674

KEP1

0.519

0.756

0.565

0.524

KEP2

0.655

0.825

0.655

0.731

KEP3

0.647

0.835

0.631

0.747

KOMP1

0.544

0.547

0.743

0.528

KOMP2

0.605

0.569

0.732

0.650

KOMP3

0.648

0.625

0.813

0.680

KOMP4

0.605

0.634

0.810

0.633

SK1

0.546

0.577

0.579

0.660

SK2

0.679

0.694

0.668

0.808

SK3

0.706

0.665

0.624

0.788

SK4

0.701

0.650

0.596

0.789

SK5

0.589

0.643

0.547

0.747

SK6

0.657

0.601

0.677

0.710

SK7

0.692

0.637

0.603

0.812

Keterangan: angka tercetak miring menunjukkan nilai korelasi indikator dengan konstruknya. Sumber: data diolah (2021)

Berbasis pada pengujian model pengukuran, dapat disimpulkan bahwa seluruh data dan indikator penelitian dapat digunakan dalam pengujian model struktural. Hasil analisis data menemukan bahwa dua variabel eksogen yaitu kompleksitas pekerjaan dan beban kerja dapat menjelaskan stres kerja sebesar 78,9%. Sedangkan kepuasan kerja dapat dijelaskan oleh stres kerja sebesar 73,0%.

Tabel 5 menunjukkan rangkuman hasil pengujian model struktural. Sesuai dengan yang ditawarkan pada hipotesis 1 dan 2, kompleksitas pekerjaan dan beban kerja signifikan berpengaruh positif pada stres kerja (ß = 0,348, p < 0,01; ß = 0,590, p < 0,01 ). Baik pengaruh kompleksitas pekerjaan terhadap stres kerja, maupun pengaruh beban kerja terhadap stres kerja signifikan pada level 1% (t hitung lebih dari 2,57). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kompleksitas pekerjaan maka akan semakin tinggi pula stres kerja. Demikian juga sebaliknya, penurunan kompleksitas pekerjaan akan menghasilkan penurunan stres kerja. Lebih lanjut, peningkatan beban kerja akan meningkatkan pula stres kerja. Demikian juga dengan penurunan beban kerja akan menurunkan stres kerja.

Namun demikian, seperti yang ditampilkan pada tabel 5, berbeda dari yang dihipotesiskan, hasil analisis menunjukkan bahwa kepuasan kerja secara signifikan positif dipengaruhi oleh stres kerja (ß = 0,591, p < 0,01). Penemuan ini dapat diartikan bahwa peningkatan stres kerja justru akan meningkatkan kepuasan kerja. Demikian juga sebaliknya. Berkurangnya stres kerja juga akan mengurangi kepuasan kerja. Dengan demikian hipotesis 3 tidak terdukung. Lebih lanjut, mendukung hipotesis 4 dan 5, hasil pengujian menunjukkan bahwa hubungan kompleksitas pekerjaan dengan kepuasan kerja dimediasi oleh stres kerja (ß = 0,206, p < 0,01). Demikian juga pada hubungan antara beban kerja dan kepuasan kerja dimediasi oleh stres kerja (ß = 0,349, p < 0,01). Baik pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja, maupun pengaruh kompleksitas pekerjan dan beban kerja terhadap kepuasan kerja yang dimediasi stres kerja signifikan pada level 1% (t hitung lebih dari 2,57). Hasil ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi kompleksitas pekerjaan (dan beban kerja) akan meningkatkan stres kerja dan selanjutnya akan meningkatkan pula kepuasan kerja. Demikian juga jika ada penurunan kompleksitas pekerjaan (dan beban kerja), akan menurunkan stres kerja, dan selanjutnya akan mengurangi kepuasan kerja.

Tabel 5.

Hasil Pengujian Hipotesis

Hipotesis

Hubungan antar variabel

Koefisien jalur

Nilai t

Dukungan pada hipotesis

H1

Kompleksitas pekerjaan stres kerja

0,348

5,584

Hipotesis didukung

H2

Beban kerja stres kerja

0,590

9,394

Hipotesis didukung

Bersambung…

Lanjutan Tabel 5…

Hipotesis

Hubungan antar variabel

Koefisien jalur

Nilai t

Dukungan pada hipotesis

H3

Stres kerja kepuasan kerja

0,591

5,283

Hipotesis tidak didukung

H4

Kompleksitas pekerjaan stres kerja kepuasan kerja

0,206

3,857

Hipotesis didukung

H5

Beban kerja stres kerja kepuasan kerja

0,349

4,758

Hipotesis didukung

Sumber: data diolah (2021)

Studi saat ini menemukan bahwa peningkatan kompleksitas pekerjaan dan beban kerja akan meningkatkan stres kerja guru yang bekerja di tiga SMA yang dikelola yayasan pendidikan XYZ di Surabaya, demikian juga sebaliknya. Penemuan mengenai hubungan positif antara beban kerja dan stres kerja ini mendukung penemuan studi oleh Macdonald (2003) dan Ingusci et al.(2021). Penemuan studi ini mengkonfirmasi teori COR bahwa orang mengalami stres adalah sebagai konsekuensi mereka mempersepsikan adanya situasi yang mengancam yang membuat mereka bisa kehabisan atau kekurangan sumberdaya (Hobfoll, 1989; Hobfoll et al., 2018). Hasil studi ini menunjukkan bahwa guru yang mempersepsikan dirinya mengalami jumlah penugasan yang banyak dalam batas waktu tertentu dan tugas-tugas yang membuat mereka harus mengorbankan waktunya untuk kegiatan lain, seperti urusan sosial dengan keluarga dan teman, akan meningkat stres kerjanya. Demikian juga para guru yang mempersepsikan bahwa tugas-tugas pekerjaannya adalah semakin kompleks dan sulit akan lebih mengalami stres kerja.

Stres kerja yang dialami para guru ini adalah dalam bentuk reaksi atas situasi yang mereka hadapi. Reaksi ini misalnya berupa kelelahan, emosi yang terkuras, dan beberapa penyakit fisik. Dengan demikian, berbasis hasil studi ini, situasi yang dianggap mengancam bisa merujuk pada kondisi atau karakteristik pekerjaan mereka. Situasi ini bisa jadi akibat dari konteks pandemi yang menuntut mereka melakukan berbagai tugas yang sebelumnya tidak dilakukan secara lengkap atau sepenuhnya, seperti penggunaan aplikasi dan teknologi dalam berbagai aktivitas sebagai guru. Situasi yang dianggap mengancam ini membuat para guru merasa kehabisan sumberdaya seperti tenaga, emosi, dan kemampuan fisik.

Studi ini memberikan penemuan menarik, berbeda dari yang dihipotesiskan dan berbagai hasil studi terdahulu. Hasil studi ini menunjukkan bahwa guru yang mengalami stres justru meningkat kepuasan kerjanya, demikian juga sebaliknya. Penemuan ini berbeda dari studi-studi sebelumnya yang cenderung menemukan bahwa stres kerja memiliki dampak negatif pada kepuasan kerja (misalnya, Sesen & Ertan, 2021; Yousaf et al., 2020; von der Embse et al., 2016). Lebih lanjut, studi ini menemukan bahwa stres kerja memediasi hubungan antara kompleksitas pekerjaan dan kepuasan kerja, juga antara beban kerja dan kepuasan kerja. Penemuan studi ini menunjukkan bahwa guru yang makin meningkat kompleksitas pekerjaannya akan semakin meningkat stres kerjanya dan selanjutnya meningkat

kepuasan kerjanya, demikian pula sebaliknya. Demikian juga jika guru mengalami peningkatan beban kerja akan semakin meningkat stres kerjanya dan selanjutnya meningkat kepuasan kerjanya, demikian pula sebaliknya. Hasil ini memperkaya pemahaman mengenai bagaimana mekanisme tuntutan pekerjaan mempengaruhi kepuasan kerja. Namun demikian, hasil studi ini menunjukkan bahwa peningkatan tuntutan pekerjaan, seperti kompleksitas pekerjaan dan beban kerja, akan meningkatkan stres kerja dan selanjutnya kepuasan kerja juga meningkat, bukan berkurang.

Berbasis teori COR, habisnya sumberdaya seseorang akan berdampak pada outcome seperti kepuasan kerja (Halbesleben et al., 2014; Yousaf et al., 2020). Namun hasil studi ini menunjukkan bahwa peningkatan stres kerja justru meningkatkan kepuasan kerja, begitu juga sebaliknya, penurunan stres kerja akan menurunkan juga kepuasan kerja. Terdapat beberapa penjelasan mengenai penemuan ini. Pertama, guru memiliki self-efficacy yang dapat mengurangi dampak negatif dari stres kerja. Self-efficacy yang dipersepsikan merupakan keyakinan seseorang bahwa ia memiliki kemampuan untuk mencapai level kinerja yang diharapkan (Bandura, 1998).

Orang dengan self-efficacy tinggi memiliki ketangguhan dalam menghadapi situasi yang tidak mengenakan (Glaser & Hecht, 2013). Keyakinan ini mempengaruhi motivasi, pencapaian, dan kepuasan kerja (Caprara et al., 2003). Self-efficacy guru meningkat dimungkinkan karena mereka sudah memperoleh berbagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya. Dengan demikian, pada guru yang memiliki self-efficacy, meski mengalami stres justru meningkatkan kepuasan kerjanya (von der Embse et al., 2016). Sebaliknya, pada guru yang memiliki self-efficacy tinggi, jika stresnya menurun, justru mereka berkurang kepuasannya. Hal ini dimungkinkan karena mereka tidak bisa menunjukkan kemampuan pencapaian di dalam kondisi pekerjaan dengan tuntutan tinggi. Oleh karena itu, meski guru mengalami kehabisan sumberdaya, jika mereka memiliki self-efficacy tinggi, dimungkinkan guru masih termotivasi untuk dan memiliki keyakinan menyelesaikan tugas-tugasnya. Mereka akan menikmati pencapaian dalam kondisi sulit dan sebagai konsekuensinya, kepuasan kerja guru akan meningkat.

Kedua, guru memiliki dukungan sosial dari atasan maupun rekan kerjanya. Para guru yang menjadi responden dimungkinkan mempersepsikan adanya kepedulian dari sekolah dan dukungan dari sesama guru. Dukungan dari rekan kerja bisa meningkatkan kepuasan kerja (Geldart et al., 2018), demikian juga dukungan atasan dan organisasi yang berasosiasi positif dengan kepuasan kerja (Wnuk, 2017). Dengan demikian, meski guru mengalami stres kerja, adanya kepedulian dari sekolah, kepala sekolah, dan rekan kerja dimungkinkan bisa memberikan keringanan bagi para guru. Jadi, meskipun ada kelelahan dan emosi yang terkuras karena meningkatnya kompleksitas pekerjaan dan beban kerja, perhatian dan mungkin juga bantuan atasan dan rekan kerja bisa mendorong guru untuk tetap menyelesaikan pekerjaannya. Berbasis teori COR, dukungan sosial dapat menjadi penggerak sumberdaya seseorang dan bisa memberikan fasilitas bagi seseorang untuk mempertahankan sumberdayanya (Hobfoll, 1989). Oleh karena itu, dukungan ini juga bisa jadi merupakan sumberdaya lain yang dapat menguatkan guru untuk

menyelesaikan tugasnya. Sebagai konsekuensinya, dimungkinkan mereka akan meningkat kepuasan kerjanya.

SIMPULAN DAN SARAN

Studi ini menginvestigasi hubungan antara kompleksitas pekerjaan dan beban kerja dengan stres kerja, efek stres kerja pada kepuasan kerja, dan efek mediasi stres kerja pada hubungan antara kompleksitas pekerjaan dan kepuasan kerja, serta beban kerja dan kepuasan kerja guru. Berbeda dengan yang dihipotesiskan, hasil pengujian menemukan hal menarik bahwa stres kerja memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja guru. Sesuai dengan yang dihipotesiskan, studi ini menemukan bahwa kompleksitas pekerjaan dan beban kerja mempunyai efek positif terhadap stres kerja guru. Selain itu, hasil studi ini menunjukkan bahwa stres kerja memberikan efek mediasi pada hubungan antara kompleksitas pekerjaan dan kepuasan kerja guru. Lebih lanjut, studi ini menemukan bahwa stres kerja juga memediasi pengaruh beban kerja terhadap kepuasan kerja. Hasil studi ini memperkaya pemahaman bahwa tidak selalu kondisi kerja seperti kompleksitas pekerjaan dan beban kerja, dan stres kerja bisa mengurangi kepuasan kerja.

Terkait penemuan bahwa guru yang mengalami kompleksitas pekerjaan, beban kerja, dan stres kerja tetap memiliki kepuasan kerja, bukan berarti tuntutan tinggi adalah kondisi yang tepat. Jika memang tuntutan tinggi, terutama saat pandemi ini, harus diberikan kepada guru, pihak sekolah perlu melengkapi dengan berbagai faktor yang bisa meringankan beban dan stres guru. Berbasis pada penemuan studi ini, bahwa kompleksitas pekerjaan dan beban kerja berdampak positif pada stres kerja, pimpinan sekolah perlu mendisain pekerjaan menjadi lebih menarik dan tidak terlalu melelahkan bagi guru. Misalnya saja, mendistribusikan pekerjaan secara merata kepada seluruh guru sesuai kemampuan masing-masing guru, mendisain sistem dalam menyelesaikan tugas-tugas terkait administrasi sehingga tidak perlu dikerjakan berulang-ulang, dan mengelola jadwal dan batas penyelesaian kegiatan dan penugasan guru.

Pemberian tuntutan tinggi perlu dibarengi dengan beberapa perlakuan. Pimpinan sekolah perlu meningkatkan kondisi lingkungan kerja yang nyaman seperti membangun komunikasi yang baik dengan guru, antar guru, dan antar karyawan yang ada, adanya dukungan dan kepedulian atasan, serta saling mendukung antar rekan kerja. Pimpinan sekolah perlu secara periodik menunjukkan kepeduliannya kepada para guru dengan menanyakan kabar dan masalah yang mungkin mereka hadapi. Pimpinan sekolah juga perlu memberikan apresiasi dan pengakuan atas hasil kerja dan semangat kerja para guru sehingga guru bisa mempersepsikan adanya dukungan moril pimpinannya. Selain itu, sekolah perlu untuk secara terus-menerus memberikan kegiatan pelatihan, pengembangan dan pendampingan bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya. Kegiatan pelatihan yang efektif dengan memberikan materi dan metode pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan para guru untuk melakukan pekerjan dimungkinkan akan sangat membantu para guru menyelesaikan tugasnya dan memberikan kepuasan kerja. Dengan adanya kompetensi yang tinggi, dimungkinkan guru

merasa yakin bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menghasilkan kinerja yang tinggi.

Namun demikian, studi ini juga memiliki keterbatasan yaitu bahwa responden studi ini adalah hanya pada bidang pekerjaan guru pada tiga SMA yang dikelola yayasan pendidikan XYZ di Surabaya. Selain itu, studi ini hanya mempertimbangkan faktor tuntutan kerja yaitu kompleksitas pekerjaan dan beban kerja sebagai anteseden stres kerja dan kepuasan kerja. Studi selanjutnya perlu mempertimbangkan untuk menginvestigasi model penelitian pada sampel bidang pekerjaan lain, terutama yang memiliki peningkatan tuntutan pekerjaan sebagai akibat dari kondisi lingkungan bisnisnya (seperti pandemi). Selain itu, untuk mengidentifikasi penggeneralisasian penemuan, studi selanjutnya perlu menguji model pada SMA lainnya. Studi berikutnya dapat mempertimbangkan faktor selfefficacy, persepsi kompetensi, dan dukungan sosial sebagai variabel anteseden stres kerja dan juga pemoderasi pada hubungan antara tuntutan pekerjaan dan stres kerja. Lebih lanjut, penelitian-penelitian berikutnya juga dapat mempertimbangkan konsekuensi stres kerja lainnya seperti kinerja, organizational citizenship behavior, dan keinginan keluar.

REFERENSI

Adit, A. (2020). Ini Peran dan Tuntutan Kompetensi Guru di Masa Pandemi. In

Kompas.com.

https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/edu/read/2020/10/08/1135 30671/ini-peran-dan-tuntutan-kompetensi-guru-di-masa-pandemi

Anderson, S. E., Coffey, B. S., & Byerly, R. T. (2002). Formal organizational initiatives and informal workplace practices: Links to work-family conflict and job-related outcomes. Journal of Management, 28(6), 787–810.

Bai, J. Y., Tian, Q., & Liu, X. (2021). Examining Job Complexity on Job Crafting Within Conservation of Resources Theory: A Dual-Path Mediation Model. Frontiers             in             Psychology,             12(October).

https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.737108

Bandura, A. (1998). Self-Efficacy. 4(1994), 71–81.

Brewer, E., & McMaha-Landers, J. (2003). The Relationship Between Job Stress and Job Satisfaction of Industrial and Technical Teacher Educators. Journal of Career and Technical Education,    20(1),    37–50.

https://doi.org/10.21061/jcte.v20i1.622

Buckimham, D. A. (2004). Associations among stress, work overload, role conflict, and self-efficacy in Maine principals. University of Maine.

Caprara, G. V., Barbaranelli, C., Borgogni, L., & Steca, P. (2003). Efficacy Beliefs as Determinants of Teachers’ Job Satisfaction. Journal of Educational Psychology, 95(4), 821–832. https://doi.org/10.1037/0022-0663.95.4.821

Chan, S. H., Song, Q., & Yao, L. J. (2014). The impact of task complexity, task motivation, decision support system (DSS) motivation, and DSS use on performance. Proceedings - Pacific Asia Conference on Information Systems, PACIS 2014.

Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the buffering

hypothesis.      Psychological      Bulletin,      98(2),      310–357.

https://doi.org/10.1037/0033-2909.98.2.310

Crawford, E. R., LePine, J. A., & Rich, B. L. (2010). Linking job demands and resources to employee engagement and burnout: A theoretical extension and meta-analytic test. Journal of Applied Psychology, 95(5),  834–848.

https://doi.org/10.1037/a0019364

Fila, M. J., Paik, L. S., Griffeth, R. W., & Allen, D. (2014). Disaggregating Job Satisfaction: Effects of Perceived Demands, Control, and Support. Journal of Business and Psychology, 29(4), 639–649. https://doi.org/10.1007/s10869-014-9358-5

Geldart, S., Langlois, L., Shannon, H. S., Cortina, L. M., Griffith, L., & Haines, T. (2018). Workplace incivility, psychological distress, and the protective effect of co-worker support. International Journal of Workplace Health Management, 11(2), 96–110. https://doi.org/10.1108/IJWHM-07-2017-0051

Glaser, W., & Hecht, T. D. (2013). Work-family conflicts, threat-appraisal, selfefficacy and emotional exhaustion. Journal of Managerial Psychology, 28(2), 164–182. https://doi.org/10.1108/02683941311300685

Hair, J. ., Hult, G. T. M., Ringe, C. M., & Sarstedt, M. (2017). A Primer on Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM). In SAGE (second edi).

Halbesleben, J. R. B., Neveu, J. P., Paustian-Underdahl, S. C., & Westman, M. (2014). Getting to the “COR”: Understanding the role of resources in conservation of resources theory. Journal of Management, 40(5), 1334–1364. https://doi.org/10.1177/0149206314527130

Harms, P. D., Credé, M., Tynan, M., Leon, M., & Jeung, W. (2017). Leadership and stress : A meta-analytic review. The Leadership Quarterly, 28(1), 178194.

Hendrawan, A. (2021). Guru di Masa Pandemi Mengunduh, Mengunggah, Menggugah. Detiknews. https://news.detik.com/kolom/d-5377173/guru-di-masa-pandemi-mengunduh-mengunggah-menggugah

Hobfoll, S. E. (1989). Conservation of resources: A new attempt at conceptualizing stress. American Psychologist, 44(3), 513–524. https://doi.org/10.1037/0003-066X.44.3.513

Hobfoll, S. E., Halbesleben, J., Neveu, J.-P., & Westman, M. (2018). Conservation of resources in the organizational context: The reality of resources and their consequences. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 5(1), 103–128. https://doi.org/10.1146/annurev-

orgpsych-032117-104640

Hobfoll, S. E., Stevens, N. R., & Zalta, A. K. (2015). Expanding the Science of Resilience: Conserving Resources in the Aid of Adaptation. Psychological Inquiry, 26(2), 174–180. https://doi.org/10.1080/1047840X.2015.1002377

Hong, X., Liu, Q., & Zhang, M. (2021). Dual Stressors and Female Pre-school Teachers’ Job Satisfaction During the COVID-19: The Mediation of WorkFamily Conflict. Frontiers in Psychology,   12(June),    1–12.

https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.691498

Inegbedion, H., Inegbedion, E., Peter, A., & Harry, L. (2020). Perception of

workload balance and employee job satisfaction in work organisations. Heliyon, 6(1), 1–9. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e03160

Ingusci, E., Signore, F., Giancaspro, M. L., Manuti, A., Molino, M., Russo, V., Zito, M., & Cortese, C. G. (2021). Workload, Techno Overload, and Behavioral Stress During COVID-19 Emergency: The Role of Job Crafting in Remote Workers.     Frontiers     in     Psychology,     12(April),     1–11.

https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.655148

Junaedi, M., & Wulani, F. (2021). The moderating effect of person–organization fit on the relationship between job stress and deviant behaviors of frontline employees. International Journal of Workplace Health Management, 14(5), 492–505. https://doi.org/10.1108/IJWHM-06-2020-0103

Kongcharoen, J., Onmek, N., Jandang, P., & Wangyisen, S. (2020). Stress and work motivation of primary and secondary school teachers. Journal of Applied Research      in      Higher     Education,      12(4),      709–723.

https://doi.org/10.1108/JARHE-04-2019-0088

Kuncoro, M. (2007). Metode Kuantitatif (ketiga). UPP STIM YKPN.

Kyndt, E., Dochy, F., Struyven, K., & Cascallar, E. (2011). The perception of workload and task complexity and its influence on students’ approaches to learning: A study in higher education. European Journal of Psychology of Education, 26(3), 393–415. https://doi.org/10.1007/s10212-010-0053-2

Leung, Y. K., Mukerjee, J., & Thurik, R. (2020). The role of family support in work-family balance and subjective well-being of SME owners. Journal of Small       Business       Management,       58(1),        130–163.

https://doi.org/10.1080/00472778.2019.1659675

Macdonald, W. (2003). The impact of job demands and workload on stress and fatigue.       Australian       Psychologist,       38(2),        102–117.

https://doi.org/10.1080/00050060310001707107

Meier, L. ., & Spector, P. E. (2015). Job satisfaction. In Wiley Encyclopedia of Management (Vol. 5, Issue 6, pp. 1–3). Wiley Online Library. https://doi.org/10.47760/ijcsmc.2020.v09i09.003

Mohd-Sanusi, Z., & Mohd-Iskandar, T. (2007). Audit judgment performance: Assessing the effect of performance incentives, effort and task complexity. Managerial        Auditing        Journal,        22(1),        34–52.

https://doi.org/10.1108/02686900710715639

Morgeson, F. P., & Humphrey, S. E. (2006). The Work Design Questionnaire (WDQ): Developing and validating a comprehensive measure for assessing job design and the nature of work. Journal of Applied Psychology, 91(6), 1321–1339. https://doi.org/10.1037/0021-9010.91.6.1321

Podsakoff, P. M., MacKenzie, S. B., Lee, J. Y., & Podsakoff, N. P. (2003). Common method biases in behavioral research: A critical review of the literature and recommended remedies. Journal of Applied Psychology, 88(5), 879–903.

Priyono, P., & Marnis, M. (2008). manajemen Sumber Daya Manusia. In Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents. Zifatama.

Rabenu, E., Tziner, A., & Sharoni, G. (2017). The relationship between workfamily conflict, stress, and work attitudes. International Journal of Manpower, 38(8), 1143–1156. https://doi.org/10.1108/IJM-01-2014-0014

Saraswati, D., & Hrp, A. P. (2019). Ketaatan Terhadap Kinerja Auditor Pada Di Kota Medan. Jurnal Akuntansi Bisnis & Publik, 10(1), 15–24.

Sesen, H., & Ertan, S. S. (2021). The effect of the employee perceived training on job satisfaction: the mediating role of workplace stress. European Journal of Training       and       Development,       ahead-of-p(ahead-of-print).

https://doi.org/10.1108/ejtd-01-2021-0014

Shalley, C., Gilson, L., & Blum, T. (2009). Interactive effects of growth need strength, work context, and job complexity on self-reported creative performance. Academy of Management Journal,  52(3),  489–505.

https://doi.org/10.5465/AMJ.2009.41330806

Silen, A. P. (2016). Pengaruh Modal Psikologi Dan Keterlibatan Pegawai Terhadap Kinerja Pegawai Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Mediasi (Studi Pegawai Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang). Jurnal Manajemen Teori Dan Terapan| Journal of Theory and Applied Management, 9(3), 161–175.

https://doi.org/10.20473/jmtt.v9i3.3073

Singh, R., & Nayak, J. K. (2015). Mediating role of stress between work-family conflict and job satisfaction among the police officials: Moderating role of social support. Policing, 38(4), 738–753. https://doi.org/10.1108/PIJPSM-03-2015-0040

Toropova, A., Myrberg, E., & Johansson, S. (2021). Teacher job satisfaction: the importance of school working conditions and teacher characteristics. Educational              Review,              73(1),              71–97.

https://doi.org/10.1080/00131911.2019.1705247

von der Embse, N. P., Sandilos, L. E., Pendergast, L., & Mankin, A. (2016). Teacher stress, teaching-efficacy, and job satisfaction in response to test-based educational accountability policies. Learning and Individual Differences, 50, 308–317. https://doi.org/10.1016/j.lindif.2016.08.001

Wagner, S. H. (2017). Exploring the structure of job satisfaction and its impact on the satisfaction-performance relationship. Journal of Organizational Psychology, 17(4), 90–102.

Westman, M., Hobfoll, S. E., Chen, S., Davidson, O. B., & Laski, S. (2004). Organizational Stress Through the Lens of Conservation of Resources (Cor) Theory. Research in Occupational Stress and Well Being, 4, 167–220. https://doi.org/10.1016/S1479-3555(04)04005-3

Wnuk, M. (2017). Organizational conditioning of job satisfaction. A model of job satisfaction.      Contemporary      Economics,      11(1),      31–44.

https://doi.org/10.5709/ce.1897-9254.227

Wu, M., Peng, Z., & Estay, C. (2018). How role stress mediates the relationship between destructive leadership and employee silence: The moderating role of job complexity. Journal of Pacific Rim  Psychology,  12,  1–11.

https://doi.org/10.1017/prp.2018.7

Wulani, F., & Junaedi, M. (2020). Organizational citizenship behavior tenaga penjual: Peran kepuasan kerja, dukungan rekan kerja dan leader-member exchange. Jurnal Manajemen Teori Dan Terapan, 122–137.

Xie, J. L., & Johns, G. (1995). Job Scope and Stress: Can Job Scope Be Too High? Academy    of Management    Journal,    38(5),     1288–1309.

https://doi.org/10.5465/256858

Yousaf, S., Rasheed, M. I., Hameed, Z., & Luqman, A. (2020). Occupational stress and its outcomes: the role of work-social support in the hospitality industry. Personnel Review, 49(3), 755–773. https://doi.org/10.1108/PR-11-2018-0478

Yu, Y., Lau, J. T. F., & Lau, M. M. C. (2021). Development and validation of the conservation of resources scale for COVID-19 in the Chinese adult general population. Current Psychology, 1–10. https://doi.org/10.1007/s12144-021-01933-y

634