BAHASA SAMBORI: SEBUAH KAJIAN MORFOSINTAKSIS
on
LINGUISTIKA, MARET 2019
p-ISSN: 0854-9613
Vol. 26. No. 1
BAHASA SAMBORI: SEBUAH KAJIAN MORFOSINTAKSIS
Arafiq
Program Studi S1 Pendidikan Bahasa Inggris, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram arafiq@unram.ac.id
Abstrak— Tujuan tulisan ini adalah untuk memerikan dua aspek penting bahasa Sambori, yakni aspek sintakis dan aspek morfologi. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi pola kalimat dasar bahasa Sambori dan menjelaskan sistem pemarkahan yang mendasari pola kalimat tersebut. Data dalam tulisan ini adalah ujaran yang dihasilkan secara alamiah dan berterima dalam bahasa Sambori. Metode yang digunakan adalah metode simak yang dibantu oleh teknik rekam. Selain itu, metode cakap juga digunakan untuk menguji silang data. Metode analisis yang digunakan adalah metode agih, yang dibantu oleh teknik permutasi, teknik lesap, dan teknik ubah wujud. Hasil analisis menunjukkan bahwa bahasa Sambori memiliki pola dasar kalimat dengan urutan SVO dengan predikat yang cukup beragam, artinya baik verba maupun kategori nonverba dapat berfungsi sebagai predikat. Sementara itu, analisis yang dilakukan terhadap perubahan struktur kalimat, yakni yang dilakukan pada konstruksi kausatif dan aplikatif (transitivisasi) dan pada konstruksi pasif (intransitivisasi), didapati bahwa pengausatifan bahasa Sambori dilakukan dengan menggunakan prefiks {pa-}, sedangkan pengaplikatifan dilakukan dengan menggunakan partikel wea. Afiks {pa-} digunakan untuk menderivasi verba transitif dari verba intransitif dan kategori selain verba, sementara partikel wea digunakan untuk membentuk konstruksi aplikatif. Di pihak lain pemasifan dilakukan dengan mengedepankan objek kalimat aktif sebelum predikat dengan memarkahi kata kerja dengan prefiks {ra-} pada kalimat yang memiliki aspek perfektif dan pemarkah leksikal wunga pada kalimat yang memiliki aspek imperfektif.
Kata kunci : bahasa Sambori, sintaksis, morfologi
Abstract— This article aims at describing two important aspects of the Sambaori Language, namely Syntax and Morphology. It tries to identify the basic sentence of the language and describes the marking system pertaining to it. The data of this article are taken from the utterances spoken by the speakers of Sambori Language in natural setting and that are considered grammatical. Observasion method is used to collect the data along with the recording, beside interview to get a valid data. Meanwhile, the method of analysis used is distribusion method by using permutation, deletion, and substitution. The result shows that the basic sentence operates SVO word order with a quite various of predicates which can be taken by both verbs and nonverbs. Based on the analysis of the revaluation of the sentence structure in Sambori Language, from the causative constructions and aplicative construction (transitivising) and passivisation (intrantitivising), it is found that causativisasion is done by making use of affix {pa-} which is used to derive transitives from intransitive verbs and the nonverbal categories. Meanwhile, applicativisasion make use of particle wea. On the other hand, passivisasion in Sambori Language is done by fronting the object of actives before predicates (verbs) and prefixing the verbs with {ra-} if the sentence is perfective in aspect and with lexical marking wunga if the sentence is imperefective ones.
Key words: Sambori language, syntax, morphology
PENDAHULUAN
Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan pola kalimat dasar dan sistem pemarkahan sintaksis bahasa Sambori1 (selanjutnya disingkat dengan BS). Penguatan BS sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat mendesak. Penelitian tentang sintaksis BS ini merupakan salah satu upaya untuk mendokumentasikan BS sehingga langkah-langkah penguatan BS ke depan dapat direncanakan dengan baik, jelas, dan terarah.
Sambori merupakan salah satu kelompok subetnis di Bima yang menempati wilayah pegunungan yang terletak di sebelah timur Kabupaten Bima. Secara historis, subetnis Sambori ditengarai sebagai masyarakat asli Bima (Dou Mbojo) yang merupakan bagian dari subetnis Donggo yang menempati wilayah pegunungan di sebelah barat Kabupaten Bima. Kedua subetnis ini bahkan juga dikenal dengan istilah Donggo Di (orang Donggo) dan Donggo Ele (orang Sambori) (Yusra dkk., 2016). Kedua subetnis ini memiliki banyak kesamaan, antara lain perawakan, kepercayaan, dan kebiasaan, bahkan bahasa yang relatif berbeda jika dibandingkan dengan subetnis Bima lainnya.
Subetnis Sambori menyebar di seluruh desa yang berada di bawah Kecamatan Lambitu, yakni Sambori, Kaboro, Kuta, Teta, Kaowa, dan Londu. Saat ini berdasarkan sensus BPS Lambitu Dalam Angka (2017) masyarakat Sambori berjumlah 5.493 jiwa. Pada awalnya keberadaan masyarakat Sambori yang jauh dari pusat pemerintahan menyebabkan masyarakat Sambori sedikit terbelakang jika dibandingkan dengan mayarakat subetnis lainnya di Kabupaten dan Kota Bima. Namun, dengan derasnya arus modernisasi saat ini aksesibilitas masyarakat,
baik dari Sambori maupun ke Sambori cukup tinggi. Hal ini tentu memengaruhi budaya, adat kebiasaan, dan BS.
Sebagai masyarakat yang memiliki mobilitas yang cukup tinggi, masyarakat Sambori menyebar hampir ke seluruh wilayah yang ada di Indoneisa. Hal ini tidak terlepas dari keadaan geografis wilayah Lambitu yang kurang menjanjikan secara ekonomis sehingga memicu masyarakat Sambori untuk memperbaiki ekonomi di luar Sambori. Di satu sisi, keadaan ini dapat memberikan keuntungan yang positif bagi kehidupan masyarakat Sambori, tetapi di sisi lain, keadaan ini juga memengaruhi struktur sosial budaya masyarakat Sambori. Salah satu aspek yang mendapatkan akibat dari derasnya arus modernisasi ini adalah bahasa karena bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tidak terlepas dari pengaruh budaya penuturnya (Suardiana, 2012), lihat juga Kramsch (2001).
BS saat ini berada pada level yang mengkhawatirkan. BS semakin lama semakin termarginalkan oleh pemakaian bahasa Bima (selanjutnya disingkat dengan BB) dan bahasa Indonesia. BS hanya digunakan pada situasi tutur yang formal, seperti dalam acara adat resmi dengan penutur yang berusia empat puluh tahun ke atas. Di pihak lain, dalam situasi tutur formal akademik, BS dibenturkan dengan pemakaian bahasa Indonesia. Sementara itu, BB menjadi bahasa daerah kedua yang dituturkan, terutama oleh penutur usia potensial. BB menjadi bahasa pilihan utama masyarakat Sambori dalam komunitas yang lebih luas karena dipahami oleh masyarakat Bima (Satyawati, 2011). Dengan keadaan ini, diprediksikan bahwa dalam waktu yang tidak lama (kurang lebih dua puluh tahun) BS akan menjadi bahasa yang berada dalam keadaan punah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mencoba mengungkapkan perihal tata urutan kata dalam klausa dasar BS, menelaah konstruksi gramatikalnya, dan
menginterpretasi perilaku budaya penuturnya. Berkaitan dengan gejala alam yang diteliti, penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis (lihat Muhadjir, 1996; Black dan Champion, 1999; Bailey, 1982).
Data penelitian adalah kata, klausa, kalimat, dan ujaran-ujaran BS umum. Penelitian jenis ini juga disebut dengan penelitian lapangan, artinya data kebahasaan yang digunakan bersifat alamiah yang bersumber langsung dari penutur. Data lain penelitian adalah pendapat, gagasan para informan dan responden penelitian mengenai keadaan atau kenyataan kebahasaan yang lazim adanya di tengah masyarakat penutur BS.
Dalam penelitian ini peneliti menjadi salah satu instrumen. Hal ini didasari pertimbangan bahwa peneliti berperan dalam pengumpulan data, seperti pencatatan data dan wawancara secara langsung di lapangan. Peneliti juga memanfaatkan beberapa teks dan contoh klausa/kalimat dan perilaku penutur BS yang diperoleh dari sumber pustaka yang lain sebagai bahan awal dalam wawancara. Selain itu, juga digunakan alat bantu perekam suara (tape recorder). Perekam ini digunakan dalam hal pendokumentasian data secara audio sehingga dapat menjadi bahan cek silang pada saat penganalisisan data. Alat bantu lain yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat tulis, yang berguna dalam hal pencatatan data atau pendeskripsian data hasil rekaman.
Dengan memperhatikan sifat dan jenis data yang dibutuhkan, pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menerapkan metode simak dan metode cakap. Teknik dasar yang digunakan berkenaan dengan metode simak adalah teknik sadap dengan teknik lanjutan simak libat cakap (SLC), simak bebas libat cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat. Teknik dasar yang digunakan dalam metode cakap adalah teknik pancing dengan teknik lanjutan berupa teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat (lihat Sudaryanto, 1993; Vredenbergh, 1978).
Dalam menganalisis data metode yang dipandang tepat adalah metode agih, yaitu metode analisis yang menjadikan bagian dari bahasa yang diteliti sebagai alat penentu (Sudaryanto, 1993:15). Teknik dasar dari metode tersebut adalah teknik bagi unsur langsung (BUL), yakni membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur yang dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud. Teknik dasar ini diikuti dengan teknik lesap, teknik ganti, teknik perluasan, teknik sisip, dan teknik ubah wujud (Sudaryanto, 1993:31--40). Mengingat peneliti juga merupakan penutur asli BS, maka metode lain yang juga digunakan dalam tahap analisis adalah metode refleksif introspektif (Sudaryanto, 1993:121--125).
PEMBAHASAN
Struktur Dasar Klausa BS
Secara umum struktur dasar klausa BS dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni struktur dasar verbal dan struktur dasar nonverbal. Struktur dasar verbal adalah struktur yang menggunakan kata kerja sebagai predikat, sedangkan struktur dasar nonverbal adalah struktur yang tidak menggunakan kata kerja sebagai predikat. Fenomena ini dapat ditemukan di banyak bahasa di dunia (Mallinson dkk., 1981; Songs, 2001). Perhatikan data berikut ini.
-
1 a. Rae pa- lai
1T pref- lari ‘Saya lari’
-
b. Rae ma- nga oha 1T ACT-makan nasi ‘Saya makan nasi’
-
c. Ama wouti waa wea ina piti Ayah sudah bawa APL ibu uang ‘Ayah membawakan ibu uang’
-
2 a. Ree na guru
3T KTL/3T guru ‘Dia (seorang) guru’
-
b. Ari -na ntika/gaga
adik -KLT/3T cantik ‘Adiknya cantik’
-
c. Uma -na ndili ne
Rumah -KLT/3T barat ART ‘Rumahnya di sebelah barat’
-
d. Meja ne bie
Meja ART berat ‘Meja itu berat’
-
e. Kadera ne ara ka- bie
Kursi ART tidak CAUS berat
-
- na.
-
- KLT/3T
‘Kursi itu ringan’
-
f. Kababu ne ncera -(mpa) Baju ART murah-(saja) ‘Baju itu murah’
Data di atas menunjukkan bahwa struktur dasar klausa BS dapat berupa kata kerja, baik kata kerja transitif maupun kata kerja intransitif. Pada (1a) di atas, subjek pertama tunggal (1T) kata kerja intransitif palai ‘berlari’ memiliki satu argumen, yakni rae ‘saya’ yang berfungsi sebagai subjek. Sementara itu, pada pada (1b), kata kerja manga ‘makan’ membutuhkan dua argumen, yakni rae ‘saya’ sebagai subjek dan oha ‘nasi’ sebagai objek, sedangkan pada contoh data (1c) di atas kata kerja transitif waa ‘bawa’ membutuhkan argumen ama ‘ayah’, ina ‘ibu’, dan piti ‘uang’ sebagai argumen inti berturut-turus berfungsi sebagai subjek, OL, dan OTL.
Sementara itu, nomina guru ‘guru’ pada (2a), adjektiva ntika ‘cantik’ pada (2b), adverbial ndili ne ‘di barat’ pada (2c), adjektiva bie ‘berat’ pada (2d), adjektiva ara kabiena ‘tidak berat’ pada (2e), dan adjektiva ncera (mpa) ‘murah’ pada (2f) merupakan predikat-predikat nonverbal yang sama-sama memiliki satu argumen inti, yakni re ne ‘dia’ pada (2a), arina ‘adiknya’ pada (2b), umana ‘rumahnya’ pada (2c), meja ne ‘meja itu’ pada (2d), kadera ne ‘kursi itu’ pada (2e), dan kababu ne ‘baju itu’ pada (2f).
Sistem Pemarkahan BS
Pembahasan tentang sistem pemarkahan BS dikelompokkan menjadi dua, yakni transitivisasi dan intransitivisasi. Hal ini dilakukan agar perubahan-perubahan pemarkahan
yang terjadi pada sebuah konstruksi kalimat dapat diamati dan dijelaskan dengan baik.
Transitivisasi
Kaidah transitivisasi BS sama seperti kaidah yang diperlihatkan oleh BB. Kaidah transitivisasi ini dapat dilihat dari proses pengaplikatifan dan pengausatifan. Perhatikan contoh data berikut ini.
-
3 a. Ama wouti waa piti ru’u ina
Ayah sudah bawa uang untuk ibu ‘Ayah membawakan uang untuk ibu’
-
b. Ama wouti waa piti
Ayah sudah bawa uang ‘Ayah membawakan uang’ c. Ama wouti waa wea ina piti
Ayah sudah bawa APL ibu uang ‘Ayah membawakan ibu uang.
-
d. *Ama wouti waa wea ina Ayah sudah bawa APL ibu ‘Ayah membawakan ibu.
Berdasarkan contoh data di atas, dapat dijelaskan bahwa pengaplikatifan pada (3a) dilakukan dengan menggunakan partikel wea, yaitu kata kerja waa ‘membawa’ sebelumnya memiliki dua argumen inti, yakni ama ‘ayah’ dan piti ‘uang’ dan satu argumen noninti, yakni ru’u ina ‘untuk ibu’. Keberterimaan (3b) di atas membuktikan bahwa ru’u ina ‘untuk ibu’ adalah argumen noninti. Dengan kata lain ketidakhadirannya tidak menyebabkan kalimat (3b) tidak berterima. Hal yang berbeda jika piti ‘uang’ pada (3c) dihilangkan, akan menyebabkan ketidakberterimaan kalimat seperti pada (3d) karena piti merupakan argumen inti.
Sama halnya dengan pengaplikatifan, proses pengausatifan BS juga merupakan konstruksi transitivivasi. Pengausatifan dalam BS dikelompokkan menjadi tiga macam, (1) pengausatifan yang dilakukan dengan prefiks {pa-}, (2) pengausatifan dengan menggunakan kata ndawi ‘membuat’, dan (3) pengausatifan dengan menggunakan partikel wea. Cermati contoh data berikut.
-
4 a. Hadu ne losa salona kai
Kayu ART keluar sebatang PREP do’o -na
ikatan -KLT-3T
‘Kayu itu keluar sebatang dari ikatannya’
-
b. Rae pa- losa salona hadu 1T KAUS- keluar sebatang kayu kai do’a -na
PREP ikatan -KLT/3T
‘Saya mengeluarkan satu batang kayu dari ikatannya’
-
5 a. Ana -na le’a masaki
Anak –KLT/3T buang sampah ‘Anak itu membuang sampah’
-
b. Dou ne kau -na ana
Orang ART suruh -KLT/3T anak --na le’a masaki
KLT/3T buang sampah ‘Orang itu menyuruh anaknya membuang sampah’
-
6 a. Rroti ne caru Roti ART enak ‘Roti itu enak’
-
b. Ree ne ndawina roti coru
3T ART buat-KLT/3T roti enak ‘Dia membuat roti itu enak’
-
7 a. Ama -na na’e nawa
Ayah -KLT/3T besar nyawa ‘Ayahnya marah’
-
b. Ree ne wea -na ama
3T ART APL -KLT/3T ayah--na na’e nawa
KLT/3T besar nyawa ‘Dia membuat ayahnya marah’
-
8 a. Ree waa -na tas.
3T bawa –KLT/3T tas ‘Dia membawa tas’
-
b. Ama ne wea -na ree waa
Ayah ART APL -KLT/3T 3T bawa -na tas.
-
-KLT-3T tas
‘Ayahnya membuat dia membawa tas itu’
Pengausatifan pada (4b) di atas ditandai oleh kehadiran prefiks {pa-} pada kata kerja intransitif losa ‘keluar’ menjadi kata kerja
transitif. Sebagai akibatnya, argumen yang semula berjumlah satu, yakni hadu ‘kayu’ pada (4a) berubah menjadi dua, seperti pada (4b). Sementara itu, pada (5b) pengausatifan dilakukan dengan kata kerja kausatif kau ‘menyuruh’ sehingga mengharuskan adanya argumen penyebab dou ne ‘orang itu’. Demikian halnya juga dengan pengausatifan yang dilakukan pada (6a). Kehadiran ndawi ‘buat’ pada (6b) menyebabkan munculnya argumen baru yang berfungsi sebagai penyebab, yakni ree ne ‘dia itu’.
Pengausatifan pada (7b) dan (8b) dilakukan dengan menggunakan partikel wea. Kehadiran wea pada kedua konstruksi kausatif tersebut menuntut munculnya argumen (FN) yang berperan sebagai penyebab, yakni ree ne ‘anak itu’ pada (7b) dan amana ‘ayahnya’ pada (8b) di atas.
Intransitivisasi
Konstruksi intransitif merupakan
konstruksi pengurangan jumlah argumen pada sebuah konstruksi. Intransitivisasi pada BS dapat dilihat dari pemasifan yang terjadi pada konstruksi pasif yang menyertakan informasi aspek (perfektif dan progresif). Data berikut memperlihatkan pemasifan BS pada kalimat yang menggunakan kata kerja transitif pada contoh (9) dan (10) serta konstruksi aspek progresif pada contoh (11).
-
9 a. Ree ne tengi -na kampi
3T ART sandar -KTL/3T karung bongi kai pu’u hadu beras PREP pohon kayu ‘Dia menyandarkan karung beras di pohon kayu’
-
b. Kampi bongi ne ro- (ka) Karung beras ART PAS- (KAUS) tengi kai pu’u hadu ne sandar PREP pohon kayu ART ba ree oleh 3T
‘Karung beras itu disandarkan ke pohon oleh saya’
-
c. Kampi bongi ne ro- (ka) Karung beras ART PAS (KAUS) tengi kai pu’u hadu ne
sandar PREP pohon kayu ART ‘Karung beras itu disandarkan ke pohon’
Berdasarkan data (9) di atas, dapat dijelaskan bahwa kata kerja transitif tengi ‘menyandarkan’, sebelum dilakukan pemasifan memiliki dua argumen inti, yakni ree ne ‘dia itu’ dan kampi bongi ‘karung beras’ dan satu argumen noninti, yakni kai pu’u hadu ‘di pohon kaju’ seperti tampak pada (9a). Setelah mengalami proses pemasifan, dengan menambahkan prefiks {ra-}, kalimat yang awalnya memiliki dua argumen inti berubah menjadi hanya memiliki satu argumen inti, yakni kampi bongi ‘karung beras’, sedangkan argumen ree ne ‘dia itu’ berubah menjadi argumen non-inti, seperti pada contoh (9b). Kitidakmunculan argumen ree ne ’dia itu’ tidak menyebabkan kalimat (9c) tidak berterima merupakan bukti bahwa argumen tersebut bukan merupakan argumen inti.
-
10 a. La Hami poka -na
ART Hamid mematahkan-KLT/3T hadu ma tapa kalui kayu REL hadang jalan ‘Si Hamid mematahkan kayu yang menghalangi jalan’
-
b. Hadu ma tapa kalui poka
Kayu REL menghadang jalan patah ba La Hami oleh ART Hamid
‘Kayu yang menghalangi jalan dipatahkan oleh Si Hamid’
-
c. Hadu ma tapa kaliu wouti
Kayu REL menghadang jalan sudah poka patah
‘Kayu yang menghalangi jalan sudah dipatahkan’
d.*Hadu ma tapa kaliu poka
Kayu REL menghadang jalan ptah ‘Kayu yang menghalangi jalan dipatahkan’
Hal yang sama juga terlihat pada (10) di atas, dalam hal ini kata kerja poka ‘mematahkan’ pada (10a) memiliki dua argumen inti, yakni la hami dan hadu ma tapa kaliu ‘kayu yang
menghalangi jalan’ berubah hanya memiliki satu argumen inti setelah dilakukan pemasifan dengan menambahkan …., seperti pada (10b). Kalimat (10c) membuktikan bahwa ketidakhadiran argumen la hami tidak menyebabkan kalimat yang bersangkutan tidak berterima. Sebaliknya, ketidakberterimaan kalimat (10d) di atas
disebabkan oeh pemarkah pasif leksikal wouti
‘sudah’ tidak muncul.
-
11 a. Ari -nggu rae wunga tunti Adik-KLT/1T 1T sedang tulis -na sura nda’i ama-nggu.
-
-KLT/3T surat untuk ayah-KLT/1T ‘Adik sedang menuliskan surat untuk ayahnya’.
-
b. Ari -nggu rae wunga tunti Adik-KLT/1T 1T sedang tulis -na ama -nggu sura.
-
-KLT-3T ayah -KLT-1T surat ‘Adik sedang menuliskan ayahku surat’
-
c. Sura nde wunga tunti ba ari Surat ART sedang tulis oleh adik -nggu nda’i ama -nggu.
-
-KLT/1T untuk bapak -KLT/1T ‘Surat itu sedang ditulis oleh adik untuk ayah’
-
d. Sura nde wunga tunti. Surat ART sedang tulis ‘Surat itu sedang ditulis’
Contoh yang menarik terlihat pada (11) di atas. Pengurangan argumen pada (11a) tidak dilakukan dengan memarkahi kata kerja tunti dengan pemarkah pasif {ra-}, tetapi hanya dilakukan dengan mengubah tata urut argumen, yakni argumen aringgu rae ‘adik saya’ yang menempati posisi subjek pada (11a) dan (11b) digeser menempati posisi oblik pada (11c). Sebaliknya, sura ‘surat’ yang sebelumnya menempati posisi objek dimajukan menempati posisi subjek. Argumen aringgu rae ‘adik saya’ pada (11c) merupakan argumen noninti sehingga ketidakmunculannya tidak menyebabkan ketidakberterimaan suatu kalimat, seperti pada (11d) di atas. Hal ini disebabkan oleh konstruksi
tersebut merupakan konstruksi aspek yang ditandai oleh kata aspek progresif wunga ‘sedang’.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa BS memiliki struktur dasar klausa yang menggunakan kata kerja sebagai predikat dan struktur dasar klausa yang tidak mengggunakan kata kerja sebagai predikat. Predikat struktur dasar klausa dengan kata kerja dapat diisi oleh kata kerja intransitif, transitif, dan dwitransitif. Dalam penelitian ini klausa yang berpredikat dwitransitif sangat terbatas jumlahnya. Sementara itu, predikat klausa dasar yang tidak menggunakan kata kerja dapat diisi oleh kategori nomina, adjektiva, dan kata keterangan.
Berdasarkan telaah morfosintaksis, ditemukan bahwa pada kaidah transitivisasi (penambahan jumlah argumen) terdapat dua konstruksi yang dapat menjelaskan sistem permarkahan, yakni konstruksi aplikatif dan konstruksi kausatif. Pada konstruksi aplikatif, partikel wea merupakan pemarkah yang digunakan, sedangkan pada konstruksi kausatif, prefiks {pa-} yang digunakan. Sementara itu, kaidah intransitivisasi (pengurangan jumlah argumen) ditemukan pada konstruksi pasif. Pasivisasi BS, selain dimarkahi oleh prefiks {ra}, juga ditandai oleh perpindahan posisi subjek dan objek pada konstruksi aktif dan pasif. Akan tetapi, pada pemasifan konstruksi aspek perfektif dan progresif hanya dilakukan dengan mengubah posisi subjek dan objek, tanpa diikuti oleh pemarkahan pada kata kerja seperti pemasifan pada umumnya.
SARAN
BS merupakan salah satu aset nasional yang harus didokumentasikan dengan segera. Apalagi jumlah penutur BS semakin lama semakin berkurang karena terdesak oleh pemakaian bahasa Indonesia dan BB di wilayah penutur BS. Di samping itu, mobilitas masyarakat Sambori yang cukup tinggi
dikhawatirkan dapat mempercepat proses kepunahan BS. Penelitian yang dilakukan dengan data yang relatif terbatas ini tentu belum mampu mengungkap realitas kebahasaan orang Sambori (Dou Inge Ngadi). Oleh karena itu, penelitian yang sistematis terhadap BS, secara khusus, terutama hubungannya dengan bahasa-bahasa lain di luar perlu dilakukan untuk dapat memberikan gambaran yang seutuhnya terhadap asal usul, budaya, dan hubungannya dengan subetnis-subetnis lainnya di Bima.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bima. 2017. Kecamatan Lambitu dalam Angka 2017. https://bimakab.bps.go.id/publication/do wnload.html?
Bailey, K.D. 1982. Method of Social Research. New York: The Free Press.
Black, J.A. dan Dean J.C. (Koeswara dkk. Penerjemah). 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Penerbit PT Refika Aditama.
Chapman, S. 2000. Philosophy for Linguists: An Introduction. London: Routledge.
Kramsch, C. 2001. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Mahsun. 2006. Distrubusi dan Pemetaan Varian-Varian Bahasa Mbojo. Yogyakarta: Media Gama.
Mallison, Graham dan Barry J. Blake. 1981. Language Typology: Cross-Linguistic Studies in Syntax. Amsterdam: North-Holland Publishing Company.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi III). Yogyakarta: Rake Sarasih.
Satyawati, M.S. 2011. “Pemarkah Diatesis Bahasa Bima”. Linguistika Vol 18, Maret 2011. https://ojs.unud.ac.id./index.php/linguisti ka/article/view/459.
Song, J.J. 2001. Linguistic Typology: Morphology and Syntax. Harlow, England: Pearson Education Ltd.
Suardiana, W.I. 2012. “Bahasa Bali dan Pemertahanan Kearifan Lokal”.
Linguistika Vol 19, Maret 2012.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/linguisti ka/view/9791
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana Press.
Vredenbergh, J. 1978. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Wardhaugh, Ronald. 1988. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil
Blackwell.
Yusra, K., Lestari, Y.B., Ahmadi, N., Asyhar, M., & Soemerep, A.Z. 2016. “Kedudukan Dialektologis Bahasa Sambori dalam Masyarakat Bima Kontemporer”. Linguistik Indonesia Vol ke-34, No. 2: Masyarakat Linguistik Indonesia.
91
Discussion and feedback