Variasi Pelafalan Bunyi Afrikat Bahasa Jepang oleh Penutur Berlatar Belakang Bahasa Bali
on
LINGUISTIKA, MARET 2018
p-ISSN: 0854-9613
Vol. 48. No. 25
Variasi Pelafalan Bunyi Afrikat Bahasa Jepang oleh Penutur Berlatar Belakang Bahasa Bali
Ni Putu Candra Lestari1, I Nyoman Suparwa2, I Wayan Simpen3 Program Magister Ilmu Linguistik
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
Jalan Nias No. 13, Denpasar, Bali, Telepon (0361) 250033 1Ponsel 081338700638
1Email: [email protected]
2Email: [email protected] 3Email: [email protected]
Abstract—This study aims to analyze Japanese affricates sound variation pronunced by Japanese speaking of Balinese. Variation of pronunciation were analyzed by using theory of generative phonology with accoustic phonetic. Kind of affricates sound variation by Japanese speaker of Balinese are alveolar affricates [ts] and [dz]. Voiceless alveolar affricates [ts] is variated in three varians, such as voiceless alveolar fricative [s] and voiceless palatal affricates [ç], and voiceless alveolar affricates [ts] i.e. words tsuki ‘moon’, atsui ‘hot’, dan matsu ‘wait’. Voiced alveolar affricate [dz] is variated in three varians, such as voiceless alveolar fricative [s] and voiced palatal-alveolar affricate [ʝ], and voiced alveolar fricative [z] i.e. words zannen ‘a pity, zenzen ‘nothing at all’, douzo ‘please’.This variation are caused by the characteristic changed in place of articulation and manner of articulation by Japanese speaker of Balinese. Manner of articulation of alveolar affricate [ts, dz] was approached by fricative manner [s] of articulation in Balinese. Place of alveolar affricate articulation changing to palatal [ç] and alveopalatal [ʝ] approached to sound in Balinese. The variation on alveolar fricative level is reached by basic learner, affricate level is reached by intermediate learner, and advanced learner pronounced approximately similar with the native speaker has.
Keywords: sound variation, Japanese speaker of Balinese, affricate, alveolar.
Abstrak—Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi pelafalan bunyi afrikat bahasa Jepang oleh penutur bahasa Jepang berlatar belakang bahasa Bali. Variasi pelafalan yang terjadi dianalisis menggunakan teori fonologi generatif dengan bantuan fonetik akustik. Bunyi afrikat bahasa Jepang yang memiliki variasi pelafalan oleh penutur berlatar belakang bahasa Bali adalah bunyi afrikat alveolar [ts] dan [dz]. Bunyi afrikat alveolar tidak bersuara [ts] seperti pada kata tsuki ‘bulan’, atsui ‘panas’, dan matsu ‘menunggu’ divariasikan menjadi tiga varian bunyi yaitu bunyi frikatif alveolar tidak bersuara [s], afrikatif palatal tidak bersuara [ç], dan afrikat alveolar tidak bersuara [ts]. Bunyi afrikatif alveolar bersuara [dz] seperti pada kata zannen ‘sayangnya’, zenzen ‘tidak sama sekali’, douzo ‘silakan’ divariasikan menjadi empat varian bunyi yaitu bunyi frikatif alveolar tidak bersuara [s], bunyi afrikat alveopalatal bersuara [ʝ], bunyi afrikatif alveolar bersuara [dz], bunyi frikatif alveolar bersuara [z]. Variasi bunyi itu terjadi pada ciri tempat artikulasi dan cara artikulasi oleh penutur berlatar belakang bahasa Bali. Cara artikulasi afrikat alveolar [ts, dz] disesuaikan dengan cara artikulasi frikatif [s] seperti pada bahasa Bali. Tempat artikulasi bunyi afrikat alveolar [ts, dz] dilafalkan di tempat artikulasi palatal [ç] dan alveopalatal [ʝ] mendekati bunyi bahasa Bali. Variasi bunyi afrikat alveolar pada tahap frikatif terjadi pada penutur dengan kemampuan bahasa Jepang dasar, dan variasi pada tahap afrikat terjadi pada penutur dengan kemampuan bahasa Jepang menengah, dan variasi bunyi afrikat alveolar yang hampir menyamai penutur asli adalah penutur dengan kemampuan bahasa Jepang tingkat lanjut.
Kata kunci: variasi bunyi, penutur bahasa Jepang berlatar belakang bahasa Bali, afrikatif, alveolar.
PENDAHULUAN
Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa populer untuk dipelajari guna menunjang pariwisata di Bali. Variasi bahasa Jepang yang dibahas pada penelitian kali ini, dititikberatkan kepada variasi yang dilakukan oleh penutur berlatar belakang bahasa Bali sebagai pelaku pariwisata di Bali. Masalah pelafalan merupakan bagian yang penting dalam bahasa Jepang karena melafalkan bunyi yang berbeda akan menimbulkan arti yang berbeda pula. Kemahiran melafalkan bunyi dengan baik merupakan cermin pertama kecakapan berbahasa sebagai seorang pemandu wisata. Pada saat memandu tamu, walaupun tuturan kita benar secara tata bahasa, jika pelafalannya berbeda maka akan menurunkan simpati tamu untuk mendengarkan informasi yang diberikan oleh pemandunya. Hal ini, dapat mengganggu proses penyampaian informasi dan merupakan awal dari timbulnya keluhan tamu di masa mendatang.
Perbedaan pelafalan bunyi bahasa Jepang oleh penutur berlatar belakang bahasa Bali merupakan cerminan dari inventori sistem bunyi yang dimiliki oleh penuturnya yang berbahasa ibu bahasa Bali. Penutur bahasa Bali mengalami kesulitan saat melafalkan bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa Bali. Bunyi afrikat [ts] dan [dz] bahasa Jepang adalah salah satu bunyi yang paling banyak menyita perhatian saat dilafalkan oleh penutur berlatar belakang bahasa Bali karena sangat menyolok ketika didengarkan.
Bunyi afrikat merupakan bunyi yang dihasilkan oleh perpaduan cara artikulasi hambat dan frikatif. Arus udara mengalami penutupan sejenak kemudian dibebaskan melalui celah sempit yang menimbulkan desisan. Bahasa Jepang memiliki bunyi afrikat alveolar tidak bersuara [ts] dan afrikat alveolar bersuara [dz] yang muncul pada suku kata di awal, tengah, dan akhir sebuah kata. Penelitian ini akan mendeskripsikan secara akustik variasi bunyi yang terjadi dan proses fonologis yang terjadi yang dituliskan dengan kaidah fonologisnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian sinkronis yang bersifat deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian adalah di kota Denpasar, Provinsi Bali, yaitu pada perusahaan biro perjalanan PT Harum Indah Sari (HIS) Tour and Travel. Perusahaan ini merupakan perusahaan biro jasa terbesar di Bali yang merupakan cabang dari perusahaan induknya di Jepang yaitu perusahaan HIS (Highest International Standard) yang tersebar di seluruh dunia. Data-data deskriptif berupa data lisan dari pelafalan bunyi bahasa Jepang oleh staf Guest Relation Officer PT HIS Tour and Travel yang merupakan penutur bahasa Bali. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fonologi generatif dengan bantuan teori fonetik akustik. Data primer penelitian ini adalah hasil rekaman audio staf Guest Relation Officer berkebangsaan Indonesia berbahasa ibu bahasa Bali dan staf Guest Relation Officer berkebangsaan Jepang penutur asli bahasa Jepang. Data sekunder meliputi hasil-hasil penelitian fonologi bahasa Jepang oleh bukan penutur asli yang pernah ada sebelumnya. Sumber data penelitian ini adalah staf Guest Relation Officer (GRO) yang kesehariannya aktif berbahasa Bali. Alasan pemilihan Guest Relation Officer karena petugas inilah yang kesehariannya paling banyak berinteraksi dengan orang Jepang yang merupakan penutur asli bahasa Jepang. Penelitian yang bersifat kualitatif tidak ditentukan oleh jumlah informan yang ada, tetapi lebih kepada kualitas data seorang informan yang dapat mewakili struktur bahasa tertentu. Kriteria pemilihan informan menggunakan metode purposive sampling. Artinya, pemilihan ditujukan pada informan-informan yang memenuhi kriteria tertentu yang diuraikan sebagai berikut.
-
1) Pria atau wanita yang terdaftar secara resmi sebagai pegawai PT HIS Tour and Travel, Departemen Operational Guest Relation Officer.
-
2) Penutur aktif bahasa Bali, menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa utama dalam
komunikasi sehari-hari di luar lingkungan kerja.
-
3) Berusia antara 22 tahun hingga 40 tahun.
-
4) Memiliki latar belakang pendidikan bahasa Jepang formal minimal satu tahun, atau memiliki pengalaman bekerja
menggunakan bahasa Jepang minimal tiga tahun, atau mempunyai pengalaman menetap di Jepang minimal selama satu tahun.
-
5) Memiliki kemampuan berbahasa Jepang minimal level 4 standar internasional bahasa Jepang (Japanese Profience Language Test)
-
6) Telah bekerja di PT HIS Tour and Travel di bagian Operational Guest Relation Officer lebih dari satu tahun.
-
7) Tidak memiliki cacat fisik pada alat-alat
artikulasi.
-
8) Memiliki kemampuan artikulasi yang
memadai.
-
9) Merupakan penduduk asli Bali
Latar belakang informan juga diperhatikan sebagai syarat pemilihan, antara lain: bahasa pertamanya masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan tempat kerja. Selain itu, tidak pernah merantau ke luar daerah di Indonesia, kecuali ke Jepang. Hal ini, patut dipertimbangkan untuk menghindari adanya pengaruh dialek suku tertentu di Indonesia pada bahasa pertamanya, sedangkan pengalaman menetap di Jepang menjadi faktor pendukung kemampuan berkomunikasi bahasa Jepangnya karena penelitian ini menyasar informan yang sedang menggunakan bahasa pertama dan keduanya secara aktif yakni bahasa Bali dan bahasa Jepang serta melihat variasi yang terjadi pada bahasa keduanya. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik elisitasi dengan menyiapkan daftar pertanyaan. Data direkam menggunakan alat perekam Sony IC Recorder, dan dianalisis menggunakan program Speech Analyzer 3.0.1. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan teknik pilah unsur tertentu dan teknik hubung banding untuk menemukan variasi unsur segmental yang terjadi.
PEMBAHASAN
Dalam bahasa Jepang, bunyi afrikat alveolar tidak bersuara [ts] hanya diikuti oleh vokal tinggi belakang tidak bulat [ɯ]. Pada suku kata awal, bunyi [ts] muncul pada kata tsugi [tsɯgi] ‘selanjutnya’, tsuki [tsɯki] ‘bulan’, tsukuru[tsɯkɯɾɯ] ‘membuat’. Pada suku kata tengah adalah atsui [atsɯi] ‘panas’, mitsukeru [mitsɯkɛɾɯ] ‘menemukan’. Pada suku kata akhir adalah matsu [matsɯ] ‘menunggu’, fukutsuu [ɸɯkɯtsɯ:] ‘sakit perut’, mutsu [mɯtsɯ] ‘enam buah’, dan lain-lain.
Bunyi afrikat alveolar tidak bersuara bahasa Jepang diikuti oleh kelima vokal sehingga muncul dalam deret [dza, dʒi, dzɯ, dze, dzo]. Pada saat bunyi hambat frikatif alveolar ini diikuti oleh vokal tinggi depan [i] maka cara artikulasinya akan berubah menjadi afrikat alveopalatal bersuara [dʒi]. Bunyi [dʒi] terdapat dalam sistem fonologi bahasa Bali sehingga pelafalannya tidak mengalami perbedaan dengan penutur asli bahasa Jepang. Contoh kata yang mengandung bunyi [dz] adalah zenjitsu [dzɛnʝitsɯ] ‘sehari sebelum’, muzukashii [mɯzɯkaʃi:] ‘susah’, douzo [do:zo:] ‘silakan’.
-
1. Bunyi afrikat alveolar tidak bersuara
[tsɯ]
Bunyi afrikat alveolar tidak bersuara [tsɯ] saat dilafalkan oleh penutur berlatar belakang bahasa Bali (PLBB) mengalami variasi yang dijelaskan pada gambar berikut.
Gambar 1.1
Grafik gelombang dan spektogram kata tsugi [sugi] ‘selanjutnya’ oleh PLBB
#s
u
g i#
Berdasarkan gambar 1.1 di atas, penampakan bentuk gelombang pada detik 0,04771 selama 0,1807 detik merupakan gelombang acak (random wave). Gelombang ini terbentuk akibat turbulensi aliran udara sebagai bunyi frikatif. Gelombang periodik yang muncul selanjutya adalah gelombang bunyi vokal tinggi belakang [u]. Bentuk gelombang hambat hanya terlihat pada detik 0,7211 yakni bunyi hambat velar bersuara [g]. Informan melafalkan bunyi hambat frikatif ini dengan menghembuskan arus udara dari paru-paru tanpa melakukan penutupan di daerah alveolar. Dilihat dari penampakan pita spektogram, tidak ada tanda-tanda terjadinya hambatan di awal silabel. Pita spektogram tersebar samar sepanjang 0,1807 detik yang menandakan adanya bunyi friksi bukannya hambatan. Dengan demikian, informan hanya dapat melafalkan bunyi hambat afrikat hanya sampai pada level frikatif saja.
Variasi bunyi afrikat [tsɯ] menjadi frikatif [su] memiliki tempat artikulasi yang sama yakni pada daerah alveolar, tetapi mengalami proses perubahan ciri yakni perubahan pada cara artikulasi sehingga bunyi [tsɯgi] ‘selanjutnya’ menjadi [sugi], [tsɯki] ‘bulan’ menjadi [suki], [tsɯkɯɾɯ] ‘membuat’ menjadi [sukuru]. Hal ini disebabkan oleh penyederhanaan cara artikulasi oleh PLBB yang belum sampai pada tahap perpaduan hambat dan desis pada level afrikasi menjadi level frikatif mendekati cara pelafalan yang terdapat pada bahasa Bali. Proses perubahan ciri terjadi dalam variasi bebas yang dinotasikan dalam kaidah fonologis sebagai berikut.
Kaidah di atas menunjukkan bahwa konsonan afrikat alveolar tidak bersuara berubah menjadi bunyi frikatif alveolar tidak bersuara pada lingkungan di mana saja, di awal, di tengah, maupun di akhir suku kata.
Cara artikulasi afrikat alveolar [ts] disesuaikan dengan cara artikulasi frikatif [s] seperti pada bahasa Bali. Hal ini pada umumnya dilafalkan oleh PLBB yang belum lama belajar bahasa
Jepang. Bunyi frikatif [s] dilafalkan dalam usaha untuk mendekati bunyi afrikat [ts] bahasa Jepang. Contoh lain variasi bunyi afrikat alveolar tidak bersuara [ts] oleh PLBB menjadi bunyi afrikat palatal tidak bersuara dapat dilihat melalui gambar 1.2.
Gambar1.2
Grafik gelombang dan spektogram kata tsukutte [cukutte] ‘membuat’ oleh informan
Contoh lainnya terdapat pada gambar di atas, yakni bunyi afrikat alveolar dilafalkan secara afrikatif tetapi di daerah palatal oleh informan. Pada gambar spektogram detik 0,4245 hingga 0,4803 terlihat pita yang tebal hitam di daerah frekuensi tinggi. Pita tersebut merupakan hasil getaran dan turbulensi yang terjadi di daerah palatal. Dengan demikian bunyi afrikat alveolar tidak bersuara [ts] dilafalkan pada level afrikat palatal tidak bersuara oleh informan.
Tempat artikulasi bunyi afrikat alveolar [ts] dilafalkan oleh PLBB di tempat artikulasi palatal [ç] mendekati bunyi bahasa Bali, seperti pada bunyi [tsɯkɯttɛ] ‘membuat’ menjadi [cukuttɛ], [tsɯki] ‘bulan’ menjadi [cuki]. Cara artikulasi [ts] yang sudah pada level afrikat pada umumnya dicapai oleh PLBB yang berkemampuan bahasa Jepang tingkat menengah. Namun, perbedaan masih ada pada tempat artikulasinya. Bunyi afrikat alveolar [ts] dilafalkan dengan cara afrikat, namun titik artikulasinya bergeser ke belakang yakni ke daerah palatal sehingga menghasilkan bunyi [ç] yang mendekati bunyi bahasa Bali.
ts ------► ç

Proses fonologis yang terjadi adalah variasi bebas pada perubahan ciri (+ant) menjadi (-ant) yang terjadi di lingkungan mana saja, yakni awal, tengah, dan akhir suku kata.
Gambar 1.3
Spektogram dan gelombang bunyi Tsuki [tskiʔ] ‘termasuk’ oleh Informan PLBB

#ts
k i ʔ#
Gambar 1.3 adalah gambar pelafalan bunyi [ts] oleh penutur berlatar belakang bahasa Bali. Dari penampakan gelombang bunyinya, terlihat bentuk gelombang acak yang menandai adanya bunyi frikatif. Dilihat dari penampakan pita spektogramnya, bagian menghitam terpencar dan tidak mengumpul, hal ini merupakan karakteristik bunyi frikatif. Sehingga dari gambar terlihat bahwa penutur berlatar belakang bahasa Bali juga dapat melafalkan bunyi afrikat alveolar dengan baik. Variasi ini terjadi pada PLBB yang sudah mempunyai kemampuan di atas menengah. Dengan demikian, bunyi frikatif alveolar tidak bersuara [ts] dapat dilafalkan oleh penutur berkemampuan bahasa Jepang dasar dengan frikatif alveolar [s], penutur dengan tingkat kemampuan menengah dapat melafalkan pada level afrikat [ç], dan penutur berkemampuan lanjut dapat melafalkan bunyi afrikat alveolar hampir menyamai penutur aslinya.
Bunyi afrikat alveolar bersuara [dz] saat
dilafalkan oleh penutur berlatar belakang bahasa Bali (PLBB) mengalami variasi yang dijelaskan pada gambar berikut.
[dzɛnʝitsɯ ] oleh PABJ
[sεηtjissu] oleh PLBB
Gambar 2.1
zenjitsu [dzɛnʝitsɯ] ‘satu hari sebelum’


Gambar 2.1 terlihat pada gambar spektogram penutur asli bahasa Jepang (PABJ), bunyi afrikat alveolar [dz] dilafalkan dengan meninggalkan jejak spektogram di detik 0,1060 yaitu plosive yang segera dilanjutkan dengan pelepasan secara frikatif di daerah alveolar. Pita spektogram pada bagian forman satu F1 berhubungan dengan bergetarnya pita suara, sehingga menunjukkan fitur bersuara dan tidak bersuaranya suatu bunyi. Pada gambar spektogram PABJ, tidak terdapat jejak F1 sehingga bunyi tersebut bukanlah tipe bunyi bersuara. Jadi, dapat dikatakan bahwa bunyi yang dilafalkan oleh PABJ tergolong bunyi afrikat alveolar tidak bersuara [dz].
Pada gambar spektogram pelafalan informan PLBB, terlihat pada awal gelombang terdapat gelombang khas frikatif yaitu gelombang acak. Melalui penampakan spektogram, dapat terlihat bahwa terdapat pita spektogram yang tersebar agak tebal dan terpencar pada daerah frekuensi tinggi. Hal ini merupakan karakteristik bunyi frikatif alveolar [s]. Ketebalan pita mengindikasikan banyaknya energi yang terkonsentrasi di tempat artikulasi, dalam hal ini adalah alveolar. Jadi, pada daerah ini terdapat turbulensi udara yang intens sehingga ditunjukkan oleh tebalnya pita spektogram. Permukaan lidah yang naik mempengaruhi ketinggian frekuensi sehingga tebalnya pita
berkumpul di bagian atas spektogram. Pada gambar spektogram yang dilafalkan oleh informan, bunyi frikatif yang dihasilkan tidak meninggalkan jejak forman di daerah F1 sehingga bunyi frikatif tersebut adalah tidak bersuara. Dengan demikian, bunyi afrikat alveolar bersuara [dz] pada kata zenjitsu dilafalkan dengan bunyi frikatif alveolar tidak bersuara [s] oleh informan berlatar belakang bahasa Bali.
Variasi bunyi afrikat [dz] menjadi frikatif [s] memiliki tempat artikulasi yang sama yakni pada daerah alveolar, tetapi mengalami proses perubahan ciri yakni perubahan pada cara artikulasi yaitu, afrikat menjadi frikatif sehingga bunyi [dzɛnʝitsɯ] menjadi [sɛŋʝissu], [dzɛndzɛn] menjadi [sɛŋsɛŋ], [zannɛn] menjadi [sannɛn]. Hal ini disebabkan cara artikulasi PLBB yang belum sampai pada tahap perpaduan hambat dan desis pada level afrikasi, cara artikulasi tersebut disederhanakan menjadi frikatif mendekati cara pelafalan yang terdapat pada bahasa Bali. Variasi menjadi bunyi [s] pada umumnya dilafalkan oleh PLBB yang masih pada tahap kemampuan dasar bahasa Jepang. Proses perubahan ciri yang terjadi dapat dinotasikan dalam kaidah fonologis sebagai berikut.
Kaidah di atas menunjukkan bahwa konsonan afrikat alveolar bersuara [dz] berubah menjadi konsonan frikatif alveolar tidak bersuara [s] dalam variasi bebas pada suku kata awal, tengah, dan akhir kata.
Gambar 2.2
zenzen[dzɛndzɛn]‘tidak sama sekali’
[dzɛndzɛn] oleh Takahashi |
[ʝɛŋzɛŋ] oleh Lisna |

Pada gambar 2.2 bagian yang diberi tanda garis putus-putus menunjukkan karakteristik bunyi afrikat. Pelafalan bunyi [dz] oleh PABJ jika dilihat dari bentuk gelombangnya, terlihat adanya letupan yang diikuti gelombang acak, kemudian sebaran warna hitam yang merata khususnya pada daerah frekuensi tinggi. Hal ini, menunjukkan adanya hambatan di sekitar daerah alveolar ditandai oleh lokus forman F1 yang berkisar 600 Hz. Durasi yang diperlukan dari fase hambat frikatif hingga masuknya bunyi vokal adalah sekitar 0,0821 detik. Durasi transisi antara hambat menuju desis yang terjadi sangat pendek sehingga menunjukkan bahwa bunyi tersebut adalah bunyi afrikat.
Pelafalan oleh PLBB, terlihat dari penampakan spektogramnya, pada konsonan suku kata pertama pita hitam berkumpul di daerah frekuensi tinggi dengan F3 2500 Hz. Hal ini menjadi karakteristik bunyi afrikat di daerah sekitar alveo palatal. Pada suku kata pertama, PLBB mencoba melafalkan bunyi afrikat alveolar bersuara namun melafalkannya dengan bunyi afrikat alveopalatal bersuara [ʝ]. Pada konsonan suku kata ke dua, dapat dilihat dari gambar spektogramnya, pita spektogram yang tebal pada daerah F2 dan F3 merupakan efek turbulensi yang terjadi di daerah alveolar, kemudian adanya jejak F1 menunjukkan bahwa bunyi yang dihasilkan adalah bunyi frikatif alveolar bersuara [z]. Maka pelafalan yang dihasilkan oleh PLBB adalah bunyi frikatif alveolar bersuara [z].
Bunyi afrikat alveolar bersuara [dz] dapat bervariasi menjadi bunyi frikatif alveolar tidak bersuara [z] atau bunyi afrikat alveopalatal bersuara [ʝ] oleh penutur PLBB. Variasi bunyi [dz] menjadi [ʝ] dan [z] pada umumnya terjadi
pada pelafalan PLBB yang berkemampuan bahasa Jepang tingkat menengah. Contohnya [dzannɛn] ‘sayangnya’ menjadi [ʝannɛn] atau [zannɛn], [muzukaʃi:] ‘sulit’ menjadi [mɯʝɯkaʃi:], atau [dzo:] ‘gajah’ menjadi [zo:]. Variasi yang terjadi adalah akibat adanya perubahan ciri pada cara artikulasi atau tempat artikulasi. Proses perubahan ciri yang terjadi dapat dinotasikan ke dalam kaidah fonologis berikut ini.
Konsonan afrikat alveolar bersuara [dz] akan berubah menjadi konsonan afrikat alveopalatal bersuara [ʝ]
Kaidah di atas menunjukkan bahwa konsonan afrikat alveolar bersuara [dz] berubah menjadi konsonan frikatif alveolar tidak bersuara [ʝ] dalam variasi bebas pada suku kata awal, tengah, dan akhir kata.
Konsonan afrikat alveolar bersuara [dz] akan berubah menjadi konsonan frikatif alveolar bersuara [z].
Kaidah di atas menunjukkan bahwa konsonan afrikat alveolar bersuara [dz] berubah menjadi konsonan frikatif alveolar tidak bersuara [z] dalam variasi bebas pada suku kata awal, tengah, dan akhir kata.
Variasi bunyi [dz] oleh PLBB mempunyai empat varian yaitu bunyi [s], [ʝ], [z],dan [dz]. Variasi bunyi [dz] menjadi [s] dilafalkan oleh penutur berkemampuan tingkat dasar. Variasi bunyi [dz] menjadi [ʝ] dan [z] pada umumnya terjadi pada pelafalan PLBB yang berkemampuan bahasa Jepang tingkat menengah, sedangkan hanya penutur PLBB yang berkemampuan bahasa Jepang tingkat lanjut yang dapat melafalkan bunyi [dz] mendekati penutur aslinya.
SIMPULAN
Penutur berlatar belakang bahasa Bali mempunyai variasi pada pelafalan bunyi afrikat alveolar [ts, dz] bahasa Jepang. Variasi bunyi afrikat alveolar [ts] mempunyai tiga varian oleh PLBB yaitu, bunyi [s], [ç], dan [ts]. Bunyi frikatif alveolar tidak bersuara [s] pada umumnya dilafalkan oleh PLBB berkemampuan dasar, bunyi afrikat palatal [ç] dilafalkan oleh PLBB berkemampuan menengah. Sedangkan bunyi [ts] dilafalkan mendekati penutur aslinya oleh PLBB berkemampuan tingkat lanjut. Variasi yang terjadi adalah akibat perubahan pada cara artikulasi dan tempat artikulasi yang dilafalkan mendekati bunyi [s] dan [ç] yang terdapat dalam bahasa Bali.
Variasi bunyi afrikat alveolar [dz] mempunyai empat varian oleh PLBB yaitu, bunyi [s], [ʝ], [z], dan [dz]. Bunyi frikatif alveolar bersuara [s] pada umumnya dilafalkan oleh PLBB berkemampuan dasar, bunyi afrikat alveopalatal [ʝ] dan frikatif alveolar [z] dilafalkan oleh PLBB berkemampuan menengah. Sedangkan bunyi [dz] dilafalkan mendekati penutur aslinya oleh PLBB berkemampuan tingkat lanjut. Variasi yang terjadi adalah akibat perubahan pada cara artikulasi dan tempat artikulasi yang dilafalkan mendekati bunyi [s], [ʝ] yang terdapat dalam bahasa Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Fromkin, Victoria, Robert Rodman, Nina Hyams. 2014. An Introduction to Language. USA: Wadsworth, Cengange Learning.
Imada, Shigeko.1997.Hatsuon.Tokyo: The Japan Foundation
Kashima, Tanomu.2005.Nihongo Kyooiku o
Mezasu Hito no Tame no Kiso kara Manabu Onseigaku. Tokyo: SuriieNettowaaku.
Kenstowicz, Michael. 1994. Phonology in
Generative Grammar. UK: Blackwell
Kubozono, Haruo(Eds). 2015. Handbook of Japanese Phonetic and Phonology.
Germany:Walter de Gruyter.
Ladefoged,Peter. 1993. A Course In Phonetics Third Edition.United State America:Harcourt Brace Collage Publishers.
Ladefoged,Peter. 2001. Vowels and Consonants (An Introduction to the Sounds of Languages).United State America:Blackwell Publishers.
Marsono.2008. Fonetik. Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press
Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Meidariani, Ni Wayan. 2012. “Interferensi Penggunaan Bahasa Jepang oleh Pelaku Pariwisata di Kawasan Wisata Gianyar” (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Odden, David. 2005. Introducing to Phonology. Cambridge University Press
Ohata, Kota. 2010. “Phonological Differences between Japanese and English: Several Potentially Problematic Areas of Pronunciation for Japanese ESL/EFL Learners”. Asian EFL Journals.
Diunduh pada tanggal 10 September 2016. 10.1.1.654.7427.pdf
Pastika, I Wayan. 2005. Fonologi Bahasa Bali, Sebuah Pendekatan Generatif Transformasi. Bali: Pustaka Larasan
Saito, Yoshio.2010.Gengogaku Nyuumon. Japan: Sanseido
Schane,Sanford A.1992. Fonologi Generatif.
Jakarta:Summer Institute of Linguistic
Schane, Sanford A. 1973. Generative Phonology.
NJ: Prentice Hall, Inc
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistis.
Yogyakarta: Sanata Dharma University Press
Suparwa, I Nyoman. 2008. Fonetik Akustik dan Pedoman Pengoperasian Speech Analzer (Terj). Denpasar: Universitas Udayana
Tsujimura. 2014. An Introduction to Japanese Linguistics.UK:Wiley Blackwell
62
Discussion and feedback