Perubahan Fungsi Ruang pada Cultural Landscape Subak di Perkotaan: Studi Kasus Subak Padang Galak Kota Denpasar
on
JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP
ISSN: 2442-5508
VOL. 9, NO. 1, APRIL 2023
Perubahan Fungsi Ruang pada Cultural Landscape Subak di Perkotaan:
Studi Kasus Subak Padang Galak Kota Denpasar
I Gusti Agung Bagus Suryada1*
-
1. Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstract
Changes in Spatial Functions in Subak Cultural Landscape in Urban Areas: A Case Study of Subak Padang Galak City of Denpasar. The Subak cultural landscape is a world cultural heritage that has an important meaning for the people of Bali and the world, so it needs to be preserved. Changes in the cultural landscape in urban areas are inevitable due to urban development. The cultural landscape of Subak Padang Galak is a subak in the city of Denpasar that efforts have been made to preserve. Conservation efforts have been carried out by the Denpasar City government and the Kesiman Kertalangu Village administration. Conservation efforts are also carried out by the private sector by developing tourist attractions. The presence of new activities in the subak area will change the function of the space. To minimize the negative impact due to new activities in the subak area, it is necessary to study the changes in spatial function that occur in the Padang Galak subak. This research is aqualitative research. The analysis was carried out using a comprehensive literature review which was carried out by comparing objects with concepts or theories descriptively. The results of this study indicate that in addition to agricultural functions in the subak area, there are also recreational functions, sports functions, economic functions, communication functions and service functions. In general, the new function is still in accordance with city zoning regulations.
Keywords: change, function of space, Subak, tri hita karana
Cultural landscape subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia sejak tahun 2012 oleh UNESCO, yang menunjukkan keberadaannya memiliki arti penting bagi masyarakat Bali, maupun dunia. Cultural landscape adalah hasil karya manusia dengan mengubah lingkungan alami. Di dalam cultural landscape terkandung simbol-simbol yang memiliki makna (Cosgrove, 2008). Makna simbol pada cultural landscape dapat berupa gagasan, kepercayaan, dan sejarah kebudayaan (Mills, 2007). Cultural landscape tidaklah statis namun mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan cultural landscape tradisional akan terus terjadi, apabila dampak perubahannya besar maka potensi kertidak berlanjutannya juga besar (Türkyılmaz, 2016).
Areal Cultural landscape subak merupakan salah satu penyumbang Ruang Terbuka Hijau Kota bagi Kota Denpasar sesuai dengan perda Kota Denpasar No. 27 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa lahan sawah adalah merupakan bagian dari ruang terbuka hijau kota (RTHK). Di Kota Denpasar terdapat 42 subak yang masih tercatat pada Dinas kebudayaan kota Denpasar, namun lahan subak di kota Denpasar terus mengalami alih fungsi yang menimbulkan berbagai akibat seperti: banyaknya sampah plastik masuk ke areal sawah, terputusnya saluran irigasi, melemahnya nilai-nilai budaya subak, terganggunya pola tanam, makin rendahnya kuantitas dan kualitas air irigasi (Dewi et al., 2016). Perubahan pada kota yang sedang berkembang tidak dapat dihindari karena keperluan akan berbagai fasilitas modern (Cuibotarita, 2011). Perubahan pada daerah perkotaan baik akibat perencanaan kota, atau perubahan spontan dapat menimbulkan degradasi lingkungan (Mazzino, 2010). Untuk meminimalisir dampak negatif perubahan, perlu diantisipasi dengan berbagai langkah yang diperlukan.
Cultural Landscape Subak Padang Galak (selanjutnya disebut Subak Padang Galak) adalah salah satu subak di Kota Denpasar yang telah diupayakan pelestariannya, baik oleh Pemerintah Kota Denpasar maupun Desa Kesiman Kertalangu. Upaya pelestarian juga dilakukan oleh pihak swasta dengan membangun fasilitas
wisata Desa Budaya Kertalangu, pembangunan fasilitas olah raga jogging track dan aktifitas penunjang wisata lainnya (Budiastuti et al., 2015). Dengan melihat perubahan ruang yang terjadi pada Subak Padang Galak dapat diketahui bagaimanakah perubahan fungsi ruang pada Subak Padang Galak, dan apakah fungsi-fungsi baru tersebut sesuai dengan upaya pelestarian subak dan regulasi yang berlaku. Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mendapatkan masukan bagi upaya pelestarian subak pada subak yang sejenis.
Penelitian ini menggunakan Metode kulitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mendeskripsikan kondisi objek penelitian pada saat ini sesuai dengan fakta-fakta apa adanya (Moleong, 2008). Metode analisa yang dipakai adalah metode tinjauan pustaka. Metode tinjauan pustaka atau Comprehensive Literature Review merupakan metode yang proses analisanya dilakukan dengan membandingkan kondisi objek dengan literatur (Onwueg & Frels, 2016). Menurut Comerasamy (2012) Comprehensive Literature Review merupakan metodologi dengan menggunakan teknik anasisis teoritis, yang dilakukan dengan membandingkan objek dengan konsep atau teori secara deskriptif. Snyder (2019) juga menegaskan bahwa tinjauan pustaka dapat digunakan sebagai metode penelitian.
Penelitian ini dilakukan di Subak Padang Galak, Desa Kesiman Kertalangu, Kota Denpasar. Batas-batas Subak Padang Galak adalah: di sebelah utara adalah Subak Temaga, di sebelah Timur adalah Tukad Sasih, di sebelah selatan adalah Tukad Ayung, dan di sebelah barat adalah Tukad Ayung. Areal Subak Padang Galak saat ini tidak lagi menyatu secara utuh tetapi telah terpecah-pecah oleh perumahan dan fungsi lainnya. Pengambilan data ruang pada elemen subak persawahan akan dilakukan pada areal subak yang peruntukan tata guna lahannya merupakan zona pertanian (zona T2) berdasarkan perda tentang peraturan zonasi, dan secara fisik belum mengalami alih fungsi secara permanen. Pengambilan data ruang pada elemen subak saluran irigasi dilakukan pada areal subak yang peruntukannya zona pertanian maupun areal yang sudah berubah menjadi zona non pertanian, yang merupakan saluran irigasi subak Padang Galak. Lokasi subak padang galak dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Lokasi Subak Padang Galak (Dimodifikasi dari Google Maps,2023)
Penelitian diawali dengan menguraikan elemen-elemen ruang pada areal subak beserta fungsi-fungsi yang diwadahi, yang digali dari literatur maupun sumber-sumber tak tertulis lainnya. Tahap selanjutnya dilkukan pemetaan areal subak padang galak dengan data dari google earth dan peta tata guna lahan. Tahap selanjutnya dilakukan pengamatan lapangan, pencatatan, pengambilan foto untuk dokumentasi, dan wawancara untuk mendapatkan data tentang fungsi ruang dan hal-hal terkait.
Ruang merupakan perwujudan dari kebutuhan akan tempat untuk beraktifitas dan berkomunikasi (hakim, 2004). Ruang pada prinsipnya adalah tempat untuk melakukan aktifitas. Surata (2013) menyatakan bahwa Cultural landscape subak tidak terlepas dari konsep tri hita karana yang terdiri dari parahyangan, pawongan, dan palemahan. Konsep tri hita karana adalah hubungan yang harmonis antara manusia dan Tuhan, hubungan yang harmonis antara sesama manusia dan juga makhluk lainnya, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Terkait dengan ruang atau wujud fisik, parahyangan terwujud dalam ruang-ruang dengan fungsi sakral. Pawongan terwujud berupa ruang-ruang dengan fungsi sosial berupa ruang publik, sedangkan palemahan merupakan seluruh areal subak sebagai tempat kerja dan aktivitas lainnya. 3.1 Fungsi Ruang pada Areal Cultural Landscape Subak
Pura Ulun Suwi adalah pura yang dibangun pada suatu wilayah subak atau beberapa subak yang menggunakan sumber air yang sama. Fungsi ruang pada pura ini adalah untuk ritual keagamaan berkelompok antara lain: (1) Maguru piduka, yaitu ritual yang ditujukan kepada Tuhan dalam manivestasinya debagai Dewa Siwa yang bertujuan untuk memohon maaf atas kesahan yang mungkin dilakukan oleh para petani saat bekerja di sawah: (2) Nangluk merana yaitu ritual yang bertujuan memohon agar tanaman tidak dirusak oleh hama, dan ritual keagamaan lainnya. Sanggah catu adalah bangunan suci sederhana yang dibangun pada tempat masuknya air dari saluran irigasi ke suatu persil sawah (pengalapan). Fasilitas ini biasanya berupa sebuah pelinggih yang dapat berupa bangunan dari bambu, kayu, pasangan batu, atau beton. Fungsi bangunan dan ruang di sekitarnya adalah untuk melakukan ritual keagamaan perseorangan yang dilakukan pemilik persil sawah antara lain: (1) Ngedangin yang merupakan ritual saat akan dilakukan pengolahan tanah untuk pertama kalinya yang bertujuan untuk memohon keselamatan selama bekerja di sawah ke pada Tuhan dalam manivestasinya sebagai Dewi Uma; (2) Ngawiwit merupakan ritual yang dilakukan pada waktu petani melakukan pembibitan dengan tujuan memohon keselamatan atas bibit yang di tanam kepada Tuhan dalam manivestasinya sebagai Sang Banaspati dan Sang Hyang Ibu Pertiwi; (3) Biyukukung adalah ritual yang dilakukan saat padi mulai bunting atau batang padi mulai membesar yang berisi bakal buah, dengan tujuan memohon kepada Tuhan agar buah padi dapat berkembang dengan baik: (4) Nyangket adalah ritual yang dilakukan menjelang panen yan bertujuan memohon kepada Dewi Sri agar padi yang akan dipanen selamat dan mendapat hasil yang berlimpah, dan banyak lagi ritual lainnya (Surata, 2013)
Bale subak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan pertemuan bagi pengurus dan anggota subak terkait dengan kegiatan subak (Yuliana, 2020). Pertemuan anggota subak disebut sangkepan yang dilakukan setiap 35 hari sekali atau satu bulan sesuai dengan kalender Bali. Sangkepan dilaksanakan pada hari yang dipandang baik berdasarkan kalender Bali seperti: Anggara kasih, Buda manis, atau Saniscara kliwon. Sangkepan dipimpin oleh pekaseh (ketua organisasi subak), yang dibahas adalah pertanggung jawaban keuangan, ritual keagamaan, masalah dalam kegiatan pertanian, pelanggaran awig-awig (peraturan) dan lain-lain terkait dengan kegiatan subak (Surata, 2013). Pada beberapa subak di Denpasar, bale subak dibangun berdampingan dengan pura subak atau di dalam areal pura subak. Bangunan lain yang ada pada areal subak adalah bale timbang. Bale timbang berbentuk bangunan kecil tanpa dinding (terbuka) memiliki atap yang disangga oleh dua buah tiang. Bangunan ini dibangun di pinggir jalan subak atau pada pematang sawah yang agak lebar. Balai timbang berfungsi sebagai tempat untuk bermusyawarah tentang permasalahan, sengketa, atau kondisi yang dihadapi oleh krama subak. Jumlah tiang bale timbang dua buah melambangkan harapan bahwa kesepakatan yang dihasilkan bersifat adil dan bermanfaat bagi kedua belah pihak yang bersepakat.
Landscape subak terdiri dari sawah, bangunan irigasi, dan jalan subak. Areal sawah pada suatu subak biasanya dibagi lagi menjadi munduk, sesuai dengan luas wilayah subak, geografis (seperti misalnya areal sawah yang terpecah oleh perumahan atau tegalan dan batas alam lainnya), juga berdasarkan penggunaan bersama satu saluran air. Krama subak dalam satu munduk bekerja sama dalam melaksanakan upacara keagamaan, pengelolaan air irigasi, penentuan musim tanam, dan lain lain. Fungsi dari munduk adalah untuk membagi areal subak menjadi kelompok yang lebih kecil untuk memudahkan dalam segala kegiatan subak. Satu munduk terdiri dari beberapa persil sawah dan menggunakan satu saluran air bersama. Persil sawah dianalogikan seperti manusia yang memiliki tri angga yang terdiri dari: utama angga (kepala), madya angga (badan), dan nista angga (kaki). Pengalapan (tempat masuknya air dari saluran air ke persil sawah)
dianalogikan sebagai utama angga, bagian sawah yang lain dialalogikan sebagai madya angga, dan pengutangan (tempat pembuangan air dari persil sawah) dianalogikan sebagai nista angga. Jalan subak (path) biasanya berada sepanjang sisi saluran irigasi. Sawah berfungsi sebagai tempat bekerja (dalam bidang pertanian), atau tempat melakukan segala kegiatan terkait dengan pertanian. Bangunan irigasi subak terdiri dari empelan (bendungan), telabah (saluran irigasi), tembuku (bagunan pembagi air) dan bangunan pelengkap. Empelan adalah bangunan yang berfungsi untuk membendung air sungai untuk dialirkan ke sawah. Telabah dibagi menjadi telabah aya, telabah gede, telabah cerik, telabah pemaron. Empelan berfungsi untuk membendung dan mengatur air untuk disalurkan ke persawahan. Telabah aya (saluran primer), telabah gede (saluran sekunder), telabah cerik (saluran tersier), dan telabah pemaron, berfungsi mengalirkan air dari empelan sampai ke persil sawah. Pengalapan berfungsi sebagai tempat masuknya air dari telabah pemaron ke persil sawah, dan memiliki fungsi sebagai tempat ritual keagamaan perseorangan. Telabah pengutangan merupakan saluran pembuangan yang berfungsi untuk membuang kelebihan air pada persil sawah. Tembuku merupakan bangunan pembagi air yang berfungsi untuk membagi air pada telabah menjadi telabah yang lebih kecil (Surata, 2013). Jalan subak atau jalan usaha tani adalah sarana transportasi pada kawasan pertanian. Fungsi jalan usaha tani adalah sebagai sarana transportasi pada kawasan pertanian unutuk memperlancar mobilitas sarana produksi dan pengangkutan hasil produk pertanian (Panudju, 2012)
-
3.2 Gambaran Umum Cultural Landscape Subak Padang Galak
Culltural landscape Subak Padang Galak terdiri dari parahyangan dengan fasilitas fisiknya berupa pura /tempat suci, pawongan berupa organisai subak dan krama subak, dan palemahan berupa areal subak/sawah. Parahyangan di Subak Padang Galak berupa pura subak dan sanggah catu. Pura subak padang galak berada di Jalan By Pass Ngurah Rai Denpasar. Pura subak berada pada satu site dengan balai subak (gambar 2).
Gambar 2. Lay Out Pura Subak dan Balai Subak Padang Galak (gambar kiri),
Sanggah catu (gambar kanan)
Sanggah catu terdapat pada setiap persil sawah yang dibangun pada hulu persil sawah yaitu dekat dengan pengalapan atau tempat masuknya air dari telabah pemaron ke persil sawah. Bangunan sanggah catu berupa bangunan tidak permanen yang dibuat dari bambu, kayu, atau turus (tanaman hidup), ada juga yang atapnya terbuat dari seng.
Pawongan pada Subak Padang Galak terdiri dari krama subak, pengurus subak, serta organisasi subak. Pengurus subak padang galak terdiri dari: pekaseh (ketua), penyarikan (sekretaris), petengen (bendahara), kelian munduk (pengurus kelompok). Di Subak Padang Galak terdapat tujuh munduk sehingga ada tujuh kelian munduk. Pada setiap munduk terdapat kesinoman (penyampai pesan) yang bertugas membantu kelian munduk. Anggota subak disebut krama subak yang aktif terlibat dalam seluruh kegiatan subak. Subak Padang
Galak juga memiliki koperasi tani yang kegiatannya meliputi pengadaan sarana produksi seperti: pupuk, benih, dan lain-lain.
Palemahan pada subak Padang Galak terdiri dari areal sawah, bangunan bagi, telabah aya, telabah cerik, telabah pemaron, pengalapan, pengutangan, telabah pengutangan, dan jalan subak. Areal sawah terdiri dari tujuh munduk yaitu: Munduk Batuaji, Munduk Pasekan, Munduk Kertasari, Munduk Gendang, Munduk Tangtu, Munduk Delundung, dan Munduk Biaung.
Luas subak Padang Galak adalah 105,2 hektare, jumlah krama subak 182 orang. Saluran irigasi terdiri dari saluran primer (telabah aya) sepanjang 5 km, saluran sekunder (telabah cerik) sepanjang 4,5 km, dan saluran tersier (telabah pemaron) sepanjang 6 km, terdapat pula tembuku aya, tembuku cerik, tembuku pemaron. Kondisi tembuku masih berfungsi dengan baik. Kondisi saluran berupa saluran permanen sepanjang 10,85 km, dan saluran tidak permanen sepanjang 4,65 km. Keberadaan sampah pada saluran cukup banyak dan mengganggu fungsi saluran. Areal sawah pada Subak Padang Galak secara keseluruhan kini tidak lagi menyatu, tetapi telah terpecah pecah dengan adanya peggunaan lain selain sawah akibat alih fungsi lahan yang sebagian besar beralih fungsi menjadi permukiman masyarakat (subakbali.org, 2023). Areal sawah (zona T2) pada Subak Padang Galak dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Areal Sawah Subak Padang Galak (Diolah dari google earth, 2023 dan Peraturan zonasi Denpasar Timur, 2014)
Aliran air berasal dari Dam Kedewatan melalui bangunan bagi Penatih mengalir ke bangunan bagi Gendang, menuju ke munduk Gendang, dan menuju bangunan bagi di sebelah pos polisi Tohpati, yang kemudian terbagi menjadi empat saluran tersier (telabah cerik). Empat saluran ini menuju ke munduk pasekan, munduk batuaji, munduk Delundung, munduk Kertasari, munduk Biaung dan Tangtu (gambar 4).
KETERANGAN
-
1.Sungai Lauh
-
2.Bangunan Bagi Penatih
-
3.Bangunan Bagi Gendang
-
4.Bangunan Bagi Pos Polisi
-
5.Bangunan Bagi Padang Galak
-
6.Bangunan Bagi Kertasari
-
7.Bangunan Bagi Delundung
-
8 .Munduk Batuaji Utara
-
9 .Subak Temaga
10.Munduk Gendang
-
11 .Munduk Pasekan
-
12 .Munduk Batuaji Selatan
-
13 .Munduk Delundung
14Munduk Kertasari
-
15 .Munduk Biaung
-
16 .Munduk Tangtu
Gambar 4. Saluran air dan bangunan bagi di Subak Padang Galak (Putri et al., 2015)
Parahyangan di subak Padang Galak terdiri dari Pura Ulun Suwi, dan Sanggah Catu yang berfungsi sebagai ruang untuk melaksanakan ritual keagamaan berkelompok dan perseorangan. Pura Ulun Suwi merupakan ruang untuk melaksanakan ritual keagamaan kolektif dengan fasilitasnya dapat dilihat pada gambar 5, berupa: (1) Piasan berfungsi sebagai tempat meletakkan banten (sarana upakara); (2) Pelinggih Rare Angon yang berfungsi sebagai sarana memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Rare
Pada bagian luar terdapat balai subak dan fasilitas penunjang lainnya. Menurut surata (2013) tidak disebutkan adanya fasilitas bale subak pada pura subak. Jadi dapat dikatakan terdapat fasilitas dengan fungsi baru pada pura subak yang dapat dilihat pada gambar 6, yang terdiri dari : (1) Balai subak yang berfungsi untuk tempat pertemuan krama subak, maebat (penyiapan konsumsi maupun sarana upakara), dan kegiatan lain terkait subak; (2) Gudang yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sarana upakara; (3) Lumbung yang secara tipologi bangunan fungsinya untuk menyimpan hasil bumi, namun pada subak Padang Galak lebih dominan berfungsi sebagai simbol stana Dewi Sri, dan pada bagian bawahnya berfungsi untuk tempat duduk-duduk; (4) Bale bengong merupakan bangunan terbuka bertiang empat yang berfungsi sebagai tempat untuk duduk-duduk; (5) Pelinggih Penunggun Karang; (6) Kolam. Sanggah catu merupakan pelinggih yang dibangun pada masing-masing hulu persil sawah atau pengalapan fungsinya tetap sebagai ruang untuk ritual keagamaan perseorangan.
Bale Subak
Gudan
Penunggun karan
Lumbung
Bale Bengong
Kolam
Gambar 6. Fasilitas pada bagian parahyangan di subak Padang Galak,
Pada parahyangan yaitu pada pura Ulun Suwi terjadi perkembangan fungsi ruang dari fungsi ritual berkelompok kini juga terdapat fungsi sosial namun masih terkait dengan kegiatan subak, dan fungsi penunjang kegiatan upacara. Pada sanggah catu dan ruang di sekitarnya tetap merupakan area sakral dari persil sawah dan berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya ritual keagamaan perseorangan terkait dengan kegiatan pertanian. Sangah catu dibuat tidak permanen dan dipasang pada saat upacara, ada pula yang masih terpasang disaat tidak ada upacara. Fungsi ruang sakral pada hulu persil sawah tetap sebagai tempat ritual keagamaan perseorangan terkait dengan kegiatan pertanian.
Jaringan irigasi pada Subak Padang Galak adalah berupa saluran irigasi dan bangunan bagi. Irigasi adalah upaya penyediaan, pengaturan, pembuangan air untuk menunjang kegiatan pertanian (PUPR, 2019). Jadi saluran irigasi adalah sarana untuk mengalirkan air yang secara fisik terdiri dari cekungan tempat air mengalir dan pematang sebagai dinding saluran. Saluran irigasi membentuk ruang memanjang sepanjang saluran. Fungsi saluran adalah untuk mengalirkan air dan kegiatan penunjang pertanian. Pada subak Padang Galak terdapat saluran sekunder (telabah aya), Saluran tersier (telabah cerik), dan telabah pemaron. Secara keseluruhan fungsi ruang pada saluran irigasi tetap berfungsi untuk kegiatan penunjang pertanian. Bangunan bagi dan ruang disekitarnya tetap berfungsi untuk pembagi dan pengaturan air dan kegiatan penunjang pertanian lainnya. Pada pinggir saluran sekunder terdapat perkembangan fungsi berupa kegiatan pencucian kendaraan (dapat dilihat pada gambar 7).
Tempat Pencucian kendaraan pada pinggiran saluran sekunder
Bangunan bagi di dekat Pos Polisi Tohpati
Gambar 7. Bangunan bagi dan tempat pencucian kendaraan di Subak Padang Galak,
Jalan Subak yang merupakan ruang publik di subak padang galak selain berfungsi sebagai sarana transportasi untuk mobilitas sarana produksi dan pengangkutan hasil produk pertanian, juga berfungsi untuk mewadahi kegiatan wisata, rekreasi, dan olah raga. Perubahan fungsi ruang terjadi pada jalan subak munduk Delundung. Fungsi untuk kegiatan wisata adalah sebagai ruang untuk pencapaian menuju ke fasilitas wisata Teba Majelangu, untuk kegiatan berjalan-jalan, dan duduk-duduk menikmati suasana persawahan dengan fasilitas bale bengong. Fungsi untuk kegiatan olah raga adalah untuk kegiatan jogging. Fungsi ekonomi adalah
sebagai tempat berjualan hasil pertanian dan warung makanan. Suasana pada jalan subak Munduk Delundung dapat dilihat pada gambar 8.
Pencapaian ke Teba Majelangu
Kegiatan jogging
Bale timbang
Kegiatan berjualan hasil pertanian
Bale bengong
Gambar 8. Fungsi dan fasilitas pada jalan subak
Warung makanan
Lahan sawah di areal Subak Padang galak berfungsi sebagai ruang untuk kegiatan pertanian dan juga fungsi lainnya. Fungsi ruang selain untuk kegiatan pertanian antara lain kegiatan wisata berupa Desa Budaya Kertalangu, Teba Majelangu, Ruang serbaguna / wantilan, toilet, kios tanaman, kios benda seni kerajinan, warung.
Desa Budaya Kertalangu merupakan daya tarik wisata di Areal Subak Padang galak. Aktifitas pada daya tarik wisata ini adalah: (1) Olah raga: jogging, senam yoga, spa relaksasi; (2) Hiburan: wisata berkuda, wisata memancing, wisata permainan anak-anak, wisata outbound dan ketangkasan, wisata kuliner; (3) Edukasi: wisata pertanian tradisional, program seni kerajinan; (4) Seni Budaya: Pentas seni budaya; (5) Ekonomi: even organizer, meeting room, pasar produksi rakyat (Panca & Putra, 2016). Bangunan wantilan dan toilet merupakan fasilitas penunjang kegiatan wisata yang di dibangun pada tempat masuk jogging track berfungsi untuk pentas seni dan budaya. Wantilan merupakan bangunan terbuka menggunakan struktur utama beton dan atap genteng. Toilet menggunakan stuktur beton dengan dinding batu bata dan atap beton. Material finishing lantai menggukan keramik. Saat ini juga terdapat kolam renang, dan arena lomba burung.
Kolam pemancingan
Fasilitas kuliner/rumah makan
Arena lomba burung
Arena sasana budaya
Kolam renan
Fasilitas berkuda
Gambar 9. Fasilitas pada Desa Budaya Kertalangu.
Teba Majelangu merupakan daya tarik wisata yang dikelola oleh Desa Kesiman Kertalangu. Aktifitas pada daya tarik wisata ini antara lain: (1) Berjalan jalan-jalan menikmati suasana kawasan; (2) Kegiatan edukasi pertanian yaitu kegiatan simulasi terkait dengan proses pertanian tradisional; (3) Studi komparatif, yaitu melakukan pengamatan terhadap segala kegiatan pada fasilitas ini; (4) Outbound dan game merupakan kegiatan permainan outdoor dan ketangkasan; (5) Perkemahan, yaitu melakukan kegiatan kemah pada lokasi yang disiapkan di tengah sawah; (6) Kegiatan yoga berupa kegiatan senam dan relaksasi; (7) Penyewaan tempat berupa tempat seminar, rapat, pentas, dan kegiatan lain baik indoor maupun outdoor (https://tebamajalangu.com, 2023). Gambaran fasilitas di Teba Majelangu dapat dilihat pada gambar 10.
Ruang pertemuan
Toilet
Arena bermain dan Camping
Dapur
Arena Outbound
Gambar 10. Fasilitas pada Teba Majelangu.
Pada sisi jalan by Pass ngurah Rai dan Jalan Prof. Ida Bagus Mantra terdapat beberapa fungsi antara lain: (1) Kios tanaman yang kegiatannya adalah penjualan tanaman; (2) Kios benda seni kerajinan yang kegiatannya menjual benda seni kerajinan, selain tempat berjualan beberapa diantaranya juga tempat membuat benda kerajian; (3) Warung tempat menjual beberapa komoditi, antara lain: kuliner, cendera mata. Rangkuman fungsi ruang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Fungsi non pertanian di Subak Padang Galak
No |
Aktifitas |
Fasilitas |
Bentuk bangunan/fasilitas |
Katagori Fungsi |
1 |
Kegiatan penunjang ritual keagamaan |
Gudang, lumbung |
Bangunan tertutup, bangunan lumbung |
Servis |
2 |
Pencucian kendaraan |
Bagunan tempat mencuci kendaraan |
Bangunan terbuka tanpa atap |
Ekonomi |
3 |
Pencapaian ke Teba Majelangu |
Jalur pejalan kaki |
Jalur pejalan kaki dengan perkerasan |
Rekreasi |
4 |
Jogging |
Jogging track |
Jalur pejalan kaki dengan perkerasan |
Olah raga |
5 |
Penjualan hasil pertanian temporer |
Memanfaatkan jalur pejalan kaki |
- |
Ekonomi |
6 |
Beristirahat, duduk-duduk |
Bale bengong |
Bangunan bertiang 4 |
Rekreasi |
7 |
Berdiskusi bagi krama subak, duduk-duduk |
Bale timbang |
Bangunan terbuka, bertiang 8 |
Komunikasi, rekreasi |
8 |
Penjualan makanan ringan |
Warung |
Bangunan terbuka tidak permanen |
Ekonomi |
9 |
Olah raga dan permainan |
Jogging track, arena berkuda, areal outbound, kolam renang, kolam pancing, camping ground |
Ruang terbuka |
Olah raga, rekreasi |
10 |
Pertunjukan budaya |
Ruang serbaguna |
Wantilan terbuka permanen |
Rekreasi |
11 |
Tempat pertemuan |
Ruang pertemuan, Ruang serbaguna |
Bangunan terbuka tidak permanen |
Komunikasi |
12 |
Tempat demo memasak |
Dapur tradisonal |
Bangunan terbuka tidak permanen |
Rekreasi |
13 |
Toilet |
Bangunan permanen dan tidak permanen |
Bangunan dengan struktur beton, dinding pasangan, dan atap pelat beton, dan bangunan dengan dinding bambu dan atap alang-alang |
Servis |
14 |
Tempat penjualan tanaman |
Nurseri, dan bangunan rumah jaga |
Ruang terbuka, dan bangunan tidak permanen |
Ekonomi |
15 |
Tempat penjualan kerajinan, cenderamata |
Kios |
Bangunan tidak permanen |
Ekonomi |
Ruang pada areal subak yang pada awalnya berfungsi untuk kegiatan pertanian dan penunjangnya saat ini berfungsi juga untuk fungsi lainnya yaitu: fungsi penunjang kegiatan keagamaan, fungsi ekonomi, fungsi rekreasi, fungsi olah raga, fungsi komunikasi, dan fungsi servis. Fungsi yang ada saat ini merupakan fungsi baru (non pertanian), dan fungsi lama (masih terkait dengan pertanian) yang mengalami perkembangan. Katagori fungsi baru (non pertanian) antara lain: fungsi ekonomi, fungsi rekreasi, fungsi olah raga, dan fungsi servis pada areal sawah. Beberapa fungsi lama yang terkait dengan pertanian mengalami perkembangan seperti pada pura subak saat ini terdapat fungsi penunjang berupa fungsi servis, pada jalan subak berkembang fungsi pencapaian ke daya tarik wisata, fungsi olah raga, dan fungsi ekonomi. Pada saluran irigasi berkembang fungsi pencucian kendaraan. Bersasarkan acuan Peraturan Walikota Denpasar nomor 15 tahun 2014 tentang Peraturan Zonasi Kecamatan Denpasar Timur tahun 2014, selain fungsi pencucian kendaraan, fungsi yang berkembang saat ini pada umumnya sesuai dengan peruntukan tata ruang. Meskipun fungsi ruang sesuai dengan peruntukan namun perlu mendapat perhatian mengenai perwujudan bangunan agar fungsi non pertanian yang berkembang sejalan dengan upaya pelestarian subak.
Areal subak Padang Galak yang pada awalnya berfungsi sebagai ruang untuk melakukan segala aktifitas pertanian, saat ini mengalami perubahan fungsi ruang yaitu pada pura subak yang awalnya untuk kegiatan ritual saat ini tetap sebagai ruang untuk kegiatan ritual keagamaan, namun berkembang fungsi baru berupa fungsi penunjang untuk memperlancar kegiatan keagamaan. Pada jalan subak yang merupakan ruang untuk aktifitas transportasi untuk pengangkutan sarana produksi dan hasil produksi, saat ini berkembang juga fungsi olah raga, fungsi rekreasi, fungsi ekonomi, dan pencapaian ke daya tarik wisata. Ruang-ruang pada areal sawah yang pada mulanya berfungsi untuk segala aktivitas pertanian, saat ini berkembang fungsi rekreasi, fungsi olah raga, fungsi ekonomi, fungsi komunikasi, dan fungsi servis. Pada umumnya fungsi yang berkembang masih sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan dalam peraturan zonasi.
Anonim. (2023). Subak Padang Galak. Available online at: https://subakbali.org (diakses 18 Maret 2023).
Budiastuti P, Astiti NWS, Sudarta W. 2015. Upaya Pelestarian Subak di perkotaan (kasus Subak Padang galak Desa Kesiman Kertalangu Kecamatan Denpasar Timur). E-Journal Agribisnis dan Agrowisata. Vol.4, No.4. 259-267.
Comerasamy, H. (2012). Literature Based Research Methodology. UK.
Cosgrove, D. (2008). Geography is Everywere: Culture and Symbolism in Human landscape. In: Oakes, T.S., Price, P.L., editors. The Cultural Geographi Reader. Routledge, New York. P. 176-185.
Cuibotarita, M.P. (2011). The Contemporary dilemma of the Cultural Landscape. The Case of Lasi Municipality. Human Geographies. Vol.5, No.1.
Dewi, I.A.L., Sarjana, I.M., Pradnyawati, N.L.M., 2016. Dampak Sosial Ekonomi Alih Fungsi Lahan Pertanian Bagi Anggota Subak Kerdung, di Kota Denpasar. Jurnal Manajemen Agribisnis. Vol.4, No.2.
Hakim, & Utomo. (2004). Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap. Bumi Aksara, Jakarta.
Mantra, RD. (2014). Peraturan Walikota Denpasar no 15 Tahun 2014 tentang Peraturan Zonasi Kecamatan Denpasar Timur. Pemerintah Kota Denpasar, Denpasar.
Mazzino, F., Burlando, P. (2010). Cultural Landscapes: Negotiation between Global and Local. ITU AZ. Vol. 7, No.2.
Mills, J.G. (2007). The Category of the Associative Cultural Landscape as A Mean to Preserve Intangilble Heritage, Especially Oral Literature. Hawai’i volcanoes National Park, as an Example. (Master Thesis). Brandenburg University of Technology, Brandenburg.
Moleong, Lexy, J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Onwueg, AJ, and Frels, R. (2016). Methodology of the Literature Review. In Seven Steps to a Comprehensive Literature Review, A Multimodal and Cultural Approach. Sage Publication Ltd, London.
Panca, IMAAP, Putra IND. (2016). Evaluasi Pengembangan Desa Budaya Kertalangu Denpasar Sebagai Daya Tarik Wisata. Jumpa, Vol.2. No.2. 155-176.
Panudju, TI. (2012). Pedoman Teknis Pengembangan Jalan Pertanian TA 2013. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Putri NPLR, Agestia MDB, Sudarta IPI, Dewata KO. (2015). Perkembangan Tata Ruang Area Subak Padanggalak, Kecamatan Denpasar Timur. Tidak diterbitkan, Denpasar.
PUPR. (2019). Modul pengenalan sistem irigasi. Dirjen Sumber Daya Air, Jakarta.
Snyder, H. (2019). Literatur Review as a Research Methodology: An Overview and Guideline. Journal of Business Research, 104, 333-339.
Surata, SPK. (2013). Lanskap Budaya Subak. Unmas Press, Denpasar.
Türkyılmaz, C.C., (2016). Interrelated Values of Cultural Landscapes of Human Settlements: Case of Istanbul. Procedia - Social and Behavioral Sciences. 222: 502 – 509.
Yuliana, ED. (2020). Ajeg Subak dalam Transformasi Pertanian Modern ke Organik. UNHI Press, Denpasar.
JAL | 152
Discussion and feedback