Pendekatan Spasial dalam Perencanaan Lanskap Kampung Wisata Jamburea di Kabupaten Garut
on
JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP
ISSN: 2442-5508
VOL. 9, NO. 2, OKTOBER 2023
Pendekatan Spasial dalam Perencanaan Lanskap Kampung Wisata Jamburea di Kabupaten Garut
Gema Febri Alfarisi1, Vera D Damayanti1*
1. Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB University, Jl Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstract Spatial Approach in Landscape Planning for Jamburea Tourism Village in Garut Regency. Jamburea, located in the Banyuresmi District of Garut, is a potential tourist haven with its unique blend of natural beauty and rich cultural traditions. The kampong is characterized by the wetland landscape shaped by the seasonal Situ Rancakukuk lake. The locals transform the lake edges into rice fields during the dry season and fish ponds during the rainy season. Furthermore, the kampong region is a repository of intangible cultural assets, such as culinary speciality, Pencak silat, traditional children’s games, 'Asgar' barber shops, and bamboo handicrafts. Employing ArcGIS tools, this study used a spatial approach to analyze physical-biophysical, non-physical, and tourism aspects for optimal zoning. This paper has two objectives: firstly, to plan the landscape of the Jamburea tourism village using a spatial approach in the analytical process. The second objective is to examine the application of spatial methods in landscape planning. Results suggest 72.09% of the kampong is suitable for tourism development, 13.68% is moderately suitable, and 14.23% requires conservation. Proposed zones include natural and cultural tourism, tourism support, welcome areas and buffer zones. This study underscores the efficacy of the spatial approach in devising comprehensive plans for Jamburea's tourism potential.
Keywords: spatial approach, landscape planning, tourism landscape
-
1. Pendahuluan
Kabupaten Garut merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang kaya akan potensi wisata. Topografi daerah ini beragam, mulai dari pegunungan di utara, dataran rendah dengan banyak situ di tengah, hingga pantai di bagian selatan. Kabupaten ini juga memiliki beragam bentuk budaya yang khas. Salah satu kawasan di Garut yang potensial dikembangkan sebagai tujuan wisata yaitu Kampung Jamburea di Desa Banyuresmi. Jamburea memiliki keunikan lanskap yang didominasi oleh lahan basah dipengaruhi oleh keberadaan Situ Rancakukuk. Bagi penduduk setempat, danau atau situ dan lahan basah ini sangatlah penting karena menjadi salah satu sumber penghidupan utama yaitu sebagai lahan budidaya pertanian dan perikanan. Berbagai budaya tradisional juga masih ditemukan di kampung ini, seperti misalnya pencak silat, kaulinan atau permainan anak-anak, makanan khas Tempe Jamburea, dan dikenalnya Banyuresmi termasuk Jamburea didalamnya sebagai desa tukang cukur Asgar atau ‘Asli Garut’.
Sumberdaya alam dan budaya Kampung Jamburea yang khas merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk wisata. Meskipun belum dikembangkan, pengunjung datang ke Jamburea sehingga kegiatan wisata tumbuh secara organik. Jika wisata hendak dikembangkan, salah satu konsep yang sesuai untuk diterapkan di Jamburea berdasarkan berbagai potensi alam dan budayanya yaitu desa wisata, dimana dalam konsep ini kearifan lokal dikembangkan sebagai daya tarik wisata (Irfan dan Suryani 2017; Kurniawati et.al, 2018). Dengan pertimbangan bahwa tapak merupakan kampung di perdesaan yang berbeda karakternya dengan kampung di perkotaan, maka konsep desa wisata menjadi acuan dalam studi kampung wisata ini. Dinyatakan bahwa desa atau kampung wisata merupakan suatu tujuan wisata di kawasan perdesaan yang menawarkan suasana keaslian perdesaan atau kampung, baik yang tercermin dari karakter fisik lingkungan maupun kekhasan nilai sosial, ekonomi dan budaya setempat (Andini, 2013; Zakaria dan Suprihardjo, 2014). Dalam konteks pegembangan kampung sebagai tujuan wisata, maka perlu dipahami bahwa pada dasarnya wisata dapat terlaksana dengan baik jika lima komponen pembentuk fungsi wisata terpenuhi yaitu:obyek dan daya tarik wisata sebagai komponen utama, layanan atau fasilitas, transportasi, informasi, dan promosi (Gunn 1997).
Pengembangan Kampung Wisata Jamburea memerlukan perencanaan lanskap yang hasilnya dapat menjadi pedoman penataan kampung dalam menampung aktivitas wisata sekaligus menjaga keberlanjutan fisik lanskap. Perencanaan lanskap merupakan salah satu bagian dari bidang arsitektur lanskap yang pada dasarnya menganalisa lanskap baik dalam konteks sebagai suatu struktur obyektif material dalam ruang yang bersifat dinamis akibat aktivitas manusia, maupun sebagai suatu struktur material dan ruang yang subyektif, ditentukan oleh budaya, persepsi dan penilaian, sesuai kepentingan manusianya (Ipsen 2012 dan Marušic 1993 dalam Tomić Reljić et. al, 2017, Bilous, 2021). Jika pada mulanya analisis dalam perencanaan lanskap dilakukan secara deskriptif, maka dengan meningkatnya luas area yang dikerjakan oleh perencana lanskap dan munculnya gerakan lingkungan di tahun 1960an di Amerika yang memperhatikan interaksi beragam elemen penyusun lanskap yang kompleks, maka terjadi pergeseran dari metode deskriptif menuju spasial. Analisis spasial dapat menyederhanakan kompleksitas elemen-elemen penyusun lanskap melalui gambargambar peta yang dianggap efektif dalam berkomunikasi dengan klien, serta pada tingkatan tertentu dapat menggantikan survey tapak yang ekstensif. Dengan berbagai manfaat tersbeut, banyak perencana lanskap menggunakan pendekatan ini (Simpson, 1989).
Tulisan ini pada dasarnya memiliki dua tujuan, yang pertama yaitu merencanakan lanskap kampung wisata di Jamburea menggunakan pendekatan spasial dalam proses analisis. Tujuan kedua yaitu meninjau pengaplikasian metode spasial dalam perencanaan dari sudut pandang arsitektur lanskap. Dengan mempertimbangkan kedua tujuan tersebut, hasil perencanaan yang disajikan dalam tulisan ini dibatasi hingga penyusunan rencana blok (block plan).
Penelitian ini dilakukan di Kampung Jamburea, Desa Banyuresmi, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut (Gambar 1). Secara geografis lokasinya di 7°8'16.53 LS sampai 7°8'37,27 LS dan 107°56'56,76 BT sampai 107°57'17,95 BT. Kampung seluas 24 ha ini merupakan area RW 12 dari Desa Banyuresmi, di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut. Kegiatan penelitian dilakukan selama periode Januari hingga Mei 2022.
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Sumber image: Google Earth)
Penelitian ini dilandasi oleh kerangka pikir sebagaimana ditampilkan di Gambar 2. Untuk merencanakan kampung wisata Jamburea diperlukan pemahanan terhadap kondisi aspek fisik/biofisik, sosial-budaya-ekonomi masyarakat, serta potensi wisata dalam rangka pengembangan kampung wisata. Pemahaman karakter fisik lanskap dikaji melaluii elemen topografi, iklim, jenis tanah, hidrologi, vegetasi dan satwa, penggunaan lahan dan aspek visual. Kondisi sosial-budaya dan ekonomi Jamburea dipelajari melalui elemen demografi, sosial-ekonomi pola kehidupan masyarakat, sejarah lanskap dan persepsi-preferensi masyarakat terhadap pengembangan wisata. Sementara itu untuk mengetahui potensi sumberdaya wisata dikaji melalui
elemen aksesibilitas dan sirkulasi, obyek dan atraksi wisata, fasilitas dan infrastruktur, serta pengunjung potensial. Hasil penilaian dari ketiga aspek diintegrasikan untuk kemudian mendasari penentuan zona pengembangan yang akan menjadi dasar dalam rencana lanskap Kampung wisata Jamburea.
Gambar 2. Kerangka pikir penelitian
Tahapan penelitian ini meliputi persiapan, pengumpulan data, analisis dan sintesis. Persiapan mencakup materi administratif, substantif dan teknis. Pengumpulan data dilakukan untuk menggali data primer dan sekunder yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fisik dan biofisik, sosial-ekonomi-budaya, dan wisata. Data primer diperoleh dari tapak melalui pengamatan dan penyebaran kuisioner pada pengunjung potensial sebanyak 30 responden. Selain itu dilakukan focus group discussion (FGD) bersama kepala desa dan masyarakat untuk menggali persepsi, preferensi dan aspek sosial budaya. Data sekunder didapatkan dari informasi tertulis pada instansi terkait dan dari studi literatur. Data ditampilkan dalam bentuk spasial, tabular dan deskriptif. Data spasial digambarkan dalam bentuk peta-peta tematik menggunakan aplikasi ArcGIS.
Kegiatan analisis dilakukan secara kualitatif dan spasial.untuk mengidentifikasi potensi dan kendala dalam pengembangan lanskap. Analisis spasial menggunakan metode skoring dan pembobotan dengan parameter dan kriteria analisis tertentu (Tabel 1). Analisis tiap aspek memiliki tujuan tertentu yang tertuang dalam parameter dan kriteria analisis. Analisis aspek fisik dan biofisik bertujuan untuk menilai kesesuaian lahan untuk pengembangan wisata kaitannya dengan keberlanjutan tapak. Analisis aspek sosial-budaya bertujuan untuk mengetahui preferensi penduduk terhadap area kampung untuk wisata, dan juga karakter sosial-ekonomi budaya lainnya. Analisis aspek wisata dilakukan secara spasial dan kualitatif, bertujuan untuk mengetahui potensi wisata Kampung Jamburea.
Analisis spasial dilakukan secara bertahap. Pertama yaitu menganalisa setiap elemen dengan metode skoring berdasarkan kriteria analisis (Tabel 1). Pada tahap berikutnya hasil analisis tematik setiap elemen pada satu aspek dioverlay dengan pembobotan untuk mendapatkan hasil analisis akhir per aspek. Tahap ketiga yaitu overlay peta hasil akhir analisis per aspek dengan menggunakan pembobotan. Adapun bobot yang diberikan terhadap faktor-faktor yang dianalisis dalam suatu aspek maupun antar aspek, besarannya berdasarkan pengaruh faktor atau aspek terhadap keberlanjutan lanskap. Sebagai contoh, pada aspek fisik-biofisik, faktor topografi dan hidrologi mendapat bobot terbesar masing-masing 20% mengingat
lanskap Jamburea memiliki bentukan lahan beragam dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan badan air Setu Rancakukuk. Sementara itu pembobotan antara aspek fisik-biofisik, non-fisik dan wisata maka bobot terbesar diberikan pada aspek non-fisik yaitu 45%, dengan pertimbangan bahwa kondisi fifik-biofisik lanskap Jamburea menjadi penentu utama penataan lanskap kaitannya dengan pengembangan ruang, sirkulasi, fasilitas dan aktifitas agar nantinya keberlanjutan lanskap Jamburea terjaga. Tahap ini menghasilkan peta komposit kesesuaian pengembangan kampung wisata yang menyajikan zona pengembangan kampung wisata berdasarkan tiga kelas interval terdiri atas sesuai, cukup sesuai dan tidak sesuai.
Analisis spasial dilakukan dengan Geographic Information System (GIS) menggunakan program ArcGIS. Sebagaimana diketahui GIS mampu menangani data spasial dalam jumlah besar serta menyediakan layanan untuk querying dan analisis data spasial. Dalam bidang arsitektur lanskap, GIS dapat menjadi alat untuk mengkaji kesesuaian suatu lokasi, kelayakan suatu rencana, mengalokasian beragam penggunaan pada tapak, serta memperkirakan dampak dari berbagai kebijakan pada suatu kawasan (Bilous et.al, 2021)
Tabel 1. Parameter, kriteria, skoring, dan pembobotan pada analisis spasial
No |
Aspek/Elemen |
Parameter |
Kriteria |
Bobot |
Skor |
I |
Aspek Fisik dan Biofisik (45%) | ||||
Sesuai dan dapat dikembangkan (0-15%) |
3 | ||||
1 |
Topografi * |
Kelerengan yang sesuai |
Cukup sesuai dan dapat dikembangkan s |
20 |
2 |
untuk aktivitas wisata |
e-cara terbatas (15-25%) Tidak sesuaiuntuk dikembangkan (>25%) |
1 | |||
Aluvial, Tanah Glei Planosol Hidromorf |
3 | ||||
2 |
Kepekaan jenis tanah * |
Jenis tanah yang sesuai untuk pengembangan aktivitas wisata |
Kelabu, Literita Air Tanah (Tidak peka) Latosol (Agak peka) Andosol, Laterit, Grumosol, Podsol, |
15 |
2 1 |
Podsolik, Regosol, Litosol, Organosol, Renzina (Peka-Sangat peka) | |||||
Curah hujan yang |
Rendah <20,7 mm/hari |
3 | |||
sesuai untuk |
Sedang 20,7 – 27,7 mm/hari |
15 |
2 | ||
3 |
Iklim * |
pengembangan aktivitas wisata |
Tinggi >27,7 mm/hari |
1 | |
THI (Thermal Humidity |
Analisis iklim mikro berdasarkan THI | ||||
Index) |
dilakukan secara kualitatif | ||||
Ada dan dapat dikembangkan |
3 | ||||
4 |
Hidrologi ** |
Badan air dan |
Ada dan dapat dikembangkan secara |
20 |
2 |
pemanfaatannya |
terbatas Tidak ada |
1 | |||
Jenis penggunaan lahan yang dapat dimanfaatkan |
Area yang dapat dimanfaatkan |
3 | |||
5 |
Tata guna lahan ** |
Area yang dapat dimanfaatkan secara terbatas Area yang dilindungi |
15 |
2 1 | |
Persawahan dan kebun pekarangan (dapat dikembangkan) |
3 | ||||
Jenis vegetasi pada |
Tegakan pohon perkebunan dan kebun |
2 | |||
6 |
Vegetasi |
lahan yang dapat |
campuran |
15 | |
dimanfaatkan |
(dapat dikembangkan secara terbatas) Talun dan tegakan pohon alami, (dilindungi) |
1 | |||
II |
Aspek Non-Fisik (20%) | ||||
1. |
Budaya (pola |
Kemungkinan |
Area yang dapat dimanfaatkan |
3 | |
permukiman dan |
pemanfaatan area |
Area yang dapat dimanfaatkan secara |
2 | ||
penggunaan |
permukiman kampung |
terbatas |
1 | ||
lahan) |
untuk wisata |
Area yang dilindungi | |||
III |
Aspek Wisata (35%) | ||||
1 |
Objek dan Atraksi Wisata** |
Jumlah ODTW dalam kawasan yang dapat dikembangkan |
Kawasan potensi tinggi (Keunikan, kualitas) Kawasan potensi sedang Kawasan potensi rendah |
60 |
3 2 1 |
Aksesibilitas dan |
Ketersediaan dan |
Ada akses, kondisi baik |
3 | ||
2 |
Sirkulasi** |
kualitas akses dan |
Ada akses, kondisi buruk |
40 |
2 |
sirkulasi dalam kawasan |
Tidak ada akses |
1 | |||
Fasilitas dan |
Jenis dan jumlah |
Analisis secara deskriptif | |||
3 |
Utilitas** |
fasilitas dan utilitas pada kawasan |
* SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980 dengan penyesuaian; ** Pulungan (2019), dengan penyesuaian
Setelah analisis, tahap selanjutnya dilakukan sintesa ruang untuk mendapatkan zona pengembangan kawasan dalam bentuk rencana blok (block plan). Rencana blok menggambarkan alokasi dan penataan ruang fungsional serta hubungan antar ruang yang menjadi dasar dalam pengembangan rencana lanskap.
Untuk dapat memahami karakter lanskap Kampung Jamburea maka perlu dilakukan kajian tentang elemen-elemen fisik dan biofisik pembentuk lanskapnya. Data berbagai elemen sebagian besar disajikan secara spasial, terutama untuk aspek fisik-biofisik, dan sebagian lainnya berbentuk deskriptif.
-
3.1.1 Kondisi fisik dan bio-fisik
Untuk mengkaji lanskap fisik Jamburea secara spasial maka dibuat peta-peta tematik terkait topografi, hidrologi, jenis tanah, vegetasi dan penggunaan lahan. Berdasarkan bentukan lahan (landform), Jamburea merupakan dataran yang berada pada lembah dikelilingi bukit dengan kemiringan lereng 3-75%. Area cenderung datar berada di tengah tapak, sementara itu area curam ada di tepi kampung. Jamburea berada pada ketinggain rata-rata 655 m di atas permukaan laut (dpl) dengan elevasi tertinggi 685 mdpl di bagian barat berupa bukit yang digunakan untuk talun, yaitu ladang yang ditanami pohon buah dan kebun campuran di sekitar bukit yang berdekatan langsung dengan Situ Rancakukuk. Elevasi terendah 645 mdpl berada di situ yang memiliki luasan 7 ha. Data ikilm, yang disajikan secara tabular dan deskriptif, menunjukkan suhu udara rata-rata Jamburea 22,7°C dengan kelembaban udara relatif (RH) rata-rata 87%. Curah hujan bulanan rata-rata sebesar 225,63 mm/bulan atau 7,44 mm/hari, yang tertinggi 371,71 mm/bulan terjadi di bulan Maret, dan terendah 50,26 mm/bulan di bulan Agustus (BPS Kabupaten Garut dan Nasa Global Modeling and Assimilation Office MERRA-2). Dari pengukuran suhu dan RH pada beberapa titik didapatkan suhu tertinggi 24,55 oC di permukiman, terendah 22 oC di talun dan situ, dengan RH tertinggi 92% di talun dan terendah 85% di permukiman.
Jenis tanah di Jamburea terdiri dari latosol coklat, yang mendominasi kawasan, dan aluvial (BAPPEDA Kabupaten Garut, 2022). Kawasan permukiman kampung dikelilingi oleh bukit-bukit dimana aliran permukaan (run-off) dari bukit menjadi sumber air situ yang merupakan danau tadah hujan. Perubahan musim mempengaruhi penggunaan situ oleh masyarakat yang memanfaatkan situ dan bantarannya sesuai dengan ketersediaan air (Gambar 2). Kepala Desa Banyuresmi Ahmad Hidayat menjelaskan tinggi air di sempadan situ saat digunakan sebagai lahan pertanian berkisar 45-60 cm, dan untuk budidaya ikan berkisar 75-100 cm.
Penggunaan lahan di Jamburea terdiri dari permukiman, jalan raya kabupaten, area pertanian lahan basah dan budidaya, area pertanian lahan kering di sekitar permukiman, talun, dan area penangkapan ikan. Sebagian besar tutupan lahan terdiri dari badan air (28,16%) dan kawasan pertanian lahan basah (27,39%). Selain itu juga terdapat bangunan dan perkerasan (15,69%), area pepohonan (3.1%), dan semak serta perkebunan (25,64%) (DPUPR Kab. Garut, 2022). Vegetasi di tapak didominasi oleh tanaman pertanian lahan basah, hortikultura, tanaman hias pekarangan dan buah-buahan. Persebaran tanaman tersebut ditemukan di area permukiman dan talun, serta di badan air berupa tanaman akuatik.Sementara itu satwa yang teramati di tapak meliputi berbagai hewan yang hidup di ekosistem danau, permukiman, serta peliharaan warga.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-3.jpg)
Penggunaan tepian danau sebagai sawah saat air surut
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-4.jpg)
Penggunaan sebagai tempat budidaya ikan saat air tinggi
-
Gambar 3. Kondisi Situ Rancakukuk
Pemandangan menarik (good view) dapat ditemukan di titik-titik pandang (vantage point) sepanjang sempadan Situ Rancakukuk yang mernjadi salah satu potensi wisata Jamburea. Dari titik-titik tersebut dapat dinikmati pemandangan seperti sawah dan kegiatan pertanian, masyarakat yang sedang menangkap ikan di situ, dan anak-anak yang sedang bermain dengan rakit. Kualitas visual yang buruk yang ditemukan di tapak yaitu warung-warung semi-permanen yang kurang tertata dan tidak terawat di bagian barat kawasan.
-
3.1.2 Sejarah, Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Data aspek ini hampir seluruhnya disajikan secara deskriptif yang terdiri dari kesejarahan, sosial, ekonomi dan budaya. Hanya satu elemen yang disusun secara spasial yaitu pola permukiman dan preferensi masyarakat dalam penggunaan area tersebut untuk wisata. Kesejarahan Jamburea cukup menarik, dimana kata Jamburea berasal dari bahasa sunda yang artinya “banyak jambu”. Hal ini menandakan dulunya kawasan ini banyak ditemukan pohon dan kebun jambu. Situ Rancakukuk sendiri secara administratif merupakan lahan carik yang awalnya merupakan aset Desa Banyuresmi. Adanya pemekaran desa di tahun 1991 menyebabkan situ dimiliki bersama oleh empat desa yaitu Banyuresmi, Cipicung, Bagendit, dan Binakarya. Pemerintah Desa Banyuresmi merencanakan Situ Rancakukuk sebagai area untuk kegiatan wisata edukasi untuk memperkenalkan permainan anak-anak tradisional (kaulinan) dan kebudayaan setempat. Jika digali lebih dalam, kesejarahan ini sebenarnya potensial untuk dianalisis secara spasial sehingga kajian menjadi lebih komprehensif dalam melihat interaksi masyarakat dan lanskap kampung secara temporal.
Penduduk Jamburea yang berjumlah 544 jiwa sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani, selain pedagang, pengolah hasil pertanian dan lainnya. Petani sebagai mata pencaharian dominan tercermin dari tata guna lahan dan pola kehidupan masyarakatnya. Interaksi penduduk dengan lanskap kampung terlihat dari pemanfaatan sumber daya alam di kampung untuk kehidupan, salah satunya dengan menggunakan situ sebagai lahan pertanian, irigasi dan budidaya ikan. Budidaya pertanian di situ menjadi salah satu keunikan budaya khas Jamburea, selain seni dan kebudayaan Sunda, serta kehidupan masyarakat yang masih tergolong tradisional. Berdasarkan pola sosial budayanya, masyarakat melalui FGD menentukan area mana saja di kampung yang dapat atau tidak dapat dimanfaatkan untuk wisata yang kemudian dispasialkan dalam peta. 3.1.3. Potensi Wisata
Kampung Jamburea berjarak 13,2 km dari pusat kota Garut dan dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dengan kendaraan bermotor. Kawasan ini dilalui jalur jalan raya Jl. H. Hasan Arif yang terletak dibagian barat tapak dan memanjang dari selatan ke utara. Area pernukiman dilalui jalan yang mengakomodir pergerakan manusia dan kendaraan. Jalur sirkulasi permukiman memiliki pola spine dan grid dengan lebar 1,5 m yang memungkinkan masyarakat mengakses Situ Rancakukuk dari berbagai titik sepanjang pesisir selatan situ.
Jamburea memiliki beberapa objek dan daya tarik wisata (ODTW) potensial untuk dikembangkan yang secara garis besar berbasis alam dan budaya, baik yang bersifat fisik (tangible) maupun non-fisik (intangible). ODTW berbasis alam yang utama yaitu Situ Rancakukuk; berbasis alam-budaya yaitu sawah, kebun dan talun, serta praktek pertanian dan budidaya ikan. Sementara ODTW potensial berbasis budaya yaitu pembuatan tempe khas Jamburea, kerajinan tangan, kuliner jajanan khas Jamburea, tukang cukur ‘Asgar’ Banyuresmi, kaulinan barudak (permainan tradisional anak-anak) dan pencak silat.
Dapat dikatakan kampung ini belum memiliki fasilitas khusus untuk wisata. Namun terdapat beberapa fasilitas kampung yang nantinya dapat menunjang pengembangan wisata seperti masjid, lapangan, pos keamanan, ruko, warung dan balai pertemuan. Kampung Jamburea sudah dilengkapi dengan jaringan air bersih PDAM dan listrik. Tak jauh dari kampung terdapat tiang pemancar yang mendukung kebutuhan komunikasi warga kampung sehingga kualitas jaringan telekomunikasi di kawasan ini cukup baik.
Setelah mengkaji karakter lanskap Jamburea melalui elemen penyusun lanskapnya, selanjutnya dilaku-kan analisis tematik, masing-masing dengan tujuan tertentu yang tercermin dari kriteria analisis (Tabel 1). Kemudian hasil analisis di-overlay dengan skoring dan pembobotan yang diolah dengan ArcGIS.
-
3.2.1 . Analisis Aspek Fisik dan Biofisik
Pada dasarnya analisis spasial aspek fisik dan biofisik bertujuan untuk mengetahui kesesuaian lahan dalam pengembangan kampung wisata agar pengembangannya tidak berdampak negatif terhadap lanskap kampung Jamburea. Secara tematik analisis topografi bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian kawasan sebagai ruang beraktivitas bagi wisatawan berdasarkan kelas kelerangan yang diolah dari peta
kontur. Jamburea memiliki topografi yang didominasi dengan kemiringan lereng datar mencakup 85,58% kawasan yang berarti sangat sesuai untuk pengembangan wisata (skor 3). Sedangkan kategori cukup sesuai (skor 2) dan tidak sesuai (skor 1) tersebar di sekitar perbukitan yang mengelilingi Situ Rancakukuk (Gambar 4a).
Jenis tanah dianalisis untuk mengetahui kesesuaian kawasan dalam pengembangan wisata sesuai tingkat kepekaan tanahnya. Berdasarkan kriteria tingkat kepekaan, tanah aluvial tidak peka untuk dikembangkan sehingga lahan dengan tanah aluvial sesuai untuk aktivitas wisata (skor 3). Adapun tanah Latosol agak peka untuk pengembangan aktivitas wisata sehingga termasuk cukup sesuai (skor 2).
Analisis hidrologi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian tapak untuk aktivitas wisata berdasarkan keberadaan badan air pada tapak. Hasil analisis menunjukan Situ Rancakukuk sesuai (skor 3) untuk pengembangan wisata namun dengan memperhatikan keberlanjutannya. Sementara itu sebagian kawasan permukiman dan perkebunan campuran dengan drainase yang ada namun belum cukup memadai dinyatakan cukup sesuai (skor 2), serta kawasan permukiman dan kebun di sebelah timur digolongkan tidak sesuai (skor 1) karena tidak ditemukan badan air yang dapat dikembangkan atau menyokong kegiatan wisata (Gambar 4c).
Unsur iklim dianalisis secara kualitatif untuk mengetahui kesesuaian kawasan dalam pengembangan wisata terkait intensitas curah hujan dan kenyamanan berdasarkan THI. Dengan intensitas curah hujan 7,44 mm/hari yang kurang dari 20,7 mm/hari, maka Jamburea sesuai jika dikembangkan sebagai kawasan wisata. Sementara itu berdasarkan penghitungan THI diperoleh nilai rata-rata 22,57 berada di rentang THI yang nyaman untuk daerah tropis yaitu 20-26.
Hasil analisis penggunaan lahan menunjukkan kawasan pertanian, budidaya ikan, situ dan talun dapat dikategorikan sebagai kawasan yang sesuai untuk dikembangkan (skor 3), sementara kawasan permukiman cukup sesuai (skor 2) dengan area yang dapat dikembangkan secara terbatas. Berdasarkan analisis terhadap peta sebaran vegetasi diperoleh hasil bahwa area dengan kriteria sesuai (skor 3) terdapat di kawasan pekarangan dan sawah. Kriteria cukup sesuai (skor 2) dengan pengembangan terbatas pada vegetasi di area perkebunan campuran (Gambar 4e). Sementara itu talun yang ada di area perbukitan tidak sesuai (skor 1) untuk dikembangkan dan perlu dilindungi. Adapun analisis visual dilakukan secara deskriptif untuk mengkaji pemandangan di tapak sebagai pertimbangan pemandangan yang baik (good view) dan tidak baik (bad view) guna meningkatkan kualitas visual tapak (Gambar 5)..
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-5.jpg)
a.Analisis
LEGENDA
---Batastapak
----Situ Rancakukuk
Sesuai untuk 1■ dikembangkan
Cukup sesuai, I1 pengembangan ___terbatas H Tidak sesuai
c. Analisis
LEGENDA
-,-,∙ Batastapak
Sesuai
^^H Cukup
^^^H Tidaksesuai
e. Analisis
LEGENDA
---Batastapak
^U Sesuai
■I Cukupsesuai
■■ Tidak sesuai
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-6.jpg)
Gambar 4. Peta analisis tematik dan hasil overlay analisis aspek fisik dan biofisik
Berdasarkan overlay terhadap peta-peta analisis tematik didapatkan hasil bahwa Jamburea memiliki area sesuai untuk pengembangan kegiatan wisata sebesar 17,56 ha (73,18%). Kategori area cukup sesuai untuk dikembangkan 6,05 ha (25,22%), sedangkan tidak sesuai dan terbatas untuk dikembangkan 0,38 ha (1,60%). Peta hasil analisis tematik dan overlay aspek fisik dan biofisik ditampilkan pada Gambar 4f.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-7.jpg)
Pemandangan baik berupa persawahan
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-8.jpg)
Warung-warung makan yang tidak terawat menjadi pemandangan tidak baik
Gambar 5. Beberapa pemandangan yang baik dan tidak baik pada tapak
-
3.2.2 Analisis Aspek Sosial Budaya dan Ekonomi
Analisis aspek ini sebagian besar dilakukan secara kualitatif terhadap elemen sosial-budaya, kondisi ekonomi, serta persepsi dan preferensi masyarakat dalam pengembangan kampung wisata. Secara garis besar kehidupan sosial-budaya masyarakat Jamburea masih memiliki sifat masyarakat perdesaan yang dapat menjadi kekhasan kampung ini. Dalam hal persepsi dan preferensi, hasilnya menunjukkan respon positif dari masyarakat terkait pengembangan wisata serta adanya harapan wisata dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dan membuka lapangan pekerjaan baru.
Analisis spasial pada aspek ini ditujukan untuk mengetahui pola permukian dan penggunaan lahan di Kampung Jamburea yang dapat dikembangkan untuk aktivitas wisata. Berdasarkan hasil FGD didapatkan data beberapa area yang dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata yang kemudian dispasialkan dan dianalisis. Masyarakat Jamburea memiliki preferensi agar wisata dapat dipusatkan di situ dan sekitarnya, sedangkan untuk kawasan permukiman diperbolehkan untuk dikembangkan dengan intensitas terbatas. Area talun berupa tegakan pohon di lahan berlereng, diupayakan untuk dikonservasi. Berdasarkan analisis, Jamburea terbagi menjadi 3 kelas kesesuaian dimana kawasan yang sesuai meliputi sempadan dan Situ Rancakukuk (skor 3), cukup sesuai yaitu sebagian kawasan permukiman dan perkebunan (skor 2), sedangkan kelas tidak sesuai (skor 1) meliputi perkebunan campuran dan talun di area perkebunan (Gambar 5).
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-9.jpg)
LEGENDA
---Batas tapak
^B Sesuai
⊂3 Cukup sesuai
■■ Tidak sesuai
Gambar 5 Hasil analisis spasial
U
—-—
0 90 180 270m
aspek nonfisik sosial-budaya
Analisis spasial aspek sosial-budaya-ekonomi idealnya dapat dilakukan secara lebih detail. Seperti misalnya dengan memetakan area kampung berdasarkan nilai kesejarahannya, atau intensitas penggunaan oleh pen-duduk dalam aktivitas sosial-budaya. Namun karena keterbatasan waktu penelitian maka elemen-elemen tersebut tidak diamati karena pencarian datanya membutuhkan waktu yang cukup serta intensif. Sementara itu data spasial aspek nonfisik penting dalam analisis lanskap, namun tak lepas dari masalah kompleksitas dan kesulitan pengukurannya, sehingga menjadi tantangan untuk memetakannya dalam format GIS (Ryan, 2011).
-
3.2.3 Analisis Aspek Wisata
Analisis spasial aspek wisata dilakukan untuk mengetahui potensi wisata Jamburea yang dinilai secara spasial berdasarkan elemen ODTW dan aksesibilitas-sirkulasi. Selain itu dilakukan pula analisis kualitatif terhadap fasilitas dan infrasruktur serta pengunjung potensial. Analisis fasilitas dan infrastruktur tidak dilakukan secara spasial karena keterbatasan data dan waktu peneliti. Hasil analisis secara kualitatif menunjukkan bahwa fasilitas dan infrastruktur wisata di Jamburea belum memadai. Analisis persepsi dan preferensi pengunjung juga dilakukan secara kualitatif berdasarkan survey pada responden dari masyarakat yang pernah atau tertarik berkunjung. Hasilnya menunjukkan mereka mendukung pengembangan kampung wisata dan berharap mendapatkan pengalaman wisata khas Jamburea, mendapat pengetahuan tentang budaya lokal (Sunda), dan Jamburea menjadi tempat wisata yang tertata. Data preferensi pengunjung dapat menjadi pertimbangan dalam menyusun konsep rencana, baik dalam konteks ruang, aktivitas, maupun fasilitas.
Analisis spasial elemen ODTW bertujuan untuk menilai potensi tapak jika akan dikembangkan sebagai kampung wisata berdasarkan jumlah, keunikan dan persebaran ODTW. Area dengan potensi ODTW tinggi (skor 3) terletak di situ dan permukiman di bagian selatannya dimana ODTW beragam dan unik. Kawasan dengan potensi sedang (skor 2) ditemukan di kebun campuran dan talun. Adapun area yang tidak potensial (skor 1) merupakan kawasan permukiman padat penduduk (Gambar 6a). Sementara itu analisis akses dan sirkulasi bertujuan untuk menilai kesesuaian tapak untuk wisata berdasarkan ketersediaan dan kualitas akses dan sirkulasi. Hasilnya menunjukkan area yang sesuai (skor 3) terletak pada beberapa jalan di bagian selatan dan utara tapak. Area cukup sesuai (skor 2) kondisinya tersedia sirkulasi namun kualitasnya kurang baik, tersebar di bagian timur, selatan dan barat tapak. Sedangkan area yang tidak sesuai (skor 1) merupakan kawasan yang tidak memiliki aksesibilitas didalamnya (Gambar 6b).
Langkah selanjutnya yaitu overlay hasil analisis tematik ODTW dan akseibilitas-sirkulasi untuk mendapatkan zona kesesuaian pengembangan wisata wisata dengan bobot 60:40. Hasil overlay (Gambar 6c).menunjukkan area yang sesuai mencakup 32,86%, cukup sesuai 49,80% dan area tidak sesuai untuk pengembangan wisata sebesar 17,35%. Dengan demikian berdasarkan aspek wisata Jamburea dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-10.jpg)
LEGENDA
---Batas tapak
B Potensial
I 'l Cukup potensial
■i Tidak potensial
a. Analisis ODTW
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-11.jpg)
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-12.jpg)
c. Hasil overlay
LEGENDA
---Batas tapak Sesuai
I j Cukup sesuai
■ Tidak sesuai
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-13.png)
0 90 180 270m
Gambar 6. Peta hasil analisis aspek wisata
-
3.2.4 . Hasil Akhir Analisis
Hasil akhir analisis dilakukan dengan meng-overlay hasil analisis aspek fisik dan biofisik, sosial budaya, dan wisata untuk mendapatkan peta komposit zona kesesuaian pengembangan wisata. Proporsi bobot masing-masing aspek yaitu fisik dan biofisik : sosial budaya : wisata = 45:20:35. Hasil peta komposit
(Gambar 7) menunjukkan bahwa terdapat area seluas 17.30 ha (72,09%) yang sesuai, 3,28 ha (13,68%) cukup sesuai, dan 3,42 ha (14,23%) tidak sesuai.
Hasil yang diperoleh mengindikasikan dua hal. Pertama, ditinjau dari sisi perencanaan, berdasarkan cakupan area yang sesuai, maka Jamburea layak untuk dikembangkan sebagai kampung wisata. Yang kedua, kompleksitas karakter lanskap Kampung Jamburea yang tercermin dari keragaman kondisi elemen pembentuk lanskap, dapat disederhanakan polanya melalui analisis spasial. Peta komposit memudahkan interpretasi tentang kondisi lanskap Jamburea dalam konteks pengembangam wisata.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-14.jpg)
0 90 180 270m
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-15.jpg)
U
Gambar 7. Peta komposit sebagai hasil akhir analisis spasial
Hasil sintesis berupa tata ruang fungsional yang tertuang dalam recana blok (Gambar 8). Dalam perencanaan lanskap desa atau kampung wisata, aspek keruangan merupakan pendekatan penting yang mendasari penataan lanskap setempat karena dipandang cukup efektif dalam pengembangan wisata (Soszyński et al., 2018). Rencana blok dibuat dengan mengintegrasikan hasil akhir analisis spasial, kualitatif, serta konsep dasar yaitu kampung wisata yang rekreatif dan edukatif melalui pengenalan budaya dan keindahan alam yang memperhatikan kelestarian lanskap alam dan budaya.
![](https://jurnal.harianregional.com/media/106487-16.jpg)
LEGENDA
---Batas tapak
-
< ¾ Akses kampung
-
• — Sirkulasi primer
-
•--Sirkulasi
-
□ Area penyangga
f I Area penerimaan
^H Area pendukung wisata
I I Area wisata alam
-
^ ≡1 Area wisata budaya
U
0 90 180 270m
Gambar 8. Rencana blok untuk pengembangan kampung wisata
Rencana blok membagi kawasan menjadi area penerimaan, wisata, pendukung wisata dan penyangga. Area penerimaan diletakkan di bagian selatan dan utara tapak dengan pertimbangan kemudahan akses. Sekeliling kawasan kampung yang sebagian besar berada pada klasifikasi cukup dan tidak sesuai difungsikan sebagai area penyangga untuk melindungi area yang rentan, seperti lahan yang curam, serta untuk menyangga kampung. Kawasan yang dialokasikan sebagai ruang wisata alam dan budaya, dikembangkan pada area dengan klasifikasi sesuai. Sementara itu area pendukung wisata yang berfungsi pelayanan sebagian besar berada di bagian selatan yang merupakan kombinasi antara klasifikasi sesuai, cukup sesuai dan tidak sesuai, sehingga nantinya dalam membuat rencana lanskap perlu ditentukan pengembangan ruang pendukung wisata pada area yang sesuai dan cukup sesuai. Block plan tersebut menjadi dasar pengembangan perencanaan lanskap wisata di Kampung Jamburea.
-
4. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis Kampung Jamburea sesuai untuk dikembangkan sebagai kampung wisata. Hal ini terlihat dari peta komposit, dimana 72,09% dari luas kawasan sesuai untuk pengembangan wisata, 13,68% cukup sesuai, dan 14,23% tidak sesuai. Hasil analisis spasial menjadi arahan dalam pengembangan ruang pada tahap sintesa, dimana berdasarkan tingkat kesesuaiannya, area-area dalam kampung dialokasikan untuk ruang penerimaan, wisata, pendukung wisata, dan penyangga.
Penerapan pendekatan spasial dalam studi ini mendukung efektifitas proses perencanaan lanskap. Analisis spasial membantu pemahaman karakter lanskap Kampung Jamburea yang kompleks melalui penyederhanaan pola berbagai elemen pembentuk lanskap yang digambarkan dalam bentuk peta-peta tematik. Selain itu, teknik overlay dalam analisis memudahkan perencana untuk mengidentifikasi tingkat kesesuaian lahan di kampung untuk menentukan ruang-ruang fungsional dengan mempertimbangkan sifat dari berbagai elemen lanskap, sehingga diharapkan dapat menekan dampak kerusakan pada kampung di masa mendatang
Terlepas dari manfaat analisis spasial tersebut, terdapat isu seperti ketersediaan data spasial. Ketersediaan data, terutama aspek sosial-budaya terkadang sulit didapatkan karena keterbatasan waktu dan tenaga untuk melakukan pengamatan, sehingga perlu diantisipasi oleh perencana. Pemahaman terhadap aspek sosial-budaya tidak kalah penting dan semestinya dianalisis secara komprehensif yang menjadi kekurangan dalam studi ini.
-
5. Daftar Pustaka
Andini, N. (2013). Pengorganisasian komunitas dalam pengembangan agrowisata di desa wisata, Studi kasus: Desa Wisata Kembangarum, Kabupaten Sleman. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 24 (3), 173188.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Garut. (2019). Peraturan Daerah (PERDA) tentang Perubahan Atas Perda Kabupaten Garut Nomor 29 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut Tahun 2011 - 2031. Garut (ID): Bappeda Kabupaten Garut
Bilous, L, Samoilenko, V., Shyshchenko, P., Havrylenko O. (2021). GIS in landscape architecture and design.
Geoinformatics, 2021,1-7.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. (2021). Kabupaten Garut dalam Angka 2021. Garut (ID): BPS.
[DPUPR] Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Garut bagian Tata Ruang Kabupaten
Garut. 2022. Pola Ruang dan Tutupan Lahan Desa Banyuresmi. Garut (ID): DPUPR Kab. Garut.
Gunn, C.A. (1997). Vacationscape: Developing tourist areas (3rd ed). Taylor and Francis Publishers.
Irfan, M. & Suryani, A. (2017). Local wisdom based tourist village organization in Lombok Tourist Area. Int J
English Lit Soc Sci. 2 (5), 73–82. doi:10.24001/ijels.2.5.10
Kurniawati, E., Hamid, D., Hakim. L. (2018). Peran masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan dDesa wisata Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. J Adm Bisnis. 54(1), 8–14.
[Mentan] Menteri Pertanian. (1980). Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Jakarta (ID): RI.
Nasa Global Modeling and Assimilation Office MERRA-2. 2021. https://power.larc.nasa.gov/data-access-viewer/
Pulungan, I.S. (2019). Perencanaan lanskap ekowisata Sibanggor daerah penyangga Taman Nasional Batang
Gadis Kabupaten Mandailing Natal. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ryan, R.L. (2011).The social landscape of planning: Integrating social and perceptual research with spatial planning information. Landscape and Urban Planning, 100, 361–363.
Simpson, J.W. (1989). A conceptual and historical basis for spatial analysis. Landscape and Urban Planning, 17, 313-321.
Soszyński, D., Sowińska-Świerkosz,B., Stokowski, P.A. & Tucki, A. (2018). Spatial arrangements of tourist villages: Implications for the integration of residents and rourists. Tourism Geographies, 20(5), 770-790.
Tomić Reljić, D., Košcak Miočić-stošić, V., Butula, S., Andlar, G. (2017). An overview of GIS applications in landscape planning. Kartografija, 16 (27), 26-43.
Zakaria F. & Suprihardjo, R.D. (2014). Konsep pengembangan kawasan desa wisata di Desa Bandungan
Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan. Jurnal Teknik Pomits, 3 (2), 245-249.
JAL | 290
Discussion and feedback