DIMENSI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DI LAUT LEPAS MENURUT UNCLOS 1982
on
DIMENSI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DI LAUT LEPAS MENURUT UNCLOS 1982
Kent Revelino Chandra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i12.p2
ABSTRAK
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami dua hal. Pertama, bagaimana pengaturan perlindungan HAM dapat diterapkan di laut, terutama di daerah laut lepas yang pada dasarnya tidak dimiliki oleh siapa pun, termasuk negara. Kedua, bagaimana kewajiban negara dapat timbul di laut lepas untuk melindungi HAM individu yang berada di kapal tersebut. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk menyelidiki isu-isu yang dibahas. Sebagai hasilnya, dapat disimpulkan bahwa hukum internasional mengenai perlindungan HAM dapat diterapkan, didasarkan pada Pasal 293 UNCLOS yang memperbolehkan penggunaan hukum internasional yang relevan. Selain itu, kewajiban negara di laut lepas timbul dari yurisdiksi eksklusif negara bendera yang berlaku untuk kapal tersebut. Oleh karena itu, negara bendera harus memastikan bahwa kapal tersebut mematuhi semua hukum nasional dan internasional yang berlaku, sesuai dengan yurisdiksi negara bendera.
Kata Kunci: UNCLOS, Hak Asasi Manusia, Laut Lepas, Exclusive Jurisdiction, dan ICCPR
ABSTRACT
The objective of this writing is twofold. Firstly, it aims to comprehend how regulations pertaining to the protection of Human Rights can be implemented at sea, specifically in the high seas, which are essentially unclaimed territories not belonging to any state. Secondly, it seeks to explore the obligations of states in the high seas to safeguard the Human Rights of individuals aboard ships. The author will utilize a normative legal research methodology to address these concerns. Consequently, it can be inferred that international laws concerning the protection of Human Rights can be applied by invoking Article 293 of UNCLOS, which allows for the incorporation of relevant international laws. Furthermore, state obligations in the high seas emanate from the flag state's exclusive jurisdiction over the ship. Hence, the flag state bears the responsibility to ensure that the ship adheres to all applicable national and international laws, in accordance with the flag state's jurisdiction.
Key Words: UNCLOS, Human Rights, High Seas, Exclusive Jurisdiction, and ICCPR
Menurut sejarah, laut memiliki dua peran penting. Pertama, sebagai sarana komunikasi. Kedua, sebagai sumber daya yang melimpah, baik dalam bentuk makhluk hidup maupun benda mati. Kehadiran dua peran ini telah menjadi pendorong bagi perkembangan peraturan dalam bentuk hukum.1 Kehadiran
pengaturan dalam hal ini hukum internasional hadir untuk kepentingan bersama masyarakat hukum internasional dan bukan hanya pada negara tertentu.2
Dalam hukum internasional dikenal “daratan mendominasi laut”, hal ini merupakan salah satu prinsip dasar yang mengakibarkan situasi territorial darat menjadi penentu awal untuk hak maritim dari suaru negara terkhususnya yang memiliki pesisir pantai.3 Selama tahun 1960-an dan 1970-an, hukum laut internasional dicirikan dalam keadaan ketidakpastian yang signifikan sebagai akibat dari ketegangan antara Negara-negara pantai (coastal States) dan Negara-negara yang berkepentingan dengan kebebasan navigasi, antara negara pantai dan negara 'terkurung daratan' (‘land-locked’ States), serta antara negara industri dan negara berkembang, mencapai tingkat tertinggi.4 Ruang lingkup yang tepat dari prinsip 'kebebasan laut' dibahas terus menerus, dan perluasan progresif kegiatan penelitian dan eksploitasi di landas kontinen membuat pengaturan hukum dari berbagai lembaga pun menjadi lebih kompleks.5
Dengan adanya kendala tersebut maka hadirlah pengaturan tentang hukum laut yang dikenal sebagai Internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (“UNCLOS”) 19826 yang setidaknya dapat menjawab beberapa kendala yang dihadapi oleh negara-negara. UNCLOS hadir menetapkan rezim hukum yang komprehensif untuk lautan - situs utama interaksi antara negara-negara dan juga area permasalahan yang sering menjadi fokus gesekan.7 Diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia, UNCLOS berfungsi sebagai hukum kerangka laut yang berlaku di sebagian besar hubungan negara-ke-negara. Sebagaimana fungsi utama hukum internasional melibatkan distribusi spasial yurisdiksi negara, hal yang sama berlaku untuk hukum laut. UNCLOS membagi laut menjadi beberapa zona yurisdiksi, seperti perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), zona tambahan, landas kontinen, laut lepas, dan the area dimana merupakan dasar laut serta tanah di bawahnya, dimana di luar batas yurisdiksi suatu negara nasional.8 UNCLOS hadir sebagai solusi pengaturan tentang laut dan negara-negara yang melintasinya.
Dalam UNCLOS pada umumnya dapat dikatakan diperuntukan untuk negara dan bukan kepada perlindungan individu.9 Walaupun demikian tetapi terdapat beberapa peraturan yang mengatur sehubungan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (“HAM”), dapat dilihat pada pasal yang berhubungan dengan perbudakan (slavery) dan pembajakan (piracy).10 Meskipun perbudakan telah dihapuskan secara internasional seabad yang lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menghitung lebih dari 21 juta perempuan, laki-laki, dan anak-anak adalah korban perbudakan di seluruh dunia yang terlibat pada kegiatan kerja paksa, memperkerjakan anak, dan perdagangan orang.11 Tindakan dari perbudakan merupakan ancaman terhadap HAM, apabila ditelisik lebih jauh dalam UNCLOS, pengertian dari perbudakan sendiri tidak tercantum pada peraturan ini, oleh karena itu kita akan melihat pada konvensi yang relevant yaitu Slavery Convention yang mengartikan perbudakan sebagai “sebuah status atau kondisi seseorang di mana salah satu atau semua kekuasaan yang melekat berada pada hak kepemilikan yang dijalankan.” Berdasarkan pengertian tersebut hal ini pun meninggalkan ruang yang sangat terbuka untuk penyalahgunaan peraturan yang berhubungan dengan perlindungan dari perbudakan dikarenakan pengertian tersebut sudah ketinggalan zaman, seiring banyak terjadinya tindakan “Modern Slavery” yang tidak termasuk pada pengertian perbudakan yang diatur pada konvensi tersebut.12 Dewasa ini pembajakan juga masih sering terjadi pada laut lepas. Tindakan pembajakan menjadi ancaman bukan tanpa alasan, tindakan yang biasanya dilakukan ketika terjadi pembajakan (seperti penyandraan, penculikan, dan penembakan yang mengakibatkan kematian) mengakibatkan ancaman tindakan kekerasan terhadap manusia lainnya serta pelanggaran terhadap HAM oleh para pembajak.13
Pada akhirnya, masih ada permasalahan bagaimana penegakan serta perlindungan HAM terutama pada laut lepas, dimana perlindungan orang dari perbudakan modern, pembajakan, dan serta bagaimana hak-hak lainnya yang diatur dalam Hukum HAM internasional dilindungi.
Berdasarkan pencarian yang dilakukan oleh penulis demi untuk menjaga orisinalitas dalam penulisan ini, tidak ditemukan penulisan dengan topik serupa yang akan diangkat oleh penulis. Akan tetapi ada beberapa penulisan sejenis diantaranya: Pertama, “Perlindungan Hukum terhadap Anak Buah Kapal menurut Hukum Internasional (Studi Tentang Penegakan Hukum Atas Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap ABK Di Kapal Fu Tzu Chun Pada 2015)” dengan penulis Zahra Aulia Rahmani, Aryuni Yuliatiningsih, dan Noer Indriati dimana dalam penulisan ini memiliki fokus terhadap bagaimana peraturan internasional melindungi awak kapal yang dikaitkan dengan kasus anak buah kapal di kapal Fu Tzu Chun. Kedua, “Perlindungan Pencari Suaka di Mediterania Ditinjau dari Hukum Pengungsi di Eropa dan Hukum Laut Internasional,” ditulis oleh Salwa Salsabila dan Atip Latipulhayat
yang membahas bagaimana perlindungan imigran di laut lepas mediterania berdasarkan hukum pengungsi eropa dan hukum laut internasional. Oleh karena itu, penulisan ini akan berbeda dikarenakan akan difokuskan pada bagaimana perlindungan HAM di laut lepas serta bagaimana pertanggung jawaban sebuah negara untuk melindungi HAM tersebut.
Dengan penjelasan diatas maka dapat ditarik rumusan masalah yang menjadi perhatian penulis, yaitu:
-
1. Bagaimana perlindungan hak asasi manusia di laut lepas dalam pengaturan hukum laut internasional?
-
2. Bagaimana jurisdiksi negara dalam perlindungan terhadap orang-orang di kapal?
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi hubungan antara peraturan hukum internasional yang mengatur perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan peraturan hukum laut internasional. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai tanggung jawab negara dalam menjamin perlindungan HAM di perairan internasional yang tidak terkait dengan wilayah negara.
Hukum normatif,14 atau dikenal dengan penelitian hukum doktrinal dimana menempatkan hukum sebagai ilmu yang bersifat perspektif15 dan juga berpusat pada hukum sebagai sistem norma atau hukum perundang-undangan.16 Dalam penulisan ini, peneliti mengadopsi pendekatan analisis deskriptif untuk menganalisis aturan hukum internasional yang relevan. Artikel ini menggunakan empat pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang, kasus, konseptual, dan pendekatan fakta. Isi artikel ini akan didasarkan pada sumber utama seperti perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip hukum umum. Sumber sekunder seperti keputusan pengadilan internasional, buku, jurnal, dan situs web akan dikumpulkan sebagai sumber tambahan.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Perlindungan Hak Asasi Manusia di Laut Lepas dalam Pengaturan Hukum Laut Internasional
-
Kemanusiaan (Humanity) tidak hanya menjadi perhatian domestik tetapi juga internasional. Pengadilan nasional, seperti halnya pengadilan internasional, arbiter dan rapporteurs, sering mengacu pada prinsip kemanusiaan dan mereka telah mencoba memberikan makna yang tepat untuk kata tersebut. Prinsip kemanusiaan (the Principle of Humanity), juga biasa dikenal sebagai hukum kemanusiaan (laws of humanity), pertimbangan dasar kemanusiaan (elementary considerations of humanity) atau pertimbangan kemanusiaan (considerations of humanity), hal ini telah diterapkan terutama pada kewajiban Negara17 dan pada awalnya merujuk hampir secara eksklusif pada bidang hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional. Memang, kedua hukum ini adalah hukum internasional yang erat kaitannya dengan kemanusiaan. Secara khusus, perhatian utama mereka adalah penghormatan dan perlindungan martabat manusia, yang merupakan salah satu standar minimum kemanusiaan yang esensial.18 Pertimbangan kemanusiaan ini pula diterapkan dalam hukum laut, seperti yang diterapkan pada bidang hukum internasional lainnya sebagaimana telah dipastikan dalam beberapa keputusan kasus internasional.19 Hukum laut dan Hukum HAM tidak mengorbit pada jalur yang berbeda, malahan selalu bersinggungan pada berbagai kesempatan.20
Peraturan perlindungan HAM internasional diatur lebih lanjut dalam beberapa instrument hukum internasional, diantarannya yaitu: Pertama, Universal Declaration of Human Rights.21 Kedua, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.22 Ketiga, International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”).23 Dokument tersebut juga sering dikenal sebagai “The International Bill of Rights”. Meskipun UDHR tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, namun secara minimal telah menjadi dasar untuk pembentukan norma-norma (HAM) internasional yang diimplementasikan dalam berbagai perjanjian internasional yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.24
ICCPR adalah perjanjian global utama yang ditujukan untuk apa yang disebut sebagai perlindungan HAM “generasi pertama.” Peraturan Ini kompleks dimana adalah "hak Pencerahan" yang pada zaman itu sangat penting dalam menggulingkan feodalisme dan meniadakan hak ilahi raja yang tak terbantahkan.25 Dipengaruhi oleh gagasan tentang individualisme dan laissez-faire, hak perlindungan HAM ini lebih berfokus pada hak individu vis-à-vis otoritas politik sebagian besar telah dianggap sebagai seperangkat "negative freedom," atau hak yang mengharuskan pemerintah
untuk menjauhkan diri dari merendahkan (daripada mengharuskan pemerintah untuk campur tangan atas nama) martabat manusia.26 ICCPR juga merupakan salah satu perjanjian internasional yang telah menghasilkan berbagai yurisprudensi dalam perlindungan HAM.
Pengaturan perlindungan HAM dalam ICCPR yang terkandung didalamnya dapat dilihat di Bagian III ICCPR, yang berisi kewajiban substantif perjanjian yaitu: Individu memiliki hak untuk hidup mereka (Pasal 6), hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan (Pasal 7), dari perbudakan (Pasal 8), hak atas privasi (Pasal 9), hak kebebasan bergerak (Pasal 12), persidangan yang adil (Pasal 14), kebebasan beragama dan berpikir (Pasal 18 dan 19), berkumpul secara damai dan berserikat bebas (Pasal 21 dan 22). Hak partisipasi politik dijamin dalam Pasal 25. Persamaan di depan hukum dan hak-hak minoritas dilindungi dalam Pasal 26 dan 27. Perlu diinngat juga, para perancang perjanjian tidak membayangkan bahwa hak-hak ini akan menjadi mutlak; baik ICCPR27 maupun Deklarasi Universal28 mengakui bahwa hak-hak ini mungkin perlu dibatasi bila untuk melindungi kepentingan publik tertentu sesuai dengan Siracusa Principle.29
Sebagaimana peraturan perlindungan HAM berlaku di darat, maka peraturan ini pun berlaku pada lautan apa lagi laut lepas (High Seas). Peraturan perlindungan ini dapat berlaku dikarenakan UNCLOS mengizinkan penerapan aturan hukum internasional lainnya, yang sesuai dengan Konvensi.30 Selain itu, Vienna Convention on the Law of Treaties memastikan hubungan antara suatu perjanjian dan setiap aturan hukum internasional yang relevan yang berlaku di antara para pihak.31 Dengan adanya pasal serta peraturan internasional, hal ini memungkinkan pengaplikasian perlindungann HAM dalam ICCPR untuk sampai pada laut lepas di luar teritori daratan suatu negara dan tidak menutup penegakan HAM oleh negara-negara pihak yang wajib untuk melindungi hak-hak kemanusiaan.
-
3.2. Pertanggung Jawaban serta Jurisdiksi Negara dalam Perlindungan terhadap HAM di Laut Lepas
Pertanggung jawaban sebuah negara terhadap suatu obligasi internasional timbul karena oleh sebuah perjanjian internasional (treaties) dengan cara meratifikasi dan menjadi negara pihak,32 sebagaimana juga ditekankan dalam Pacta Sunt Servanda yang menyatakan “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”33 Hal ini menerangkan bahwa negara memiliki kewajiban dalam melaksanakan perjanjian dengan kesetiaan atau etikad baik.34 Selain dengan
mengratifikasi suatu perjanjian, kewajiban pun dapat timbul dikarenakan obligasi tersebut merupakan suatu hukum kebiasaan internasional (“Customary International Law”).35
Sebagaimana pelindungan HAM telah terkodifikasi dalam ICCPR dan juga merupakan kebiasaan internasional maka timbulah pertanggung jawaban negara untuk melindungi HAM. Perlindungan ini pun berlaku pada laut lepas (high seas), tanggung jawab negara tersebut timbul terhadap Negara bendera yang memiliki exclusive jurisdiction atas kapal.
-
3.2.1. Yurisdiksi Eksklusif
Yurisdiksi negara bendera dilaksanakan atas dasar kewarganegaraan suatu kapal. Dengan demikian, kewarganegaraan suatu kapal merupakan bagian penting membangun hubungan yuridis antara suatu Negara dan kapal yang mengibarkan benderanya. Sebutan Negara bendera sendiri artinya, negara yang telah memberikan hak untuk berlayar di bawah benderanya kepada sebuah kapal, mengakibatkan negara tersebut memiliki yurisdiksi eksklusif atas kapal-kapal yang mengibarkan benderanya. Ini disebut juga prinsip yurisdiksi eksklusif (“exclusive jurisdiction”) negara bendera. Prinsip-prinsip tersebut telah ditetapkan dengan baik dalam hukum kebiasaan internasional.36 Hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 92 (1) UNCLOS yang menyatakan sebagai berikut: Kapal memiliki keharusan dimana berlayar dengan bendera satu Negara saja dan tunduk pada yurisdiksi eksklusifnya di laut lepas. Hal ini pun juga dapat dilihat dalam putusan kasus Lotus yang memuat kapal-kapal di laut lepas tidak tunduk pada otoritas negara lain kecuali negara yang benderanya mereka kibarkan. Hal ini berdasarkan prinsip kebebasan laut, yaitu, tidak adanya kedaulatan teritorial pada laut lepas, dan negara lain tidak dapat menjalankan yurisdiksi apa pun atas kapal asing.
Berdasarkan hukum internasional, setiap Negara berhak untuk menentukan syarat-syarat pemberian kewarganegaraannya kepada kapal.37 Dalam kasus M/V ‘Saiga’, ITLOS memutuskan38: Penetapan kriteria dan penetapan prosedur pemberian dan pencabutan kewarganegaraan kepada kapal merupakan hal-hal yang berada dalam yurisdiksi eksklusif Negara bendera. Namun, hak Negara untuk memberikan kewarganegaraannya kepada kapal bukan tanpa batasan. Secara umum diakui bahwa suatu Negara tidak dapat memberikan kewarganegaraannya kepada kapal yang telah diberikan kewarganegaraan dari Negara lain.39 Lebih lanjut pada Pasal 91 (1) UNCLOS yang menyatakan salah satu kriteria terhadap kewarganegaraan suatu kapal yaitu harus ada hubungan sejati antara/genuine link Negara dan kapal. Berkenaan dengan hal ini ITLOS dalam putusannya pada kasus M/V Virginia G menyatakan,40 bahwa kalimat ketiga dalam Pasal 91 (1) UNCLOS tidak boleh dibaca sebagai prasyarat atau kondisi yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan hak negara bendera untuk memberikan kewarganegaraannya untuk kapal. Maka dapat ditarik kesimpulan dimana,
bahwa suatu negara tidak dapat menolak untuk mengakui hak kapal untuk mengibarkan bendera negara karena tidak adanya “genuine link”.41
Akhirnya, dengan adanya prinsip exclusive jurisdiction menandakan adanya dua peran penting, yaitu42: Pertama, mencegah adannya intervensi dari negara lain masuk kedalam kapal dan dengan begitu menjamin pula kebebasan kegiatan kapal dilaut lepas. Kedua, negara bendera memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kapal tersebut patuh pada hukum nasional dan internasional mengenai kegiatan kapal yang menggunakan benderannya pada laut lepas. Pelaksanaan prinsip ini termasuk kepada semua orang yang berada dalam kapal tersebut terlepas dari pada kebangsaannya. Hal ini pun dapat dilihat dalam kasus M/V Saiga yang menyatakan,43 kapal, semua yang ada di dalamnya, dan setiap orang yang terlibat atau berkepentingan dengan operasinya diperlakukan sebagai entitas yang terkait dengan negara bendera. Kebangsaan orang ini tidak relevan dalam hal ini.
Berdasarkan penjelasan diatas maka perlindungan HAM dijamin oleh negara bendera dilaut lepas, hal ini dikarenakan kapal tersebut merupakan teritory negara bendera dan hak ini dijamin perlindungannya terlepas dari pada kebangsaan orang-orang yang berada di atas kapal tersebut.44
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
-
4. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban internasional timbul dari perjanjian internasional dan norma yang telah menjadi kebiasaan dalam hukum internasional. Perlindungan HAM sendiri telah dijamin dalam ICCPR. Penting untuk dicatat bahwa perlindungan HAM berlaku di darat maupun di laut, termasuk di laut lepas, karena negara bendera memiliki yurisdiksi eksklusif serta pada Pasal 293 UNCLOS memungkinkan penggunaan aturan hukum internasional lain yang sesuai dengan Konvensi, sehingga dapat disimpulkan hal ini termasuk peraturan internasional yang melindungi HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bachtiar. Metode Penelitian Hukum. Tangerang Selatan: UNPAM Press, 2018.
Del Vecchio, Angela, and Roberto Virzo, eds. Interpretations of the United Nations Convention on the Law of the Sea by International Courts and Tribunals. Swiss: Springer Cham, 2019. https://doi.org/10.1007/978-3-030-10773-4.
Donald R. Rothwel and Tim Stephens. The International Law of the Sea. 2nd ed. London: Bloomsbury Publishing, 2016.
Meron, Theodor. The Humanization of International Law. Hague Academy of
International Law Monographs, v. 3. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2006.
Tanaka, Yoshifumi. The International Law of the Sea. 3rd ed. Cambridge: Cambridge University Press, 2019. https://doi.org/10.1017/9781108545907.
Dokumen United Nations
Human Rights Committee. “The Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights.” UN Commission on Human Rights, September 28, 1984. E/CN.4/1985/4.
UN General Assembly. “International Covenant on Civil and Political Rights.” United Nations, December 16, 1966. 999 UNTS 171.
———. “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.” United Nations, December 16, 1966. 993 UNTS 3.
———. “United Nations Convention on the Law of the Sea.” United Nations, December 3, 1982. 1833 UNTS 397.
———. “Universal Declaration of Human Rights.” United Nations, December 10, 1948. 217 A (III).
Human Rights Committee. “General Comment No. 31 [80], The Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant.” United Nations, May 26, 2004. CCPR/C/21/Rev.1/Add.13.
United Nations. “Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969.” United Nations, January 27, 1969. 1155 UNTS 331.
Internet
“Principle of the Exclusive Jurisdiction of the Flag State in the Law of the Sea and Customary International Law.” International Institute for Law of the Sea Studies, n.d. http://iilss.net/the-meaning-of-the-nationality-of-a-ship-and-flag-states-
on-the-law-of-the-sea-and-customary-international-law/.
United Nations Human Rights. “International Human Rights Law,” n.d. https://www.ohchr.org/en/instruments-and-mechanisms/international-human-rights-law.
United Nations. “International Day for the Abolition of Slavery, 2 December,” n.d. https://www.un.org/en/observances/slavery-abolition-day.
Jurnal
Astawa, Kt. D., “Sistem Hukum Internasional dan Peradilan Internasional,” Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 27, no. 1 (2014).
Beth Simmons. “Civil Rights in International Law: Compliance with Aspects of the ‘International Bill of Rights.’” Indiana Journal of Global Legal Studies 16, no. 2 (2009): 437. https://doi.org/10.2979/gls.2009.16.2.437.
Choudhury, Nafay. “Revisiting Critical Legal Pluralism: Normative Contestations in the Afghan Courtroom.” Asian Journal of Law and Society 4, no. 1 (2017): 229–55. https://doi.org/10.1017/als.2017.2.
Jastisia, Mentari, “Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional terhadap Imigran Suriah,” Jurnal Yustitia 7, no. 2 (2021).
Ndiaye, T. M., “Human Rights at Sea and the Law of the Sea,” Beijing Law Review 10, no. 2. (2019).
Petroski, Karen. “Legal Fictions and the Limits of Legal Language.” International Journal of Law in Context 9, no. 4 (2013): 485–505.
https://doi.org/10.1017/S1744552313000268.
Purwanto, Harry. “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional.” Mimbar Hukum 21, no. 1 (2009).
https://doi.org/10.22146/jmh.16252.
Tom Obokata. “Maritime Piracy as a Violation of Human Rights: A Way Forward for Its Effective Prevention and Suppression?” The International Journal of Human Rights 17, no. 1 (2013). https://doi.org/10.1080/13642987.2012.690218.
Tullio Treves, “Human Rights and the Law of the Sea,” Berkeley Journal of International Law 28, no. 1 (2010).
Yulianto, “Pelaksanaan United Nation Convention On The Law Of The Sea (Unclos) 1982 di Perairan Natuna,” Jurnal Saintek Maritime 20, no. 2 (2020).
Kasus Internasional
Guyana v Suriname (Award) [2007] PCA Case No.2004-04
ICTY (Appeal Chamber), Prosecutor v. Zejnil Delalic et al, Judgment, 20 February 2001.
M/V “SAIGA” (No. 2) (Saint Vincent and the Grenadines v. Guinea), Judgment, ITLOS Reports 1999.
M/V Virginia G case, ITLOS Report 2014, p. 44.
Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain, Merits, Judgment, I.C.J. Reports 2001, p. 40.
Nicaragua v. Honduras, I.C.J Reports, 2007, p. 659.
North Sea Continental Shelf cases, I.C.J. Reports, 1969, p. 3.
Tesis
Miriam Hasan and Elise Karlsen Johanssen. “Modern Slavery at Sea. An Evolutionary Interpretation of the Right to Visit.” Master thesis, UiT The Arctic University of Norway, 2015.
Jurnal Kertha Wicara Vol. 11 No. 12, hlm. 1825-1834
Discussion and feedback