PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS YANG DIDIRIKAN OLEH SUAMI ISTRI TANPA ADANYA PERJANJIAN PERKAWINAN
on
PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS YANG
DIDIRIKAN OLEH SUAMI ISTRI TANPA ADANYA PERJANJIAN PERKAWINAN
Imma Mutia Dewi Sindrawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i12.p3
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menemukan keabsahan dan akibat hukum dari perseroan terbatas yang didirikan oleh pasangan suami istri tanpa perjanjian perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual untuk menyelidiki keabsahan dan akibat hukum Perseroan Terbatas yang pendiriannya dilaksanakan oleh suami istri. Penelitian ini berusaha untuk mengidentifikasi bahan hukum yang relevan melalui tinjauan literatur dan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan analisis kualitatif untuk menganalisis temuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk membentuk suatu Perseroan Terbatas oleh suami istri yang bertindak sebagai pendiri dan pemegang saham, diperlukan perjanjian perkawinan untuk menjamin pemisahan harta kekayaan atau dengan memperoleh tambahan subyek hukum lainnya untuk turut serta bertindak sebagai pendiri dan pemegang saham. Keharusan memiliki sekurang-kurangnya dua orang yang mampu mengambil peran sebagai subyek hukum pada saat pendirian Perseroan Terbatas harus dipatuhi. Perseroan Terbatas yang didirikan oleh satu subyek hukum sebagai satu-satunya pemegang sahamnya dapat menimbulkan persoalan mengenai status atau bentuk badan hukum tersebut.
Kata kunci: Perseroan Terbatas, Perjanjian Perkawinan, Suami istri.
ABSTRACT
This research aims to analyze the the validity and legal consequences of a limited liability company established by a married couple without a marriage agreement. This study endeavors to utilize normative research methods and both a statute approach and conceptual approach to analyze the validity and legal consequences of a Limited Liability Company whose founding is conducted by husband and wife. This research aims to recognize applicable juridical material through an examination of the literature and then continues with employing qualitative analysis to examine the results. This study demonstrates that in order to establish a Limited Liability Company with both husband and wife serving as founders and shareholders, a marital contract is necessary in order to ensure asset segregation and consider them as distinct legal entities, or to acquire extra legal entities to function as founders and shareholders of the entity. It is required that a Limited Liability Company have a minimum of two individuals legally qualified to assume responsibility at its time of establishment. It may be contentious as to the legal status or form of a Limited Liability Company established by a single legal subject acting as the sole shareholder.
Key Words: Limited Liability Company, Marriage Agreement, Husband and Wife.
Keberadaan badan usaha memang tidak dapat dilepaskan dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang kian terus berkembang. Hal ini tercermin dengan
adanya peningkatan jumlah badan usaha yang mulai beroperasi dengan berbagai bentuk dan bidang usaha yang berbeda-beda, baik berbadan hukum ataupun tidak berbadan hukum. Apabila dilihat secara sekilas memang keduanya terlihat tidak ada perbedaan tetapi berdasarkan perspektif hukum bisnis kedua badan usaha ini memiliki perbedaan yang terletak pada pada tanggung jawab. Tanggung jawab pada badan usaha berbadan hukum adalah terbatas, artinya tanggung jawab yang dimiliki tidak sampai dengan harta pribadi pendiri badan usaha. Hal tersebut karena adanya pemisahan harta kekayaan antara perusahaan dan pendirinya bagi badan usaha yang berbadan hukum. Sedangkan, pada badan usaha yang tidak brbadan hukum maka akan berlaku sebaliknya, tanggung jawabnya sampai harta pribadi karena tidak mengenal adanya pemisahan harta perusahaan.1 Perseroan Terbatas, Koperasi, dan BUMN adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum. Sedangkan, badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti Perseroan Komanditer, Firma, dan Persekutuan Perdata. Diantara banyaknya badan usaha tersebut, pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya lebih banyak yang memilih bentuk usaha Perseroan Terbatas karena adanya pembatasan tanggung jawab.2 Bahkan hingga saat ini Perseroan Terbatas telah sangat berkontribusi dalam perkembangan perekonomian serta memajukan taraf hidup masyarakat.
Perseroan terbatas awalnya diatur dalam “Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Selanjutnya, terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang sampai saat ini masih digunakan dalam pengaturan mengenai Perseroan Terbatas.” Selain pada UUPT, semenjak tahun 2020 pengaturan mengenai perseroan terbatas terdapat pula dalam “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja”. Istilah Perseroan Terbatas terdiri dari kata peseroan dan terbatas, yang mana setiap katanya mengandung sebuah makna. Kata perseroan mengandung makna yang mengacu terhadap modal perseroan, sedangkan kata terbatas mengandung makna yang mengacu terhadap pertanggungjawaban yang dimiliki pemegang sahamnya, yaitu sebatas saham yang ditanamkannya pada perseroan tersebut.3 “Pasal 1 angka 1 UUPT, menyatakan: Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
Bila diuraikan berdasarkan bunyi dari Pasal 1 angka 1 UUPT, dijelaskan bahwa Perseroan Terbatas adalah suatu persekutuan modal, hal ini berarti bahwa para pendiri perseroan telah setuju memasukkan atau memberikan modal, yang nantinya dibagi dalam bentuk saham. Yang mana modal ini kerap kali disebut dengan saham modal. Saham modal yang dimiliki dapat diperjualbelikan pada pihak lain sehingga sangat dimungkinkan jika terjadi perubahan organisasi dan kepemilikan badan usaha
tanpa harus membubarkan atau mendirikan perusahaan kembali atau secara sederhana diartikan bahwa Perseroan Terbatas sebagai asosiasi modal akan mempermudahkan pemegang saham dalam menyerahkan, memberikan atau menjual sahamnya kepada orang lain.4 Karakteristik adanya tanggung jawab yang terbatas bagi para pendiri suatu perseroan dipicu karena adanya keharusan pemisahanan harta kekayaan antara perseroan dan para pendirinya.
Perseroan Terbatas akan diperlakukan seperti dan selayaknya subyek hukum yang berdiri sendiri dihadapan hukum, hal ini dikarenakan statusnya sebagai perseroan yang berbadan hukum.5 “Perseroan terbatas memiliki organ perseroan yaitu RUPS, direksi dan komisaris”. Dalam melaksanakan kegiatannya, organ perseroan mempunyai wewenang serta fungsi yang berbeda-beda. Contohnya seperti direksi, direksi memiliki tugas yang sangat penting dalam suatu Perseroan Terbatas yaitu bertugas untuk selalu mewakili suatu perseroan baik didalam ataupun diluar pengadilan sesuai yang terdapat dalam suatu anggaran dasar. Selain itu, direksipun harus mempertanggungjawabkan pengurusan perseroan secara penuh demi kepentingan tujuan suatu perseroan.6
Pendirian Perseroan Terbatas harus didasari dengan adanya suatu perjanjian, yang artinya dalam pendirian perseroan terbatas setidaknya atau sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) pihak yang mengikatkan diri, sesuai Pasal 7 ayat (1) UUPT. Dalam UUPT tidak termuat pengaturan mengenai batasan jumlah maksimal pihak yang dapat melakukan persekutuan modal dalam mendirikan suatu Perseroan Terbatas serta ketentuan mengenai siapa yang dapat menjadi pemegang saham.7 Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana mengenai keabsahan dan akibat hukum terhadap Perseroan Terbatas yang didirikan oleh suami istri?
Penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya memiliki kesamaan pada segi topik, yaitu sama-sama mengkaji mengenai Perseroan Terbatas oleh suami istri, namun dengan fokus kajian yang berbeda. Pada tahun 2016, Pangemanan Michael Victorius mengkaji mengenai “Penderian Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007”. Adapun fokus kajian dalam penelitian ini adalah proses pendirian Perseroan Terbatas dan akibat hukum bagi pendiri perseroan terbatas. Pada tahun 2016, Wishnu Kurniawan dan Yeni Tan mengkaji mengenai “Kepemilikan Saham Suami dan Istri Dalam Satu Perseroan Terbatas”. Adapun fokus kajian dalam penelitian ini adalah mengenai keabsahan serta akibat hukum dari kepemilikan saham oleh suami istri dalam suatu perseroan terbatas. Selanjutnya, perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang telah ada sebelumnya adalah penelitian ini akan mengkaji mengenai pendirian perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas dan juga berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Cipta
Kerja. Maka dari itu, penelitian ini membahas terkait “Pendirian Perseroan Terbatas Yang Didirikan oleh Suami Istri Tanpa Adanya Perjanjian Perkawinan”.
-
1. Apakah Perseroan Terbatas yang didirikan oleh suami istri sah dimata hukum?
-
2. Bagaimana akibat hukum terhadap pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri yang tidak memiliki perjanjian perkawinan?
Penulisan ini bertujuan untuk meneliti keabsahan suatu Perseroan Terbatas yang didirikan oleh pasangan suami istri serta mengkaji akibat hukum dari pembentukan Perseroan Terbatas oleh pasangan suami istri yang tidak memiliki perjanjian perkawinan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative dan melalui penelusuran bahan hukum dalam menemukan akibat hukum serta keabsahan dari Perseroan Terbatas yang didirikan oleh suami istri tanpa adanya perjanjian perkawinan. Dalam memecahkan masalah yang terdapat dalam studi ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dalam kajian ini, pendekatan perundang-undangan digunakan karena didasarkan pada peraturan-peraturan yang tetap modern dan relevan dengan topik yang diteliti; Sementara itu, pendekatan konseptual digunakan karena melihat doktrin atau prinsip hukum yang ada terkait dengan topik yang dibahas. Makalah ini menggunakan teknik literature review untuk menelusuri bahan hukum dan menggunakan analisis kualitatif untuk menelaahnya.
Sebagai badan hukum yang mandiri, Perseroan Terbatas mempunyai tanggung jawab yang terbatas, artinya terdapat batasan yang pasti mengenai besarnya pertanggungjawaban yang akan diemban atau ditanggung oleh pemegang saham perseroan. Batasan tanggung jawab tersebut dapat dilihat dari seluruh akibat yang timbul atas perbuatan perseroan tersebut sebatas jumlah nominal saham yang ditanamkan oleh pemegangsaham. Pemegang saham tidak dapat dituntut untuk mengganti rugi kerugian yang sedang dihadapi oleh perseroan menggunakan harta kekayaan pribadinya. Akan tetapi, apabila terdapat percampuran harta kekayaan antara perseroan dan pemegang saham maka mengakibatkan adanya tanggung jawab yang tidak terbatas.8 Pasal 1 angka 1 UUPT, menyatakan Perseroan Terbatas hanya dapat didirikan apabila telah terdapat suatu perjanjian sebelumnya, dimana perjanjian tersebut terjadi karena pihak yang satu mengikatkan diri pada pihak lainnya dalam melakukan perbuatan hukum. Perjanjian yang dapat menjadi syarat pendirian
Perseroan Terbatas adalah perjanjian yang mana telah memenuhi syarat sah-nya suatau perjanjian, yaitu sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Modal yang terdiri atas saham-saham di dalam suatu badan usaha akan membentuk Perseroan Terbatas, hal ini dikemukakan oleh H.M.N Purwosutjipto Selain itu, beliau mengungkapkan beberapa syarat yang harus terpenuhi agar badan usaha dapat dikatakan dan tergolong sebagai badan hukum, syarat tersebut antara lain:9
-
a. Terdapat pemisahan harta kekayaan antara badan atau perusahaan dengan pemegang saham maupun para anggotanya.
-
b. Adanya sebuah kepentingan sebagai tujuan dari badan yang bersangkutan.
-
c. Harus terdapat pengurus dalam suatu badan atau perusahaan tersebut.
Dalam mendirikan Perseroan terbatas, terdapat ketentuan-ketentuan yang mengaturnya yaitu terdapat dalam Pasal 7-14 UUPT. Akan tetapi, semenjak diberlakukannya UU Cipta Kerja yang mana didalamnya mengatur serta mengenai Perseroan Terbatas mengakibatkan adanya penambahan bunyi pasal khususnya pasal 7 UUPT yaitu dengan ditambahkannya pasal 7 ayat (7) dan (8) pada UU Cipta Kerja. Penambahan bunyi pasal tersebut yaitu mengatur mengenai pengecualian bagi Perseroan Terbatas yang berupa “Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Desa, dan Perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam keharusan didirikan minimal oleh 2 orang. Pasal 7 ayat (1) UUPT, berbunyi Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.” Merujuk pada ketentuan tersebut, dalam mendirikan Perseroan Terbatas memanglah harus didasari oleh perjanjian, yang mana dalam oerjanjian sudah pasti terdapat minimal 2 pihak yang akan saling mengikatkan diri. Pihak yang dapat melakukan perjanjian dapat berupa perorangan maupun badan hukum baik berkewargaan Indonesia ataupun asing, semuanya dapat menjadi subjek yang sah untuk melakukan perjanjian dalam pendirian Perseroan Terbatas. Keabsahan suatu perseroan terbatas dilihat berdasarkan status terhadap badan hukum perseroan tersebut, sesuai dengan Pasal 7 ayat (4) UUPT, yang berbunyi: “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”, hal inilah merupakan suatu kepastian hukum yang dimuat dalam UUPT.10
Kerap kali suami istri yang memiliki keinginan untuk mendirikan perseroan terbatas bersama mengalami hambatan dalam proses pendiriannya dikarenakan kurangnya pengetahuan yang dimiliki mengenai ketentuan-ketentuan lainnya yang harus dipenuhi apabila ingin mendirikan perseroan terbatas. Hal ini didorong oleh banyaknya terjadi kekeliruan dalam menafsirkan bunyi dari Pasal 7 ayat (1) UUPT tersebut, khususnya pada kata dua orang atau lebih. Banyak pihak menafsirkan bunyi dari pasal tersebut apabila telah terdapat 2 (dua) nama pemegang saham maka telah memenuhi syarat pendirian perseroan. Akan tetapi, sejatinya 2 (dua) orang ini haruslah juga seseorang yang memiliki harta kekayaannya masing-masing (tidak harta kekayaan bersama) atau merupakan subjek hukum yang berbeda.
Sejatinya, dalam UUPT memang tidak terdapat larangan bagi suami istri apabila ingin mendirikan Perseroan Terbatas bersama walaupun tanpa perjanjian perkawinan. Akan tetapi, apabila saham hanya dimiliki oleh suami istri dengan kepemilikan harta
bersama maka dapat secara tidak langsung dikatakan tidak memenuhi ketentuan sebagai persekutuan modal (Pasal 1 angka 1 UUPT). Karena apabila menggunakan harta bersama maka dalam persekutuan perdata tidak terbentuk persekutuan modalnya.11 Suami istri masih memiliki peluang untuk dapat mendirikan suatu perseroan terbatas dengan memperhatikan beberapa hal. Hal terpenting yang harus diperhatikan suami istri adalah status kepemilikan harta kekayaan. Berdasarkan konsep hukum perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 139-167 KUHPerdata, harta persatuan oleh suami istri dapat dipisahkan dengan adanya suatu perjanjian perkawinan.
“Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Bunyi pasal tersebut mengandung makna bahwa apabila seorang pria telah sah melakukan pernikahan dengan wanita maka harta yang diperoleh setelah pernikahan berlangsung merupakan harta bersama (percampuran harta) sehingga mereka akan dianggap sebagai satu subjek hukum. Dikarenakan kepemilikan harta bersama maka seluruh perikatan-perikatan yang dimiliki oleh salah satu pihaknya akan turut serta mengikat pihak lainnya (pasangannya). Hal ini merujuk pada ketentuan “Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Harta bersama yang dimiliki oleh suami istri dapat dipindahtangankan, diasingkan, disewakan maupun dijaminkan apabila telah mendapatkan persetujuan oleh kedua belah pihak.12 Oleh karena itu, dapat dikatakan ketidakadanya perjanjian perkawinan dalam hubungan suami isteri lah yang menyebabkan pasangan tersebut dianggap menjadi satu subjek hukum oleh karenanya ada percampuran harta kekayaan sehingga menyebabkan pasangan tersebut tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas bersama sepenuhnya. Hal ini merujuk akan ketidak terpenuhinya persyaratan dalam upaya pendirian Perseroan Terbatas (Pasal 7 ayat (1) UUPT).13
Pendirian Perseroan Terbatas oleh suami dan istri masih memnungkinkan namun dengan memperhatikan beberapa hal. Pasangan suami istri dapat memilih salah satu dari dua alternatif untuk membentuk Perseroan Terbatas. Pertama-tama, suami dan istri harus membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah dokumen yang mengikat secara hukum antara pasangan yang menguraikan peraturan yang telah ditentukan sebelumnya yang diterima oleh kedua belah pihak. R. Subekti berpendapat bahwa akad nikah seringkali dibuat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan finansial, sehingga perlu dibuat satu (Huwelijksvoorwaarden). Secara historis, jika pasangan yang bertunangan ingin mengatur perjanjian pernikahan, mereka harus meresmikan perjanjian tersebut sebelum upacara dilaksanakan. Pada tahun 2015, Pasal 29(1) jo. “Pasal 36 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi 69/PUU-XIII/2015”, menetapkan peraturan baru dimana pasangan yang ingin membuat perjanjian perkawinan dapat melakukannya sebelum atau sesudah perkawinan yang sebenarnya. upacara perkawinan. Dalam perjanjian perkawinan, suami dan istri menjadi badan hukum tersendiri, yang memungkinkan masing-masing melakukan sendiri-sendiri
dan bertanggung jawab atas perbuatan hukum tanpa implikasi pasangannya. Hal ini karena harta yang diperoleh sebelum dan selama perkawinan adalah milik bersama. Jika seorang suami dan istri memiliki perjanjian pranikah, aset apa pun yang diperoleh selama pernikahan dianggap sebagai milik yang terpisah dan berbeda dari masing-masing pihak, dengan demikian memberikan masing-masing dari mereka menjadi subyek hukum yang terpisah sehingga memungkinkan tindakan hukum independen, dan meminta mereka bertanggung jawab secara pribadi tanpa membutuhkan keterlibatan pasangannya.
Kedua, suami istri yang tidak memiliki perjanjian perkawinan sehingga kepemilikan harta kekayaannya bersatu dengan harta pasangannya, dalam mendirikan suatu perseroan terbatas harus memiliki minimal 1 (satu) pihak lainnya yang dapat menjadi rekan atau partner dalam mendirikan suatu perseroan. Hal ini karena suami istri yang kepemilikan hartanya bersama akan dianggap sebagai 1 (satu) subjek hukum atau subjek hukum yang sama. Dengan demikian, adanya minimal 1 (satu) pihak lainnya akan memenuhi syarat materiil dalam mendirikan Perseroan Terbatas yang mana Perseroan Terbatas harus didirikan minimal oleh 2 (dua) piihak merujuk pada Pasal 7 ayat (1) UUPT. Selain itu, adanya pihak lain juga untuk menyesuaikan konsep dari adanya Perseroan Terbatas yaitu adanya persekutuan modal.
Selain itu, sejak UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mulai berlaku yang menyebabkan adanya kemungkinan untuk suami istri dapat mendirikan Perseroan Terbatas bersama. Bagian kelima UU Cipta kerja tentang Perseroan Terbatas, pada Pasal 7 ayat (7) huruf e diatur bahwa “ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi Perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil”. Maka, berdasarkan pasal tersebut suami istri yang tidak memiliki perjajian perkawinan maupun pihak lainnya dapat tetap mendirikan suatu perseroan sebagai satu subjek hukum saja dengan syarat apabila mereka masih memenuhi kriteria dalam Usaha Mikro dan Kecil.
Sebagai badan usaha yang berbadan hukum, Perseroan Terbatas berkedudukan sebagai subjek hukum sehingga dapat melakukan perbuatan hukum serta mengikatkan diri pada suatu perjanjian dengan pihak lainnya. Setelah Menteri mengesahkan status badan hukum suatu perseroan terbatas suatu maka akan langsung berlaku secara otomatis 2 (dua) prinsip Perseroan Terbatas bagi para pemegang saham, yaitu prinsip entitas terpisah dan tanggung jawab terbatas. Akan tetapi, prinsip tanggung jawab terpisah tidak dapat diterapkan pada semua perseroan terbatas. Hal ini karena demi mencapai suatu kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum, serta didukung oleh ketentuan pada Pasal 3 ayat (2) UUPT yang memuat adanya pengecualian terhadap tanggung jawab terbatas yang dikenal dengan Pierching The Corporate Viel. Selain itu, pengecualian tersebut juga dapat ditemukan dalam ketentuan pada “Pasal 7 ayat (5) dan (6) UUPT serta UU Cipta Kerja, dimana diatur apabila dalam Perseroan Terbatas hanya terdapat pemegang saham tunggal, maka ia akan bertanggung jawab secara penuh atas seluruh perbuatan hukum dan kerugian-kerugian yang dialami oleh perseroan dan atau atas permohonan pihak yang
berkepentingan.” Menurut Yahya Harahap, apabila dalam pendirian perseroan terbatas terdiri kurang dari 2 (dua) pendiri atau pemegang saham, maka mengakibatkan ketidakmungkinan bagi perseroan untuk diberikan pengesahan status badan hukum oleh Menteri.14 Hal ini karena tidak terpenuhinya syarat materiil dalam pendirian suatu perseroan terbatas yang mana dalam pendiriannya harus berdasarkan perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, sebagaimana maksud dari perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Tidak terpenuhinya syarat materiil akan mengakibatkan terjadinya cacat hukum.
Berdasarkan dari segi normatif, kurang memungkinkan apabila suatu Perseroan Terbatas hanya didirikan dan dijalankan oleh pasangan suami istri. Kebanyakan pasangan suami istri menganut persekutuan harta kekayaan (harta bersama) dikarenakan dalam perkawinan mereka tidak membuat perjanjian perkawinan ataupun karena tidak adanya harta bawaan dari sebelum pernikahan. Suami istri yang ingin hanya berdua saja menjadi pemegang saham atau mendirikan Perseroan Terbatasnamun tidak memiliki perjanjian kawin, tidak dapat dikatakan memenuhi unsur dari persekutuan modal karena mereka menggunakan harta bersamanya dan tetap akan dianggap menjadi 1 (satu) subjek hukum. Disamping itu, suami istri yang terikat harta bersama dalam pengelolaan harta kekayaannya tidak dibenarkan apabila ada perjanjian untung rugi. Oleh karena itu, dapat ditarik bahwa berdasarkan dari segi normatif tidak dibenarkan apabila suami istri tanpa perjanjian perkawinan berkeinginan mendirikan Perseroan Terbatas bersama. Akan tetapi, bilamana pasangan tersebut tetap ingin membuat perseroan terbatas bersama maka harus menambahkan pihak lainnya untuk ikut serta dalam mendirikan perseroan tersebut.
Pada prakteknya, masih ditemukan suami istri yang memiliki perseroan terbatas bersama meskipun tidak memiliki perjanjian perkawinan. Hal ini dipicu oleh banyaknya pasangan yang ingin mendirikan perseroan terbatas dapat ke Notaris untuk membuat akta tanpa memberikan identitas yang lengkap serta status perkawinannya. Hal inilah yang kerap menjadi kendala bagi seorang notari dalam pembuatan akta mengenai pendirian perseroan terbatas.15 Disamping itu, beban yang pertanggungjawaban dalam pembuatan akta oleh suami istri yang tidak memiliki perjanjian kawin adalah akta pendirian perseronnya terdegradasi menjadi akta di bawah tangan dan terhadap akta otentik sebelumnya akan dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat dijadikan dasar untuk suatu tuntutan baik dalam pengganti kerugian, biayamaupun bunga.16
Komposisi pendiri atau pemegang saham subjek Perseroan Terbatas akan berdampak signifikan pada status hukum dan organisasi entitas. Jika Perseroan Terbatas hanya memiliki satu pendiri, ia akan kehilangan status badan hukumnya, mengubahnya menjadi kepemilikan perseorangan dan akibatnya menimbulkan tanggung jawab yang berbeda dari yang biasanya diasosiasikan dengan entitas yang diakui secara hukum. Harus dipertahankan bahwa kewajiban pemegang saham tunggal untuk menanggung kerugian yang diderita korporasi tetap berlaku. Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) UUPT, Pengadilan Negeri atas permohonan para pihak yang berkepentingan dapat membubarkan Perseroan Terbatas jika jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) telah habis dan jumlah pemegang saham berkurang. Para pemegang saham bertanggung jawab secara individual atas semua kontrak dan kerugian Perusahaan karena jumlahnya dibatasi dua atau kurang. Dari isi pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri mempunyai hak prerogatif menurut undang-undang untuk membubarkan suatu perseroan apabila jumlah pemegang saham atau pemegang saham kurang dari jumlah minimum yang dipersyaratkan yaitu dua orang. Perubahan persetujuan menteri menyebabkan pembubaran status badan hukum perusahaan, yang selanjutnya dihapus dari Daftar Perusahaan Sistem Administrasi Badan Hukum. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia harus diberitahukan secara resmi tentang pembubaran Perseroan Terbatas baik oleh pemegang saham (yang merupakan suami istri dan tidak memiliki perjanjian perkawinan) atau melalui pemberitahuan dari Pengadilan Negeri. Perseroan Terbatas bertanggung jawab untuk melakukan modifikasi dan penghilangan tersebut.
Pasal 1 UUPT memuat bahwa “Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Pendirian Perseroan Terbatas harus didasari oleh suatu perjanjian sehingga harus terdapat 2 (dua) pihak atau lebih dalam pelaksanaannya”. Namun, tidak mudah dalam menafsirkan kata 2 (dua) orang tersebut dalam langkah mendirikan suatu Perseroan Terbatas. Karena sejatinya 2 (dua) pihak ini jugalah harus seseorang yang memiliki harta kekayaan yang terpisah. Pasangan suami istri apabila ingin mendirikan suatu Perseroan terbatas bersama disarankan untuk memiliki perjanjian perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar suami dan istri menjadi subyek hukum yang berbeda, maka keduanya diakui sebagai dua subyek hukum yang terpisah dengan kepemilikan hartanya masing-masing. Meskipun tidak ada perjanjian perkawinan, Perseroan Terbatas masih dapat didirikan oleh suami istri jika mereka dapat menemukan pihak tambahan untuk bertindak sebagai pemegang saham dan pendiri lainnya. Selain itu, pasangan suami istri yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil juga dapat mendirikan badan usaha perseorangan sesuai dengan ketentuan UU Cipta Kerja. Status hukum dan bentuk Perseroan Terbatas sebagai badan hukum akan sangat dipengaruhi oleh jumlah subyek hukum yang berkedudukan sebagai pemegang saham atau pendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Harahap, Yahya. Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta, Sinar Grafika, 2016).
Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Klaten, Intan Sejati, 2005), 88.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta, Intermasa, 1984), 37.
Jurnal
Agay, Nonot Roesito. “Pendirian Perseroan Terbatas Oleh Suami Isteri Dengan Modal Harta Bersama.” Jurnal Universitas Narotama Surabaya 6, No.1 (2022).
Devi, Ni Made Lalita Sri Devi dan Priyanto, I Made Dedy. “Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas Yang Belum Berstatus Badan Hukum.” Kertha Semaya 7, No. 5 (2019).
Dewi, Putu Inten Andhita dan Purwanto, I Wayan Novy. “ Peran Notaris Dalam Pendirian Perseroan Terbatas Pasca Undang-Undang Cipta Kerja.” Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan 06, No. 03 (2021).
Fandy, Arod dan Dananjaya, Nyoman Satyayudha. “Hapusnya Tanggung Jawab Terbatas Pemegang Saham Perseroan Terbatas Berdasarkan Prinsip Piercing The Corporate.” Kertha Semaya 03, No. 03 (2015).
Kurniawan. “Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Terbatas Menurut Hukum Positif.” Mimbar Hukum 26, No. 1 (2014).
Kurniawan, I Made Sanditya Edi dan Resen, Made Gde Subha Karma. “Tanggung Jawab direksi Terhadap Kerugian PT Berdasarkan Doktrin Business Judgement Rule.” Kertha Semaya 1, No. 9 (2013).
Kurniawan, Wishnu dan Tan, Yeni. “Kepemilikan Saham Suami dan Istri Dalam Satu Perseroan Terbatas.” Journal of Judicial Review XVIII, No. 1 (2016).
Permatasari, Risma. “Akibat Hukum Perseroan Terbatas Yang Didirikan Oleh Suami Istri Tanpa Perjanjian Kawin.” Mimbar Keadilan 14, No. 28 (2019).
Sarasvita, Dely Bunga, I Wayan Wiryawan, I Dewa Gede Rudy. “Prosedur Hukum Yang Harus Ditempuh Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Pengurangan Jumlah Pendiri dan Akibat Hukumnya.” Kertha Desa 01, No. 01 (2013).
Sari, Siti Fauziah Dian Novita. “Peran Notaris Dalam Proses Pembuatan Akta Pendirian Perseroan Terbatas.” Lex Renaissance 3, No. 2 (2018).
Victorius, Pangemanan Michael. “Pendirian Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.” Lex Privatum IV, No. 5 (2016).
Zanasri, Ernia. dkk. “Implikasi Hukum Perseroan Terbatas Yang Didirikan Oleh Suami Istri Terhadap Harta Bersama Dalam Perkawinan.” Jurnal Ilmu Hukum 5, No. 2 (2019).
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756)
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 12 Tahun 2022, hlm. 1835-1844
Discussion and feedback