HILANGNYA HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL PIHAK FRANCHISE AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN SEPIHAK DALAM KEGIATAN FRANCHISE SEBELUM BERAKHIRNYA KONTRAK
on
HILANGNYA HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL PIHAK FRANCHISE AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN SEPIHAK DALAM KEGIATAN FRANCHISE SEBELUM BERAKHIRNYA KONTRAK
I Dewa Ayu Ahadhita, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i12.p4
ABSTRAK
Tujuan dari jurnal ini adalah untuk mempelajari peraturan hukum yang berkaitan dengan bisnis waralaba atau franchise, serta dampak hukum yang timbul jika salah satu pihak melanggar perjanjian franchise. Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian hukum normative dengan fokus pada perbandingan perundang-undangan sebagai objek penelitian. Kegiatan franchise melibatkan perjanjian antara kedua belah pihak yang harus memenuhi kewajiban sesuai kesepakatan. Namun, dalam praktiknya masih terdapat adanya wanprestasi seperti pemutusan sepihak oleh pihak franchise yang dimana keadaan tersebut dapat merugikan pihak franchisor. Tujuan penelitian ini untuk dapat menemukan perlindungan hukum pada pihak franchisor atas hilangnya hak kekayaan intelektual akibat pemutusan perjanjian sepihak. Perjanjian frachise atau waralaba merupakan bentuk kerja sama berdasarkan perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1313, Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, dan secara khusus perjanjian waralaba telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba yang memberikan jaminan hak serta kewajiban bagi setiap pihak. Suatu perjanjian tidak boleh diputus secara sepihak oleh salah satu pihak, kecuali jika hal tersebut diatur dalam klausul perjanjian. Jika franchisor memutuskan perjanjian secara sepihak, maka franchisee akan mengalami kerugian dalam bentuk franchisee fee, royalty fee, dan biaya lain yang telah dikeluarkan. Oleh karena itu, franchisee dapat menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata karena wanprestasi.
Kata Kunci : Wanprestasi, Perlindungan Hukum, HKI
ABSTRACT
The purpose of this journal is to study the legal regulations related to franchising or franchise business, as well as the legal impacts that arise if one party violates the franchise agreement. In this study, the normative legal research method was used, with a focus on comparative legislation as the object of research. Franchise activity involves an agreement between the two parties who must fulfill the obligations according to the agreement. However, in practice there are still violations of agreements such as unilateral termination by the franchisor, which can be detrimental to the franchisor. The purpose of this research is to be able to find legal protection on the part of the franchisor for the loss of intellectual property rights due to unilateral termination of the agreement. A franchise or franchise agreement is a form of cooperation based on an agreement as contained in Article 1313, Article 1320 and Article 1338 of the Civil Code, and specifically the franchise agreement has been regulated in Republic of Indonesia Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising and Regulation of the Minister of
Trade of the Republic of Indonesia Number 31/ M-DAG/PER/8/2008 concerning the Implementation of Franchise which guarantees the rights and obligations of each party. An agreement may not be terminated unilaterally by one of the parties, except if this is regulated in the agreement clause. If the franchisor terminates the agreement unilaterally, the franchisee will incur losses in the form of franchise fees, royalty fees and other expenses incurred. Therefore, the franchisee can claim compensation for losses suffered under Article 1234 of the Civil Code due to default.
Keywords: Wanprestatsie, Legal Protection, HKI
Dalam era yang maju ini, kemajuan teknologi telah mempermudah kita untuk melakukan aktivitas dalam berbagai aspek, termasuk dalam berbisnis atau berdagang. Menurut definisi yang dinyatakan dalam “Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan/atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.” Berbisnis memegang peranan penting dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat karena pendapatan yang diperoleh dapat menjadi nilai maksimal bagi para produsen.1 Selain itu, berbisnis juga dapat berkontribusi pada perekonomian keluarga dan secara keseluruhan, perekonomian Indonesia. Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi menjadi fokus di berbagai negara di seluruh dunia karena dapat dijadikan sebagai indikator kemajuan suatu negara dari tahun ke tahun.
Kemajuan bisnis yang semakin cepat di era sekarang mengharuskan pengembangan berbagai konsep dalam mengembangkan kegiatan usaha. Salah satu konsep bisnis yang banyak diminati oleh masyarakat adalah waralaba atau franchise. Franchise adalah izin atau lisensi yang diberikan oleh individu atau kelompok kepada perusahaan tertentu untuk memasarkan produk barang atau jasa mereka. Konsep bisnis ini dapat meningkatkan ekonomi dan memberikan kesempatan bagi pengusaha kecil dan menengah untuk berusaha, menciptakan lapangan kerja, serta memberikan kesempatan kerja dan pembangunan sosial. 2 Aturan mengenai waralaba diatur dalam Permendag Republik Indonesia “No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba, khususnya di Pasal 1 angka 1. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap system bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba. Perjanjian waralaba berisi berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban franchise, persyaratan lokasi, pelatihan, biaya, durasi perjanjian, dan ketentuan lain yang mengatur hubungan antara franchise dengan franchisor. Konsep bisnis franchise mempermudah masyarakat dalam melakukan kegiatan usaha.”3
Perjanjian franchise melibatkan dua pihak, yaitu franchisor dan franchisee. Franchisor adalah pihak yang memberikan lisensi dalam bentuk paten, merek, dan jasa
kepada franchisee, sedangkan franchisee adalah pihak yang menerima seluruh lisensi dari franchisor.4 Di era disruptive saat ini, persaingan perdagangan semakin ketat dan memerlukan sistem pemasaran yang dapat mendukung bisnis serta menghadapi berbagai tantangan dan risiko yang ada. Oleh karena itu, strategi yang tepat harus diatur untuk selalu berhasil dalam berbisnis dan memperhatikan pasar global. Salah satu alasan mengapa sistem franchise diminati adalah karena efektif dan efisien. Dalam sistem ini, tidak perlu mengeluarkan modal besar untuk memiliki usaha sendiri meskipun tidak menjadi hak milik mereka secara sempurna.
Dalam kehidupan masyarakat, hubungan hukum dalam bidang ekonomi selalu berkembang seiring dengan pesatnya pertumbuhan bisnis. Oleh karena itu, perkembangan hukum perjanjian juga menjadi sangat penting dalam hal ini. Dalam konsep bisnis franchise, hubungan hukum yang terjalin antara pemberi waralaba dan penerima waralaba didasarkan pada perjanjian waralaba yang diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang perikatan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Permendag No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba yang mengatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian waralaba.5
“Seorang pemilik Hak Kekayaan Intelektual (KI) dalam hal pemegang hak terhadap rahasia dagang mengharapkan perlindungan dan suatu kepastian hukum, terlebih karena sudah menghasilkan keuntungan komersial baginya. Perihal tersebut diwujudkan pemerintah melalui penerbitan Undang-Undang No.30 Tahun 2000 yang mengatur mengenai Rahasia Dagang (UURD)6. Perjanjian franchise merupakan kesepakatan tertulis yang dibuat oleh kedua belah pihak antara franchisor dan franchisee yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak serta akibat hukum yang harus dipatuhi oleh pihak masing-masing. Namun dalam perjanjian tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi permasalahan yang mengakibatkan salah satu pihak tidak melakukan kewajiban yang sesuai bahkan terjadi pemutusan perjanjian sepihak sebelum berakhirnya kontrak yang telah disepakati.”
Berdasarkan pada suatu permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah penelitian ini yakni:
-
1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap kegiatan franchise?
-
2. Apakah akibat hukum bagi pihak franchisee yang melakukan pemutusan secara sepihak sebelum berakhirnya kontrak?
Tujuan penelitia yaitu (1) Mengetahui serta memahami terkait dengan pengaturan hukum terhadap kegiatan franchise; dan (2) Mengetahui serta menganalisis terkait dengan akbat hukum bagi pihak franchisee yang melakukan pemutusan secara sepihak sebelum berakhirnya kontrak.
Metode penelitian hukum merupakan prosedur atau langkah-langkah yang digunakan oleh para peneliti dalam melakukan penelitian terhadap masalah-masalah hukum dengan tujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memahami permasalahan hukum. Metode ini memperoleh data dari berbagai sumber terkait hukum seperti dokumen, putusan pengadilan, dan sumber lainnya. Metode penelitian hukum terdiri dari beberapa tahapan, yaitu merumuskan pertanyaan penelitian, menentukan sumber data, mengumpulkan data, menganalisis data, dan menyimpulkan hasil penelitian. Selain itu, terdapat dua jenis metode penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.
Metode penelitian yang dipergunakan merupakan metode penelitian yuridis normatif dimana pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan sebagai kajian dalam analisis yang merupakan sumber hukum primer. Terdapat juga sumber hukum sekunder yang bertujuan untuk memperjelas isi yang terdapat dalam sumber hukum tersier yang berperan untuk memberikan penjelasan dari apa yang terkandung dalam sumber hukum primer dan sekunder.
Teknik pengumpulan data, penulis mempergunakan studi kepustakaan, dimana studi kepustakaan dengan mengumpulkan informasi yang didapatkan melalui buku, peraturan perundang-undangan, artikel ataupun jurnal, dengan menggunakan metode pengolahan data yang bersifat kualitatif, yakni data dan bahan yang telah dikumpulkan diolah lalu dianalisis sehingga dapat diberikan kesimpulan yang berkaitan dengan penelitian.
Hukum merupakan aturan yang berfungsi untuk mengatur kegiatan sosial dan memelihara ketertiban masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum dapat berfungsi secara efektif, dibutuhkan respons terhadap perkembangan lingkungan sekitarnya. Karena hukum dirancang untuk kepentingan masyarakat, maka perlu adanya masukan dalam pembangunan hukum, yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pembentukan undang-undang dalam rangka memperbaharui hukum. Dalam bidang perekonomian, hubungan hukum seringkali didasarkan pada perjanjian. Dalam era globalisasi saat ini, dengan perkembangan masyarakat yang semakin pesat dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang terus berkembang, hukum perjanjian pun terus berkembang, terutama dalam bidang bisnis.
“Cepatnya perkembangan dan suksesnya bisnis franchise ini disebabkan karena franchise merupakan kombinasi dari pengetahuan dan kekuatan satu usaha bisnis yang sudah. Adanya konsep berbisnis dengan cara franchise tentu menimbulkan kepastian hukum yang mengatur. Hubungan hukum dalam franchise dasarnya adalah perjanjian. ‘’Pasal 1313 KUH Perdata, disebutkan bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian bisnis franchise tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Dimana dalam membuat kontrak atau perjanjian adanya syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang
pada intinya mengatur tentang kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, objek tertentu, dan sebab yang halal.”7
Berbagai bisnis yang berkembang tentu dilindungi oleh hukum agar dapat melindungi pelaku-pelaku di dunia usaha yaitu tidak terlepas juga usaha franchise. Keberadaan hukum dalam bisnis memiliki peran yang sangat penting yakni memberikan kepastian hukum dan menciptakan keadaan adil dalam kegiatan pelaku usaha. Keberadaan hukum dalam bisnis juga dapat mengantisipasi suatu hal yang tidak diinginkan oleh setiap pihak pelaku usaha ataupun pembisnis baru yang akan masuk di dalam pasar bisnis, maka dari itu perlu adanya kepastian hukum agar dapat memahami hukum bisnis yang akan diterapkan untuk menciptakan keadaan positif serta manfaat bagi masyarakat luas.8
“Waralaba bukanlah suatu industri yang baru bagi Indonesia, legalitas yuridisnya sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1997 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, yang selanjutnya disusul dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Caea Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, namun peraturan ini dirubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba.9 Perlindungan hukum franchise atau waralaba diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2007 yang mengatur tentang Waralaba dan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba.10 Adapun hubungan hukum antara para pihak franchise kemudian diikatkan dalam suatu perjanjian franchise sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia” No.71 Tahun 2019 dimana penyelenggaraan franchise wajib berdasarkan pada isi daripada perjanjian franchise yang disusun bersama-sama pihak terkait yang mendapati kedudukan hukum yang sama dan kepada para pelaku usaha yang terlibat menggunakan hukum Indonesia.
Dalam bisnis franchise, “terdapat dua belah pihak yang terlibat, yaitu franchisor yang memberikan lisensi dan franchisee yang menerima lisensi tersebut untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektual seperti Hak Cipta, Merek, Paten, dan Rahasia Dagang. Perjanjian franchise dibuat secara tertulis antara kedua belah pihak dan berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak serta konsekuensi hukum yang harus dipatuhi. Meskipun perjanjian tersebut sudah mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, terkadang salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian atau kewajiban yang telah disepakati. Oleh karena itu, terdapat dua jenis perlindungan hukum yang dapat digunakan, yaitu preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif digunakan untuk mencegah terjadinya konflik,” sedangkan perlindungan
hukum represif digunakan untuk menyelesaikan perselisihan antara franchisor dan franchisee.
Perlindungan hukum preventif dalam usaha franchise dilakukan dengan cara membuat perjanjian yang jelas dan terperinci mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian ini harus diatur dengan cermat dan mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Dalam perjanjian tersebut harus dicantumkan pula ketentuan mengenai durasi perjanjian, hak perpanjangan, wilayah pemasaran, dan ketentuan pengakhiran perjanjian.
Selain itu, pihak franchisor juga harus memberikan pelatihan dan dukungan teknis kepada franchisee, termasuk dukungan dalam hal pemasaran dan manajemen. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa franchisee mampu menjalankan bisnis dengan baik dan menghasilkan produk atau layanan yang berkualitas. Perlindungan hukum represif dalam usaha franchise dilakukan jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak yang tidak dapat diselesaikan secara damai. Perselisihan ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti pelanggaran hak kekayaan intelektual, ketidakpatuhan terhadap perjanjian, atau masalah keuangan.
Untuk mengatasi perselisihan ini, biasanya dilakukan proses mediasi atau arbitrase. Proses mediasi bertujuan untuk mencari solusi yang bersifat win-win bagi kedua belah pihak. Sedangkan proses arbitrase dilakukan jika mediasi tidak berhasil, dan bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan secara tegas dan final. Dalam melakukan bisnis franchise, baik pihak franchisor maupun franchisee perlu memahami pentingnya perlindungan hukum preventif dan represif. Dengan demikian, usaha franchise dapat berjalan dengan lancar dan sukses, serta terhindar dari berbagai perselisihan yang merugikan kedua belah pihak.
Dalam perjanjian waralaba, “terdapat dua pihak yang terlibat yaitu franchisor dan franchisee. Franchisor adalah pihak yang memberikan lisensi, sedangkan franchisee adalah pihak yang menerima lisensi dari franchisor. Objek dari perjanjian waralaba adalah lisensi, yaitu izin yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee. Perbedaan waralaba dengan lisensi pada umumnya terletak pada kewajiban franchisee untuk menggunakan sistem, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan, serta hal-hal lain yang telah ditentukan secara eksklusif oleh pemberi waralaba. Kewajiban tersebut tidak boleh dilanggar atau dibatalkan.”
Dalam “Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2007, disebutkan bahwa Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif terhadap Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan. Pasal 32 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.53/M-DAG/PER/8/2012 kemudian mengatur sanksi tersebut dengan lebih rinci, di mana Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan yang terdapat pada Pasal 9 dan Pasal 10, akan dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan denda. Pasal 9 dan Pasal 10 tersebut menyatakan bahwa Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba wajib untuk memiliki Surat Tanda Pendaftaran Waralaba” (STPW) dan mendaftarkan perjanjian waralaba yang mereka miliki.11
Pesatnya pertumbuhan serta berhasilnya kegiatan franchise tersebut diakibatkan karena sebagian aspek. Aspek yang paling sangat mendasar merupakan franchise ialah
campuran dari hasil pemikiran serta kekuatan dari ketekunan satu usaha bisnis yang telah terdapat ataupun memang sudah sangat maju.
Objek dalam pembuatan kesepakatan bisnis franchise dapat dilakukan oleh dua pihak yang bersangkuatan yang memiliki kepentingan bisnis yang sama. Dimana sebelum membuat suatu kontrak atau perjanjian hal yang mendasar adanya syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 yaitu tentang asas kebebasan berkontrak, yang dimana mengatur kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak tertentu, serta sebab yang halal. Dalam membuat perjanjian franchise terhadap para pihak, diperlukan sesuatu tempat dalam penerapannya selaku proteksi hukum. Proteksi hukum yang bisa dicoba kepada para pihak ialah subyek pelakon franchise serta franchisor semacam proteksi hukum preventif serta represif di Indonesia sendiri belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif ini.12
Franchise merupakan perjanjian yang melibatkan dua pihak yaitu Franchisor dan Franchisee. Bentuk dari perjanjian franchising adalah SOP (Standart Operating Procedure) yaitu perjanjian yang telah dibuat secara baku sehingga perjanjian antara franchisor dengan franchisee yang satu dengan yang lainnya adalah sama. “Bentuk perjanjian atau kontrak dapat dibagi menjadi dua jenis yang pertama bentuk perjanjian tertulis dan yang kedua bentuk tidak tertulis atau lisan.13Untuk mengakhiri suatu perjanjian, baik pihak franchisor maupun franchisee akan terbebaskan dari hak dan kewajiban yang tertera dalam perjanjian yang telah berakhir. Apabila kedua belah pihak setuju, maka perjanjian dapat diperpanjang. Namun, apabila hanya satu pihak yang setuju, maka perpanjangan perjanjian tidak dapat dilakukan karena perjanjian tersebut merupakan kesepakatan dua belah pihak.” Dalam sebuah perjanjian yang sah, tidak ada pihak yang dapat menarik kembali secara sepihak. Perjanjian tersebut akan mengikat para pihak dan tidak dapat dibatalkan tanpa kesepakatan dari kedua belah pihak.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya membuat perjanjian yang jelas dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Namun, terdapat beberapa kasus di mana salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian, sehingga terjadi pelanggaran. Dalam situasi seperti itu, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi dan meminta pemutusan perjanjian. Selain itu, ada juga mekanisme penyelesaian sengketa, seperti mediasi atau arbitrase, yang dapat membantu para pihak menyelesaikan perselisihan tanpa harus membawa kasus tersebut ke pengadilan.
Perlu diperhatikan bahwa sebelum membuat perjanjian, kedua belah pihak harus memastikan bahwa perjanjian yang dibuat memenuhi persyaratan hukum yang berlaku. Perjanjian yang dibuat dengan persyaratan yang tidak sah dapat dinyatakan batal atau tidak berlaku. Oleh karena itu, sebaiknya kedua belah pihak memperoleh konsultasi hukum dan memahami persyaratan hukum sebelum membuat perjanjian. Dengan cara ini, kedua belah pihak dapat memastikan bahwa perjanjian yang dibuat
sah dan mengikat. Namun demikian, terdapat beberapa kondisi di mana perjanjian dapat dibatalkan secara sah, misalnya jika terdapat pelanggaran serius terhadap isi perjanjian atau jika salah satu pihak melanggar hukum atau peraturan yang berlaku. Selain itu, perjanjian juga dapat dibatalkan jika terjadi keadaan force majeure yang menyebabkan kedua belah pihak tidak mampu melaksanakan perjanjian tersebut.
Dalam menjalankan suatu perjanjian, sangat penting bagi kedua belah pihak untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Hal ini akan membantu mencegah terjadinya perselisihan dan konflik di kemudian hari. Apabila terjadi perbedaan pendapat atau perselisihan, maka sebaiknya dicoba untuk mencari solusi yang terbaik dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Salah satu cara untuk menyelesaikan perselisihan adalah melalui proses mediasi atau arbitrase, di mana pihak-pihak yang berselisih dapat mencari jalan tengah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tanpa harus membawa kasus tersebut ke pengadilan.
Dengan adanya hal tersebut, perjanjian merupakan suatu kesepakatan antara dua belah pihak yang harus diikuti dengan sungguh-sungguh. Jika terjadi pelanggaran terhadap isi perjanjian, maka akan terjadi perselisihan yang dapat merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, penting bagi kedua belah pihak untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dan mencari solusi terbaik jika terjadi perbedaan pendapat.
Pada umumnya, diharapkan perjanjian franchise antara franchisor dan franchisee dapat berjalan dengan lancar tanpa ada masalah. Namun, dalam kenyataannya, sering terjadi beberapa masalah yang dapat menyebabkan perpecahan antara kedua belah pihak. Beberapa “bentuk pelanggaran yang terdapat dalam perjanjian waralaba dapat diketahui baik oleh penerima waralaba maupun pemberi waralaba. Misalnya, pelanggaran atau wanprestasi dari penerima waralaba, seperti membayar biaya waralaba terlambat, melakukan tindakan yang dilarang dalam perjanjian, atau tidak mengikuti prosedur yang telah diatur dalam perjanjian. Dampak hukum dari perjanjian franchise menyebabkan franchisor memiliki kekuatan lebih tinggi daripada franchisee,” terutama karena franchisor adalah pemilik Hak Kekayaan Intelektual dan franchisee tidak diperbolehkan memberikan hak tersebut kepada pihak lain.14
Dalam “Pasal 1226 KUH Perdata syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andai kata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Walaupun dalam syarat batal dianggap berlaku kepada semua perjanjian, putusan suatu perjanjian tidak berlaku melainkan dimintakan kepengadilan, tetapi jika terjadinya pemutusan perjanjian secara sepihak pada suatu perjanjian yang tidak mencantumkan klausula syarat batal atau dengan syarat putus maka hal tersebut dapat dianggap wanprestasi.15 Setiap pemutusan perjanjian tersebut haruslah dimintakan ke pengadilan, agar mendapat syarat legalnya dan didukung dengan adanya rumusan Pasal 1266 ayat (2) serta Peraturan Pemerintah tentang Waralaba Nomor 42 Tahun 2007 pada Pasal 5 huruf (k). Pemutusan suatu perjanjian oleh satu pihak memang tidak dibenarkan, terkecuali dalam perjanjian tersebut terdapat klausul mengenai hal tersebut.”
Dalam pemberian waralaba, terdapat kaitan erat dengan pemberian hak untuk menggunakan atau memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual. Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan kepada individu atau kelompok tertentu atas karya yang telah diciptakan. Sistem Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak pribadi yang dapat diambil atau tidak oleh seseorang, sehingga mekanisme pasar memainkan peran penting dalam menentukan kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, hak yang diberikan meliputi kepemilikan, penggunaan, serta hak untuk melarang penggunaan ide atau informasi yang dimaksud.16
Dalam konteks bisnis waralaba, Hak Kekayaan Intelektual hanya memberikan hak eksklusif untuk menjual atau mendistribusikan produk barang atau jasa dengan menggunakan merek tertentu tanpa memiliki wewenang untuk melakukan kegiatan tertentu dalam pengelolaan atau pengolahan produk yang dapat meningkatkan nilai jualnya. Hal ini penting untuk menjamin kepastian bisnis bagi kedua belah pihak, yaitu Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.
Dalam rangka memberikan izin kepada pemegang lisensi untuk menggunakan suatu barang atau jasa, pemilik lisensi memiliki hak untuk meminta sejumlah biaya dari pemegang lisensi sebagai pengganti hak penggunaan tersebut. Dalam sistem franchise, kedua belah pihak harus memenuhi hak dan kewajiban yang telah disepakati, yang diatur dalam kesepakatan dan mengikuti peraturan yang berlaku. Franchisor berhak untuk menuntut pemenuhan kewajiban dari franchisee, dan sebaliknya franchisee berhak untuk menuntut pemenuhan kewajiban dari franchisor. Franchisor wajib memberikan manfaat merek yang digunakan kepada franchisee sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan, sementara franchisee diwajibkan untuk menggunakan merek yang telah diberikan dan membayar biaya penggunaan merek tersebut kepada franchisor.
Dalam perjanjian waralaba, terdapat tanggung jawab hukum jika salah satu pihak melanggar aturan yang disepakati dan menyebabkan kerugian pada pihak lain. Franchisee memiliki hak eksklusif untuk menggunakan Hak Kekayaan Intelektual, teknik, prosedur, manajemen, dan pengetahuan usaha dari franchisor untuk mengembangkan bisnisnya. Waralaba bukan hanya konsep atau metode, tetapi juga sebuah sistem terstruktur yang saling terkait dan dapat berjalan dengan efektif.17
Secara prinsip, suatu perjanjian tidak boleh diputus secara sepihak oleh salah satu pihak, kecuali jika hal tersebut diatur dalam klausul perjanjian. Jika franchisor memutuskan perjanjian secara sepihak, maka franchisee akan mengalami kerugian dalam bentuk franchisee fee, royalty fee, dan biaya lain yang telah dikeluarkan. Oleh karena itu, franchisee dapat menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata karena wanprestasi. “Pasal 8 dalam Peraturan Menteri Perdagangan tentang Penyelenggaraan Waralaba mengatur bahwa tidak
diizinkan untuk menunjuk franchisee baru di wilayah yang sama jika terjadi pemutusan kontrak secara sepihak sebelum jangka waktu kontrak berakhir. Hal ini disebabkan karena harus terlebih dahulu terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak,” dan harus menunggu putusan inkracht dari pengadilan terkait masalah tersebut.18
Perjanjian frachise atau waralaba merupakan bentuk kerja sama berdasarkan perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1313,Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, dan secara khusus perjanjian waralaba telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba yang memberikan jaminan hak serta kewajiban bagi setiap pihak. Dalam sebuah perjanjian waralaba, terdapat hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak yang harus dipatuhi, dan jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, hal itu dianggap sebagai wanprestasi. Dampak hukum dari wanprestasi dalam perjanjian waralaba adalah bahwa pemberi waralaba dapat memutuskan perjanjian secara sepihak dan menuntut ganti rugi. Apabila franchisor memutuskan perjanjian sebelum kontrak berakhir, franchisee tidak lagi diperbolehkan menggunakan HKI dari bisnis usaha franchise tersebut. “Akibat hukum perjanjian waralaba dikaitkan dengan HKI yaitu dengan ditandatanganinya suatu perjanjian waralaba yang telah mengatur HKI di dalamnya maka franchisor wajib memberi hak eksklusif kepada franchisee, dan franchisee dapat menggunakan nama dan sistem pengelolaan milik franchisor dalam suatu lokasi, selama jangka waktu yang disepakati. Sebelum penyelesaian perselisihan, “franchisor tidak diperbolehkan menunjuk franchisee baru untuk wilayah yang sama. Perselisihan dapat diselesaikan melalui musyawarah dengan cara teguran atau somasi, atau melalui litigasi atau pengadilan, baik oleh franchisor maupun franchisee berdasarkan Pasal 1226 KUH Perdata dan Pasal 1227 KUHPerdata.” Berkaitan dengan penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi dapat ditempuh dengan penyelesaian diluar pengadilan melalui arbitrase seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan pendapat ahli.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adnan, Indra Muchlis dan Sufian Hamim. Hukum Bisnis. (Yogyakarta, Trussmedia Grafika, 2016).
Badriyah, Siti Malikhatun. Aspek Hukum Perjanjian Franchise (Semarang, CV.Tigamedia Pratama, 2019).
Banjarnahor, Daulat Nathanael dan Ika Atikah, dkk. Aspek Hukum Bisnis. (Bandung,
Widina Bhakti Persada, 2022).
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. (Jakarta, Rajawali Pers, 2011)
Thalib, Abad dan Muchlisin. Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. (Depok, PT Raja Grafindo Persada, 2018)
Jurnal Ilmiah:
Andika, I Gusti Ngurah Md Rama, ‘’Perlindungan Hukum Terhadap Franchisee Akibat Pemutusan Sepihak Dalam Perjanjian Franchise.’’ Jurnal Prefensi Hukum, Vol.2, No.3 (2021).
Dewi, Luh Widya Utami, ‘’Tanggung Jawab Hukum Atas Wanprestasi Yang
Dilakukan Oleh Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba.’’ Jurnal Kertha Semaya, Vol.4, No.5 (2014).
Handayani, Gusti Ayu Mirah, ‘’Pelaksanaan Perjanjian Waralaba (Franchise)
Kuch2hotahu Di Denpasar.’’ Jurnal Kertha Semaya, Vol.4, No.3 (2015).
Hanim, Lathifah, ‘’Perlindungan Hukum HAKI Dalam Perjanjian Waralaba Di Indonesia.’’ Jurnal Hukum Vol. 26, No. 2 (2011)
Karina, Ni Wayan, ‘’Proteksi Serta Akibat Hukum Pembocoran Rahasia Dagang Kepada Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba (Franchise)’’. Jurnal Kertha Semaya, Vol.10, No.7 (2022).
Lannemey, ‘’Akibat Hukum Pemutusan Perjanjian Franchise Secara Sepihak Oleh Franchisor Sebelum Berakhirnya Kontrak’’. Lex Privatum, Vol.3, No.1 (2015).
Priyono, Ery Agus, ‘’Aspek Keadilan dalam Kontrak Bisnis di Indonesia’’. Law Reform, Vol.14, No.1 (2018).
Prawira, I Kadek Bagus Indra Dwi, ‘’Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba Dalam Perjanjian Waralaba ACK Fried Chicken di Denpasar’’. Jurnal Kerta Semaya, Vol.3, No.2 (2015).
Suarkayasa, Kadek. ‘’Akibat Hukum Terhadap Frnchisee Yang Melakukan Wanprestasi Kepada Franchisor Dalam Perjanjian Franchise’’. Jurnal Kertha Wicara, Vol.11, No.1 (2021).
Sari, Prasmita dan I Gusti Ngurah Parwata, ‘’Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Bisnis Franchise’’. Jurnal Kertha Semaya, Vol.6, No.2 (2018).
Wijaya, Kadek Mantra Artha, ‘’Pemutusan Perjanjian Franchise Secara Sepihak Yang Mengakibatkan Kerugian Kepada Franchisee Sebelum Berakhirnya Perjanjian’’. Jurnal Kertha Semaya, Vol.8, No.11 (2021).
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Permendag Republik Indonesia No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2007.
Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia No.53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 12 Tahun 2022, hlm. 1845-1855
Discussion and feedback