UPAYA PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH

AKIBAT FORCE MAJEURE PADA PERJANJIAN KREDIT DI MASA PANDEMI COVID-19

I Putu Gunawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: gunnawann321@gmail.com

I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dharma_laksana@unud.ac.id

DOI: KW.2022.v11.i09.p2

ABSTRAK

Penulisan bertujuan untuk menganalisa pandemi Covid-19 sebagai klausul keadaan memaksa pada perjanjian kredit serta untuk mengkaji upaya apa yang dapat digunakan bank terkait penyelesaian kredit bermasalah pada perjanjian kredit dimasa pandemi covid-19 ini. Jenis metode penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian hukum normatif dengan model studi kepustakaan, yaitu menganalisa permasalahan dalam hal ini force majeure dan penyelesaiannya dalam perjanjian kredit melalui hukum tertulis dengan pendekatan perundang-undangan serta data-data berupa bahan hukum sebagai dasar hukum, buku-buku hukum, jurnal ilmiah serta sumber kepustakaan lainnya. Hasil penelitian pada jurnal ini ialah pandemi Covid-19 memang bisa menjadi alasan keadaan memaksa namun sebatas force majeure relatif yang tidak serta merta menghilangkan kewajiban pada debitur namun hanya berupa penangguhan terhadap pelaksanaan kewajiban. Serta upaya yang dapat dilakukan oleh bank terhadap meningkatnya kredit bermasalah selama pandemi Covid-19 ini adalah dengan melakukan restrukturisasi kredit sesuai dengan yang sudah diamanatkan dalam POJK No. 11/POJK.03/2020 juncto POJK No 48/POJK.03/2020 juncto POJK Nomor 17/POJK.03/2021 dalam mendukung stimulus perekonomian dan tentunya tetap memperhatikan manajemen risiko bank.

Kata Kunci: keadaan memaksa, kredit bermasalah, restrukturisasi

ABSTRACT

This writing aims to analyze the Covid-19 pandemic as a force majeure clause in credit agreements and to examine what measures can be used by banks regarding the settlement of problem loans in credit agreements during the Covid-19 pandemic. The type of research method used is normative legal research with a library study model, namely analyzing problems in this case force majeure and settlement in credit agreements through written law with a statutory approach as well as data in the form of legal material as a legal basis, law books, scientific journals and other literary sources. The results of research in this journal are that the Covid-19 pandemic can indeed be an excuse for a force majeure but only a relative force majeure which does not necessarily eliminate obligations to the debtor but only in the form of a suspension of the implementation of obligations. As well as efforts that can be made by banks to increase non-performing loans during the Covid-19 pandemic is to carry out credit restructuring in accordance with what has been mandated in POJK No. 11/POJK.03/2020 juncto POJK No 48/POJK.03/2020 juncto POJK No. 17/POJK.03/2021 in supporting economic stimulus and of course paying attention to bank risk management.

Key Words: force majeure, non performing loan, restructuring.

  • I.   Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Sebagai negara yang penduduknya tersebar di berbagai pulau, Indonesia tentu memerlukan adanya pembangunan ekonomi yang merata. Hal ini karena perekonomian merupakan hal utama dalam keberlangsungan suatu negara. Meratanya pembangunan ekonomi menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Namun hingga saat ini masih banyak ditemui ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan adanya pengelolaan sumber daya ekonomi yang sistematis oleh lembaga keuangan seperti bank. Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakaat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”. Dapat dilihat dari definisi tersebut bahwa menyalurkan kredit adalah salah satu kegiatan bank. Dengan adanya penyaluran kredit ini diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dalam artian perekonomian, hal ini karena kredit sebagai bentuk penyaluran uang kepada masyarakat diharapkan mampu membantu merealisasikan minat masyarakat dalam membangun usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya sehingga tercipta kesetaraan perekonomian nantinya.

Kredit menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan adalah penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sesuai dengan pengertian menurut Undang-Undang Perbankan tersebut, maka M. Bahsan menentukan syarat-syarat kredit, antara lain terdapat penyediaan uang, persetujuan pihak yang terlibat, dan kewajiban terkait pelunasan dari peminjam. Adanya syarat persetujuan ini mengarah pada perjanjian kredit yang telah disetujui. Dimana pada perjanjian kredit itu diatur mengenai seluruh pihak yang terlibat, jumlah serta tenggat waktu peminjaman, jaminan, pembayaran kembali pinjaman, hak dan kewajiban debitur dan kreditur, denda apabila debitur lalai membayar, force majeure atau keadaan memaksa, hingga hukum yang berlaku pada perjanjian tersebut bilamana terjadi perselisihan.1

Namun pada prakteknya, sering terjadi debitur yang tidak patuh terhadap perjanjian yang disepakati tersebut yang menimbulkan kredit bermasalah, tetapi tidak selalu terjadi karena kelalaian debitur untuk melaksanakan prestasi atau kewajibannya pada pihak kreditur, namun dalam suatu kondisi juga diakibatkan oleh force majeure yang tidak bisa dihindari sehingga menyebabkan debitur wanprestasi dan kreditnya bermasalah. Salah satu bentuk force majeure yang sedang terjadi sekarang adalah adanya pandemi Covid-19 yang mempengaruhi perekonomian. Keberlangsungan usaha debitur banyak yang mengalami penurunan pendapatan yang berimbas pada kemampuan debitur untuk melaksanakan kewajibannya melakukan pelunasan kredit. Bukan hanya para pebisnis, namun pegawai yang di PHK oleh tempatnya bekerja juga kesulitan untuk melakukan pelunasan kredit, hal ini karena sumber pendapatan utama

mereka hilang. Sehingga keadaan krisis yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19 ini banyak menimbulkan resiko kredit berupa meningkatnya kredit bermasalah di lembaga perbankan. Untuk itu diperlukan adanya upaya pengelolaan resiko dan penyelesaian yang dapat dilakukan apabila terjadi kredit bermasalah akibat dari force majeure yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 yang melanda. Maka dari itu, untuk menanggulangi kredit bermasalah yang terjadi di lembaga keuangan tersebut, Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk restrukturisasi kredit sebagai solusi kepada debitur dan kreditur terkait kredit bermasalah itu melalui Otoritas Jasa Keuangan.

Sebelumnya terdapat beberapa penelitian serupa yang membahas terkait upaya penyelesaian kredit bermasalah, salah satunya ialah jurnal dengan judul “Pengaturan Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Hukum Perbankan” oleh I Komang Tri Atmaja.2 Namun terdapat perbedaan dari segi fokus pembahasan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini. Pada penelitian sebelumnya lebih membahas pada pengaturan terkait penyelesaian kredit macet dengan eksekusi jaminan hak tanggungan. Sedangkan penelitian ini lebih fokus pada penerapan klausula force majeure terhadap pandemi covid-19 serta upaya penyelamatan kredit bermasalah yang dilakukan oleh perbankan dengan restrukturisasi berdasarkan POJK Nomor 17/POJK.03/2021 tentang Perubahan Kedua Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah dipaparkan tersebut, maka dirumuskanlah 2 permasalahan yang perlu dibahas, yaitu:

  • 1.    Apakah pandemi covid-19 dapat dijadikan klausula force majeure dalam perjanjian kredit?

  • 2.    Bagaimanakah upaya yang bisa dilakukan pihak perbankan dalam penyelesaian kredit bermasalah akibat force majeure?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan dibuat dalam rangka menilai apakah pandemi covid-19 dapat menjadi klausula force majeure sehingga mengakibatkan debitur bisa mendapatkan relaksasi kredit. Disamping itu juga tujuan dari penulisan ini ialah untuk mengkaji tentang upaya penyelesaian kredit bermasalah akibat force majeure yang dapat dilakukan di lembaga keuangan perbankan.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif dengan model studi kepustakaan digunakan dalam penelitian ini, yang dimana dengan metode ini rumusan masalah akan dibahas melalui hukum tertulis dengan pendekatan perundang-undangan. Metode ini menelaah data menggunakan bahan hukum yaitu peraturan perundang-undangan serta dari

bahan pustaka seperti buku-buku hukum, jurnal, serta penelitian ilmiah lainnya yang dapat menunjang dan berkaitan dengan topik yang dibahas.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Pandemi Covid-19 Menjadi Klausula Force Majeure Pada Perjanjian Kredit

Dalam KUH Perdata istilah force majeure tidak dijelaskan secara tegas mengenai pengertiannya, namun dalam Bahasa Indonesia force majeure diartikan sebagai keadaan memaksa. Keadaan memaksa yang disebabkan hal diluar kekuasaan debitur inilah yang dapat menjadi alasan debitur bebas dari kewajibannya.3 Mengenai keadaan memaksa ini, dalam KUH Perdata hanya terdapat batasan-batasan yang tersirat dalam pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Terkait pasal 1244 KUH Perdata dijelaskan bilamana debitur tidak bisa membuktikan dirinya tidak melaksanakan kewajibannya oleh karena suatu hal yang tidak bisa diduga dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya, maka debitur dapat dihukum mengganti biaya, kerugian, dan bunga. Berbanding terbalik dengan pasal 1245 KUH Perdata dimana karena dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan yang menyebabkan debitur terhalang untuk melaksanakan kewajiban, maka debitur dilarang untuk dihukum mengganti biaya, kerugian, dan bunga.

Suatu perjanjian kredit yang sudah disepakati ini mengikat dan menimbulkan kewajiban pada para pihak untuk melaksanakannya secara mutlak. Jika dikaitkan dengan pandemi Covid-19 yang terjadi belakangan dan banyak mengakibatkan turunnya pendapatan masyarakat sehingga menyebabkan tidak mampunya masyarakat untuk memenuhi kewajiban atau prestasinya saat mengajukan kredit, maka perlu dikaji apakah pandemi Covid-19 ini dapat menjadi alasan bagi debitur untuk menunda kewajiban kreditnya sebagai suatu keadaan memaksa atau force majeure. Untuk itu perlu dilihat dan dikaitkan dengan unsur dari force majeure, yaitu:4

  • a.    Kewajiban tidak bisa dipenuhi karena hal diluar kesalahan dibitur

Force majeure terjadi karena adanya keadaan memaksa yang menyebabkan prestasi debitur tidak dapat dipenuhi. Namun disini perlu diperhatikan klausul keadaan memaksa (force majeure) sehingga tidak bisa melaksanakan kewajiban atau prestasi yang harus diartikan berbeda dengan wanprestasi yang diartikan sebagai tidak dapat dipenuhinya prestasi karena adanya unsur kelalaian. Jadi pada force majeure ini terjadinya bukan karena kelalaian atau kesalahan debitur, sedangkan wanprestasi terjadinya karena kesalahan debitur.5 Sehingga dapat dilihat bahwa dalam pandemi Covid-19 ini debitur yang kesulitan melaksanakan kewajibannya akibat dari pandemi Covid-19 bukan karena kelalaian maupun kesalahan debitur tetapi memang disebabkan adanya penurunan pendapatan debitur akibat kehilangan

pekerjaan yang mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan kewajibannya pada kreditur.

  • b.    Penyebab yang tidak terduga sebelumnya ataupun diluar kekuasaan dari debitur

Suatu keadaan tidak cukup hanya karena hal yang diluar kesalahan atau kesengajaan debitur saja sebagai unsur force majeure, tetapi perlu juga terdapat unsur terjadinya karena hal yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya sehingga hal itu diluar kekuasaan atau kehendak dari debitur. Secara umum apabila dihubungkan dengan pandemi Covid-19 sebagai bencana non alam melalui Kepres No. 12 Tahun 2020, maka ini dapat dikatakan sebagai peristiwa yang tidak dapat kita duga maupun perkirakan sebelumnya.

Berdasarkan unsur-unsur diatas, pandemi Covid-19 sebenarnya telah memenuhi unsur-unsur tersebut sehingga dapat menjadi klausula force majeure pada perjanjian kredit. Namun apabila dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumya belum atau tidak mencantumkan adanya pasal mengenai force majeure apakah dapat menjadi alasan bagi debitur untuk menunda kewajibannya inilah yang kemudian menjadi pertanyaan. Untuk itu perlu dilihat bahwa pasal 1245 KUH Perdata terdapat di Buku Ketiga pada Bab I tentang Perikatan Pada Umumnya. Dengan begitu dapat diartikan bahwa ketentuan dalam pasal 1245 KUHPerdata ini berlaku pada setiap pihak yang mengikatkan diri pada perikatan. Sehingga walaupun tidak diatur mengenai force majeure dalam perikatannya dan pada waktu tertentu terjadi suatu keadaan memaksa maka tetap dapat digunakan pasal 1245KUHPerdata tersebut.

Namun kondisi ini tidak serta merta dapat diterapkan kepada seluruh debitur karena akan mempengaruhi stabilitas keuangan di perbankan dan berimbas juga pada perekonomian negara. Maka dari itulah lebih lanjut perlu dikaji lagi berdasarkan aliran yang terdapat pada sejarah pemikiran tentang keadaan memaksa, yaitu:6

  • a.    Force Majeure Absolut

Menurut aliran ini, debitur dikatakan dalam keadaan memaksa apabila pelaksanaan prestasinya tersebut sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapa pun juga, artinya suatu pihak dikatakan force majeure absolut ketika tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan pemenuhan prestasi oleh pihak tersebut.7 Dalam keadaan ini ditujukan pada kondisi bencana alam atau keadaan lain yang tak terduga dan diluar kendali para pihak atau tanpa kesalahan dan kelalaian para pihak. Biasanya keadaan force majeure absolut ini obyek perjanjiannya musnah sehingga perjanjian dapat dibatalkan.

  • b.    Force Majeure Relatif

Menurut aliran force majeure relatif ini, debitur memang ada dalam keadaan memaksa namun prestasinya masih memungkinkan untuk dilaksanakan walaupun dengan pengorbanan atau usaha yang lebih besar.8 Dalam kondisi

ini, debitur tetap harus melaksanakan kewajibannya setelah keadaan memaksa tersebut sudah tidak terjadi lagi atau diberikan keringanan-keringanan berupa penundaan, kompensasi, atau solusi lain yang diberikan oleh pihak kreditur terhadap perjanjian yang dibuat sebelumnya.

Kedua aliran tersebut dimunculkan oleh H.F.A. Vollmar dalam teori force majeure nya. Vollmar membagi menjadi dua bentuk yaitu, absolute overmacht dimana pihak debitur mutlak tidak bisa untuk melaksanakan kewajiban dan relative overmacht yakni pihak debitur masih bisa dan memungkinkan untuk melaksanakan kewajiban walaupun diperlukan pengorbanan atau usaha yang lebih besar.9

Sehingga secara umum memang pandemi Covid ini dapat menjadi alasan force majeure pada perjanjian kredit, namun secara khusus pandemi Covid ini hanya sebagai bentuk force majeure relatif karena obyek dari perjanjian kreditnya masih ada hanya saja kemampuan untuk melaksanakan kewajiban dari debitur saja yang berkurang.10 Hal ini berarti pihak debitur masih wajib memenuhi kewajibannya dengan beberapa bentuk keringanan baik penundaan ataupun penangguhan kewajiban nantinya setelah keadaan memaksa tersebut berakhir, bukan menghapus begitu saja kewajiban debitur untuk melaksanakan kewajibannya.

  • 3.2.    Upaya Pihak Perbankan Dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah Akibat Force

Majeure

Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 berpengaruh buruk pada berbagai sektor, tidak terkecuali di sektor perekonomian. Pada bidang perbankan dapat dilihat meningkatnya Non Performing Loan (NPL) ini karena para debitur yang terikat pada perjanjian kredit mengalami penurunan pendapatan bahkan ada yang kehilangan pendapatannya karena sektor usahanya terdampak pandemi Covid-19. Dengan kata lain pandemi ini mempengaruhi kemampuan dari debitur itu sendiri untuk memenuhi kewajibannya. Banyaknya kredit macet inilah yang kemudian menjadi dilema bagi pihak perbankan untuk bagaimana bisa tetap bertahan ditengah situasi yang juga harus memikirkan kemanusiaan pada debitur yang terdampak pandemi. Maka dari itu pihak perbankan perlu langkah yang tepat untuk dapat menyelesaikan kredit bermasalah ini dan tentunya sesuai dengan regulasi yang ada.

Sebenarnya pihak perbankan sebelum memberikan kredit pasti akan melakukan analisa sesuai dengan prinsip dalam penyaluran kredit yaitu prinsip 5C kepada debitur demi menghindari terjadinya NPL. Namun tetap saja masih ada potensi terjadinya peningkatan NPL yang perlu ditangani segera agar tidak mempengaruhi kesehatan bank. Non Performing Loan itu merupakan suatu rasio persentase perbandingan total

jumlah kredit yang telah tersalurkan oleh bank dengan jumlah total kredit bermasalah.11 Rasio NPL inilah yang merupakan indeks penilaian kesehatan bank.12

Terkait penyelesaian kredit bermasalah, bank dapat melakukan penyelamatan kredit sebagai upaya yang dilakukan untuk penyelamatan kredit tanpa proses hukum yang dilakuan dengan perundingan kembali dengan memberikan keringanan-keringanan sehingga pihak debitur diharapkan bisa tetap memenuhi prestasinya.13 Serta cara kedua adalah dengan penyelesaian kredit sebagai upaya penyelesaian kredit bermasalah dengan jalur hukum di lembaga hukum seperti kantor lelang, arbitrasi, dan badan peradilan.14 Dari dua cara penyelesaian kredit bermasalah tersebut, yang menjadi fokus utama adalah dengan cara penyelamatan kredit bermasalah. Secara umum penyelamatan kredit bermasalah ini dapat dilakukan dengan bentuk:

  • a.    Rescheduling (penjadwalan kembali)

Merupakan penyelamatan kredit dengan merubah beberapa perjanjian kredit terkait jadwal pembayaran maupun jangka waktu termasuk tenggang waktu pembayaran, dan dapat juga diberikan tambahan pembiayaan.

  • b.    Reconditioning (persyaratan kembali)

Penyelamatan kredit bermasalah yang dilakukan dengan merubah baik sebagian maupun seluruh syarat dalam perjanjian kredit. Tetapi dalam cara ini tidak diperkenankan memberi tambahan kredit.

  • c.    Restructuring (penataan kembali)

Penyelamatan kredit melalui perubahan syarat-syarat pada perjanjian kredit baik dengan memberi tambahan pembiayaan hingga mengkonversi seluruh ataupun sebagian kredit yang dilakukan dengan atau tanpa penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali.

Pada penyelesaian kredit bermasalah biasanya lebih didahulukan upaya penyelamatan kredit bermasalah dan tidak serta merta menggunakan jalur hukum. Bentuk penyelamatan kredit bermasalah yang digunakan di masa pandemi ini lebih ke restrukturisasi kredit. Ketentuan terkait restrukturisasi kredit ini diatur pada “POJK No. 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset bank Umum”. Kemudian OJK menerbitkan kembali ketentuan yang lebih khusus melalui “POJK No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019” karena perlu optimalisasi maka diterbitkanlah POJK No. 48/POJK.03/2020 yang diberlakukan hingga Maret 2022. Namun untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, OJK lagi-lagi menerbitkan POJK Nomor 17/POJK.03/2021 dimana kebijakan ini memperbaharui keberlakuan dari peraturan sebelumnya hingga Maret 2023.

Dengan adanya Peraturan OJK tersebut, bank dapat menerapkan kebijakan restrukturisasi terhadap kredit bermasalah. Diberlakukannya kebijakan restrukturisasi ini merupakan implementasi dalam mendukung stimulus perekonomian dengan

memperhatikan manajemen risiko bank.15 Restrukturisasi sebagai upaya perbaikan kredit oleh bank dapat dilakukan melalui pengurangan tunggakan pokok kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, penambahan fasilitas kredit, dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara yang diatur pada penjelasan pasal 53 POJK No. 40/POJK.03/2019.

Lebih rinci, pasal 53 tersebut juga menjelaskan bahwa restrukturisasi dilakukan terhadap debitur yang terkendala kreditnya serta peluang usahanya masih baik sehingga mampu melaksanakan kewajibannya nanti setelah direstrukturisasi sebagai syaratnya.16 Jadi upaya yang bisa dilakukan untuk penyelamatan kredit bermasalah adalah melalui restrukturisasi berdasarkan ketentuan umum yang diatur dalam POJK No. 40/POJK.03/2019 dan secara khusus terkait pandemi Covid-19 ini diatur dalam POJK No. 11/POJK.03/2020 juncto POJK No 48/POJK.03/2020 juncto POJK Nomor 17/POJK.03/2021.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Terdapat beberapa unsur dalam force majeure ini, yaitu: prestasi yang tak dapat terpenuhi, bukan karena kesalahan dari debitur, dan penyebabnya tidak terduga ataupun diluar kekuasaan dari debitur. Jika dilihat prestasi yang tidak dipenuhi oleh debitur di masa pandemi ini bukan karena kesalahan debitur namun akibat pandemi Covid-19 yang tidak dapat terduga sebelumnya, sehingga dapat menjadi alasan force majeure pada perjanjian kredit. Tetapi tidak secara mutlak pandemi Covid-19 ini dapat menghilangkan kewajiban debitur untuk melaksanakan prestasinya, melainkan hanya sebatas mendapat keringanan baik penundaan maupun penangguhan terhadap kewajibannya. Jika dikaitkan dengan teori, maka secara khusus pandemi ini termasuk force majeure relatif karena walaupun perlu usaha yang lebih besar namun kewajiban masih dapat dilaksanakan pihak debitur. Kesehatan bank akan berpengaruh akibat meningkatnya rasio NPL, sehingga diperlukan upaya penyelesaian kredit bermasalah yang tepat dari pihak perbankan dan tentunya sesuai dengan regulasi. Pemerintah melalui OJK telah mengeluarkan beberapa peraturan secara khusus yakni dalam POJK No. 11/POJK.03/2020 juncto POJK No 48/POJK.03/2020 juncto POJK Nomor 17/OJK.03/2021. Dari peraturan ini, bank dapat melakukan upaya restrukturisasi terhadap kredit bermasalah. Secara umum, terkait bentuk restrukturisasi kredit yang dapat dilakukan sudah diatur dalam POJK No. 40/POJK.03/2019 dengan bentuk penambahan fasilitas kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, penurunan suku bunga kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, dan/atau konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara. Perlu diperhatikan juga bahwa restrukturisasi dapat dilakukan oleh bank apabila debitur terkendala kreditnya serta peluang usahanya masih baik sehingga dapat untuk melaksanakan kewajibannya nanti setelah direstrukturisasi sebagai kriteria terpenuhi.

Daftar Pustaka

Buku

Badrulzaman, Mariam Darus. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan (Jakarta: Alumni, 2011)

Suadi, Amran. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum (Jakarta: Prenamedia Group, 2018)

Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank (Bandung, Alfabeta, 2004)

Jurnal/Karya Ilmiah

Atmaja, I.K.T. “Pengaturan Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Hukum Perbankan.” Jurnal Kertha Wicara 10, no.10 (2021): 802-811

Barus, A. C. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Non Performing Loan pada Bank Umum di Indonesia.” Jurnal Wira Ekonomi Mikroskil 6, no.2 (2017):113-122

Dewi, L.K., & Utami, P.D.Y. “Penyelesaian Kredit Bermasalah Akibat Dampak Covid-19 Dengan Restrukturisasi Kredit (Studi Di PT. BPR Padma Denpasar).” Jurnal Kertha Desa 9, no.10 (2021)

Hermansyah dalam Hidayati, N., Permadi, I., & Santoso, B. “Kewenangan Kreditur dalam Menjual Obyek Jaminan Tanah dan Bangunan Letter C tanpa Melalu Lelang.” Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 4, no.2 (2020):291-299

Nugraha, R., & Poernomo, S. L. “Analisis Pandemi Corona Virus Disease 2019 sebagai Alasan Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Hukum Perdata di Indonesia.” Journal of Lex Generalis 2, no.3 (2021): 917-930

Rasuh, D. J. “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” Lex Privatum 4, no.2 (2016):173-180

Sari, L.M., Musfiroh, L., & Ambarwati. “Restrukturisasi Kredit Bank Daerah X pada Masa Pandemi Covid-19.” Jurnal Mutiara Madani 8, no. 1 (2020)

Sinaga, N. A. “Perspektif Force Majeure Dan Rebus Sic Stantibus Dalam Sistem Hukum Indonesia.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 11, no.1 (2021): 1-27

Syamni, G. “Pengaruh Penggolongan Kredit terhadap Non Performing Loan pada PT. BANK Tabungan Negara (Persero) Lhokseumawe.” In Seminar Nasional dan Call paper. Unisbank, Semarang (2011):1-16

Tumanggor, M.S. “Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Perjanjian Kredit Perbankan karena Force Majeure di Masa Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 48/POJK.03/2020.” Jurnal Keamanan Nasional 8, no.1 (2022)

Utami, P. D. Y., & Yustiawan, D. G. P. “Non Performing Loan sebagai Dampak Pandemi Covid-19: Tinjauan Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit Perbankan.” Jurnal Kertha Patrika 43, no.3 (2021)

Wahyuni, Sri. “Force Majeure Dan Notoir Feiten Atas Kebijakan PSBB Covid-19.” Jurnal Hukum Sasana 6, no. 1 (2020):1-15

Wibawa, P. P. A., & Artadi, I. K. “Akibat Hukum Terhadap Debitur atas Terjadinya Force Majeure (Keadaan Memaksa).” Jurnal Kertha Semaya 1, no.1 (2014)

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

POJK No. 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum

POJK No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019

POJK No. 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019

POJK Nomor 17/POJK.03/2021 tentang Perubahan Kedua Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 9 Tahun 2022, hlm. 1581-1590