KEABSAHAN STATUS PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM
on
KEABSAHAN STATUS PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM
Enda Lorenza Br Tarigan Girsang , Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: endatigandu@gmail.com
Dewa Gde Rudy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewa_rudy@unud.ac.id
DOI: KW.2022.v11.i06.p06
ABSTRAK
Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh perkawinan dibawah umur dan untuk mengetahui dampak-dampak dan perkawinan dibawah umur dan untuk mengetahui kepastian hukum anak-anak yang menyerahkan hubungan dibawah umur sesuai dengan undang–undang dan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak yang hendak mengajukan dispensasi nikah namun masih dibawah umur,ataupun strategi yang digunakan dalam pemeiksaan ini adalah jenis eksplorasi yuridis standarisasi hukum. Metode penelitian ini menggunakan metode standarisasi eksplorisasi yuridis yang sah dan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemohon dapat mengajukan dispensasi nikah dengan memenuhi sejumlah persyaratan, diantaranya; sejumlah file fotokopi identitas diri(KTP orang tua termohon, akta lahir termohon, Kartu Keluarga orang tua termohon); surat pemberhentian dari KUA; Permohonan perjanjian perkawinan; Biaya usaha pokok; serta memenuhi prosedur pengajuan permohonan dispensasi nikah. Perbedaan kepastian batas usia ini tidak lepas dari dampak ekologis, geologis, dan sosial di setiap negara,Meskipun setiap negara memiliki norma usia kawin yang berbeda, namun pada kenyataannya pedoman pembangunan dan pembangunan sangat penting. namun lebih menciptakan kepuasan dari kondisi pernikahan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa bahwa saat yang memenuhi syarat untuk menikah adalah saat mampu bertindak dan mendapatkan kebebasan (ahliyatul adā‟ dan expertyyatul wujūb),Diyakini indah dapat mempertanggungjawabkan setiap aktivitasnya, baik aktivitas positif maupun negative.
Kata Kunci: Keabsahan, Perkawinan, Anak dibawah umur, Hukum Islam.
ABSTRACT
The review of this researchs is to determine the effect of underage marriage and to find out the impacts of underage marriage and finding out the legal certaiinty of children who submit underage relationships according to the law and to find out the legal protection of minors who propose marriage dispensation, meanwhile, the strategy used in this examination is a type of juridical exploration of legal standardizatio. The results of the study indicate that the applicant can apply for a marriage dispensation by fulfilling a number of requirements, including; a number of photocopies of personal identification (KTP of the respondent's parents, the respondent's birth certificate, the respondent's family card); termination letter from KUA; Application for a marriage agreement; Basic operating costs; and fulfill the procedure for submitting a marriage dispensation application. This difference in age limit certainty cannot be separated from the ecological, geological, and social impacts in each country. Although each country has different norms for the age of marriage, in reality development and development guidelines are very important. but creates more satisfaction than the conditions of marriage. The Indonesian Ulema Council (MUI) gives a fatwa that the time that is eligible for marriage is when you are able to act and get freedom (ahliyatul adā‟ and expertyyatul wujūb). It ibelieved that beautiful can be responsible for every activity, both positive and negative activities.
Key Words: Validity, Marriage, Minor, Islamic Law
-
I. Pendahuluan
-
1.1. Latar Belakang Masalah
-
Sebagai mahakarya Tuhan, manusia mempunyai berbagai kebutuhan dalam hidup mereka dan setiap orang tidak diragukan lagi perlu memenuhi kebutuhan mereka secara layak untuk memiliki pilihan untuk hidup sebagai manusia ideal baik secara mandiri maupun sebagai fitur masyarakat sehingga pernikahan memiliki hubungan yang sangat nyaman. dengan agama keduniawian, maka pernikahan memiliki komponen fisik aktual namun selain komponen yang mendalam, iya juga memegang peranan penting,Membingkai keluarga yang ceria, asosiasi yang nyaman dengan kerabat, Perkawinan adalah hal yang menciptakan keluarga dalam kehidupan bernegara yang baik yang dibatasi oleh hukum (baik itu hukum positif pun demikian dalam hukum islam), dibawah pandangan yang mantap menghadirkan undang-undang perkawinan yang melihat sistem perkawinan bagi orang Indonesia sebagai pedoman, dikoordinasikan oleh undang-undang lain yang tegas dan baku, yakni Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tetapi untuk menggambarkan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, syaratnya sudah diarahkan, misalnya mungkin ada pilihan untuk melangsungkan perkawinan (persyaratan materiil) Salah satu standar terbait batasan usia minimal terkandung dalam Pasal 7 Ayat (1) Barrier Act bergantung pada bantuan pemerintah dari pendamping dan anggota keluarga.
Lebih jauh secara keseluruhan akan ditegaskan bahwa Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tidak memerlukan pelaksanan hubungan dengan anak dibawah umur yang tellah diminta oleh Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974. 1974, meskipun undang-undang dan peraturan negara yang dimaksud di atas, juga penting. Perlu diingat bahwa yang tersirat dalam UU Perkawinan dalam pembicaraan ini adalah norma atau keputusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan yang keterlaluan secara umum yang harus diupayakan dalam perkara perkawinan, khususnya yang berkaitan dengan Hukum Islam, yang tersabar di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dilakukan melalui Pedoman Resmi Nomer 1 Tahun 1991 tentang Peraturan Hukum Islam (Sururie 2017), salah satu dari tujuan adanya hukum Islam adalah untuk mengikuti terjun melalui perkawinan yang sah sebagaimana ditunjukkan oleh hukum dan dipandang sebagai bagian yang menyendiri. gaya hidup (Nurhadi, 2018) Sebagaimana tertuang dalam bunyi Pasal 1 UU Perkawinan :
“Perkawinan adalah hubungan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai pasangan suami istri yang sungguh-sungguh bermaksud untuk membentuk (keluarga) yang bahagia dan langgeng dalam pandangan ketuhanan Yang Maha Esa"
Mengenai hubungan yang sedang berlangsung, hubungan sering dikomunikasikan di media yang berbeda dimana hubungan dipandang sebagai hal yang rumit dalam aktivitas publik Misalnya hubungan dibawah umur terjadi tanpa informasi sebelumnya tentang otoritas publik dan persyaratan hukum Hubungan Koneksi dibawah umur terjadi tanpa data sebelumnya tentang spesialis terbuka dan kebutuhan yang sah.
Perikatan perkawinan dengan udsia yang berada dibawah usia yang telah ditentukan dalam regulasi di Indonesia tercipta mulai dari satu tahun kemudian ke tahun berikutnya, khususnya di Sulawesi Selatan, salah satu tempat perhubungan
dibawah umur terjadi, padahal substansi Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomer 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan cukup jauh pernikahan untuk wanita dinyatakan sah apabila telah berusia 16 tahun sementara untuk seorang pria dengan usia 19 tahun bukanlah hal baru di Indonesia mengenai pernikahan dibawah umur.Persiapan ini telah berlangsung sejak lama dengan penyebab yang tak berujung Tidak di jaringan metropolitan besar tidak di daerah provinsi alasannya bimbang, memikirkan masalah keuangan, pendidikan rendah, tindakan sosial dan atribut berat tertentu, dan sebagainya. Masalah pernikahan dibawah umur, ini sering terjadi sebagai representasi dari apa yang menimpa seorang anak bernama Ulfah yang dijanjikan kepada seorang pria bernama Syeikh Puji, pernikahan itu Syeikh Puji dan Ulfa membuka gagasan bahwa kasus tersebut adalah pernikahan dibawah umur benar-benar ditangani dengan hati-hati. Berbeda dengan hukum standar, hukum Islam seperti hukum publik dan hukum dunia. Melalui pernikahan individu akan memiliki anak sehingga pernikahan juga dikenang karena adanya rasa memiliki dan kebutuhan cinta.’’1
Penulisan artikel ini dibuat berdasarkan pemikiran pribadi penulis dengan melihat kedaan yang sering terjadi di setiap daerah,Sebagai aturan hubungan dibawah umur biasanya termasuk dalam kelompok kelas pekerja yang lebih rendah, namun paling tidak bahwa masyarakat kelas atas melakukan hubungan dibawah umur karena beberapa alasan, Karena permasalahan rumah tangga tidak mungkin terselesaikan dengan persiapan yang asal-asalan dan kondisi usia yang belum cukup untuk melakukan perkawinan, maka dari itu diperlukan kesiapan dalam menempuh kehidupan rumah tangga. Berdasarkan adanya permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini menjadi sebuah penelitian dalam bentuk artikel jurnal “Analisis Pernikahan Usia Dini Ditinjau dari Sudut Pandang Ekonomi, Sosial dan Religi Otoritas publik, tidak tinggal diam mengenai banyaknya jumlah orang yang mempunyai hubungan dibawah umur dari beberapa perkumpulan yang menyelesaikan pemeriksaan hubungan dibawah umur,Diterbitkan nya Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai landasan hukum materiil dari perkawinan. Undang-Undang Nomer 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lestari, 2018 ).2
-
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
-
1) Bagaimana syarat serta mekanisme permohonan dispensasi atas perkawinan anak dibawah umur menurut hukum islam ?
-
2) Bagaimana mengenai keabsahan atas perkawinan anak dengan usia dibawah umur menurut hukum islam ?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Dengan memperhatikan uraian permasalahan diatas makan penelitian ini tidak terlepas dari tujuan atau sasaran yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini, oleh karena itu ada beberapa tujuan penelitian sebagai berikut ;
-
1) Untuk mengetahui akibat perkawinan dibawah umur pada perpisahan dan untuk mengetahui akibat dari perkawinan dibawah umur
-
2) Untuk mengetahui pertanggungan yang sah bagi anak-anak yang melakukan hubungan dibawah umur sebagaimana ditentukan oleh undang-undang dan untuk mengetahui surat-surat yang sah bagi anak dibawah umur yang mengajukan perkawinan administrasi.
II.Metode Penelitian
Penyusunan jurnal dengan judul “KEABSAHAN STATUS PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM” ini menerapkan metode penelitian hukum standarisasi eksplorasi yuridis yang sah, yang mengkaji peraturan perundang-undangan serta pendekatan resolusi dan metodologi teoritis. Pemeriksaan standardisasi akan berusaha untuk memperoleh suatu peraturan perundang-undangan standar yang sah, dan konvensi yang sah sehingga persoalan-persoalan hukum dapat dijawab,Hal ini diyakinkan dengan adanya hubungan-hubungan yang diselesaikan oleh orang perkawinan dengan usia yang berada dibawah dari ketentuan yang telah ditetapkan atau biasa disebut pernikahan bawah umur sebagaimana disinggung dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa “salah satu syarat untuk berserikat adalah masalah titik putus cukup umur, terutama bagi laki-laki yang belum bersangkutan 19 tahun.” Hal ini ditegaskan dalam Pasal 71 Instruksi Presden Nomer 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang menyatakan bahwa “perkawinan dapat dibatalkan jika tidak cukup memuaskan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bagian 1 UU Perkawinan.” Oleh karena itu batasan usia dasar diperlukan Pernikahan Mengingat penggambaran di atas, masalah titik potong yang cukup lama akhirnya memainkan peran penting dalam membentuk sebuah keluarga.disini terdapat sumber bahan hukum dalam penelitian karya ilmiah ini yaitu; Bahwasanya menurut peraturan Negara di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 melarang warga negara Indonesia untuk melakukan perkawinan dibawah umur, karena sering terjadi banyak dampak yang buruk dari perkawinan tersebut.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Syarat Dan Mekanisme Permohonan Dispensasi Atas Perkawinan Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Islam
-
Perkawinan dalam hukum Islam adalah kesepakatan/komitmen untuk mencegah hubungan seksual antar manusia untuk memahami kebahagiaan hidup sehari-hari yang sarat dengan rasa harmoni dan cinta dengan cara yang disyukuri oleh Tuhan. Sedangkan dalam kitab common law ditegaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan diantara laki-laki dengan seorang perempuan,ndividu agar satu sama lain dapat hidup secara sah dan berlanjut selamanya dalam rentang waktu yang panjang, dimana terdapat keistimewaan. dan komitmen yang berbeda dan merupakan keharusan untuk dilakukan pihak-pihak terkait agar memperoleh kehidupan yang baik, , menyenangkan, dan memiliki garis keturunan.
Secara tegas, keabsahan dari pengikatan suatu pernikahan dalam ajaran muslim yakni diselesaikan dengan hukum Islam yang ketat; sementara hubungan individu dengan agama lain seperti Protestan , Katolik , Buddha atau Hindu harus mengikuti ketentuan yang diatur oleh tiap-tiap agama. Suatu perkawinan dikatakan tidak sah bilamana tidak memenuhi persyaratan utama sebagaimana tercantum di atas. Hubungan yang sah harus dicatat di hadapan pencatat pernikahan yang mengikuti
pedoman terkait. pengaturan tentang pendaftaran juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974. Untuk hubungan Muslim, pendaftaran dilakukan dengan mendaftarkan pekerja sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomer 32 Tahun 1954, sedangkan hubungan non- Muslim dilakukan di Catatan Sipil (Pasal 2 PP No. 9/1975). Mengingat hipotesis di atas, legitimasi pernikahan ditentukan oleh hukum yang ketat dan keyakinan yang dipegang oleh wanita yang direncanakan dan pria yang beruntung. Ihwal persyaratann yang diatur dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi kebutuhan materil dan syarat formil. Keperluan materiil untuk perkawinan, khususnya syarat-syarat bagi orang-orang yang mempunyai hak istimewa untuk menikah, khususnya dalam hal pengesahan, pengesahan dan kuasa untuk memberikan persetujuan, sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang layak untuk perkawinan, khususnya syarat-syarat yang merupakan konvensi-konvensi yang diidentikkan dengan layanan pernikahan dua wanita yang akan datang. Sebagaimanaa telah diakomodir didalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa: “Perkawinan harus didasarkan atas pengesahan kedua calon istri.”
Perihal pengesahan dua calon istri sebagai salah satu persyaratan menikah sehingga setiap orang tanpa pamrih memilih pasangannya untuk bertempat tinggal dalam sebuah keluarga, Juga untuk mencegah terjadinya hubungan-hubungan paksaan yang mengakibatkan batalnya suatu perkawinan yang sebenarnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974, bahwa: “Suatu pasangan atau istri dapat mengajukan permohonan perkawinan apabila perkawinan itu dilakukan dibawah bahaya. yang menyalah gunakan hukum" Pada dasarnya, bagi umat Islam, pernikahan yang substansial harus diselesaikan dengan hukum Islam yang ketat; Sementara itu, hubungan antar individu yang beragama Protestan atau Katolik atau Buddha atau Hindu harus mengikuti aturan agamanya masing-masing.Dengan asumsi ini tidak dapat dipenuhi, pernikahan itu tidak sah. Selain itu, hubungan yang sah harus dicatat di depan pencatat pernikahan yang disetujui untuk mengikuti pedoman terkait. Pengaturan tentang pencatatan perkawinan juga diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974. Untuk hubungan yang beragama Islam, pendaftaran dilakukan dengan mempekerjakan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomer 32 Tahun 1954, sedangkan hubungan non -Muslim dilakukan di Catatan Sipil (Pasal 2 PP No. 9/197)[1]. Mengingat hipotesis di atas, legitimasi pernikahan ditentukan oleh hukum yang ketat dan keyakinan yang dipegang oleh wanita dan pria yang akan datang. Syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi syarat materil dan kebutuhan formil. Syarat-syarat materiil untuk perkawinan, khususnya keperluan-keperluan khusus bagi orang-orang yang mempunyai hak istimewa untuk menikah, khususnya yang berkaitan dengan pengesahan, kuasa dan kuasa untuk memberikan persetujuan, sedangkan kebutuhan-kebutuhan konvensional untuk perkawinan, khususnya prasyarat-prasyarat yang bersifat adat-istiadat.
Fungsi pernikahan dua wanita yang direncanakan, Hal ini dikoordinasikan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa: “Perkawinan harus didasarkan atas pengesahan dua wanita yang akan segera menikah.’’untuk hidup sebagai sebuah keluarga. Selain itu, untuk mencegah terjadinya ikatan paksaan yang berakibat pada batalnya perkawinan pertama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomer 1 Tahun
1974, bahwa : “Suami atau istri dapat mengajukan permohonan batalnya perkawinan apabila perkawinan itu diselesaikan dibawah bahaya yang menyalahgunakan hukum.”
Berdasarkan wawancara pada bulan November tahun 2018 tepatnya pada tanggal 1, Drs. H. Muslim Arsyad, S.Ag selaku Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Kuala Kapuas, memberikan penjelasan bahwa “Dalam memeriksa perkara penetapan dispensasi nikah anak dibawah umur, hakim lebih menitikberatkan pada kebasahan dokumen yang dinazegelen (terverifikasi) dengan aslinya, keterangan saksi, keterangan pihak pemohon dan yang dimohonkan (calon mempelai) dan pokok perkara alasan pengajuan dispensasi nikah anak dibawah umur.” Terkait dengan penetapan terhadap pengajuan perkara dispensasi nikah anak,umumnya bilamana anak yang bersangkutan telah hamil,pihak laki-laki telah dewasa (dalam istilah islam disebut akil baligh) dan dapat bertanggungjawab secara materi menghidupi calon isterinya.3
Untuk memperoleh penetapan dispensasi nikah terhadap anak dibawah umur, oleh Pengadilan Agama bertempat di Kuala Kapuas menyatakan bahwa pemohon berkewajiban dalam memenuhi hal-hal yang diprasyaratkan serta prosedur yang ada berikut dengan alat buktinya.
Mengutip dari tulisan Kefalas,dkk; Adapun Syaraat Pengajuan Permohonan Dispensasi Nikah adalah: “Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua yang dimohonkan; Fotokopi akta kelahiran yang dimohonkan; Kartu Keluarga orang tua yang dimohonkan; Surat penolakan dari Kantor Urusan Agama (KUA); Surat permohonan dispensasi nikah yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama; Membayar biaya panjar Prosedur Pengajuan Permohonan Dispensasi Nikah.”4
Secara harafiah istilah dispensasi dapat diartikan sebagai keringanan, dalam hal ini keringanan yang oleh Pengadilan diberikan terhadap calon mempelai dengan usia dibawah dari yang telah ditetapkan dalam regulasi. Lebih lanjut, secara definitif dapat dinyatakan bahwa dispensasi perkawinan yakni istilah yang mengisyaratkan perlunya diajukan permohonan baik itu oleh orang tua mempelai pria, orang tua calon mempelai wanita, dan/atau keduanya dalam hal izin untuk melangsungkan pernikahan pada usia mempelai yang dibawah dari batasan usia sebagaimana telah ditentukan. Dalam praktiknya, hakim memiliki kecenderungan permisif dalam menangani ajuan permohonan ini, sepanjang memenuhi prasyarat maupun prosedur yang telah ada.
Penerapan Dispensasi Nikah dapat dilakukan dalam 2 kondisi;
-
1. Pertama, “salah satu mempelai dibawah umur sedangkan satunya sudah dewasa.”
-
2. Kedua, “pernikahan antara kedua anak dianak dibawah umur.”
Untuk kasus pokok, secara umum akan dianggap sebagai demonstrasi doubledealing terhadap anak-anak dan dipandang siap mempengaruhi cara pandang dan nasib anak Sedangkan dalam kasus selanjutnya, perkawinan antara anak dibawah umur pada umumnya karena hubungan anak dan penilaian yang dibuat di mata public jelas ini memperburuk nasib anak yang bersangkutan.
Kendati demikian, perkawinan anak dengan usia yang belum cukup secara hukum dapat disahkan melalui wali perkawinan. Hal ini juga ditegaskan oleh UNICEF bahwa pernikahan sering merupakan kumpulan intimidasi atau tekanan dari wali/penjaga anak, sehingga anak-anak yang menikah secara teratur menunjukkan rasa dedikasi dan rasa hormat kepada orang tua mereka. Wali menganggap bahwa pemberian kepada anak mereka berarti semacam jaminan bagi anak tersebut, namun hal ini justru menyebabkan berkurangnya kesempatan anak untuk berkreasi, menjadi solid, dan kehilangan kesempatan untuk memilih.5
Dalam undang-undang tertentu ada syarat-syarat yang belum ditetapkan secara pasti bagi seseorang yang akan menyelesaikan suatu perkawinan, syarat-syarat perkawinan dalam hukum tertentu telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan. Dimana dalam BAB II UU tersebut membahas tentang syarat-syarat perkawinan dalam pasal 6 dan 7.
-
(1) Pada ayat pertama pasal 6 dinyatakan bahwa dasar perkawinan yakni persetujuan dari kedua belah pihak yakni calon mempelai.
-
(2) Pada ayat berikutnya dinyatakan bahwa sebuah keharusan bagi seseorang yang hendak melangsungkan perkawinan untuk mendapatkan izin dari kedua orang tuanya.
-
(3) Bilamana kondisi pad ayat sebelumnya tidak terpenuhi yakni, salah satu dari kedua orang tuanya telah meninggal datau dalam keadaan yang tidak mampu mengutarakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tuan yang masih ada ataupun masih mampu untuk memberikan izinnya.
-
(4) Dalam ayat ke empat dari pasal 6 ini mengakomodir keabsahan perizinan nikah oleh wali, orang yang memelihara ataupun keluarga dengan garis keturunan vertikal keatas sepanjang masih hidup dan mampu, bilamana kondisi pada ayat (2) dan (3) pada pasal ini tidak dapat terpenuhi.
-
(5) Pada ayat kelima ini mengakomodir intervensi pengadilan daerah hukum setempat, bilamana terjadi pertentangan pendapat terkait ayat-ayat sebelumnya atau ada pihak yang tidak ingin menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dapat memberikan izin untuk pelangsungan nikahnya.
-
(6) Pengaturan Pada ketentuan terakhir dalam pasal ini mengembalikan lagi bahwa di akuinya ketentuan agama masing-masing pihak yang melangsungkan perkawinan.
Seperti yang ditunjukkan oleh KBBI, peraturan adalah kasus khusus dari standar mengingat perenungan luar biasa, pengecualian dari komitmen atau larangan. Sedangkan perkawinan menurut KBBI adalah membentuk keluarga dengan jenis kelamin lain. Jatah pernikahan adalah untuk hubungan di mana pria atau wanita beruntung yang akan datang saat ini masih dibawah umur dan belum diizinkan untuk menikah sesuai dengan hukum dan pedoman. Diantaranya:
-
(1 ) Agama Dalam diri seorang individu, diperlukan informasi yang tegas agar dari informasi tersebut ia dapat mengatur kedua watak dan etikanya untuk berbuat agung yang tidak menyimpang berdasarkan apa yang disangkal
oleh agama. Karena dari pemahaman seseorang dalam beragama dia akan selalu merasa was-was dan merasa selalu diperintah oleh Tuhan ketika dia harus melakukan sesuatu yang ilegal dengan alasan bahwa agama adalah landasan kita dalam membangun kehidupan sehari-hari.
-
(2 ) Wali Orang tua berperan penting dalam keluarga dimana selain memberikan bekal pendidikan, baik sekolah formal maupun nonformal, selain pentingnya tugas wali dalam pembinaan anak dan pengawasan orang tua terhadap anak-anak karena mereka sangat ditekankan bahwa tidak adanya manajemen orang tua akan mempengaruhi perilaku anak-anak yang konsisten maju dan melakukan segalanya.
-
3.2. Keabsahan Atas Perkawinan Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Islam
Mempertimbangkan bahwa pernikahan adalah perjanjian/pengaturan yang mengikat secara ketat dan dimana mengharuskan setiap individu yang terikat didalamnya untuk memenuhi hak-hak istimewa dan komitmen mereka yang terpisah dengan kesetaraan, keramahan, keselarasan, dan keseimbangan penuh.,dengan mewajibkan baligh (cukup umur) apa adanya. Beban yang halal (tak’lif) tergantung pada akal (aqil, mum’ayiz), baligh (cukup umur) dan pemahaman.Artinya seseorang harus bermasalah dengan hukum jika dia berakal dan dapat melihat dengan baik taklif yang ditujukan kepadanya.Perkawinan dibawah umur tidak dapat dipisahkan dari hak ijbar khususnya hak penjaga pintu (ayah/kakek) untuk menikahi gadis kecilnya tanpa mendapat pengesahan atau izin terlebih dahulu dari gadis kecil itu yang akan ditawarkan, mengingat dia bukan janda. seorang gadis tidak dapat dipersiapkan secara fisik oleh pasangannya jika dia masih terlalu muda sehingga dia cukup dewasa untuk memiliki hubungan seperti pasangan Ulama yang mengizinkan penjaga gerbang untuk menikahi gadis-gadis mereka yang masih dibawah umur di negara-negara Muslim bervariasi dalam memutuskan sejauh mungkin,pernikahan paling sedikit ,Mengenai waktu pernikahan, hukum Islam tidak sepenuhnya mengarahkan sejauh mungkin untuk pernikahan,Minimnya pengaturan yang tegas mengenai dasar dan batasan usia yang paling ekstrim untuk menikah diharapkan memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengontrolnya Al-Qur'an menunjukkan bahwa individu yang akan menikah haruslah seseorang yang sudah siap. Firman Allah SWT dalam QS A Nuur reff 32: 6
“Dan menikahkanlah orang-orang yang terpisah dari yang lain diantara kamu dan orang-orang yang terpuji (menikah) dari budak laki-laki dan budak perempuanmu. Jika mereka miskin, Allah akan menguatkan mereka dengan limpahan-Nya, Dan Allaah Maha Luas (pemberian-Nya) dan Maha Mengetahui.”
Perbedaan kepastian batas usia ini tidak lepas dari dampak alam, geologis, dan sosial di setiap negara Meskipun setiap negara memiliki norma alternatif usia perkawinan, faktanya aturan pembangunan dan pembangunan yang sangat penting. Sebagaimana yang telah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada intinya menyatakan bahwa masa nikah adalah “masa kemampuan untuk bertindak dan mendapatkan keuntungan (ahliyatul adā‟ dan expertyyatul wujūb).”
Expertyyatul Ada adalah suatu pemikiran tentang keabsahan kemampuan seseorang untuk bertindak yang dipandang luar biasa untuk bertanggung jawab atas setiap perbuatannya, baik yang positif maupun yang pesimis, secara singkat sebagaimana ditunjukkan oleh hukum Indonesia atau secara eksplisit dipersepsikan dalam Burgelijk Wetboek. Secara lebih eksplisit, Undang-undang Perkawinan sudah cukup jauh melihat bahwa perkawinan merupakan suatu pengertian/aturan yang sangat fenomenal (mīṫ āqqan gaalīḍan) yang mewajibkan setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi kesempatan dan kewajiban barunya dengan penuh persamaan, keselarasan.
Ketentuan dalam Pasal 29 BW menyatakan bahwa “laki-laki yang belum mencapai usia delapan belas tahun dan wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun tidak dapat melangsungkan perkawinan” sedangkan dalam Pasal 330 BW ketidakdewasaan didefinisikan sebagai mereka yang berusia usia (21) cukup lama atau tidak pernah Beristri.
Meskipun demikian, mengingat berlakunya Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 66 bahwa perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan bersandar pada Undang-Undang ini, maka pada saat itu pada saat itu di arahkan pada hukum negara republic Indonesia. Umum dinyatakan tidak sah Tindakan-tindakan di atas yang sebanding dengan jaminan pernikahan terbesar yang dapat dibayangkan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah tidak membatasi Artinya itu tidak menawarkan siapa pun kesempatan untuk melakukan hal itu Terhadap penyimpangan-penyimpangan tersebut, UU Perkawinan memberikan jawaban sebagai bagian perkawinan kepada pengadilan. Kata salin dirasakan oleh banyak peneliti dalam perasaan "cocok untuk menikah" khususnya individu-individu yang secara intelektual dan mendalam diperlengkapi untuk membangun sebuah keluarga. untuk menikah dengan syarat bahwa mereka memiliki kapasitas.’’ 7
“diperintahkan dari Umar bahwa tempat penyimpanan Hafs Ghiyats, telah memberitahu kami dari ayah saya (tabung Hafs Ghiyats), telah memberitahu kami dari al Amasy, dia berkata: "Sudah dijelaskan dari Umaroh Abdurahman Yazid, dia berkata: masuk dengan Alqamah dan al Aswad kepada (tempat) Abdulah, dia berkata: "Ketika saya bersama Nabi SAW dan anak-anak dan kami tidak menemukan orang lain, Rasulullah berkata kepada kami “Hai pemuda, siapa pun di antara mereka yang Anda miliki Jika Anda dapat memiliki keluarga, maka pada saat itu Intinya, menikahlah, karena pernikahan dapat menjatuhkan mata Anda dan mempertahankan instrumen Anda. orientasi seksual Anda. Selanjutnya, barang siapa yang tidak mampu, maka pada saat itu, hendaklah dia cepat, kemudian, pada saat itu, untuk memastikan dia dapat menahan hawa nafsunya.” (HR.Bhukari)
Implikasinya, al- qiuran vital Dalam pernikahan usia dewasa fiqh dibatasi oleh tanda-tanda nyata, menjadi tanda luar biasa dari masa remaja bila ragu-ragu antara lain usia terbaik 15 (lima belas) untuk pria, itilām untuk pria dan siklus wanita untuk wanita pada usia 9 ( sembilan tahun),Setelah beberapa waktu, dengan terpenuhinya model-model remaja telah mengizinkan seseorang untuk menikah, sehingga
kemajuan seseorang dalam Islam secara teratur membahas baligh. Menekankan Peraturan Pastoral Nomer 3 Tahun 1975 bahwa Dispensasi Peradilan Agama adalah bagi pasangan suami istri yang belum mencapai usia 19 tahun dan mengurus pasangan suami istri yang belum menikah yang tiba pada usia 19 tahun dan pasangan yang mengatur dan istri berencana yang belum beristri,salah satu kekuatan fundamental,Yang sah pemimpin memiliki kewajiban mendasar untuk mendapatkan, membedah dan menengahi dan menyelesaikan setiap kasus yang dibawa kepadanya.’’8
Permohonan jatah perkawinan ditujukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggal calon Untuk menentukan layak tidaknya calon istri dan suami yang akan melakukan hubungan dibawah umur, dilakukan pendahuluan dengan program singkat,Dalam memutuskan pembagian perkawinan, pejabat yang ditunjuk itu mempertimbangkan, di samping hal-hal lain, kemampuan, ketersediaan, pengembangan perkumpulan bagi calon istri dan suami yang cukup secara intelektual dan sungguh-sungguh. menentukan usia dasar untuk menikah - mata sebagai hasil dari kepuasan kolom tetapi menciptakan9 kepuasan dari negara bagian pernikahan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan sebuah fatwa bahwa masa nikah adalah kesempatan untuk mengambil keputusan bertindak dan mendapat kesempatan (ahliyatul adā dan expertyyatul wujūb). hal ini sesuai dengan Pasal 6 UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa “menikahi seseorang yang berumur 21 tahun harus mendapat pengesahan dari dua penjaga pintu” perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak menarik di mata masyarakat, pengaturan administrasi perkawinan sebagai syarat perkawinan dibawah umur sering diabaikan mengingat tidak adanya kewenangan yang tegas. Banyak hubungan dibawah umur yang dilakukan tanpa mengajukan jatah perkawinan di pengadilan, meskipun dalam hal diatur dengan sanksi dan persyaratan hukum yang berat Undang-undang ini memuat ketetapan-ketetapan yang berhubungan dengan tata cara (hukum formal),penyelesaian olok-olok pasangan istri di pengadilan yang berat, Undang – Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.’’10
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai Kepastian Hukum dalam Perkawinan oleh Pengadilan Agama Kuala Kapuas diperoleh bilamana
pemohon mengajukan dispensasi nikah dengan memenuhi sejumlah persyaratan, diantaranya; sejumlah file fotokopi identitas diri(KTP orang tua termohon, akta lahir termohon, Kartu Keluarga orang tua termohon); surat pemberhentian dari KUA; Permohonan perjanjian perkawinan; Biaya usaha pokok; serta memenuhi prosedur pengajuan permohonan dispensasi nikah. dispensasi nikah,Perbedaan kepastian batas usia ini tidak lepas dari dampak alam, geologis, dan sosial di setiap negara Meskipun setiap negara memiliki norma alternatif usia perkawinan, faktanya aturan pembangunan dan pembangunan sangat penting,Namun sebaliknya menciptakan kepuasan terhadap keadaan nikah Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa bahwa syarat menikah adalah masa kemampuan untuk bertindak dan memperoleh kebebasan (ahliyatul adā‟ dan expertyyatul wujūb),diyakini luar biasa untuk bertanggung jawab atas setiap aktivitasnya, baik aktivitas positif maupun negatif.’
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Wahyu Widiana, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta,(2000)
Jurnal
Al Ma’ruf, Ali Imron. “Pembelajaran sastra Multikultural Di Sekolah: Aplikasi Novel Burung-burung Rantau” Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 19, No. 1, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, (2007) : 60 - 75
AriyantoMuhammad, “Batas Usia Ideal PernikahanPerspeksitf Maqaid Syariah”, Jurnal UIN Sunan Ampel,(2016) : 1-1.
Andriani D. M. “Tinjauan Yuridis Perceraian Karena Perkawinan dibawah Umur”, proposal , Universitas Muhammadiyah Surakarta. (2018)
Ali Imron, Kemampuan Bertindak Hukum (Studi Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Positif di Indonesia), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,''(2007).
Durojaiye, E. “Woman, But Not Human”: Widowhood Practices and Human Rights Violations in Nigeria. International Journal of Law, Policy and the Family, 27, (2013) 176-196.
Fentiningrum, H.Batasan Usia Pernikahan dalam Perundang-Undangan di Indonesia Perspektif Sadd Al-Dari’ah. Istidlal: Jurnal Studi Hukum Islam, 4(1),(2017) 84–95.
Ghosh, B. Pernikahan Anak, Masyarakat dan Hukum, Sebuah Studi dalam Konteks Pedesaan di Benggala Barat, India. Worldwide Journal of Law, Policy, and The Family,(2011) 205."
Hanifah, M. "Perkawinan Beda Agama Dilihat dari Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan" Soumatera Law Review, 2(2),(2019) 297-308.,
Hardani, Sofia, , “Analisis tentang Batas Umur untuk Melangsungkan Perkawinan Menurut Perundang-undangan di Indonesia”, An-Nida’; Jurnal Pemikiran Islam, 2 (40/Juli-Agustus),(2015) 128.
Kefalas, M. J., Furstenberg, F. F., Carr, P. J., & Napolitano, L. ''Marriage Is More Than Being Together'': The Meaning of Marriage for Young Adults. Journal of Family Issues, 32(7), (2011) 845-875.
Lestari, N. ''Masalah Hukum Perkawinan in Indonesia Jurnal Ilmiah Mizani Hukum, Ekonomi dan Agama, 4(1), (2018) 43-52.,''
Mostofa, K. Akomodasi Dispensasi Perkawinan untuk Pengadilan Agama di Jawa Tengah: Kajian Standar Usia Pasangan Minimum Bersama Dengan Sikap dan Kebijaksanaan Hakim Perundang-undangan: Jurnal Hukum dan Syariah,(2019) 63-75
Majelis Ulama Indonesia, Ijma‟ Ulama (Ketetapan Fatwa Ijtima‟ Ulama Komisi III Indonesia Tahun 2009), Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, hal. (2009) 78.''
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Hidakarya Agung, Jakarta, (1985) hlm. 69
Mukallaf adalah orang yang dianggap sebagai layak untuk melakukan langkah yang sah baik sesuai dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Mukallaf diindikasikan dengan cukup umur (baligh), berakal dan memahami taklif yang dibebankan kepadanya. Lihat Rachmat Syafe, Ilmu Ushul Fiqh, PustakaSetia,Bandung,h.(1999)
334dan336https://islam.nu.or.id/post/read/90926/hukum-perkawinan-di-bawah-umur,’’
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 9 Tahun 1975 tentang Penyelenggaraan Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 06 Tahun 2022, hlm. 1239-1250
Discussion and feedback