KRIMINALISASI PENGGUNAAN SEL PUNCA

EMBRIONIK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36
TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

Anak Agung Bagus Whisnu Perdana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : whisnuperdana19@gmail.com

Anak Agung Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : ngurah_wirasila@unud.ac.id

DOI : KW.2022.v11.i04.p5

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengangkat rumusan masalah mengenai, bagaimana permasalahan hukum terhadap penggunaan sel punca embrionik di Indonesia dan bagaimana perbandingan hukum terhadap pengaturan larangan penggunaan sel punca embrionik di berbagai negara. Penelitian ini menggunakan metode yaitu berupa hukum normative dengan tujuan menganalisis adanya kekosongan norma hukum dalam pengaturan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan sel punca embrionik di negara indonesia. Hasil penelitian menunjukkan, penggunaan sel punca embrionik di Indonesia secara yuridis bertentangan dengan berbagai aturan perundang-undangan di negara indonesia seperti UU NRI 1945, UU Kesehatan dan KODEKI, selain itu negara lain yang melarang penggunaan sel punca embrionik di dunia adalah Amerika dan Jerman. Adapun perbedaan larangan penggunaan sel punca embrionik di Indonesia, Amerika dan Jerman, yaitu di Amerika dan Jerman penyalahgunaan sel punca embrionik diancam dengan sanksi pidana tetapi di Indonesia penggunaan sel punca embrionik hanya dijatuhkan sanksi administratif dan di negara Indonesia taka da aturan secara jelas hukum yang mengatur terkait penelitian sel punca embrionik sedangkan amerika dan jerman telah jelas mengatur hal tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dibentuk suatu peraturan perundangan – undangan dengan mengatur penggunaan sel punca embrionik sebagai tindak pidana.

Kata Kunci : Kriminalisasi, Penyalahgunaan, Sel Punca Embrionik.

ABSTRACT

The purpose of this study is to raise the formulations of a problem regrading. How the legal problems with the used of embryonics stem cell on Indonesia and how the law compares to the regulation prohibiting that use an embryonic stems cell on various countries. The research methods use on this studi is a nonnative legal research method that aims to analyze an absence of legas norm of the regulation criminal sanctions against embryonic stem cell abuse in Indonesia. The use of the embriyonic stem cell in Indonesia legally is contrary to various law and regulation on Indonesia such as the NRI Act of 1945, the Health Act and KODEKI, other than that others country that prohibit the use an embryonic stem cels on the world are the United State and Germany. The difference on the ban that use of embryonic stem cells in Indonesia, America and Germany, namely in the United State and Germany are abuse of embryonic stem cells is threatened with criminal sanctions but in Indonesia the use of embrionyc stem cell are only imposed by administrative sanctions and in Indonesia there is no clear legal rule governing research related embryonic stem cells while the United state and Germany have clearly managed it. To overcome this problem, it is necessary to estabilised a statutory regulation by regulating the use embryonic stem cells as a criminal offense.

Key Words : Criminalization, Misuse, Embryonic Stem Cells.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang

Dunia kesehatan setiap harinya semakin berkembang, hal tersebut digambarkan dengan adanya kemunculan berbagai jenis penemuan terbaru dalam dunia kesehatan. Kesehatan adalah aset yang paling utama dalam kehidupan manusia segala usaha akan dilakukan manusia untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatannya. Berkembangnya berbagai macam jenis penyakit mulai dari penyakit menular hingga penyakit yang tidak menular selalu mengancam derajat kesehatan hidup manusia. Menurut data statistik yang telah di rilis oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia di tahun 2018 mencatatkan setidaknya penyakit yang paling tinggi menyebabkan kematian adalah penyakit tidak menular yang diantaranya sakit jantung serta stroke menjadi nomor 1 pembunuh di negara Indonesia. Kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung adalah sebesar 12,9 % dan stroke 21,1 % dari seluruh angka kematian di Indonesia. 1

Penyakit jantung serta stroke tergolong dalam “penyakit degeneratif” yang disebabkan akibat penurunan fungsi sel didalam tubuh. Penurunan fungsi sel ini pada akhirnya juga akan menyebabkan terganggunya fungsi organ secara keseluruhan. Penuaan merupakan salah satu pemicu timbulnya penyakit degneratif yang sering atau secara umum terjadi. Usia yang semakin bertambah membuat fungsi jaringan serta organ pada tubuh ikut menjadi tua atau turun. Karenanya penderita “penyakit degeneratif” kebanyakan adalah orang - orang yang telah lanjut usia.2 Pengobatan “penyakit degeneratif” di negara – negara maju seperti Amerika telah mengalami paradigma yang mana mulanya dilakukan secara konvensional dengan pemberian obat – obatan klinis kini beralih pada terapi berbasis sel atau yang lebih di kenal dengan terapi “stem cell” atau sel punca.3

Yang dinamakan punca ialah sel yang berada didalam manusia yang mempunyai kemampuan khusus dalam memperbarui/meregenerasi dirinya sendiri serta mampu berdiferensiasi membentuk sel lainnya dengan spesifik. Sel punca memiliki manfaat, yaitu untuk menyembuhkan “penyakit degeneratif” yang di sebabkan karena adanya kerusakan sel di dalam tubuh. Berdasarkan jenisnya sel punca dapat digolongkan dua jenis meliputi sel punca embrionik (Embryonic Stem Cekk) serta sel punca non-embrionik (Non-Embryonic Stel Cell). Untuk sel punca embrionik ialah sel yang diambil melalui embrio manusia yang berasal dari “inner cell mass” berumur 3 sampai 5 hari setelah masa pembuahan. “Inner cell mass” adalah sekumpulan sel yang terdapat dalam “blastokista” yang memiliki kemampuan untuk berkembang secara terus menerus untuk diarahkan “berdiferensiasi” menjadi sel baru. Sel punca embrionik adalah cikal

bakal seluruh macam bentuk sel yang berada pada tubuh manusia semacam sel darah, sel hati, sel otot, sel ginjal serta sel lainnya. Untuk sel punca non-embrionik merupakan sel punya dengan sumbernya tidak berasal dari embrio manusia yang didapat dari jaringan dewasa yang ada di dalam tubuh manusia.4

“Stem cell” atau sel punca merupakan salah satu penemuan besar dibidang bioteknologi yang sekaligus menjadi investasi dan aset besar dalam dunia kesehatan. Bioteknologi merupakan cabang ilmu pengetahuan berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam dunia kesehatan mencakup pemanfaatan sel hidup, yaitu kultur jaringan, mikroorganisme dan enzims guna menciptakan alat diagnostic suatu pengobatan. 5

Banyaknya manfaat yang didapat dari penggunaan sel punca dalam dunia kesehatan tidak diiringi dengan kejelasan regulasi yang mengatur penggunaannya. Penggunaan sel punca secara yuridis diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 mengenai Kesehatan (yang selanjutnya disingkat UU Kesehatan) Pasal 64 dan Pasal 70. Pasal 64 UU Kesehatan menyatakan:

  • (1)    Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan reko nstruksi, serta penggunaan sel punca.

  • (2)    Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.

Pada bagian penjelasan Pasal 70 UU Kesehatan menjelaskan bahwa sel punca yang dimaksud dengan ketentuan dalam hal ini yaitu sel didalam tubuh manusia yang memiliki kemampuan yang khusus atau istimewa ialah mampu memperbarui atau meregenerasi dirinya sendiri serta mampu berdiferensiasi membentuk sel lainnya secara spesifik. Pasal 70 UU Kesehatan menjelaskan juga bahwa sel punca tidak boleh dipergunakan dengan tujuan reproduksi serta untuk upaya menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan sel punca yang digunakan tak boleh bersumber dari sel punca jenis embrionik.

Larang penggunaan sel punca embrionik selain diatur dalam Pasal 70 UU Kesehatan, juga terdapat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 834/MENKES/SK/IX/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca (yang selanjutnya di singkat menjadi KEPMENKES Nomor 834 Tahun 2009) dalam keputusan menteri tersebut larangan penggunaan sel punca embrionik diatur dalam Bagian II tentang Pengertian Pelayanan Sel Punca, huruf B yang mengatur tentang filsafah pada poin ke 5 menyatakan “Reproductive stem cells”, sel punca embrionik pluripoten dan totipoten dilarang karena mengganggu martabat manusia”, selain itu larangan penggunaan sel punca embrionik juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel (yang 5 selanjutnya disingkat menjadi PERMENKES Nomor 32 Tahun 2018) pada Pasal 6 yang menyatakan :

  • (1)    Jenis Sel Punca terdiri atas :

  • a.    Sel Punca embrionik; dan

  • b.    Sel Punca non embrionik.

  • (2)    Sel Punca embrionik sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilarang digunakan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Dilihat dari tiga regulasi tersebut, baik dalam UU Kesehatan, KEPMENKES Nomor 834 Tahun 2009 dan PERMENKES Nomor 32 Tahun 2018 terkait ancaman sanksi penyalahgunaan sel punca embrionik hanya mendapat ancaman secara administratof sesuai yang ada pada Pasal 37 PERMENKES Nomor 32 Tahun 2018, yaitu berupa sebuah teguran secara lisan, tertulis serta dicabutnya penentapan penyelenggaraan pelayanan terapi dengan sel punca atau berupa cabutan izin operasional rumah sakit serta klinik utamanya.

Penerapan sanksi administratif dalam rangka penegakan larangan penggunaan sel punca embrionik rasanya kurang tepat untuk dilakukan karena dalam sanksi administratif terkait subyek hukum yang dimaksud sifatnya terbatas hanya meliputi dokter, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan penyelenggara pelayanan terapi sel punca. Maka dari itu diperlukan suatu instrument hukum pidana untuk merumuskan suatu sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap penyalahgunaan sel punca embrionik di Indonesia.

Hal – hal yang menjadi dasar pertimbangan penggunaan instrumen hukum pidana dalam menegakan larang penggunaan sel punca embrionik di Indonesia adalah bahwa penggunaan sel punca embrionik merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, nilai keagama, etik, moral dan harkat martabat sebagai manusia. Orisinalitas penelitian ini ditunjukan dengan perbedaan dengan penelitian sebelumnya karya Naroeni, Aroem6 yang membahas mengenai sel punca, adapun perbedaannya terletak pada objek kajiannya. Objek kajian penelitian ini terletak pada pengaturan hukum positif di Indonesia terhadap penggunaan sel punca dan ketentuan sanksi penggunaan sel punca.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana Pengaturan Hukum positif di Indonesia terkait dengan penggunaan Sel Punca ?

  • 2.    Bagaimana ketentuan sanksi pidana terkait penggunaan sel punca dalam tindak pidana aborsi ?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Jurnal ini bertujuan untuk mengkaji dan menganlisa terkait pengaturan hukum positif di Indonesia mengenai sel punca dan bagaimana ketentuan sanksi pidana terkait penggunaan sel punca dalam tindak pidana aborsi.

  • II.    Metode Penelitian

Dalam menyusun penelitian ini digunakan sebuah metode yaitu metode hukum normatif. Metode penilitian hukum normative merupakan sebuah penelitian yang berguna dalam menganalisis peraturan hukum yang ada, prinsip hukum dan hukum dalam bentuk doktrin dengan tujuan untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Fokus dari substansi isu hukum yang dihadapi penelitian hukum normatif, yaitu meliputi norma kosong, norma kabur dan norma konflik. Metode penelitian hukum normatif digunakan dalam menganalisis adanya kekosong norma hukum. Kekosongan norma hukum adalah suatu keadaan dimana didalam sistim hukum yang ada belum memiliki norma dari suatu aturan perundang-undangan yang bisa diterapkan di peristiwa hukum atau sengketa hukum yang kongkrit. Kekosongan norma hukum dalam permasalah ini berkaitan belum adanya sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap penyalahgunaan sel punca embrionik di Indonesia.7

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Pengaturan Hukum Positif di Indonesia Terkait Dengan Penggunaan Sel Punca

Di dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) secara jelas dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan Berdasarkan Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan dinyatakan bahwa :

Pasal 66

Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.

Pasal 67

  • (1)    Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

  • (2)    Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 70

  • (1)    Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.

  • (2)    Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik.

  • (3)    Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Sel punca embrionik (Embryonic Transplantasi sel punca) mempunyai sifat sebagai berikut:

  • 1.    Pluripoten, artinya sel punca ini mempunyai kemampuan berdifferensiasi menjadi sel-sel yang merupakan turunan dari 3 lapis germinal, tetapi tidak dapat membentuk membran embrio (tali pusat dan plasenta)

  • 2.    Immortal artinya dapat berumur panjang sehingga dapat memperbanyak diri ratusan kali pada media kultur. Mereka merupakan sumber sel-sel yang belum berdifferensiasi. Sel punca embrionik dulu dipikirkan dapat memperbanyak diri sendiri secara tak terbatas, tetapi kini diketahui bahwa usia dan perbanyakan diri sendiri sel-sel stem juga ada batasnya. Hal ini disebabkan karena terjadinya mutasi pada gen-gen pada sel stem yang diakibatkan karena pengaruh nutrisi dalam medium kultur.

  • 3.    Mempunyai karyotipe yang normal

  • 4.    Dapat bersifat tumorigenik artinya setiap kontaminasi dengan sel yang tak berdifferensiasi dapat menimbulkan kanker Human Embryonic Transplantasi Stem Cell (hESC) project merupakan penelitian yang ditujukan untuk melakukan duplikasi sel blastokista sehingga dapat digunakan dalam pengobatan sel (therapeutic cloning). Sumber embryo pada penelitian ini biasanya adalah embryo sisa prosedur fertilisasi in vitro pada proses reproduksi buatan (bayi tabung).8

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoneia Nomor 833/MENKES/PER/IX/2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca di Indonesia adalah sebagai berikut : Sumber sel punca yang dipergunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan adalah sel punca non embrionik yang berasal dari donor manusia, dan dilarang untuk diperjualbelikan. Donor sel punca adalah bersifat sukarela tanpa pamrih .

Sel punca hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan pelayanan medik bagi donor itu sendiri atau orang lain atau untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan mendapat persetujuan dari donor yang bersangkutan.

Setiap pengambilan sel punca dari donor terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari donor dan dilaksanakan sesuai ketentuan perundangundangan dan hanya dapat dilakukan oleh Rumah Sakit Pendidikan yang telah memiliki kemampuan dan persyaratan dalam pelayanan medik sel punca yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.

Pengambilan sel punca hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis yang mempunyai keahlian dan kompetensi serta dilaksnakan sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur yang ditetapkan serta dengan memperhatikan keselamatan donor dan etika profesi.

Sel punca yang diambil dari donor dapat disimpan pada Bank Sel Punca Rumah Sakit atau pada Bank Sel Punca diluar Rumah Sakit yang sudah mendapat izin dari Menteri Kesehatan dengan perjanjian tertulis. 9

Dalam rangka menjamin mutu pelayanan sel punca pada setiap fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan audit secara berkala minimal 2 kali setahun oleh Komite Nasional Sel Punca. Setiap fasilitas pelayanan medis sel punca harus melakukan pencatatan dan

pelaporan semua kegiatan yang berhubungan dengan donasi, pengambilan, pengelolaan, penyimpanan, pendistribusian dan pemberian sel punca dalam penyelenggaraan pelayanan sel punca. Pembinaan dan pengawasan pealyanan medis sel punca dilakukan oleh Menteri, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Organisasi Profesi terkait sesuai tugas, fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing dibantu oleh Komite Nasional Sel Punca

Sanksi administratif dapat diambil oleh Menteri terhadap tenaga kesehatan dan atau fasilitas kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundangundangan yang berlaku dengan cara teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin praktek dan atau izin fasilitas penyelenggaraan pelayanan sel punca.10

  • 3.2.    Ketentuan Sanksi Pidana Terkait Penggunaan Sel Punca Dalam Tindak

Pidana Aborsi

Aborsi merupakan akhir dari masa hamilnya seseorang wanita dengan dikeluarkannya janin atau embrio sebelum mempunyai kemampuan dalam mempertahankan hidupnya di luar Rahim yang akibatnya menimbulkan kematian.11 Menurut William Cang aborsi adalah pentiadaan buah dari kandungan yang notabene masih hidup dari sebuah Rahim seorang ibu dengan campur tangan manusia sebelum waktunya untuk lahir dengan kata lain dibunuh. Pentiadaan dalam hal tersebut merupakan perbuatan membunuh, mematikan atau memutus hidup manusiawi sebelum waktu kelahirannya.12

Menurut hukum positif Indonesia tindak pidana aborsi diatur dalam ketentuan Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang- Undang Kesehatan. Berikut beberapa pasal dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dan Undang – Undang Kesehatan yang mengatur mengenai tindak pidana aborsi :

Pasal 346 KUHP menyatakan :

“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam pidana penjara paling lama empat tahun”

Pasal 347 KUHP menyatakan :

  • (1)    Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

  • (2)    Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348 KUHP menyatakan :

  • (1)    Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

  • (2)    Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 KUHP menyatakan :

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan :

  • (1)    Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

  • (2)    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

  • a.    indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

  • b.    kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Tidak semua perbuatan aborsi merupakan tindak pidana, hal tersebut bergantung pada jenis aborsi yang dilakukan. Jenis aborsi dalam dunia medis dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

  • 1.    Abortus Spontaneous

Abortous Spontaneous merupakan aborsi dengan penyebab bukan karena adanya faktor secara mekanis atau medis melainkan seolah-olah penyebabnya karena adanya faktor secara alami. Aborsi secara spontan ini biasanya terjadi pada kehamilan yang masih muda. Hal tersebut bisa terjadi ditandai dengan gangguan penyakit yang diderita oleh sang ibu diantaranya : panas yang tinggi, sipilis, kesalahan pada genetik, gangguan hormonal selama mengandung.13

  • 2.    Abortus Provocatus

Abortus porvocatus merupakan jenis aborsi yang dilakukan dengan sengaja menggunakan peralatan ataupun obat-obatan yang dapat menggugurkan kandungan. Aborsi yang dilakukan dengan sengaja ini dapat dibagi 2 jenis:

  • a.    Abortus Provocatus Medicinalis merupakan jenis aborsi dengan atas dasar adanya indikator kedaruratan secara medis, seperti semisal tindakan aborsi yang diambil akan menancam nyawa sang ibu. Jenis aborsi ini memiliki persyaratan untuk masuk ke dalam indikasi kedaruratan medis, meliputi: tidakan dilakukan oleh dokter atau tenaga medis yang mempunyai keahlian yang sesuai pada tanggung jawab profesinya, diharuskan adanya dasar pertimbangan dari tim ahli (ahli medis, psikolog, agama serta hukum), adanya persetujuan secara tertulis oleh penderita dan suaminya ataupun keluarga terdekat, dilakukannya pada sarana kesehatan dengan tenaga dan fasilitas yang memadai, prosedurnya tidak dirahasiakan dan dokumen medis harus lengkap.

  • b.    Abortus Provocatus Criminalis adalah sebuah penghentian kehamilan sebelum proses hasil konsepsi dilahirkan tanpa adanya perhitungan berapa umur dari bari yang ada dalam kandungan serta janin dilahirkan dengan keadaan mati atau hidup. Aborsi jenis ini adalah suatu tindakan yang dilakukan secara ilegal dan tidak berdasar atas adanya indikasi kedaruratan medis karena hal tersebut maka aborsi ini tergolong sebagai tindakan kriminal.14

Penggunaan sel punca embrionik memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan tindakan pidana aborsi karena aborsi merupakan salah satu cara untuk mendapatkan embrio sebagai bahan dasar sel punca embrionik. Tindakan aborsi ini dilakukan apabila proses pembuahan dari sel sperma dan sel telur terjadi di dalam tubuh manusia (in vivo). Tindakan aborsi yang dilakukan untuk mendapatkan embrio sebagai bahan dasar sel punca embrionik merupakan perbuatan yang termasuk tindak pidana, hal ini karena aborsi yang dilakukan untuk tujuan mendapatkan embrio tersebut dilakukan dengan cara – cara yang ilegal, disengaja dan tanpa didasari adanya indikasi kedaruratan medis terlebih dahulu sehingga perbuatan tersebut termasuk tindak pidana aborsi. Dari hal tersebut sangatlah jelas bahwa penggunaan sel punca embrionik secara langsung mendorong terjadinya tindak pidana aborsi.

Aborsi yang dilakukan dengan sengaja untuk keperluan pengambilan embrio sebagai bahan sel punca embrionik adalah perbuatan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan nilai hidup manusia.15 Setiap manusia, termasuk embrio yang masih berada didalam kandung memiliki hak dasar untuk hidup yang sama dengan manusia lainnya. Kedudukan embrio dalam hal ini termasuk sebagai subyek hukum yang rentan (vulnerable), mereka sangat rawan menjadi korban tindakan – tindakan kejahatan. Kehidupan embrio yang masih bergantung pada sang ibu menyebabkan setiap keputusan yang terkait kepentingannya secara tidak langsung diwakilkan oleh sang ibu, hal ini menyebabkan terjadi eksploitasi terhadap hak kebebasan dan otonomi dari embrio tersebut.16

Beberapa pasal yang mengatur mengenai tindak pidana aborsi baik dalam KUHP maupun UU Kesehatan hanya mengatur perlindungan hukum bagi embrio dan janin

yang telah berada dalam kandungan dan pembuahannya terjadi di dalam tubuh (in vivo) sedangkan untuk pembuahan yang terjadi di luar tubuh (in vitro) dan embrio yang berasal dari sisa pembuahan bayi tabung (spare embryo) kedudukannya belum secara jelas dilindungi dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia.17 Hal ini menyebabkan adanya kekosongan norma hukum terhadap pemanfaatan embrio yang berasal dari pembuahan yang terjadi diluar tubuh (in vitro) dan embrio yang dihasilkan dari sisa pembuahan bayi tabung. Belum adanya instrument hukum yang memberikan perlindungan terhadap embrio yang dihasilkan dari pembuahan diluar tubuh dan embrio yang berasal dari sisa pembuahan bayi tabung dikawatirkan hal ini dapat memberikan peluang terhadap pihak – pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk mendapatkan sel punca embrionik secara ilegal dengan memanfaatkan celah – celah hukum yang ada.

IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Berbagai macam permasalah hukum penggunaan sel punca embrionik di Indonesia, meliputi a) Penggunaan sel punca embrionik di Indonesia secara konstitusional bertentangan dengan ketentuan Pasal 28A UUD NRI 1945 yang mengatur mengenai hak untuk hidup. Penggunaan sel punca embrionik yang dilakukan dengan menghancurkan embrio akan mengakibatkan matinya embrio tersebut sehingga menghilangkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembangan menjadi manusia. b) Aborsi merupakan salah satu cara mendapatkan embrio sebagai bahan dasar sel punca embrionik tetapi hal ini juga termasuk sebagai suatu tindak pidana. Selain itu, peraturan perundangan – undangan di Indonesia tidak mengatur mengenai larangan penggunaan embrio yang berasal dari pembuahan “in vitro” dan sisa pembuahan bayi tabung sehingga hal ini dapat menjadi celah hukum untuk dapat menggunakan sel punca embrionik secara ilegal.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Cet. VIII, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2013), 93

Susanti, Yuli. Perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana aborsi (Abortus provocatus) korban perkosaan. Bandung Islamic University, 2012.

KARYA ILMIAH

I Nyoman Bagiastra dan Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, 2017, “Sel Punca Embrionik Dalam Aspek Yuridis dan Etika Biomedis”, Hibah Penelitian Unggulan Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

JURNAL

Hartono, Budiman. "Sel Punca: Karakteristik, Potensi dan Aplikasinya." Jurnal Kedokteran Meditek (2016).

Kusnadi, Febefitriany, and Hery Firmansyah. "Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Perkosaan Inses Yang Melakukan Aborsi Pada Tingkat Pemeriksaan Pengadilan (Studi Kasus Putusan Nomor 5/Pid. Sus. Anak/2018/PN. Mbn.)." Jurnal Hukum Adigama 2, no. 2 (2019): 459-481.

Mahayana, Kadek Jiyoti, I. Nyoman Putu Budiartha, and I. Made Minggu Widyantara. "Tindak Pidana Pengguguran Kandungan Oleh Korban Perkosaan Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Konstruksi Hukum 2, no. 1 (2021): 138-143

Maramis, Willy F. "Bioetika dan Bioteknologi dalam Dunia Modern." JURNAL WIDYA MEDIKA 1, no. 2 (2013): 141-150.

Naroeni, Aroem. "Sel Feeder Dan Conditioned Medium Untuk Kultur Sel Punca Embrionik Mencit Sebagai Model Untuk Propagasi Sel Punca Embrionik." Indonesian Journal of Biotechnology and Biodiversity 1, no. 2 (2017).,

Saifulloh, Moh. "Aborsi dan resikonya bagi perempuan (dalam pandangan hukum Islam)." Jurnal Sosial Humaniora (JSH) 4, no. 1 (2011): 13-25.

Sudjana, Sudjana. "Legal Aspects the Use of Deoxyribonucleic Acid (Dna) on Human Embryo Cloning Process." Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat 6, no. 3 (2015): 58030.

Tursina, Alya. "Terapi transplantasi sel punca sebagai upaya pelayanan kesehatan di Indonesia dalam perspektif hukum kesehatan dan hukum islam." Aktualita 2, no. 1 (2019): 59-86.

Wert, Guido de, and Christine Mummery. "Human embryonic stem cells: research, ethics and policy." Human reproduction 18, no. 4 (2003): 672-682.

INTERNET

Alodokter, 2018, “Mengganti Sel Yang Rusak Dengan Transplantasi Sel Punca”, URL : https://www.alodokter.com/mengganti-sel-yangrusak-dengan-transplantasi-sel-punca, di akses pada tanggal 28 Januari 2020

Saiful Anam, 2017, “Pendekatan Perundangan – Undangan Dalam Penelitian Hukum”, URL : https://www.saplaw.top/pendekatanperundang-undangan-statute-approach-dalam-penelitian-hukum/, di akses pada tanggal 29 Maret 2019.

Risky Candra Swari, 2018, “Memahami Penyakit Degeneratif Beserta Jenis – Jenisnya”, URL :       https://www.google.co.id/amp/s/hellosehat.com/hidup-

sehat/tipssehat/penyakit-degeneratif/amp/ , di akses pada tanggal 23 Juli 2019.

Wikipedia, 2015, “Stem Cell Law and Policy In The United States”, URL : https://en.m.wikipedia.org/wiki/Stem_cell_laws_and_policy_in_th e_United_States, di akses pada tanggal Minggu, 5 Januari 2020.

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana / Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1160

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan / Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2018 tetang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel

Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 834/MENKES/SK/IX/2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca

Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 834/MENKES/SK/IX/2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 4 Tahun 2022, hlm. 747-758