PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN FINANCIAL TECHNOLOGY DI INDONESIA: INOVASI

DAN TANTANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Arrely Syamsa Kartika , Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Dewa Gde Rudy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i07.p2

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen dan perusahaan fintech dalam transaksi pinjaman elektronik, terutama dalam ihwal kerahasiaan data konsumen serta implementasinya. Serta menjabarkan tentang inovasi dan tantangan yang harus dihadapi oleh Otoritas Jasa Keuangan, terutama dalam menerbitkan kebijakan dan yang lebih spesifik, tak hanya sekedar pengawasan saja. Penelitian ini merupakan yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan nasabah sebagai konsumen dari pelaku usaha yang bergerak di bidang financial technology diakomodir dengan adanya PJOK No.77/POJK.01/2016. Selain itu,untuk menjawab tantangan berupa penyeimbangan antara peningkatan inklusi keuangan dan manajemen risiko, peningkatan pemahaman masyarakat tentang layanan fintech, infrastruktur, dan sebagainya, OJK telah berinovasi dengan mendirikan Gesit (Gerbang Elektronik Sistem Informasi Keuangan Digital) sebagai Inovasi Keuangan Digital (IKD) pada tahun 2018.

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Teknologi Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan.

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the legal protection for consumers and fintech companies in electronic loan transactions, especially regarding the confidentiality of consumer data and its implementation. It also describes the innovations and challenges that must be faced by the Financial Services Authority, especially in issuing policies and more specifically, not just monitoring. This research is a normative juridical approach with a law (statue approach) and a conceptual approach (conceptual approach). The results of this study indicate that the protection of customers as consumers from business actors engaged in financial technology is accommodated by the existence of PJOK No.77/POJK.01/2016. In addition, to answer challenges in the form of balancing increased financial inclusion and risk management, increasing public understanding of fintech services, infrastructure, and so on, OJK has innovated by establishing Gesit (Electronic Gate for Digital Financial Information Systems) as Digital Financial Innovation (IKD) in year 2018.

Key Words: Consumer Protection, Financial Technology, Financial Services Authority

  • I.   Pendahuluan

    1.1  Latar Belakang

Perusahaan Financial technology (selanjutnya disebut  fintech)   dalam

perkembangannya secara global telah menerima investasi mencapai 17,4 miliar dolar pada tahun 2018. Sepertiga konsumen fintech di seluruh dunia telah menggunakan

lebih dari satu layanan fintech, artinya 4 persen pelanggan mengetahui sistem layanan fintech sehingga meningkat 22% dari tahun sebelumnya. Secara garis besar, fintech diartikan sebagai inovasi teknologi baru di bidang jasa keuangan. Kehadiran fintech telah menggeser sistem pasar keuangan konvensional sehingga konsumen lebih banyak menggunakan sistem keuangan berbasis digital. Kehadiran fintech melibatkan perusahaan startup dalam prosesnya sehingga banyak bank dunia termasuk HSBC dan Credit Suisse juga mengembangkan dan mengimplementasikan program fintech mereka.1

Sistem layanan fintech menawarkan penyaluran dana melalui peer-to-peer, di mana konsumen hanya dapat melakukan transaksi berbasis digital melalui aplikasi yang tersedia oleh perusahaan fintech. Aplikasi layanan menjadi terobosan keuangan digital yang ditujukan bagi konsumen di era revolusi industri 4.0. Kehadiran fintech di Indonesia telah menarik konsumen untuk mendapatkan dana dengan mudah dengan proses yang cepat tanpa harus menunggu dan melengkapi dokumen secara konvensional. Perusahaan fintech di Indonesia mengalami peningkatan selama beberapa tahun. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta. Tingginya pengguna layanan internet di Indonesia turut meningkatkan pertumbuhan perusahaan fintech. Kepala Sub Bagian Perizinan fintech, Direktorat Pengaturan, Pengawasan dan Perijinan fintech Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) Alvin Taulu menyatakan “Kemudahan sistem layanan berbasis teknologi telah menghasilkan penerimaan negara dari manfaat fintech loan dengan proses pelunasan yang baik. Data lainnya adalah peningkatan jumlah perusahaan fintech yang memiliki izin dan terdaftar di OJK per Februari 2020 sebanyak 161 perusahaan.”2

Dalam implementasinya ternyata bisnis fintech memiliki potensi risiko, potensi risiko lebih dari dua risiko keamanan data konsumen dan risiko kesalahan transaksi. Data pribadi adalah data pribadi tertentu yang disimpan, dipelihara dan dilindungi kebenarannya serta dilindungi kerahasiaannya. Pelaksanaan izin data pribadi dalam sistem elektronik harus didasarkan pada prinsip menghormati data pribadi sebagai privasi. Kedua risiko tersebut kemudian akan membawa kerugian bagi masing masing pihak dalam bisnis fintech. Munculnya penyadapan, pembobolan, dan cybercrime dalam transaksi keuangan perbankan membuat masyarakat ragu untuk melakukan transaksi online.

Peneliti telah melakukan research terlebih dahulu, dan ditemui beberapa penelitian dengan topik yang serupa. Hal ini dapat digunakan sebagai rujukan serta bahan komparasi pada penelitian ini.

Pertama, pada Open Journal System (OJS) Kertha Wicara. Made Andina Sinta Devi sebagai penulis pertama bersama dengan I G A Ari Krisnawati sebagai penulis kedua mengangkat judul “Peranan OJK Tentang Penyelenggaraan Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi ( Equity Crowdfunding)” Jurnal ini membahas tentang peranan serta kendala penerapan peraturan OJK, terutama pada linimasa pandemi.

Berbeda dengan hal tersebut, pada penelitian ini membahas secara lebih general serta sistematis bagaimana bentuk payung hukum terhadap nasabah sebagi konsumen dari layanan pinjaman berbasis teknologi. Selain itu juga pada penilitian ini menjabarkan terkait dengan tantangan apa saja yang dihadapi OJK dalam fenomena transaksi pinjaman berbasis teknologi ini, serta inovasi yang diupayakan untuk menanggulangi hal tersebut.

Kedua, dari salah satu jurnal online yang dimuat dalam OJS Universitas Diponegoro. Raden Ani Eko Wahyuni sebagai penulis pertama bersama dengan Bambang Eko Turisno membuat suatu peneilitian dengan judul “Praktik Finansial Teknologi Ilegal dalam Bentuk Pinjaman Online Ditinjau dari Etika Bisnis” Dalam jurnal ini bertujuan untuk meneliti praktik pinjaman online yang dijalankan secara illegal ditinjau berdasarkan etika bisnis. Berkaitan dengan tujuan penulisan jurnal tersebut, sudah pasti fokus penelitian adalah perusahaan pelaksana dari pinjaman online secara illegal. Hal ini tentu berbeda dengan penelitian ini, yang berfokus pada perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai konsumen, juga pada Otoritas Jasa Keuangan.

Dari penjabaran di atas, maka penulis membuat suatu penelitian dengan judul “Perlindungan Konsumen dan Perusahaan Financial Technology di Indonesia: Inovasi dan Tantangan Otoritas Jasa Keuangan”

  • 1.2    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  • 1)    Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi pinjaman berbasis teknologi (fintech) ?

  • 2)    Apa inovasi dan tantangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi dan mengeluarkan regulasi terkait dengan fintech ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen dan perusahaan fintech dalam transaksi pinjaman elektronik, terutama dalam ihwal kerahasiaan data konsumen serta implementasinya. Serta menjabarkan tentang inovasi dan tantangan yang harus dihadapi oleh Otoritas Jasa Keuangan, terutama dalam menerbitkan kebijakan dan yang lebih spesifik, tak hanya sekedar pengawasan saja.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). 3 Teknik pengumpulan hukum primer dilakukan dengan mengumpulkan peraturan OJK tentang perusahaan fintech, dan perlindungan konsumen. Sedangkan teknik pengumpulan hukum sekunder adalah konsep atau teori yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dilengkapi dengan daftar pustaka.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Pinjaman

Berbasis Teknologi (fintech)

Mengutip pendapat Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,S.H.,M.H yang menyatakan bahwa “perlindungan hukum adalah memberi pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan oleh orang lain.” Dalam rangka penegakan peraturan hukum, perlu kiranya diberikan payung hukum kepada pihak yang bertindak sebagai subjek hukum. Tentunya payung hukum tersebut berlandaskan aturan hukum yang berlaku, dan bersifat prefentif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun tidak tertulis.

Penegakan hukum dapat dimaknai sebagai serangkaian tindakan yang tujuannya adalah “mewujudkan konsep ideal (das sein) menjadi suatu realitas (das sollen)”, sehingga “harus ada lembaga yang diorganisasikan untuk melaksanakan tugas itu.”

Dalam transaksi pinajaman berbasis teknologi, nasabah debitur bertindak sebagai konsumen dari layanan pinjaman yang diberikan oleh pihak perusahaan fintech. Sehingga payung hukum terkait dengan perlindungan konsumen juga berlaku dalam kasus ini.

Perlindungan konsumen umumnya dijelaskan dengan konsep bahwa konsumen merupakan pihak yang lebih lemah. Konsumen dianggap lebih lemah dari mitra kontrak, profesional, dan dianggap tidak dapat melindungi kepentingannya karena daya tawar yang lebih rendah. 4 Menggambarkan sesuatu sebagai undang-undang perlindungan konsumen menyiratkan bahwa ada seseorang yang dapat diidentifikasi sebagai konsumen meskipun pembeli pribadi barang mungkin adalah konsumen paradigmatik kita, itu telah bergabung dengan banyak pelaku ekonomi lain yang dapat mengklaim sebagai bagian dari kelompok yang beragam itu. Akibatnya, ada kesulitan awal untuk mengidentifikasi materi pelajaran kami. Untuk itu pemerintah Tanzania mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang yang membeli penawaran untuk membeli barang atau jasa selain untuk dijual kembali tetapi tidak termasuk orang yang membeli barang atau jasa untuk menggunakannya dalam produksi atau pembuatan barang atau artikel untuk dijual.5

Perlindungan konsumen adalah perlindungan barang dan jasa pembeli terhadap produk dan iklan yang berkualitas rendah atau berbahaya yang menipu orang. 6 Perlindungan hukum adalah suatu tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang oleh penguasa, bukan oleh aturan hukum untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman agar manusia dapat menikmati harkat dan martabatnya sebagai manusia. Perlindungan hukum tidak akan terwujud jika keadilan belum ditegakkan. Keadilan yang disetujui oleh hak, dilakukan secara adil dan jujur, yang bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan hukum positif, untuk menegakkan keadilan dalam hukum yaitu oleh rakyat yang ingin tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus dibangun oleh cita-cita (Rechtidee) dalam negara hukum (Rechtsstaat),

bukan negara kekuasaan (Machtsstaat). Hukum berjalan sebagai komitmen terhadap manusia, penegakan hukum harus memperhatikan 4 unsur7:

  • 1)  Kepastian hukum (Rechtssicherkeit)

  • 2)  Manfaat hukum (Zeweckmassigkeit)

  • 3)    Keadilan Hukum (Gerechtigkeit)

  • 4)    Jaminan hukum (Doelmatigkeit)

Az Nasution membedakan pengertian antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, hukum konsumen adalah keseluruhan asas dan aturan yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan jasa) antara penyedia dan pengguna, dalam kehidupan masyarakat. masyarakat. Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas asas dan kaidah aturan yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen (barang dan jasa) antara penyedia dan pengguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, batas-batas hukum perlindungan konsumen sebagai bagian khusus dari hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah aturan yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan pemakai dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan batasan hukum dari Perlindungan konsumen sebagai bagian khusus dari hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan pemakai dalam kehidupan bermasyarakat.8

Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan intervensi negara untuk melindungi konsumen individu dari praktik bisnis yang tidak adil (unfair business practice).9 Ketertarikan aspek hukum publik dan privat dalam hukum perlindungan konsumen memilih posisi UU perlindungan konsumen tergantung pada kajian hukum ekonomi. 10 Masalah perlindungan konsumen bukan semata mata individu tetapi masalah bersama dan masalah nasional karena pada dasarnya setiap orang adalah konsumen. Oleh karena itu, melindungi konsumen adalah melindungi semua orang. Dengan demikian, masalah perlindungan hukum konsumen merupakan masalah hukum nasional. Ada empat alasan utama mengapa konsumen perlu dilindung11:

  • 1)    Melindungi konsumen sama dengan melindungi segenap bangsa yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional dengan berpedoman pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  • 2)    Melindungi kebutuhan konsumen untuk menghindari konsumen dari pengaruh negatif penggunaan teknologi.

  • 3)    Melindungi konsumen perlu menumbuhkan manusia yang sehat rohaniah, sehat jasmani sebagai pelindung pembangunan yang berarti serta untuk menjaga keberlanjutan pembangunan nasional.

  • 4)    Melindungi kebutuhan konsumen untuk mendapatkan sumber dana pembangunan yang diterima dari masyarakat konsumen.

Keseimbangan perlindungan hukum bagi pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari pengaturan hubungan hukum antara para pihak. Menurut Bellefroid, pada umumnya hubungan hukum baik publik maupun privat didasarkan atas asas kebebasan, persamaan, dan solidaritas. Orang bebas berbuat dengan dibatasi oleh keinginan orang lain atau prinsip persamaan, mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum untuk melaksanakannya dan memperkuat hak. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama kepada individu. Sedangkan prinsip solidaritas sebenarnya merupakan kebalikan dari prinsip kebebasan. Jika asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seolah-olah setiap individu sepakat untuk terus mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus kelangsungan hidup manusia. Melalui prinsip solidaritas yang dikembangkan bersifat privat dengan alasan mempertahankan kehidupan manusia. 12 Dalam hubungan ini, kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam asas keseimbangan di atas, yang sekaligus merupakan ciri khas dari apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi.

Sejak menerapkan konsep negara kesejahteraan (welfare state), Indonesia telah ikut campur dalam perekonomian rakyat melalui berbagai kebijakan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Penataan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham negara modern melalui negara kesejahteraan, tidak lagi menemukan pengelolaan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif dalam suatu negara, pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab atas memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam pembangunan Nasional. Dengan demikian, keterlibatan pemerintah Indonesia dapat dilihat dari isi pembukaan dan pasal 33 UUD 1945, serta dalam GBHN dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi peraturan pelaksanaannya, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pasal 2 UU No.8/1999 jelas dapat diidentifikasikan dalam konteks pembangunan nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sementara itu, Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 khusus mengatur perlindungan konsumen fintech, yang merupakan implementasi Pasal 4 Undang-Undang OJK bahwa Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan jasa keuangan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur. , adil, transparan, dan akuntabel, serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 8 Tahun 1999 secara jelas dapat diidentifikasi dalam konteks pembangunan nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sementara itu, Peraturan OJK No. 1/ POJK.07/2013 khusus mengatur perlindungan konsumen fintech, yang merupakan implementasi Pasal 4 Undang-Undang OJK bahwa Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan jasa keuangan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur. , adil, transparan, dan akuntabel, serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 8 Tahun 1999 secara jelas dapat diidentifikasi dalam konteks

pembangunan nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sementara itu, Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 khusus mengatur perlindungan konsumen fintech, yang merupakan implementasi Pasal 4 Undang-Undang OJK bahwa Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan jasa keuangan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur. , adil, transparan, dan akuntabel, serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Dalam yurisdiksi peraturan negara yang menyediakannya, perlindungan konsumen adalah sekelompok undang-undang dan organisasi yang dirancang untuk menjamin hak-hak konsumen serta perdagangan yang adil, persaingan, dan informasi yang akurat di pasar. Undang-undang dirancang untuk mencegah bisnis yang terlibat dalam penipuan tertentu praktik tidak adil dari mendapatkan keuntungan atas pesaing. Oleh karena itu, mereka juga dapat memberikan perlindungan tambahan kepada mereka yang paling rentan di masyarakat. Padahal, UU Perlindungan Konsumen merupakan bentuk peraturan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen. Pemerintah mungkin mengharuskan bisnis untuk mengungkapkan informasi rinci tentang produk terutama di area di mana keselamatan atau kesehatan masyarakat menjadi masalah. Dengan demikian, Perlindungan Konsumen terkait dengan gagasan hak hak konsumen dan pembentukan organisasi konsumen, yang membantu konsumen, membuat pilihan yang lebih baik di pasar dan mendapatkan bantuan untuk keluhan konsumen.

Bank hampir tidak menerima calon nasabah yang berpenghasilan rendah dan tidak berpengalaman, meninggalkan mereka dengan sedikit pilihan. Peminjam beralih ke swasta pemberi pinjaman uang informal. Pemberi pinjaman memangsa status peminjam yang berpenghasilan rendah dan kurangnya keamanan untuk mengeksploitasi mereka. Masuknya uang tunai secara instan dari pemberi pinjaman memecahkan masalah peminjam segera tetapi memicu siklus ketidakmampuan untuk membayar dan berkontribusi pada meningkatnya hutang. Kapasitas keuangan yang buruk dan beban suku bunga tinggi yang terakumulasi dari waktu ke waktu, menjebak peminjam dan mendorong hutang yang berlebihan. Peminjam terikat pada produk keuangan mahal yang mengurangi prospek ekonomi mereka. Oleh karena itu, penetapan batas suku bunga melalui regulasi. Batas atau batas suku bunga adalah komponen kunci dari kebijakan kredit di banyak negara. Penyedia diberi insentif untuk menetapkan suku bunga yang wajar dan tidak berfluktuasi. Pemerintah menetapkan pagu suku bunga melalui regulasi perbankan untuk mengatasi konsekuensi tingginya biaya pinjaman dan predatory lending. Regulator keuangan juga menggunakan batas suku bunga sebagai bentuk subsidi kepada kelompok rentan secara ekonomi. Dengan demikian, menyediakan struktur yang inovatif dan didorong oleh insentif untuk suku bunga dan persyaratan pinjaman.12 Suku bunga dan persyaratan pinjaman dapat meringankan beban keuangan rumah tangga berpenghasilan rendah dan pedagang denganaliran pendapatan yang fluktuatif. Beberapa langkah untuk memberi insentif pada suku bunga dan persyaratan pinjaman yang dapat dikelola meliputi13:

  • 1)    Insentif cashback: “Penghargaan moneter kepada konsumen untuk membayar kembali semua angsuran pinjaman mereka tepat waktu.”

  • 2)    Penurunan suku bunga di masa mendatang: “Sebuah model yang menurunkan suku bunga pada penawaran kredit masa depan untuk

peminjam dengan kebiasaan pembayaran yang terbukti.” Secara tradisional, pemberi pinjaman memperlakukan semua pelanggan mereka sama. Peminjam berulang dengan catatan pembayaran yang sempurna dikenakan bunga dan biaya yang sama dengan peminjam pertama yang belum terbukti, yang menghambat peminjam untuk meningkatkan kebiasaan pembayaran mereka, karena mereka merasa tidak ada manfaat dalam melakukannya. Peminjam akan membayar kembali pinjaman tepat waktu, menyelamatkan diri dari beban kredit jika ada imbalan yang jelas terkait dengan pembayaran.

Keakraban konsumen dengan komunikasi teks pesan (SMS) menawarkan peluang untuk melibatkan mereka setelah pinjaman dimulai untuk memfasilitasi pemahaman pengguna tentang fitur-fitur seperti persyaratan pembayaran. Pengingat SMS adalah mekanisme yang hampir tanpa biaya yang dapat mengatasi literasi keuangan serta kesehatan keuangan peminjam. Pengingat sederhana dikirim dalam koordinasi dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, memungkinkan peminjam untuk mengikuti jadwal pembayaran pinjaman mereka. Penyedia kredit digital, dalam banyak kasus, berada di luar sektor keuangan formal, yang mencakup bank dan lembaga keuangan mikro. Sebagai industri yang didominasi tidak diatur, penyedia bebas untuk menetapkan persyaratan kaku dan eksploitatif didorong oleh tujuan menghasilkan keuntungan. Praktik-praktik ini merugikan konsumen. Mengembangkan pasar yang adil dan kompetitif melalui regulasi pasar yang terkoordinasi (pelaksana: pemerintah sebagai regulator). Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai institusi dan produk teknologi telah merambah pasar keuangan dengan model bisnis dan layanan yang bervariasi. Regulator ditugaskan untuk mengembangkan sektor keuangan melalui regulasi yang memenuhi kebutuhan individu dan perusahaan yang beragam.

Indonesia telah mengatur dalam Peraturan OJK bahwa setiap pelaku usaha memberikan informasi spesifik yang tertulis di setiap Pasal di dalamnya, informasi yang mudah dipahami dengan jelas dan tidak berindikasi kerugian konsumen dalam transaksi sektor keuangan. Demikian pula Perjanjian atau akad diatur juga di dalamnya. Pada tahun 2016, Otoritas Jasa Keuangan telah menetapkan peraturan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi No.77/POJK.01/2016, tentang ketentuan untuk meminimalkan risiko kredit, melindungi kepentingan Pengguna seperti peminjaman dana dan data Pengguna, serta melindungi kepentingan pemerintah seperti anti pencucian uang dan mengatasi masalah terorisme, serta masalah dengan sistem keuangan.

  • 3.2 Inovasi Dan Tantangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Mengawasi Dan Mengeluarkan Regulasi Terkait Dengan fintech

  • 3.2.1    Peer to Peer Lending dalam Teknologi Finansial

Peer to peer lending (P2P) adalah fenomena online yang relatif baru, dimulai pada tahun 2005 di Inggris dengan pembuatan Zopa, dan dengan cepat menyebar ke Amerika Serikat pada tahun 2006 dengan didirikannya Prosper Marketplace, Inc. yang berbasis di San Fransisco. Perusahaan pinjaman P2P telah berkembang di tengah krisis kredit global, sebagian karena mereka merupakan pilihan alternatif yang menarik bagi peminjam yang tidak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman dari bank tradisional. Pada tahun 2009, Proper sendiri telah mendanai lebih dari 178 juta

dolar (AS) dalam bentuk pinjaman dan diperkirakan pada tahun 2013 pasar pinjaman P2P secara keseluruhan akan memfasilitasi lebih dari 5 miliar dolar (AS) dalam bentuk pinjaman.14

Dalam perbankan online peer to peer lending, peminjam mengajukan banding langsung ke kumpulan pemberi pinjaman individu menggunakan permintaan yang dapat menyertakan narasi tekstual untuk membenarkan pinjaman. Selanjutnya, hampir semua interaksi antara pemberi pinjaman dan peminjam terjadi melalui antarmuka situs web di mana mengajukan permintaan pinjaman dan pemberi pinjaman memilih untuk mendanai permintaan itu atau tidak. Di luar penerbitan pinjaman dan pembayaran berikutnya, peminjam dan pemberi pinjaman tidak mungkin memiliki interaksi di masa depan. Situs web P2P bertindak sebagai saluran, memfasilitasi proses permintaan dan penawaran, serta mengoordinasikan proses pembayaran jika pinjaman dilakukan. Namun, tidak seperti bank tradisional, situs P2P tidak mendanai pinjaman, pemberi pinjaman individulah yang menyediakan modal dan menanggung risiko gagal bayar. Dengan demikian, interaksi peer to peer lending adalah online, interaksi satu kali di mana taruhannya tinggi bagi kedua belah pihak dan di mana variabel dalam proses pengambilan keputusan hampir secara eksklusif ditentukan oleh profil dan permintaan peminjam. Dalam konteks risiko tinggi seperti itu,15Arner, Barberis, dan Buckley adalah beberapa sarjana pertama yang meneliti evolusi fintech menggunakan definisi luas dari istilah yang mengusulkan bahwa semua perusahaan keuangan lama dan baru serta peserta industri dapat dianggap sebagai fintech, terlepas dari ukuran, model bisnis mereka. atau portofolio produk. Pendekatan ini berguna dalam penelitian yang menggunakan perspektif evolusioner, karena perkembangan teknologi keuangan diklasifikasikan ke dalam tiga fase utama yang berurutan. Sangat penting karena perusahaan fintech sudah menyediakan layanan keuangan kepada jutaan orang dan mentransfer, menukar, atau meminjamkan miliaran dolar.

Seiring dengan tumbuhnya dampak ekonomi dan sosial fintech, semakin sulit bagi legislator untuk mengomunikasikan harapan mereka kepada mereka, yang menyebabkan kebingungan dan berpotensi membuka celah berbahaya dalam sistem keuangan. Pembuat kebijakan memberlakukan aturan kepatuhan yang transparan dan agak ketat pada bank di berbagai bidang risiko, likuiditas dan manajemen neraca, serta kepatuhan hukum, dan mewajibkan mereka untuk menyisihkan sejumlah besar uang untuk melindungi peristiwa gagal bayar kredit. Untuk memenuhi ekspektasi regulasi TI, bank harus terus meningkatkan sistem keamanan TI mereka dengan menggunakan dana, yang mungkin setara dengan total ekuitas startup fintech yang lebih kecil. Keadaan ini ketidakrataan antara pemain lama dan fintech yang kurang atau tidak diatur tidak hanya menciptakan kerugian kompetitif bagi bank, tetapi juga menghasilkan ancaman yang tidak terduga bagi pelanggan dalam bentuk serangan dunia maya, kebangkrutan, atau kebocoran data. Legislator saat ini sedang berjuang untuk memasukkan fintech ke dalam kerangka hukum yang ada, karena ini dirancang

untuk lingkungan berbeda yang terdiri dari lembaga keuangan tradisional yang besar. Terlalu banyak peraturan dapat membebani upaya inovasi, sementara di bawah peraturan dapat memaksakan keuntungan yang tidak adil pada pendatang baru karena biaya hukum dan overhead yang lebih rendah, dan menciptakan biaya sosial yang lebih tinggi karena aktivitas penipuan dan perlindungan pelanggan yang tidak ada.

Di Indonesia, P2P Lending diatur melalui Peraturan OJK No. 77/2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi atau P2P Lending. Satu hal yang membedakan P2P dengan bank adalah tidak tatap muka dengan peminjam dan pemberi pinjaman. Pertemuan harus berlangsung di platform teknologi informasi penyelenggara P2P antara peminjam dan pemberi pinjaman. Proses peer to peer lending fintech Indonesia harus memiliki 4 langkah yaitu pendaftaran anggota, pengajuan pinjaman, pelaksanaan pinjaman, dan pelunasan pinjaman, sebagai berikut:

  • 1)    Pendaftaran Keanggotaan. Pemberi pinjaman mendaftar secara online melalui komputer atau smartphone.

  • 2)    Mengajukan Pinjaman. Penerima pinjaman menyetujui pinjaman. Pemberi pinjaman memilih penerima pinjaman yang akan didanai.

  • 3)    Pelaksanaan Pinjaman. Pemberi pinjaman dan Penerima perjanjian pinjaman. Pemberi pinjaman mengirimkan dana yang dipinjamkan. Peminjam menerima dana.

  • 4)    Pembayaran Pinjaman. Peminjam membayar pinjaman kepada pemberi pinjaman.

Larangan P2P Lending di Indonesia diatur oleh Financial Otoritas Jasa atau OJK dalam peraturan. Jika operator P2P Lending melanggar larangan ini, konsekuensinya adalah pencabutan lisensidan larangan operasional. OJK menetapkan bahwa fintech P2P Lending di Indonesia dilarang:

  • 1)    Melakukan kegiatan usaha selain jasa pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Penyelenggara dilarang melakukan kegiatan selain P2P.

  • 2)    Melakukan penawaran melalui sarana komunikasi pribadi tanpa izin pengguna. Dilarang menawarkan tanpa izin, misalnya melalui SMS atau WA.

  • 3)    Bertindak sebagai kreditur (pemberi pinjaman) atau debitur (peminjam). Operator P2P tidak diperbolehkan menjadi penerima pinjaman atau pemberi pinjaman.

  • 4)    Memberikan jaminan dalam segala bentuk atas pemenuhan kewajiban pihak lain. Itu tidak memberikan jaminan kepada pemberi pinjaman untuk pinjaman bahwa pinjaman dijamin akan dibayar.

  • 5)    Penerbitan surat utang. Tidak bisa menerbitkan obligasi, misalnya, karena sumber pendanaan bagi peminjam harus dari pemberi pinjaman.

  • 6)    Mempublikasikan informasi fiktif dan/atau menyesatkan.

  • 7)    Mengisi keluhan. Keluhan harus mudah, dan gratis.

  • 8)    Memberikan rekomendasi kepada pengguna. Penyelenggara tidak boleh memberikan rekomendasi pinjaman yang harus dipilih oleh pemberi pinjaman.

  • 3.2.2    Transaksi Perjanjian Pinjam Meminjam

Hukum kontrak adalah prinsip kerja pasar yang efektif. Kontrak menyediakan mekanisme di mana individu dapat mengekspresikan preferensi mereka, membuat

kesepakatan dengan orang lain, dan memastikan bahwa kesepakatan tersebut terpenuhi. Hukum kontrak memberikan kerangka kerja di mana pasar dapat berfungsi. Teori klasik kebebasan berkontrak telah menjadi prinsip utama bagi perkembangan hukum kontrak dan hubungannya dengan pasar.

Seperti yang diutarakan Sir George Jessel “seandainya ada satu hal yang lebih dari persyaratan kebijakan publik lainnya adalah bahwa pria dengan usia penuh dan pemahaman yang kompeten, akan memiliki kebebasan penuh untuk membuat kontrak dan bahwa kontrak mereka yang dibuat secara bebas dan sukarela akan dianggap suci. dan harus ditegakkan oleh pengadilan.”

Batasan kemampuan hukum kontrak untuk melindungi konsumen adalah doktrin privity of contract. Doktrin tersebut menyatakan bahwa, “pada umumnya, suatu kontrak tidak dapat memberikan hak atau membebankan kewajiban kepada seseorang yang bukan merupakan pihak dalam kontrak itu. Konsumen umumnya tidak dapat menuntut produsen dalam kontrak untuk memproduksi barang yang salah (privasi vertikal).”

Dalam Darlington Borough Council v. Wilshire Northern Ltd., Steyn LJ berpendapat bahwa “tidak ada alasan doktrinal, logis, atau kebijakan mengapa undang-undang harus menolak keefektifan kontrak untuk kepentingan pihak ketiga di mana itu adalah maksud yang dinyatakan dari para pihak.”Perjanjian atau kontrak dalam Lembaga Informasi Hukum adalah perjanjian antara pihak swasta yang menciptakan kewajiban timbal balik yang dapat ditegakkan oleh hukum. Kontrak adalah perjanjian antara dua orang atau lebih dan yang harus sah secara hukum dan dapat dilaksanakan.

Kegiatan meminjam uang secara langsung berdasarkan perjanjian tertulis dan tidak tertulis merupakan praktek yang telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Pinjaman langsung banyak diminati oleh mereka yang membutuhkan dana cepat atau pihak yang karena alasan tertentu tidak dapat diberikan pendanaan oleh industri jasa keuangan konvensional seperti Perbankan, Pasar Modal, atau Perusahaan Pembiayaan. Segala manfaat ekonomi, kerugian yang ditimbulkan, dan akibat hukum dari kegiatan pinjam meminjam yang dilakukan secara langsung menjadi tanggung jawab para pihak sepenuhnya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah melakukan pengawasan dan pengambilan kebijakan terhadap seluruh kegiatan di bidang jasa keuangan termasuk fintech berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang dengan menerapkan prioritas perlindungan konsumen melalui perjanjian elektronik yang mengacu pada pasal 1 angka 3 UU No. Peraturan OJK No.77 Tahun 2016.

Otoritas Jasa Keuangan terus berupaya mendorong layanan sistem fintech tentunya dalam POJK No. 13/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Regulasi tersebut sengaja dibuat oleh OJK agar sistem layanan fintech berinovasi dan terdaftar di OJK sebagai perusahaan fintech yang mematuhi dan mengimplementasikan peraturan OJK. Dalam POJK No.13/2018, OJK telah menyusun semua hal yang dibutuhkan industri fintech, antara lain:

  • 1)    Tata cara pencatatan dan pendaftaran fintech.

  • 2)    Pelaksanaan monitoring dan monitoring teknis.

  • 3)    Terbentuknya ekosistem fintech.

  • 4)    Membangun budaya inovasi.

  • 5)    Pelanggaran perlindungan data konsumen.

  • 6)    Membatasi perusahaan fintech untuk melakukan manajemen risiko secara efektif.

  • 7)    Perusahaan fintech harus berpartisipasi dalam meningkatkan inklusi dan literasi keuangan.

  • 8)  Meningkatkan sinergi dan kolaborasi antara industri,  pemerintah,

akademisi, dan pusat inovasi lainnya.

  • 9)  Wajib melaksanakan program anti pencucian uang dan pencegahan

pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan.

  • 3.2.3    Perlindungan Dan Pengawasan Oleh Otoritas Jasa Keuangan

Perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi masing-masing negara di dunia khususnya Amerika Serikat dan Eropa yang telah mengeluarkan perlindungan hukum bagi konsumen di negara-negara maju tersebut. Ketatnya persaingan dalam dunia usaha dapat mengubah perilaku Lender untuk melakukan persaingan usaha tidak sehat terkait kredit digital kepada debitur melalui P2P Lending. Karena tujuan berbisnis adalah untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya agar para pelaku usaha berusaha memenangkan persaingan walaupun dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan etika dan hukum sehingga tidak hanya pelaku usaha lain yang dirugikan tetapi juga konsumen. Badan pengatur dan pengawas memiliki fungsi untuk mengatur peraturan keuangan konsumen, menjadikan konsumen terlindungi dengan penerapan peraturan hukum yang ada. Beberapa negara, hal yang berbeda untuk disetujui dan dibawakeluar perlindungan konsumen. Mengenai regulator, fokus utama dalam pembahasan konsumen berkaitan dengan jasa keuangan.16

OJK merupakan lembaga otonom yang dirancang untuk bebas dari campur tangan apapun, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang untuk mengatur, mengawasi, memeriksa, dan menyelidiki. OJK dibentuk pada tahun 2011 untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, serta peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan perbankan, serta untuk melindungi konsumen perusahaan jasa keuangan.

Otoritas Keuangan telah membentuk seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan:

  • 1)    Bekerja secara tertib, adil, transparan, dan akuntabel;

  • 2)    Mampu menciptakan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil;

  • 3)    Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

OJK mempunyai tugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan pedoman pengaturan industri financial technology yang lebih dikenal dengan financial technology (fintech). Pada tahun 2018, terdapat 73 perusahaan fintech yang terdaftar dan berizin. Data lainnya adalah peningkatan jumlah perusahaan fintech yang memiliki izin dan terdaftar di OJK per Februari 2020 sebanyak 161 perusahaan.27 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Undang-Undang No.21/2011 menyiapkan beberapa peraturan yang mengatur dan mengawasi perkembangan jenis sektor jasa keuangan yang menggunakan teknologi.kemajuan atau disebut Financial Technology (fintech).

OJK juga membentuk Tim Pengembangan Inovasi Ekonomi dan Keuangan Digital yang terdiri dari gabungan beberapa unit kerja di OJK pengembangan fintech, menyusun regulasi dan strategi pengembangan. OJK secara intensif terus mengkaji perkembangan fenomena fintech ini, sehingga OJK dapat mengawal evolusi ekonomi ini untuk dapat mendukung perkembangan industri jasa keuangan ke depan dan terus menjamin perlindungan konsumen. Kehadiran fintech, OJK sebagai otoritas di industri jasa keuangan, menjadi peluang untuk terus meningkatkan pengembangan sektor jasa keuangan, termasuk mendorong program inklusi keuangan.

Dalam Peraturan OJK No. 3/POJK-02/2018 Pasal 31 ayat (1), Provider harus menerapkan beberapa prinsip yakni ;

  • 1)    Transparansi;

  • 2)    Perlakuan adil;

  • 3)    Kecakapan;

  • 4)    Menjaga kerahasiaan data informasi konsumen dan mengaktifkan sistem keamanan.

  • 5)    Penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa konsumen mudah, cepat, dan terjangkau.

Inovasi keuangan digital atau Inovasi keuangan digital di sektor jasa keuangan sangat penting dalam mendukung layanan keuangan yang lebih cepat, murah, mudah, dan lebih luas untuk memfasilitasi peningkatan daerah. Kehadiran teknologi yang mendukung terciptanya layanan keuangan yang lebih efisien terhadap kebutuhan masyarakat. Peran jasa keuangan dengan biaya operasional rendah dengan skala rendah sangat tepat untuk melayani segmen mikro, kecil dan menengah.

Untuk meminimalisir dampak negatif inovasi, inovasi perlu diarahkan agar dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan mengutamakan tata kelola yang baik guna terciptanya perlindungan konsumen. Selain itu, sinergi antara lembaga jasa keuangan dan lembaga non jasa keuangan diperlukan untuk menciptakan sinergi dan meminimalkan persaingan. Inovasi perlu dikembangkan melalui pengembangan ekosistem keuangan digital yang mendukung ekosistem dimaksud dengan melibatkan banyak elemen yang saling berinteraksi untuk mendapatkan keuntungan bersama, termasuk otoritas terkait.

Koordinasi antar pelaku dalam ekosistem akan difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk Inovasi Keuangan Digital (IKD) Center (pusat fintech). Pengaturan dan pengawasan IKD menerapkan prinsip berimbang antara prinsip perlindungan konsumen dan kehati-hatian dengan inovasi dan persaingan. Prinsip ini dilakukan dalam bentuk pengaturan dan pengawasan oleh pelaku pasar itu sendiri (market disiplin). Kewenangan tersebut menetapkan peraturan berdasarkan prinsip yang mengatur tentang peraturan pokok sebagai acuan bagi industri untuk merumuskan peraturan pelaksanaan atau standar operasional bisnis yang lebih rinci. Pemberi pinjaman diminta untuk memperdalam prinsip regulasi tersebut melalui penetapan standar operasional secara detail yang disesuaikan dengan dinamika pasar, teknologi, dan perlindungan konsumen untuk menjaga integritas dan efektivitas. Penyelenggara perlu membentuk lembaga-lembaga tertentu untuk penetapan standar terkait aspek operasional, menjalankan bisnis, dan etika bisnis yang diakui dan dilaksanakan bersama oleh para anggotanya.

Lembaga tersebut bermaksud untuk berkoordinasi secara intensif dengan Otoritas Jasa Keuangan agar pengawasan terhadap IKD berjalan optimal. Dalam Peraturan Nomor 77/POJK.01/2016 Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Pasal 1 angka 3 bahwa layanan pinjam meminjam uang berbasis

teknologi informasi adalah penyelenggaraan layanan informasi keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman mata uang rupiah secara langsung melalui suatu sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. (Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyediaan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman sehingga mereka dapat melakukan perjanjian pinjaman dan menggunakan Rupiah).

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal. Sistem pengawasan terpadu untuk seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan. OJK harus mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor pasar modal dan sektor Industri Keuangan Non Bank (IKNB) . OJK telah mengeluarkan pedoman pengaturan industri financial technology yang lebih dikenal dengan financial technology (fintech). Perusahaan fintech wajib terdaftar di otoritas jasa keuangan dengan mematuhi dan melaksanakan peraturan OJK. Selain itu, dalam hal memaksimalkan perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen, maka pada tahun 2016 OJK mengeluarkan peraturan yang pada intinya mengisyaratkan pelaku usaha untuk memberikan informasi spesifik mengenai jasa layanan, serta memfasilitasi perlindungan terhadap data pengguna dan pemerintah dari tindak pencucian uang dan lain sebagainya. Inovasi yang dilakukan OJK Menetapkan Pengawasan Teknologi (Suptech) untuk mengembangkan ekosistem perusahaan financial technology (fintech) yang masuk dalam ranah Inovasi Keuangan Digital (IKD) di portal OJK dengan nama Gesit (Gerbang Elektronik Sistem Informasi Keuangan Digital). OJK juga telah mendirikan Innovation Center atau Fintech Center pada tahun 2018. Tantangan yang harus dihadapi OJK, untuk menciptakan keseimbangan antara peningkatan inklusi keuangan dan manajemen risiko, peningkatan pemahaman masyarakat tentang layanan fintech, infrastruktur, keamanan siber dan perlindungan data bagi konsumen dan fintech harus mengumpulkan lebih banyak data konsumen agar proses pinjam meminjam menjadi lebih efisien dan efektif. Peraturan OJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. OJK secara intensif terus mengkaji perkembangan fenomena fintech ini, sehingga OJK dapat menjaga evolusi ekonomi untuk mendukung perkembangan industri jasa keuangan ke depan dan terus menjamin perlindungan konsumen. Kehadiran fintech bagi OJK sebagai otoritas di industri jasa keuangan merupakan peluang untuk terus meningkatkan pengembangan sektor jasa keuangan.Kedudukan Kejaksaan RI secara organis, struktural, dan fungsional termasuk dalam kekuasaan eksekutif (pemerintah). Fungsinya sebagai alat penegak hukum negara (penuntut umum) dan juga memiliki kewenangan untuk membantu pelaksanaan tugas eksekutif.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arrasjid, Chainur. "Dasar-dasar Ilmu hukum." (2008). Jakarta : Sinar Grafika.

Chishti, Susanne, and Janos Barberis. The Fintech book: The financial technology handbook for investors, entrepreneurs and visionaries. John Wiley & Sons, 2016.

Duca, John V. "Financial technology shocks and the case of the missing M2." Journal of Money, Credit and Banking (2000): 820-839.

Hamid, Abd Haris, and MH SH. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Vol. 1. SAH MEDIA, 2017.

Howells, Geraint, and Stephen Weatherill. Consumer protection law. Routledge, 2017.

Miru, Ahmadi. "Hukum perlindungan konsumen." (2004). Jakarta : Grafindo Persada.

Nguyen, Quoc Khanh. "Blockchain-a financial technology for future sustainable development." In 2016 3rd International conference on green technology and sustainable development (GTSD), pp. 51-54. IEEE, 2016.

Priliasari, Erna. "PENTINGNYA PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM TRANSAKSI PINJAMAN ONLINE." Majalah Hukum Nasional 49, no. 2 (2019): 1-27.

Ruhl, Giesela. "Consumer protection in choice of law." Cornell Int'l LJ 44 (2011): 569.

Wolfrum, Rüdiger. Solidarity: a structural principle of international law. Edited by Chie Kojima. Vol. 2. Springer, 2010.

Jurnal

Bachmann, Alexander, Alexander Becker, Daniel Buerckner, Michel Hilker, Frank Kock, Mark Lehmann, Phillip Tiburtius, and Burkhardt Funk. "Online peer-to-peer lending-a literature review." Journal of Internet Banking and Commerce 16, no. 2 (2011): 1.

Benuf, Kornelius, Siti Mahmudah, and Ery Agus Priyono. "Perlindungan Hukum Terhadap Keamanan Data Konsumen Financial Technology Di Indonesia." Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 2  (2019):  145-160.DOI:

https://doi.org/10.24246/jrh.2019.v3.i2.p145-160

Nurmantari, Ni Nyoman Ari Diah, and Nyoman A. Martana. "Perlindungan Hukum Terhadap Data Pribadi Peminjam Dalam Layanan Aplikasi Pinjaman Online." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8 (2019): 1-14. dapat diakses melalui : https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/50656/30026

Rani, Amalia, and Anak Agung Ngurah Wirasila. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Persaingan Curang." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4, no.         1         (2015).Dapat         diakses         melalui         :

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/13377

Santi, Ernama, Budiharto Budiharto, and Hendro Saptono. "Pengawasan otoritas jasa keuangan terhadap financial technology (peraturan otoritas jasa keuangan nomor 77/pojk. 01/2016)." Diponegoro law journal 6, no. 3 (2017): 1-20. dapat diakses                                                              melalui

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/19683

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NOMOR 13 /POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan

Internet

Cambridge Dictionary, “consumer protection,” dapat diakses melalui : https://dictionary.cambridge.org/amp/english/consumer-protection, diakses pada 19 November 2021.

Ryan Browne, “Everything you’ve always wanted to know about fintech”, CNBC (2 October                 2017),                 availableon

https://www.cnbc.com/2017/10/02/fintecheverything-youve-always-wanted-to-know-about-financial-technology.html,

World Bank, Global financial development report 2014: financial inclusion (English). Global financial development report, Washington, DC: World Bank Group, 2013,availableon

http://documents.worldbank.org/curated/en/225251468330270218/Global-financial-development-report-2014-financial-inclusion,diakses     pada19

November 2021.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 7 Tahun 2022, hlm. 1426-1441