PENGATURAN TERKAIT BATAS USIA DEWASA PEWASIAT DALAM PERSPEKTIF PLURALISME HUKUM DI INDONESIA

I Gst. A. Ayu Frysca Fryscilia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gede Pasek Pramana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i06.p18

ABSTRAK

Dalam penelitian ini dikaji mengenai konsep batas usia dewasa menurut hukum positif di Indonesia serta mengenai waktu kecakapan seseorang untuk bertindak sebagai pemberi wasiat dalam perspektif pluralisme hukum di indonesia. Metode penelitian yang digunakan yakni normatif melalui pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, Dalam penelitian ini didapat hasil penelitian yakni ditemukan adanya ketentuan batasan usia dewasa yang berbeda dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Adapun seseorang dapat dinilai cakap menurut hukum untuk bertindak sebagai pemberi wasiat ketika dirinya telah mencapai usia 18 tahun. Mengenai konsep batas usia dewasa menurut hukum positif di Indonesia jika ditinjau dari Hukum Adat Bali dan KUHP Hukum Perdata memiliki persepsi berbeda-beda. Dalam hukum adat Bali tidak dikenal batas usia dewasa tertentu. Solusi dari adanya keberagaman batas usia dewasa ini yakni dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 guna mewujudkan unifikasi hukum agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda dalam menentukan usia kecakapan seseorang.

Kata Kunci: Batasan Usia, Kedewasaan dan Kecakapan, Pewasiatan, hukum

ABSTRACT

This study examines the concept of the adult age limit according to positive law in Indonesia and about the time of a person's ability to act as a testator in the perspective of legal pluralism in Indonesia. The research method used is normative through a statute approach and a conceptual approach. A person can be judged as capable according to law to act as a testator when he reaches the age of 18 years. Regarding the concept of the adult age limit according to positive law in Indonesia, when viewed from the Balinese Customary Law and the Civil Code, there are different perceptions. In Balinese customary law, there is no specific adult age limit. The solution to the diversity of age limits today is the issuance of Circular Letter of the Supreme Court Number 07 of 2012 in order to realize legal unification so that there will be no different interpretations in determining a person's age of competence.

Keywords: Age Limit, Maturity and Skills, Willingness, Law.

  • 1.   Pendahuluan

    • 1.1.  Latar Belakang Masalah

Batas usia dewasa seseorang merupakan syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk melakukan perbuatan hukum, karena dikatakan bahwa untuk dapat melakukan perbuatan hukum harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang tentunya menentukan baik atau tidaknya suatu perbuatan hukum. Terdapat perbedaan usia dewasa dalam beberapa undang-undang, seperti pada ketentuan KUHPerdata dan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana dalam Pasal

330 KUH Perdata manyatakan orang yang cakap pada usia 21 atau menikah sebelum usia 21 akan mengambil tindakan hukum. Sedangkan dalam UU Perkawinan seseorang baru dianggap dewasa ketika berusia 18 tahun.

Pemahaman perbedaan dalam menerima usia dewasa juga terjadi dalam peradilan, dimana terdapat perbedaan dan keragaman pengaturan batas usia dewasa guna menjadi hal-hal penting kecakapan melakukan perbuatan hukum yang dipakai pedoman oleh hakim dan penegak hukum adalah diantara 18 dan 21 tahun, sehingga untuk mengatasi perbedaan tersebut diterbitkan SEMA No. 7 Tahun 2012.

Pengertian dewasa oleh para ahlipun memiliki definisi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan peruntukan dari insidential yang diperlukan, menurut Syamsul Hadi, kemampuan seseorang secara intelektual, dapat menjaga aspek sosial, emosional, mempunyai moral yang ideal dan spiritual, dapat menunjukkan ukuran dewasa seseorang. Sementara itu KBBI menyatakan bahwa dewasa adalah usia dimana seseorang mencapai baligh, yaitu ia bukan lagi anak-anak atau remaja dan sudah mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya dan orang lain.1 Adapun perbedaan dalam menentukan usia dewasa seseorang menurut sistem hukum nasional. Seseorang yang dianggap dewasa tentunya juga dianggap cakap untuk bertindak atas namanya sendiri atau atas nama orang lain melalui surat kuasa seperti jual beli. Demikian pula dalam wasiat merupakan perbuatan-perbuatan hukum dilakukan oleh kedua belah pihak dan kedua belah pihak harus mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut, wasiat adalah bentuk lain dari pemindahan hak selain warisan yaitu wasiat yaitu diberikan seseorang kepada orang lain dalam bentuk barang, piutang, dan hadiah yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.2

Kajian dan penelitian sebelumnya banyak dilakukan oleh peneliti berkaiatan dengan batas usia dewasa yang disesuikan dengan kepentingan ketentuan tersebut digunakan dalam melakukan perbuatan hukum. Pada penulisan jurnal ini ada beberapa jurnal yang akan dipergunakan sebagai acuan, panduan dan sebagai pembanding dalam penulisan jurnal ini.

Pertama penelitian oleh DY. Witanto, pada tahun 2013 dengan judul “Pluralisme Batas Kedewasaan dalam Sistem Hukum di Indonesia”, tujuan kajian ini adalah mengkaji dalam interdisiplin hasil dari kajian didapat hasil bahwa diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai batas kedewasaan melalui pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner.3

Penelitian kedua dari Agus Danan Suka Dharma tahun 2015 dengan judul “Keberagaman pengaturan batas Usia Dewasa Seseorang Untuk Melakukan Perbuatan Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan ukuran batas usia dewasa. Batasan usia dewasa dalam peraturan perundang-undangan Indonesia adalah berbeda-beda. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa batas usia mayoritas seseorang berbeda-beda dalam menentukan syarat kecakapan seseorang agar dapat menempuh jalur hukum, dan

upaya mengatasi perbedaan tersebut melalui SEMA Nomor 7 Tahun 2012 No. 4/SE /I/2015 dari Direktur Jenderal Badan Pertanahan Negara.4

Penelitian ketiga oleh Rama Zain Rambey tahun 2021 dengan judul “Analisis Hukum tentang Batasan Usia Kedewasaan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, tujuan dari penelitian tersebut adalah guna mengentahui Batasan Usia Kedewasaan dan Kecakapan pewasiat dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam penelitian ini diperoleh hasil mengenai adanya persamaan penentuan hukum Kitab undang-undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam dimana dinyatakan bahwa syarat orang yang berwasiat haruslah memiliki akal yang sehat. Adapun mengenai batas usia dewasa yang digunakan adalah 21 tahun.5

Penelitian tersebut diatas oleh penulis dipakai acuan dan pedoman penulisan jurnal ini yang memiliki perbedaan dari judul dan tujuan penelitiannya. Mengingat permasalahan yang sudah dipaparkan diatas penulis mengangkat judul penelitian “Tinjauan Yuridis tentang Batas Usia Dewasa Pewasiat dalam Perspektif Pluralisme Hukum di Indonesia”, dan tujuan dari penelitian sekarang yaitu untuk mengetahui dan menganalisis tentang konsep batas usia dewasa menurut hukum positif di Indonesia dan untuk mengetahui dan menganalisa kapan seseorang dapat dinilai cakap menurut hukum untuk bertindak sebagai pemberi wasiat dalam perspektif pluralisme hukum di indonesia, dari konsep tersebut terdapat alur pemikiran yang berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh penulis.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah konsep batas usia dewasa menurut hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Kapan seseorang dapat dinilai cakap menurut hukum untuk bertindak sebagai pemberi wasiat dalam perspektif pluralisme hukum di Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui dan menganalisis tentang konsep batas uisa dewasa menurut hukum positif di Indonesia.

  • 2.    Untuk mengetahui dan menganalisa kapan seseorang dapat dinilai cakap menurut hukum untuk bertindak sebagai pemberi wasiat dalam perspektif pluralisme hukum di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan metode penelitian hukum normatif.6 Biasanya, hukum diartikan ada dalam peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, hukum dikonseptualisasikan sebagai aturan atau norma, yang menjadi tolak ukur apa yang dianggap pantas bagi perilaku manusia.7 Menggunakan pendekatan Statutory Approach dan Conceptual Approach. Dalam penelitian kegiatan praktis, pendekatan legislatif ini tidak diragukan lagi menawarkan kesempatan kepada peneliti untuk mempelajari penerapan satu undang-undang ke undang-undang lainnya.

Jenis bahan hukum yang digunakan adalah asas, kaidah, dan prosedur teknis, baik berupa peraturan perundang-undangan, kesepakatan, maupun pendapat ulama, yang akan dilakukan melalui penelusuran kepustakaan.

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan, dimana bahan hukum primer dan sekunder berasal dari peraturan perundang-undangan, kepustakaan, jurnal ilmiah, keputusan, dan bahan lain yang berhubungan dengan penelitian. Mengadopsi teknik analisis deskriptif, yaitu melalui deskripsi undang-undang, peraturan dan keputusan, interpretasi dan konstruksi hukum dari bahan hukum yang diperoleh, kemudian analisis melalui konsep-konsep hukum yang relevan.8

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Secara umum pluralisme hukum dapat diartikan sebagai adanya berbagai aturan atau norma hukum yang berlaku dalam masyarakat. Pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang tersusun atas keragaman berbagai bentuk negara dalam bidang agama, politik, norma hukum, dll. Pluralisme hukum harus diakui sebagai realitas sosial. Sebagai contoh, norma hukum di Indonesia merupakan hasil dari praktik yang beragam, sehingga dalam masalah hukum, asas persamaan di depan hukum harus diutamakan. Adapun Prof Erman mengemukakan suatu hal mengenai pluralisme hukum yakni:

“Pluralisme hukum yang ada di Indonesia menimbulkan banyak sekali persoalan ketika hukum masyarakat berlaku untuk transaksi atau konflik tertentu, sehingga dapat timbul kerancuan hukum mana yang berlaku bagi hal tertentu. Serta mengenai bagaimana menentukan hukum berlaku.”

Barry Hooker memberi definisi pluralisme hukum sebagai “adanya suatu interaksi yang terjadi diantara satu atau dua hukum atau lebih.” Bagi Barry, pluralisme hukum di dunia sekarang ini adalah akibat penerapan sistem hukum di luar negara asal sistem hukum tersebut. Contohnya terjadi di Indonesia ketika masa penjajahan Belanda. Sistem hukum Belanda masuk ke Indonesia hingga diterima sebagai hukum Indonesia pasca kemerdekaan.9

Ada 2 jenis pluralisme hukum, yakni pluralisme hukum nasional, yaitu ketika dua atau lebih sistem hukum berlaku sebagai hukum nasional dan pluralisme hukum yang mendalam, yaitu jika di luar hukum nasional terdapat tatanan hukum atau norma yang berlaku untuk masyarakat.10 Pluralisme hukum di Indonesia merupakan

bagian dari suku bangsa dan kependudukan atau keragaman etnis masyarakat Indonesia. Pada umumnya negara mengakui adanya norma hukum yang berlaku bagi masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan norma hukum nasional, karena untuk contoh pluralisme hukum perdata, yang berasal dari peraturan hukum perdata dari KUH Perdata juga berasal dari hukum Islam dan hukum adat, sepanjang tidak diatur dalam peraturan baru yang merupakan produk peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku secara nasional.

  • 3.1 . Konsep mengenai batas usia dewasa menurut hukum positif di Indonesia.

Kedewasaan adalah penyatuan ideal jiwa, tubuh, dan intelek. Kedewasaan seseorang berkaitan dengan kematangan psikologis, karakter, mentalitas dan perilaku sosial. Sejatinya kapasitas reproduksi tidak ditentukan oleh usia, namun terkait dengan status seksual seseorang. Di Indonesia, kesadaran tentang standar kedewasaan sangat tinggi, bahkan dalam undang-undang dan keputusan pengadilan, banyak perdebatan tentang batas jatuh tempo yang berbeda, yang membingungkan dan digunakan sebagai panduan untuk proses hukum. Adanya batasan usia mayoritas berkaitan dengan keahlian atau kelayakan seseorang untuk menjalani proses hukum. Aturan mengenai kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum memiliki keberagaman diantara perundang-undangan. Pluralisme tersebut menimbulkan kerancuan dalam menentukan kecakapan seseorang guna melakukan perbuatan hukum. Dalam melakukan perbuatan hukum maka diwajibkan seseorang tersebut harus cakap. Konsep mengenai batas-batas usia dewasa menurut hukum positif di Indonesia antara lain :

  • 1.    Batas usia dewasa menurut Konsep Adat Bali

Hukum Adat Bali yang ada pada masyarakat Bali merupakan seperangkat norma yang mengatur mengenai kehidupan baik dalam beberapa bentuk aturan hukum. Adapun dalam hal ini hukum tertulis tersebut dirumuskan dalam aturan perundang-undangan. Dalam hukum tidak tertulis yang berlaku adalah hukum adat yang berasal dari Dresta yaitu kebiasaan masyarakat Bali.11 Hukum Adat Bali pada dasarnya tidak mengatur batasan usia dewasa dan hampir semua adat di Indonesia tidak mengenal batasan usia dewasa. Kedewasaaan dan cakap menurut hukum adat dapat dilihat dari perkembangan jiwa seseorang serta mampu melakukan perbuatan hukum serta dapat memelihara kepentingannya sendiri. Dan sebaliknya dapat dikatakan belum cakap bila mereka belum mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingan pribadinya. Sedangkan cakap diartikan sebagai kemampuan untuk memperhitungkan dan memelihara kepentingan pribadinya. Hukum adat mengakui ukuran kedewasaan bila dikaitkan dengan perkawinan, dan apabila mereka dalam perkawinan bisa memiliki keturunan dapat dikatakan dewasa walau umurnya masih 15 tahun, namun sebaliknya jika dengan usia 15 tahun belum dapat memiliki keturunan mereka dapat dikatakan belum dewasa.

Adapun Dr. Wayan P. Windia, S.H, M.Hum mengemukakan bahwa: “Pada hukum adat bali, ketika seseorang telah mampu "negen" (mengangkat) sesuai dengan beban yang diujikan kepadanya, maka orang tersebut

dinyatakan sebagai orang dewasa. Sebagai contoh adalah orang yang mampu negen kelapa 8 buah atau nyuun kelapa enam buah. Maka orang tersebut dapat dianggap telah dewasa.”12

Secara umum pada tatanan masyarakat Bali pada umumnya tidak mengenal pewasiatan atau tidak ada seseorang mewasiatkan barang atau harta kepada seseorang, namun sesuai perkembangan jaman tidak memungkinakan hal tersebut dapat terjadi adanya masyarakat Bali melakukan pewasiatan terhadap anak kandung atau anak angkat dan juga terhadap orang lain diluar keluarganya, hal ini dapat dilakukan dengan akta notaris yang secara resmi pewasiat dan penerima wasiat menghadap ke notaris, dan pada aturan notaris juga dijelaskan batasan usia kedewasaan sebagai penghadap dan sanksi. Di lingkungan masyarakat Bali berlaku hukum pewarisan. Waris pada masyarakat Bali tidak identik dengan pembagian harta saja, namun merupakan suatu kewajiban swadharma anak kepada orang tua, waris dalam kalangan masyarakat Hindu Bali jatuh kepada purusa atau anak laki-laki yang menjadi tanggungjawabnya dalam pawongan, prahyangan dan palemahan, karena berkaitan dengan dresta dan aturan adat istiadat stempat sesuai dengan lingkungannya.

Dari uraian diatas dapat diketahui hukum Adat Bali tidak mengenal batasan usia kedewasaan, namun tetap mengakui hukum positif yang ada di Indonesia, hukum adat Bali juga tidak mengenal istilah pewasiatan yang ada secara umum pada hukum adat Bali yaitu pewarisan dan waris, waris bagi masyarakat Hindu Bali tidak indentik dengan harta benda saja, namun berbagai hal yang menyangkut adat istiadat Bali. Perkembang jaman di era globalisasi tidak memungkinkan terjadi adanya pewasiatan di kalangan masyarakat Bali, secara hukum dapat dilakukan dengan formal dengan melalui notaris dan pewasiatan bukan merupakan bagian dari adat Bali.

  • 2.    Batasan Usia Dewasa Dalam KUH Perdata

Dalam pasal 330 KUHPerdata menyatakan bahwa apabila perkawinannya bubar atau bercerai dan masih berumur di bawah 21 tahun, masih dianggap dewasa dan statusnya tetap tidak kembali di bawah umur. usia mayoritas Pernikahan secara otomatis membawa status dewasa berdasarkan keberadaan pernikahan. Pasal tersebut mensyaratkan bahwa seseorang dinyatakan cakap secara hukum pada usia 21 tahun atau sudah menikah sbelum usia 21 tahun.13

  • 3.    Batasan usia dewasa dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan

Dalam pasal 47 ayat (1) UU 1/1974, dijelaskan terkait batas usia dewaa seseorang yakni dimana seseorang yang mana masih dibawah usia delapan belas tahun atau tidak pernah kawin masih dianggap sebagai seorang anak. Dalam Jurnal Ilmu Hukum dan Sosial karya Dewi Iriani, sebuah analisis berjudul “Batasan Usia Minimum untuk Menikah dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974”14 ditemukan hasil bahwa usia minimum perkawinan yang diperbolehkan dalam perkawinan karena hukum proses peninjauan, yakni pria yang telah mencapai usia sembilan belas tahun dan wanita yang telah mencapai usia kawin 16th. Sementara itu, Pasal 15 ayat 1 KUHP menyebutkan, untuk urusan keluarga dan keluarga, hanya pengantin yang telah mencapai usia yang ditentukan dalam Pasal 7 yang dapat menikah.

  • 4.    Batas usia dewasa menurut konsep UURI 23/2002

Peraturan tersebut menyatakan anak merupakan seseorang yang belum berusia delapan belas tahun. Adanya perbedaan kategori usia mayoritas dalam berbagai peraturan memerlukan pengujian substantif di Mahkamah Konstitusi, sehingga usia minimum untuk menikah sangat dapat ditentukan secara pasti karena sangat penting bagi calon pengantin.15

KUHPerdata memberikan pengecualian untuk usia di bawah umur, yaitu mulai dari usia 18 tahun, anak di bawah umur dapat diberdayakan dengan pernyataan orang dewasa, sementara kekuatan tertentu hanya tersedia untuk orang dewasa. Dapat dikatakan bahwa seorang dewasa dianggap cakap karena ia mempunyai kekuasaan kehakiman atas kehendak bebasnya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang dewasa dapat mempertimbangkan akibat dari perbuatan hukum, seperti membuat atau mengadakan perjanjian, membuat surat wasiat. Dalam kasus penyalahgunaan wewenang, pengecualian terhadap aplikasi dapat berupa pernyataan orang dewasa.

Singkatnya aturan dalam hukum positif tersebut memiliki pemahaman yang berbeda tentang sebagian besar batas usia yang disyaratkan, dengan 18 dan 21 tahun di antaranya. Didasari oleh pemahaman syarat yang berbeda dari aturan usia dewasa dapat dikatakan telah cakap hukum maka untuk mengatasinya pemerintah menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2012 serta Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor SE/I/2015.16

  • 5.    Batas usia dewasa menurut konsep hukum pidana

Terdapat istilah anak di bawah umur dan orang dewasa. Dewasa dalam hal ini apabila berusia lebih 21 tahun atau belum berusia 21 tahun tetapi sudah meniikah. Pasal 45 KUHP juga mengatur terkait penuntutan pidana terhadap orang yang belum cukup dewasa yang mana batas usia dewasa disiratkan yaitu dibawah usia 16 tahun, dalam menghadapi kasus demikian seorang hakim dapat mengembalikan anak tersebut kepada orang tuanya.

Bahwa dari perspektif hukum pidana positif, pertanggungjawaban pidana atas kejahatan yang dilakukan oleh anak disebut pertanggungjawaban pidana karena pada umumnya berlaku bagi orang dewasa. Tindak pidana tersebut secara sederhana digolongkan sebagai perbuatan anak, sehingga anak yang menjadi pelakunya adalah anak

berhadapan hukum. UU 11/2012 SPPA telah diatur mekanisme peradilan anak dalam hukum materiil dan formil.17

  • 3.2    Ketentuan seseorang dapat dinilai cakap menurut hukum untuk bertindak sebagai pemberi wasiat dalam perspektif pluralisme hukum di Indonesia.

Jika ditinjau dari KUHPer maka batasan usia dewasa seseorang dinilai cakap dalam pemberian wasiat dalam dilihat dalam ketentuan berikut, pada pasal 897 dikatakan “Anak-anak di bawah umur yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat” pada Pasal 895 KUHPer disebutkan “Untuk dapat membuat atau menarik kembali suatu surat wasiat, orang harus mempunyai kemampuan bernalar”. Ukuran batas dewasa cakap menurut hukum untuk bertindak sebagai pemberi waris berbeda dengan cakap melakukan perbuatan hukum, padahal pemberian waris juga merupakan perbuatan hukum, pada pada pasal 330 Ayat (1) pada KUHPer disebutkan “mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin dikatakan belum dewasa.” Pasal 1330 KUHP mengatur bahwa “yang dikecualikan adalah mereka yang ditetapkan lumpuh, yaitu anak di bawah umur, orangorang di bawah perwalian, dan orang-orang yang secara hukum ditetapkan lumpuh.” Terdapat perbedaan batasan dalam teknik melakukan perbuatan hukum dan teknik pemberian wasiat, namun perbedaan tersebut didasarkan pada konteks masalah untuk menetapkan keseragaman hukum atas masalah hukum yang mengarah pada keputusan yang tidak konsisten, sehingga SEMA Surat No. 07 Tahun 2012 tentang Undang-undang Rapat paripurna Mahkamah Agung yang merumuskan hasil-hasilnya menjadi pedoman bagi pengadilan dalam menjalankan tugasnya masing-masing.18

Dengan demikian dapat dianalisa, Adanya ketentuan hukum seperti undang-undang yang dikeluarkan sebenarnya memiliki hal baik atau positif untuk melindungi hak dan kewajiban seseorang serta untuk menghindari adanya perbuatan hukum yang dilakukan mengalami cacad hukum, dikarenakan jika kewenangan bertindak secara hukum belum bisa dilakukan jika usia mereka belum dianggap dewasa dan belum cakap melakukan perbuatan hukum. Jadi jika seseorang melakukan perbuatan hukum seperti pewasiatan salah satu pihak tidak memenuhi aturan hukum, maka pewasiatan yang dilakukan batal dan perbuatan hukum tersebut cacad demi hukum, maka dari itu apabila seseorang usianya belum dewasa melakukan perbuatan hukum jika telah terjadi suatu perbuatan hukum hal tersebut menjadi batal dan telah melakukan pelanggaran sehingga semua yang telah dilakukan merupakan cacad hukum hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan.

  • 4.    Kesimpulan

Uraian di atas dalam hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa batasan usia dewasa dalam hukum positif sesuai Hukum Adat Bali dan KUHPer memiliki persi dan pandangan berbeda-beda, dalam undang-undang juga terdapat berbagai batasan usia dalam menentukan batas dewasa , dan sesuai hukum adat Bali tidak mengenal batasan

usia dewasa karena adat melihat dari insidensial kejadian, batasa usia dewasa memiliki pandangan dan perspektif yang berbeda dimana semua aturan berdasarkan pada kebutuhan masing-masing dan untuk menyamakan persepsi dalam kesatuan hukum dikeluarkan SEMA No. 07 Tahun 2012, sehingga tidak terjadi penafsiran yang berbeda. Penentuan kapan seseorang dapat dinilai cakap menurut hukum untuk bertindak sebagai pemberi wasiat dalam perspektif pluralisme hukum di Indonesia adalah dengan batas usia 18 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2014

Soekanto, Soerjono & Mamudji Sri, “Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat,” Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek , Jakarta: Sinar Grafika, 1996

Windia, P Wayan dan Sudantra, Ketut. Pengantar Hukum Adat Bali. (Denpasar, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006)

Zainal Asikin, Amiruddin dan H., “ Pengantar Metode Penelitian Hukum, “ Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Jurnal

DY. Witanto, Pluralisme Batas Kedewasaan dalam Sistem Hukum Di Indonesia, Jurnal Hukum Edisi September 2013, IKAHI, Jakarta, 2013

Dharma, Agustinus Danan Suka. "Keberagaman pengaturan batas usia dewasa seseorang untuk melakukan perbuatan hukum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia." Repertorium 2, no. 2 (2015).

Iriani, Dewi. "Analisa terhadap batasan minimal usia pernikahan dalam UU. No. 1 tahun 1974." Justicia Islamica 12, no. 1 (2015).

W Darmabrata, Usia Dewasa Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 4 Tahun XXVI

Rika Apriani Minggulina Damanik, 2020. “Hukum Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Batasan Usia: Analisis Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012”, Vol 1 No. 3. 2020

Sanawiah, “Batasan Kedewasaan dan Kecakapan Hukum Pewasiat Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Jurnal Hadratul Madaniyah, Volume 5 Issue 1, June 2018,

Sucipto, S. "Kedewasaan dalam Akad Nikah dalam Perspektif Interdisipliner." ASAS 6, no. 2 (2014)

Woodman, Gordon R. “The Idea of Legal Pluralism”, dalam Dupret, Baudouin, Maurits Berger, and Laila Al-Zwaini, eds. Legal Pluralism in the Arab World. Arab and Islamic Laws Series 18. (The Hague: Kluwer Law International,2013).

Website

KBBI, K.B.B.I Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/dewasa

(di akses tanggal 31/01/2022).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), 2019, Pustaka Mahardika, Yogyakarta.

Soerodibroto, Soenarto. "KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad Edisi Keempat." (1999).

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 3019.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4674.

Yurisprudensi

Yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 1 Juni 1955 nomor 53K/Sip/1955

Yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 2 November 1976 nomor 601K/Sip/1976).

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal 13 Oktober 1976 No.477/K/Pdt.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 6 Tahun 2022, hlm. 1377-1386