KEWENANGAN POLRI DALAM

PENANGANAN UNJUK RASA ANARKIS

Putri Bangbang Teja Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

Made Gde Subha Karma Resen, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i02.p9

ABSTRAK

Demokrasi dalam kehidupan masyarakat moderen memberikan hak kepada warga negara untuk menyuarakan keinginan dan kepentingannya di muka umum, dan hal ini telah dijamin oleh konstitusi. Namun pihak yang terlibat seringkali melupakan bahwa semua ini wajib dilakukan dengan tertib, damai dan aman sehingga tidak jarang aksi ini justru berujung anarkis. Padahal jika setiap pihak yang terlibat mampu memahami hak dan tanggungjawab masing-masing dalam setiap tindakannya, hal semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi. Karena pada dasarnya segala hal terkait tindakan warga negara maupun pihak kepolisian telah diatur tegas oleh Undang-Undang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan tugas kepolisian dalam melaksanakan kewenangan mereka untuk mengamankan demonstrasi serta kendala yang dihadapinya. Dengan pendekatan perundang-undangan dan konsep, penelitian ini kemudian menggunakan metode penelitian hukum normatif, memakai bahan hukum primer, skunder, dan tersier. Kesimpulannya ditemukan bahwa kendala yang dihadapi Polri dalam menangani aksi unjuk rasa anarkis diantara lain adalah sulitnya aparat dalam memperkirakan banyaknya jumlah massa yang dapat berpotensi melakukan tidakan anarkis, sangat mudahnya medsos menyebarkan hoax, kurangnya Jumlah Personil Kepolisian, dan mudah meledaknya faktor psikologis dari pihak pengunjuk rasa.

Kata kunci: Kepolisian, Unjuk Rasa, Anarkis

ABSTRACT

Democracy in modern society gives citizens the right to voice their wishes and interests in public, and this has been guaranteed by the constitution. However, the parties involved often forget that all of these must be done in an orderly, peaceful and safe manner, which is often these actions end in anarchy. In fact, if each party involved is able to understand their respective rights and responsibilities in each of their actions, this kind of thing should not have to happen. Because basically everything related to the actions of citizens and police has been strictly regulated by law. This study aims to describe the implementation of the police's duties in carrying out their authority to secure demonstrations and the obstacles they face. With a statutory and conceptual approach, this research then uses normative legal research, using primary, secondary, and tertiary legal materials. It was found that the obstacles faced by the Police in dealing with anarchist rallies were the difficulty of the apparatus in estimating the large number of masses who could potentially carry out anarchic actions, the ease with which social media spread hoaxes, the lack of police personnel, and the easy explosion of psychological factors on the part of the protesters.

Keywords: Police, Demonstrations, Anarchy

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Paham-paham di dalam masyarakat serta cara berfikir masyarakat tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, yang kemudian mengakibatkan setiap orang ataupun kelompok memiliki kemauan dan kepentingan yang ingin disuarakan dan didengarkan.1 Salah satu hal yang dapat ditimbulkan dari adanya perbedaan-perbedaan prinsip dalam bernegara ini adalah penyampaian pendapat di muka umum melalui unjuk rasa atau demonstrasi.2 Unjuk rasa merupakan bagian yang lumrah dari dinamika masyarakat yang sedang berubah apabila dilihat dari perspektif sosiologi. Dalam konstitusi Negara Republik Indonesia unjuk rasa (demonstrasi) merupakan suatu hal yang wajar dan sudah menjadi hak warga negara yang telah dijaminkan.3

Unjuk rasa merupakan salah satu aksi yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.4 Salah satu contohnya adalah jatuhnya rezim orde baru dan dimulainya erareformasi. Masyarakat kemudian menggunakan awal dari pemerintahan era reformasi atau yang disebut sebagai masa transisi ini untuk membuka peluang dalam menata kehidupan yang lebih berdemokrasi. Kemajuan dalam demokrasi di Indonesia juga terjadi pada masa ini. Merupakan suatu hal yang esensial dengan ditegakannya demokrasi dalam kehidupan masyarakat modern. Merupakan amanat konstitusi untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu negara memfasilitasi dan menjaminnya dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Ditegaskan juga dalam Pasal 28E angka (3) bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.5

Hak dan kewajiban serta tanggungjawab setiap orang atau kelompok dalam melakukan aksi unjuk rasa ini lebih jauhnya kemudian diatur dalam Undang-undang No. 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Bab III. Namun bukan berarti dengan adanya aturan tegas ini, gerakan unjuk rasa akan senantiasa berjalan aman dan damai. Seringkali dalam

pelaksanaannya aksi ini mengalami penyimpangan dari esensinya, seperti tindakan anarki yang kemudian mengakibatkan kerugian seperti kerusakan fasilitas umum hingga korban jiwa. Kerugian tidak hanya terjadi kepada pihak pengunjuk rasa, namun juga dari berbagai pihak seperti aparat keamanan hingga warga sekitar. Apabila setiap pihak yang terlibat mampu memahami hak dan tanggungjawab masing-masing dalam setiap tindakannya, hal semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi.

Untuk menjaga orisinalitas penelitian, maka penulis uraikan beberapa penelitian terdahulu dengan tema penelitian sejenis yaitu I Nyoman Budiantara dengan judul "Kewenangan Kepolisian Daerah Bali Dalam Penegakan Hukum Terhadap Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkis" yang membahas kewenangan kepolisian daerah Bali dalam penegakan hukum terhadap aksi unjuk rasa anarkis dan hambatan yang dihadapi. Selanjutnya Tri Pranadji dengan judul "Unjuk Rasa (Dan Radikalisme) Serta Penanganannya Dalam Alam Demokrasi Di Indonesia" yang membahas budaya unjuk rasa dari jaman pra demokrasi sampai saat ini, radikalisme yang terjadi serta penanggulangannya. Berdasarkan uraian tersebutlah peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Kewenangan Polri Dalam Penanganan Unjuk Rasa Anarkis Di Indonesia”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian di atas, maka penulis berusaha menarik permasalahan tegas dan jelas sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pengaturan kewenangan Polri dalam penanganan unjuk rasa anarkis?

  • 2.    Kendala apa saja yang dihadapi Polri dalam menangani unjuk rasa anarkis?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis Peranan Polri dalam penanganan unjuk rasa anarkis dan untuk menganalisi, mendeskripsikan dan mengetahui kendala yang dihadapi oleh Polri dalam penanganan unjuk rasa anarkis.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang diaplikasikan adalah penelitian hukum normatif atau metode penelitian doktriner atau penelitian secara kepustakaan.6 Menggunakan Bahan hukum primer, skunder, dan tersier.

Selanjutnya pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan statute approach yang menelaah berbagai produk hukum terkait dengan permasalahan yang diangkat. Kemudian juga digunakan conceptual approach untuk membedah konsep suatu kewenangan polri dalam penanganan unjuk rasa anarkis. Studi dokumen merupakan teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan sedangkan teknik analisis dilakukan melalui analisa kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Kewenangan Polri Dalam Penanganan Unjuk Rasa Anarkis

Unjuk rasa atau demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan oleh sekumpulan orang di depan umum, biasa dilakukan untuk menyatakan penentangan terhadap suatu kebijakan yang diusulkan atau dilaksanakan oleh suatu pihak. Dapat pula dilakukan sebagai upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok.7 Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, unjuk rasa merupakan suatu hal yang biasa untuk menyampaikan suatu pendapat atau menentang suatu kebijakan. Pada prinsipnya, gerakan unjuk rasa hendaknya dipandang sebagai sekelompok orang yang sedang menikmati dan menjalankan haknya sebagai warga negara karena unjuk rasa adalah hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi dan sekaligus merupakan hak asasi manusia.

Unjuk rasa bukan merupakan gerakan guna memaksakan kehendak individu atau kelompok tertentu, namun merupakan bagian dari elemen demokrasi untuk mengemukakan pendapat. Oleh karena itu dalam aksinya para pengunjuk rasa hendaknya memahami hak dan kewajibannya dan berangkat dari niat baik untuk kemajuan bangsa dan negara. Unjuk rasa harus menjunjung etika dan tidak boleh melakukan kekerasan, apalagi dalam jumlah massa yang besar, seharusnya tidak satupun dari gerakan ini dibumbui dengan kekerasan yang kemudian dapat menimbulkan ketakutan serta ketidaknyamanan bagi pihak manapun. Pemimpin yang arif akan melihat unjuk rasa sebagai salah satu wujud nyata kepedulian masyarakat terhadap perkembangan dan nasib bangsa, sikap ingin memperbaiki keadaan, sikap solidaritas terhadap penderitaan rakyat kecil. Aksi unjuk rasa masyarakat atau demonstrasi menjadi suatu pertanda bahwa masih ada aspirasimasyarakat yang tidak tersampaikan.8

Untuk mengangkat suatu isu agar menjadi perhatian publik, unjuk rasa merupakan elemen komunikasi yang sangat penting dalam negara dengan sistem demokrasi. Unjuk rasa massal atau yang lebih dikenal dengan bahasa demonstrasi terjadi karena digerakkan oleh rasa tidak puas terhadap keadaan, baik itu keadaan ekonomi, ataupun keadaan sosial politik yang dialami masyarakat. Dalam menekan pembuat keputusan melakukan sesuatu, menunda ataupun menolak kebijakan yang direncanakan pembuat keputusan biasanya unjuk rasa menjadi hal yang paling sering dilakukan meskipun tidak semua pendapat yang disampaikan dapat didengar ataupun menjadi tidak sesuai dengan harapan. Jika ada unjuk rasa pada satu tempat berjalan tertib dan teratur, di tempat lain pasti saja ada terjadi unjuk rasa dengan bentrokan fisik antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan. Hampir tidak ada negara di seluruh dunia akhir-akhir ini yang pada suatu atau lain waktu luput dari gejala unjuk rasa kolektif yang penuh luapan emosi, juga terkadang disertai dengan bermacam cara terorisme.

Anarki, Anarkisme atau Arnarkis, setiap orang yang mendengar kata-kata ini secara umum akan mengaitkannya kepada suatu hal negatif. Hal-hal yang bernuansa kekacauan, huru-hara, kerusuhan dan pemberontakan diartikan sebagai prinsip anarki. Sedangkan kata anarkis sendiri dapat diartikan sebagai pengacau, perusuh (anarkis = menunjuk pada orangnya), pemberontak. Kemudian ketegangan fisik yang kerap terjadi dalam masyarakat dapat dikonotasikan dengan kata Anarkisme. Di Indonesia sendiri, segala gerakan atau aksi yang berseberangan dengan demokrasi kerap akan diposisikan sebagai Anarkisme. Paham lain juga menyebutkan bahwa anarkis berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki. "Anarkisme dalam bernegara diartikan sebagai suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk Negara, Pemerintahannya, dan Kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuh suburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu Negara, Pemerintahan beserta perangkatnya harus dihilangkan." Sistem Sosialis yang tanpa pemerintahan juga dapat disebut sebagai suatu Anarkisme.

Dikarenakan tindakan anarki dianggap lebih mudah menarik perhatian para pembuat kebijakan, anarki kemudian menjadi pilihan bagi kebanyakan para pengunjuk rasa. Para kaum anarki ini sering kali melupakan fakta bahwa tindakan anarki dalam gerakan demonstrasi mereka ini justru sebaliknya telah berbalik menyengsarakan rakyat hanya karena membawa embel-embel atas nama memperjuangkan rakyat. menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu demi ketenteraman Bangsa dan Negara Indonesia, dalam mengamankan unjuk rasa dari tindakan anarki atau dari tindakan lain yang melanggar hukum tersebut, upaya sinergi antara aparat keamanan atau Polri bersama masyarakat di Tanah Air sangatlah penting.

Kurchinsky. B menyatakan ada empat faktor yang juga sangat erat kaitannya dengan efektivitas hukum, yaitu:

  • 1.    Pengetahuan tentang peraturan (Law awareness)

  • 2.    Pengetahuan tentang isi peraturan (Law acquaintance)

  • 3.    Sikap terhadap kaidah hukum tertentu (Law attitude)

  • 4.    Prikelakuan hukum (Legal behavior)9

Kewenangan yang dimiliki kepolisian dalam menjaga unjuk rasa adalah agar unjuk rasa berjalan aman, tertib sesuai dengan apa yang menjadi tujuan unjuk rasa tersebut. Dari beberapa kasus, kondisi yang sering terjadi di lapangan justru sebaliknya, dimana unjuk rasa yang semula berlangsung secara tertib kemudian berubah menjadi sebuah kerusuhan atau tindakan anarkis yang dilakukan oleh pengunjuk rasa. Bentrokan ini umumnya terjadi antara dua pihak yakni aparat keamanan atau dalam hal ini adalah kepolisian dengan pengunjuk rasa itu sendiri. Tindakan penanganan yang dilakukan oleh polisi selaku aparat keamanan akan lebih mengacu pada aspek keamanan apabila terjadi keadaan yang dinilai ada kecenderungan dapat mengganggu kepentingan umum. Tergantung dari bagaimana kondisi di lapangan, terutama apabila terjadi kondisi yang tidak

kondusif maka adakalanya polisi akan menggunakan cara atau konsep pengamanan yang sedikit berbeda dengan apa yang sudah ditetapkan pada peraturan.

Dalam membendung, menertibkan dan mengamankan massa demonstrasi yang tidak terkendali ini, peran Kepolisian sebagai kekuatan keamanan seperti mendapat pekerjaan rumah tentang bagaimana mendesain format baru pengamaman massa demonstrasi. Realitas yang terjadi, massa yang anarkis selalu berhadap-hadapan dengan polisi yang sedang bertugas mengamankan proses berlangsungnya demonstrasi sehingga terjadi bentrokan antara masa demonstran dan polisi. Penanganan unjuk rasa oleh pihak kepolisian yang meliputi penyelenggaraan pelayanan, penyelenggaraan pengamanan dan penanganan perkara, dan bentuk diskresi kepolisian dilakukan dengan cara melakukan tindakan kepolisian lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan.10 Dalam menegakan hukum terhadap aksi unjuk rasa dilakukan berdasarkan tindak pre-emtif, preventif serta tindakan represif yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan serta peraturan-peraturan Kapolri tentang penanganan unjuk rasa.11 Aksi unjuk rasa menyebabkan kerugian baik warga masyarakat, pemerintah, sekolah, maupun perusahaan swasta dikarenakan sejumlah sekolah diliburkan, perusahaan meliburkan karyawannya. Sejumlah titik jalan dikabarkan ditutup sehingga menyebabkan masyarakat putar balik lebih jauh untuk sampai ke tujuannya.12

Dapat dikatakan bahwa Polri mendapat kewenangannya secara atributif apabila dilihat dari caranya mendapatkan wewenang, artinya wewenang tersebut merupakan kewenangan yang secara langsung bersumber pada peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Philipus M.Hadjon menjelaskan bahwa wewenang atributif adalah wewenang yang bersumber dari Undang-Undang dalam arti materiil. Hal tersebut merupakan konsekuensi yang secara logis dari suatu supremasi hukum dan negara hukum, serta dari pemerintahan yang menganut suatu sistem presedensiil yang secara prinsif harus seluruh lembaga kenegaraan keberadaannya harus di bawah UUD NRI Tahun 1945.13

Prosedur dan atau tindakan yang seharusnya dilakukan oleh Polri dalam menanggulangi aksi unjuk rasa yaitu:

  • 1.    Pembuatan rencana pengamanan

  • 2.    Persiapan anggota yang juga meliputi pemberian arahan serta pembagian tugas oleh pimpinan

  • 3.    Melakukan pengamanan di TKP.14

Mengenai kedudukan Polri memang tidak secara tegas dan jelas pengaturannya dalam UUDNRI 1945. Namun pasal 30 ayat (5) UUDNRI 1945 ada ketentuan yang mensyaratkan adanya suatu tindak lanjut kedudukan, susunan, serta kewenangan Polri dalam hubungannya dengan fungsi dan tugas Polri. Sehingga ketentuan pasal 30 ayat (5) tersebut dibentuk Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 sebagai konsekuansi ligisnya dari Negara Hukum di Indonesia. Dimana lembaga Polri berada dibawah Presiden dan juga kepada presidenlah Polri bertanggungjawab. Di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yakni pasal 30 ayat (4) UUDNRI 1945, pasal 6 ayat (1) Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, dan pasal 5 ayat (1) UU/ 2 / 2002 , bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan terutama dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum.15

UU/2/2002 tidak mengatur kewenangan polisi untuk menangani unjuk rasa, tetapi memuat ketentuan yang dapat dilaksanakan seperti kewenangan polisi menangani unjuk rasa. Inilah Pasal 13 tentang tugas dan wewenang kepolisian, yang menyebutkan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut:

  • 1.    memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

  • 2.    menegakkan hukum, dan

  • 3.    memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Ketiga tugas beserta wewenang polisi di atas dapat dihubungkan dengan UU/9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Tugas dan wewenang polisi dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut dapat dikaitkan dengan Pasal 13 ayat (3) UU/ 9/1998 yang menyatakan bahwa dalam penyampaian pendapat di muka umum Polri bertanggungjawab melakukan pengamanan demi menjamin keamanan serta ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Di samping pasal 13 UU/ 2 /2002 terdapat pula pasal-pasal lain yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 yang dapat diimplementasikan untuk menangani unjuk rasa, pasal tersebut adalah Pasal 15 ayat (2) UU /2/ 2002, yang menyebutkan bahwakepolisian Negara republik Indonesia berwewenang terhadap peraturan perundang-undangan yang lain."

Maka polisi bisa mempunyai wewenang terhadap peraturan perundang-undangan unjuk rasa, pengaturan unjuk rasa diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dalam pasal 15 ayat (2) dapat diartikan bahwa setiap kegiatan yang menyangkut keamanan dan ketertiban umum, polisi berwenang untuk ikut campur. Pada pasal 15 ayat (2) huruf a, menyebutkan bahwa Kepolisian mempunyai wewenang

memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya.

Jika pasal tersebut dikaiitkan oleh UU/ 9/ 1991 pasal 10 ayat (1) yang menyebutkan penyampaian pendapat dimuka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri, disini dapat diartikan bahwa polisi berwenang untuk memberikan izin atau tidak terhadap suatu unjuk rasa yang akan dilakukan, serta polisi berwenang untuk mengawasi jalannya unjuk rasa. Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai dasar hukum kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa mengacu pada 2 dasar hukum UU/ 2 /2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Pelaksanaan Penyampaian Pendapat Dimuka Umum.

Secara umum sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan tersebut, kepolisian dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Perubahan UUD 1945 mengatur bahwa tugas dan wewenang kepolisian ditentukan dalam Pasal 30 ayat (4) yang mendefinisikan kepolisian sebagai alat negara untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan supremasi hukum. Selanjutnya Pasal 13 UU/2/2002 mengatur tentang tugas dan wewenang kepolisian, ditegaskan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat.

Ketiga tugas dan wewenang polisi tersebut dikaitkan dengan Pasal 13 ayat (3) UU/ 9/ 1998 yang menyatakan bahwa dalam penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Berdasarkan penegasan tersebut jelas bahwa Kepolisian mempunyai kewenangan dan bertanggungjawab dalam menjaga stabilitas dan keamanan dalam unjuk rasa termasuk mempunyai kewenangan menegakkan hukum apabila dalam melaksanakan unjuk rasa terbukti melakukan tindakan melwan hukum. Pasal 16UU/ 9/ 1998 menyatakan bahwa pelaku atau, sebagai peserta ekspresi publik, jika terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku. Hal tersebut dimuat dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 mengenai Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang pada prinsipnya menegaskan jika penanggungjawab ekspresi publik yang melakukan tindak pidana akan dihukum sesuai dengan ketentuan pada peraturan pidana yang berlaku dan dijumlahkan dengan satu per tiga dari pidana pokok.

  • 3.2 Kendala Polri Dalam Penanganan Unjuk Rasa Anarkis

Di Indonesia unjuk rasa sudah menjadi pemberitaan rutin dikalangan masyarakat. Unjuk rasa yang hampir setiap bulan terajadi dikalangan masyarakat.

Untuk mengendalikan dan juga mencegah unjuk rasa yang anarkis Polri mengalamai kendala yang bermacam-macam. Kendala tersrbut bisa dari kendala eksternal mapunun internal. Berbagai kendala tersebut antara lain :16

  • 1.    Sulitnya Polri Memperkirakan Jumlah Massa pengunjuk rasa, artinya bahwa sering kali Polri kurang akurat dalam memprediksi jumlah masa sehingga mengenai tepatnya perkiraan jumlah pengunjuk rasa atau demonstran oleh polri sangat sulit sekali untuk ditentukan jumlahnya.

  • 2.    Sangat mudahnya medsos menyebarkan hoax, banyaknya terdapat pihak yang memiliki niat untuk membuat suatu kekacauan dengan adanya teknologi informasi karena pihak yang membuat kekacauan dapat dengan begitu mudahnya menyebarkan hoak atau berita bohong di medsos sehingga akan memancing keruhnya suasana demonstrasi atau unjuk rasa diakibatkan berita hoax tersebut dapat mempengaruhi emosi pengunjuk rasa yang tidak terkontrol.

  • 3.    Banyaknya jumlah massa juga dapat mempengaruhi potensi anarkis, dengan banyaknya jumlah pengunjuk rasa kerap kali menimbulkan anarkisme karena dengan jumlah yang banyak Polri tidak bisa mengontrol secara kondusif mengenai tindakan anarkis sehingga perlu diberikan pemahaman bahwa harus ditanamkan kesadaran bahwa tuntutan pengunjuk rasa yang masanya justru akan gagal untuk terpenuhi hal inilah yang menyebabkan timbulnya anarki dalam unjuk rasa diakibatkan tidak terpenuhinya keinginannya.

  • 4.    Mudah meledaknya faktor psikologis pengunjuk rasa, hal ini biasanya dipengaruhi oleh pengunjuk rasa yang mengeluarkan orasi-orasi yang bersifat memprofokasi sehingga yang dipengaruhi adalah masa kerap kali menimbulkan ketegangan psikologi masing-masing pengunjuk rasa dan akhirnya akan memicu adanya tindakan anarkis.

  • 5.    Jumlah Personil polri tidak memadai atau kurang, hal ini sebabkan karena polri tidak hanya menangani masalah unjuk rasa saja tetapi masih banyak urusan lain yang perlu untuk diselesaikan sehingga dengan adanya pembagian tugas tersebut mengakibatkan jumlah Polri yang bertugas untuk mengawal unjuk rasa tidak sebanding dengan jumlah pengunjuk rasa.

  • 4.    Kesimpulan

Dari hasil pembahasan penelitian tersebut di atas, maka peneliti dapat menarik simpulan sesuai dengan permasalahan yang diangkat diantaranya yaitu Kewenangan Polri khususnya dalam kewenangannya untuk menegakan hukum terhadap adanya aksi unjuk rasa yang anarkis ditegaskan dalam UU/9/1998 tepatnya pasal 13 ayat 3 yang untuk menjamin ketertiban dan keamanan dalam penyampain pendapat di muka umum maka yang bertanggungjawab melakukan pengamanan adalah Polri dengan sistem pengamanan sesuai dengan ketentuan SOP yang berlaku. Kendala yang dihadapi Polri dalam hal penanganan aksi unjuk rasa anarkis antara lain sulitnya Polri memperkirakan jumlah massa pengunjuk rasa, Banyaknya jumlah massajuga berpotensi anarkisme, Sangat mudahnya medsos

menyebarkan hoax, kurangnya jumlah personil kepolisian, mudah meledaknya faktor psikologis pengunjuk rasa.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Achmad. Mengembara di Belantara Hukum. (Ujung Pandang, Hasanuddin University Press,1990).

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dan Penelitian Hukum. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004).

JURNAL ILMIAH

Badaruddin , Sukri. "Penanganan Unjuk Rasa Dikaji Dalam Sudut Pandang Yuridis Handling Of Rests Assessed In Juridical View". Jurusan Syariah Dan Ekonomi Bisnis Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Majene (2020).

Hadjon, Philipus M. Dalam Papernya Berjudul “Tentang Wewenang”, Tanpa Tahun.

Kasbi, Fahlevi, Reza Mhd., Ansori Lubis dan Darma Agung, "Upaya Kepolisian Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Aksi Demontrasi Anarkis (Studi Di Kepolisian Daerah Sumatera Utara)" (2019).

Mahardika, I Putu Edy. "Kewenangan Kepolisian Dalam Penanganan Unjuk Rasa Yang Anarkis Di Wilayah Hukum Kepolisian Republik Indonesia Daerah Bali". Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Pemerintahan Universitas Mahendradatta Denpasar (2021).

Pikarsa, Agryan. “Tinjauan Kriminologis Terhadap Penanggulangan Aksi Unjuk Rasa Oleh Polri”. Volume 11, Nomor 1 (2012).

Pranadji, Tri. "Unjuk Rasa (Dan Radikalisme) Serta Penanganannya Dalam Alam ”Demokrasi” Di Indonesia". Usat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 (2008).

Priyantoko, G. "Penerapan Diskresi Kepolisian Dalam Penanganan Unjuk Rasa". De Laga Lata 1 No. 1 (2016).

Putra, I. K. W. P., Widiati, I. A. P., & Sugiarta, I. N. G. "Peran Anggota Kepolisian Dalmas Polda Bali Dalam Penegakan Hukum Terhadap Penanganan Unjuk Rasa Tolak Reklamasi Teluk Benoa". Jurnal Konstruksi Hukum 1 No. 2 (2020).

Saputra, Sigit. "Efektifitas Penggunaan Kekuatan Oleh Kepolisian Dalam Menangani Aksi Unjuk Rasa yang Anakris". Volume 3, Nomor 3 (2018).

Sitinjak, I. V. W. dan Sugama, I. D. G. D. "Diskresi Polisi Dalam Kerusuhan Demonstran Di Indonesia". Kerta Wicara 9 No. 7 (2020).

Surawan, Awang. "Penegakan Hukum Terhadap Demonstran Yang Melakukan Pengrusakan Fasiltas Negara Sesuai Dengan Pasal 408 KUHP Di Wilayah Hukum Resort Pontianak Kota". Gloria Yuris (2016).

Syahbana, Ryan M. "Penerapan Prosedur Tetap Polri Dalam Penanggulangan Unjuk Rasa Anarki". Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 2 No. 1 (2013).

Syamsir. "Demokratisasi Hak Berpikir dan Berkreasi Warga Negara di Indonesia". Jurnal Inovarif, 8 No. 1 (2015).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 181. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3789

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang perlindungan Hak Asasi Manusia.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 2 Tahun 2022, hlm. 309-319