PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK

PIDANA PENGHINAAN CITRA TUBUH (BODY SHAMMING) DI SOSIAL MEDIA DALAM PERSPEKTIF HAM

I Gusti Agung Bagus Oka Wijana Narendra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i02.p10

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengetahui serta menganalisis perlindungan terhadap korban body shaming di sosial media baik dalam pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik serta untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan terhadap korban body shamming di sosial media dalam perspektif Hak Asasi Manusia. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil studi ini menunjukkan bahwa Perlindungan terhadap korban tindak pidana body shamming di sosial media termuat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan ancaman penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Serta Pengaturan terhadap korban body shamming di sosial media dalam perspektif Hak Asasi Manusia adalah adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap korban body shamming yaitu dalam ketentuan Pasal 4 UU HAM dengan tidak mengakui hak pribadi setiap orang, selain itu pelaku body shamming juga telah melanggar ketentuan Pasal 69 ayat 1 UU HAM dengan tidak menghormati hak asasi manusia orang lain dalam hal ini dengan melakukan tindakan body shamming terhadap korban.

Kata Kunci: Perlindungan, Korban, Body Shamming, Hak Asasi Manusia

ABSTRACT

This study aims to identify and analyze the protection of victims of body shaming on social media, both in the regulation of the Criminal Code and the Information and Electronic Technology Act, as well as to identify and analyze the arrangements for victims of body shaming on social media in the perspective of human rights. . The research method used in this study is a normative legal research method with a statutory and conceptual approach. The results of this study indicate that the protection of victims of the crime of body shaming on social media is contained in the provisions of Article 27 paragraph (3) of the ITE Law with a maximum imprisonment of 6 (six) years and/or a maximum fine of Rp. 1.000.000.000,00 (one billion rupiah). As well as regulation of victims of body shaming on social media in the perspective of human rights, there is a violation of human rights against victims of body shaming, namely in the provisions of Article 4 of the Human Rights Law by not recognizing the personal rights of everyone, besides that the perpetrators of body shamming have also violated the provisions of Article 69 paragraph 1 of the Human Rights Law by not respecting the human rights of others, in this case by carrying out body shaming actions against the victim.

Keywords: Protection, Victims, Body Shamming, Human Rights

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Kemajuan teknologi pada era ini menghadirkan kemudahan dalam mengakses informasi dari berbagai media, baik melalui televisi, hingga melalui perangkat canggih seperti smartphone. Hal ini kemudian juga berdampak pada penyebaran nilai-nilai yang dengan mudah dapat memengaruhi perspektif dan sikap masyarakat terhadap sesuatu, termasuk standarisasi tubuh ideal, baik bagi laki-laki maupun perempuan.1 Kebebasan berekspresi telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam Pasal 28 E ayat 3 yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak jatas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Selanjutnya Pasal 28 F UUD 1945 menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Namun pembatasan terhadap kebebasan ini telah terbangun dalam tradisi panjang melalui beragam putusan pengadilan dan produk legislasi khususnya pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan produk legislasi baru yang dihasilkan pasca reformasi 1998. Salah satu pembatasan hak asasi manusia yang penting diketahui adalah pembatasan yang diperkenalkan dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:

  • (1)    Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara.

  • (2)    Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Hal ini kemudian menjadi dasar untuk membatasi kebebasan yang telah diakui dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan berekspresi dapat berdampak buruk yaitu adanya kebebasan dalam berbicara, salah satunya penghinaan terhadap seseorang. Penghinaan sudah lama menjadi bagian dari hukum pidana Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia mewarisi sistem hukum yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Penghinaan di Indonesia pada dasarnya diatur dalam kelompok hukum pidana. Kelompok hukum pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) dan beberapa Undang-undang lain yang juga memuat ketentuan beberapa pasalnya.2

Dalam KUHP, secara umum Penghinaan diatur dalam Bab XVI dan dikelompokkan menjadi 6 bagian yakni: menista (smaad) pasal 310 ayat (1), menista dengan surat (smaadschrift) pasal 310 ayat (2), menfitnah (laster) pasal 311, penghinaan ringan (eenvoudige belediging) pasal 315, mengadu secara menfitnah (lasterlijke aanklacht) pasal 317, dan tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking) pasal 318. Selain itu, di dalam KUHP juga terdapat bentuk-bentuk penghinaan yang lebih khusus seperti Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden, penghinaan terhadap Negara, Penghinaan terhadap Badan/Kekuasaan Umum, penghinaan terhadap Golongan, penghinaan (Menista) terhadap Agama.3

Ketentuan penghinaan dalam KUHP sejak 1998 pemerintah dan DPR juga memperkenalkan Undang-Undang baru yang memuat ketentuan penghinaan yang pada dasarnya sama dengan yang telah ada dalam KUHP. Khusus untuk pengguna dunia maya, ancaman pidana yang dirumuskan melalui Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah menjadi efek jera (detterent effect) yang ampuh bagi para pengguna dunia maya, karena untuk pertama kalinya dalam perkara penghinaan seseorang bisa ditahan karena melakukan tindak pidana penghinaan di dunia maya.

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah prilaku dan pola hidup masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.4 Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Saat ini marak terjadi penghinaan terhadap citra tubuh (body shaming) di kalangan masyarakat, sebagai upaya untuk menjamin hak-hak para korban akibat penghinaan citra tubuh (body shaming) perlu adanya aturan hukum yang jelas. Permasalahan body shaming atau mempermalukan bentuk tubuh bukan lagi menjadi hal baru dan tabu di Indonesia. Body shaming terdiri dari dua suku kata yang terdiri dari body dan shaming.Body dalam Bahasa Indonesia artinya tubuh dan shaming artinya mempermalukan.5

Awalnya, body shaming hanya menjadi tren untuk bahan candaan saja, namun lama kelamaan menjadi serius hingga menjatuhkan atau menjelek-jelekkan orang lain yang mengakibatkan ketidaknyamanan dari orang yang menjadi objek body shaming tersebut. Ditambah lagi pada era digital seperti saat ini penggunaan kata-kata kerap sekali tidak terkontrol ketika menggunakan media sosial tidak secara bijak. Bila body shaming ini masih tetap berlanjut dalam jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi harga diri atau self esteem seseorang, meningkatkan isolasi menarik

diri, menjadikan seseorang rentan terhadap stress dan depresi serta rasa tidak percaya diri. Body shaming tentu memberikan efek tekanan tersendiri bagi orang yang mengalaminya. Hal ini dapat dilihat dalam kasus; Aktris Jessica Mila, tak luput jadi korban body shaming. Beberapa kali ada yang mengomentari penampilannya. “ada yang bilang, ‘badannya kecil sih, tapi kok pipinya gede banget.’ Jadi nggak cantik cantik, dan sebagainya,” Ujar Mila, juga kerap mendapat komentar soal lengan dan jerawat. Menurut Mila, kisahnya yang mengalami body shaming hampir mirip dengan peran di film terbarunya, Imperfect: Karir, Cinta dan Timbangan dengan memerankan Rara yang merasa tidak nyaman dengan penampilannya. Begitu mendapat tawaran tersebut, Mila langsung menerima karena merasa ceritanya berkaitan dengan kehidupannya.6 Efek dari body shaming lainnya juga beragam, mulai dari jatuhnya harga diri, depresi, bahkan gangguan makan seperti bulimia dan anoreksia nervosa. Perlu diketahui, setiap orang mempunyai bentuk tubuh ideal yang berbeda walaupun sudah mencapai berat badan ideal sekalipun. Apa yang kita perlukan hanyalah menjaga kesehatan tanpa dipengaruhi oleh body image yang negatif.

Body shaming dapat dikatakan sebagai bentuk bullying secara verbal yang sangat mudah ditemukan bahkan sebagian orang cenderung tidak menyadari adanya fenomena body shaming dalam keseharianya. Hal ini disebabkan karena fenomena body shaming sendiri telah merajalela dalam masyarakat bahkan menjadi hal yang biasa. Sebab lelucon menjadi alasan yang paling terlihat dalam fenomena body shaming pada perempuan. Tanggapan seseorang, tidak dibuat secara langsung atas tindakan itu, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan. Dalam artian bahwa dalam proses komunikasi individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna dan memberi tindakan dalam konteks sosial.7

Sementara instrumen hukum yang diharapkan menjadi “pelindung” bagi korban perlakuan penghinaan citra tubuh (body shaming) ini masih terdapat adanya ketidak jelasan atau norma kabur yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dapat menimbulkan multitafsir di dalam aturan-aturan terkait tindak pidana penghinaan citra tubuh (body shaming) tersebut, sehingga bukan tidak mungkin dengan semakin berkembangnya zaman dan teknologi informasi serta berbagai macam jejaring sosialnya akan mengakibatkan perbuatan-perbuatan body shaming ini semakin meluas dan semakin biasa.8 Adanya kekaburan norma terkait pengaturan penghinaan citra tubuh (body shamming) yang mana dalam KUHP hanya mengatur terkait penghinaan pada umunya. Kemudian, UU ITE hanya mengatur penghinaan melalui dunia maya namun tidak ada unsur-unsur dalam Undang-Undang tersebut yang mengacu pada penghinaan citra tubuh (body shamming).9

Penelitian sebelumnya telah diterbitkan pada Jurnal Kertha Wicara tahun 2019 oleh Ni Gusti Agung Ayu Putu Rismajayanthi dan I Made Dedy Priyanto dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penghinaan Citra Tubuh (Body Shaming) Menurut Hukum Pidana Indonesia”.10 Adapun dalam penelitian tersebut berfokus pada pengaturan tindak pidana body shamming dalam KUHP dan diluar KUHP, sementara dalam penelitian ini lebih berfokus pada tindakan body shamming di sosial media sehingga perundang-undangan yang digunakan adalah UU ITE dan juga membahas pengaturan korban body shamming dalam perspektif Hak Asasi Manusia.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, diperoleh rumusan permasalahan sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana perlindungan terhadap korban body shamming di sosial media berdasarkan KUHP dan UU ITE ?

  • 2.    Bagaimana pengaturan terhadap korban body shamming di sosial media dalam perspektif Hak Asasi Manusia ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Studi ini bertujuan untuk mengetahui serta menganalisis perlindungan terhadap korban body shaming di sosial media dalam KUHP dan UU ITE serta untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan terhadap korban body shamming di sosial media dalam perspektif Hak Asasi Manusia.

  • 2 .Metode Penelitian

Tulisan ini merupakan penelitian hukum normative dengan pengkajian norma secara deskriptif terkait perlindungan terhadap korban body shamming di sosial media baik berdasarkan KUHP, UU ITE maupun dalam perspektif Hak asasi manusia. Menurut pemikiran Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang sedang dihadapi.11 Tulisan ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam tulisan ini ditelusuri dengan menggunakan tehnik studi dokumen serta analisis kajian menggunakan analisis kualitatif.

  • 3 . Hasil dan Pembahasan

    3.1    Perlindungan terhadap Korban Body Shamming dalam KUHP dan UU ITE

Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan

dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. Menurut Fitzgerald, awal mula munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam (aliran hukum alam). Aliran hukum alam ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan Zeno.12 Aliran hukum alam yaitu hukum yang bersumber dari Tuhan (sang pencipta) yang sifatnya universal dan kekal, serta antara hukum maupun moral tidak dapat dipisahkan. Penganut aliran ini berpandangan bahwa hukum maupun moral ialah cerminan maupun aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang selanjutnya diwujudkan melalui hukum dan moral. Fitzgerald menjelaskan teori pelindungan hukum Salmond bahwa hukum sesungguhnya bertujuan mengintegrasikan maupun mengkoordinasikan berbagai kepentingan di masyarakat karena dalam lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap suatu kepentingan hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.13

Kepentingan hukum ialah mengurusi kepentingan maupun hak, yang dimana menyebabkan hukum di sini mempunyai otoritas paling tinggi dalam menentukan kepentingan manusia yang perlu dilindungi dan diatur. Perlindungan hukum sesungguhnya patut melihat tahapan-tahapan yaitu perlindungan hukum yang lahir dari segala peraturan hukum dan ketentuan hukum yang diberikan masyarakat yang dimana pada dasarnya ialah suatu kesepakatan masyarakat untuk mengatur hubungan prilaku antara perseorangan dengan pemerintah dan anggota-anggota masyarakat yang dianggap sebagai mewakili kepentingan dari masyarakat.14

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum ialah memberikan pengayoman pada HAM yang dirugikan oleh orang lain, dan perlindungan hukum tersebut diberikan kepada masyarakat luas sehingga dapat menikmati semua hak yang telah diberikan oleh hukum.15 Mewujudkan perlindungan hukum yang sifatnya tidak sekedar fleksibel dan adaptif, melainkan juga antisipatif dan prediktif merupakan salah satu fungsi dari hukum. Mereka yang belum kuat secara sosial ataupun lemah membutuhkan hukum, ekonomi dan politik untuk mendapatkan keadilan sosial. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi dari hukum ialah melindungi rakyat dari bahaya maupun tindakan yang memberikan potensi untuk merugikan ataupun menderitakan hidup rakyat itu sendiri. Selain itu hukum juga berfungsi memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Sesungguhnya perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni :

  • a.    Perlindungan hukum preventif, ialah perlindungan hukum kepada rakyatnya yang diberikan kesempatan untuk mengajukannya pendapat ataupun keberatan sebelum suatu keputusan pemerintah menjadi suatu bentuk yang bersifat definitif.

  • b.    Perlindungan hukum represif, ialah perlindungan hukum yang dimana lebih ditujukan dalam penyelesian suatu sengketa.

Perlindungan hukum memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar

mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat mengakibatkan adanya korban tindak pidana dan juga pelaku tindak pidana.16 Dimana dalam terjadinya suatu tindak pidana ini tentunya yang sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana tersebut. Dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi diri atau kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membanyu korban mengatasi penderitaanya atau untuk mencegah viktimisasi.

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit” perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.17 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Tindak pidana biasanya disamakan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Delik tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.18 Istilah tindak pidana sebagai terjamahan dari strafbaarfeit menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.19

Istilah tindak pidana ini timbul dan berkembang dari pihak Kementrian Kehakiman yang sering dipakai dalam perundang-undangan meskipun lebih pendek dari pada perbuatan, akan tetapi tindak pidana menunjukkan kata yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menunjukkan hal yang konkrit.20 Pengertian perbuatan ternyata yang dimaksudkan bukan hanya berbentuk positif, artinya melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu yang dilarang, dan berbentuk negatif, artinya tidak berbuat sesuatu yang diharuskan.21 Perbuatan yang dapat dikenakan pidana dibagi menjadi dua yakni sebagai berikut:

  • 1.    Perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang.

  • 2.    Orang yang melanggar larangan itu.22

Beberapa Unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

  • a.    Unsur Objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan terdiri dari:

  • 1)    Sifat melanggar Hukum.

  • 2)    Kualitas dari si pelaku.

  • 3)    Kausalitas yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

  • b.    Unsur Subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang di hubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari :

  • 1)    Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

  • 2)    Maksud pada suatu percobaan, seperti di tentukan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

  • 3)    Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan, pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

  • 4)    Merencanakan terlebih dahulu seperti tercantum dalam pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

  • 5)    Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.

Istilah yang juga umum dipergunakan untuk tindak pidana terhadap kehormatan adalah tindak pidana “penghinaan”. Kata penghinaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 315 KUHP di terjemahkan dalam Bahasa Belanda yaitu eenvoudige belediging yang artinya “biasa” akan tetapi sebagian para ahli menerjemahkannya dengan arti “ringan”. Pasal tersebut belum cukup mengakomodir seluruh perbuatan penghinaan terhadap citra tubuh (body shaming) yang sering kita jumpai akhir-akhir ini. Pasal 315 KUHP masih terbatas karena mengatur mengenai penghinaan yang dilakukan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran maupun pencemaran baik yang dilakukan oleh seseorang baik dimuka umum atau di muka orang itu sendiri menggunakan lisan atau tulisan. Pasal 315 KUHP ini tidak menjelaskan secara rinci mengenai penghinaan dalam bentuk apa saja yang dapat dikatakan penghinaan ringan, atau dengan kata lain KUHP yang berlaku saat ini hanya mengatur tentang penghinaan dalam arti luas tanpa terperinci sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya.

Hal ini dapat kita lihat dari unsur unsur yang terdapat dalam Pasal 315 KUHP. Adapun unsur unsur dari Pasal 315 KUHP yaitu:14

  • a.    Unsur Obyektif

  • 1.    Setiap penghinaan yang tidak bersifat pencemaran lisan atau pencemaran tertulis;

Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran adalah jika seseorang melakukan pembuatan menghina atau mencela seseorang akan tetapi apa yang dikatakan itu benar tanpa bermaksud mencemarkan nama baiknya, namun perkataanya membuat orang lain merasa tersinggung dan direndahkan harga dirinya sebagai manusia.

  • 2.    Yang dilakukan terhadap seseorang dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan;

Tindak pidana penghinaan yang dilakukan tersebut dimaksud apabila suatu tindakannya dilakukan di muka umum atau bahkan di muka orangitu langsung baik dengan berbicara langsung secara spontan atau menggunakan perantara tulisan, surat maupun bekomentar menggunakan media elektronik.

  • 3.    Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya;

Apabila tindak pidana penghinaan tersebut dilakukan dengan cara melalui bentuk tulisan berupa surat yang dikirimkan langsung kepada seseorang sehingga dapat menjadi bukti dari perbuatan penghinaannya tersebut baik yang mengirimkan atau yang menerima.

  • b.    Unsur Subyektif

  • 1.    Dengan sengaja

Di dalam KUHP tidak memberikan penjelasan langsung mengenai kata sengaja. Akan tetapi dapat kita ketahui bersama arti dari kata sengaja yang diambil dari M.v.T (Memorie van Toelicthing) yang artinya adalah menghendaki dan mengetahui.15 Sehingga dapat dikatakan bahwa sengaja adalah menghendaki atau mengetahui yang dilakukan. Seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja tersebut merupakan yang memang mengehendaki perbuatan itu dan menyadari tentang apa yang dilakukannya.

Unsur – unsur Pasal 315 KUHP sebagaimana telah diuraikan diatas sudah jelas bahwa pasal tersebut mengatur mengenai tindak pidana penghinaan ringan. Namun dalam Pasal 315 KUHP tidak dijelaskan secara rinci apa saja yang termasuk bagian dari tindak pidana penghinaan ringan. Berdasarkan ciri-ciri body shaming yang sudah dijelaskan diatas, dapat dikatakan bahwa body shaming sudah memenuhi unsur-unsur obyektif dari Pasal 315 KUHP seperti penghinaan dalam bentuk pencemaran lisan atau pencemaran tertulis yang dilakukan dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, serta dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, sehingga body shaming merupakan bagian dari tindak pidana penghinaan ringan yang dilakukan terhadap citra tubuh seseorang. Dengan demikian Pasal 315 KUHP dapat digunakan untuk menjerat warganet yang menuliskan body shaming baik di kolom komentar maupun direct message, karena hal tersebut sifatnya tertulis dan dilakukan dimuka umum atau bisa diakses orang banyak. Pasal 315 KUHP ini juga bisa menjerat seseorang yang mengirimkan pesan body shaming karena itu sesuai dengan unsur-unsur Pasal 315 KUHP yaitu dilakukan di muka orang itu sendiri.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan Undang-Undang yang ditunggu implementasinya baik oleh dunia teknologi informasi, masyarakat umum, maupun pemerintah. Beberapa alternatif model pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu model pengaturan yang berpijak pada pemilahan materi hukum secara ketat sehingga regulasi yang dibuat bersifat sangat sempit dan spesifik pada sektor tertentu saja serta model pengaturan yang bersifat komprehensif dalam arti materi muatan yang diatur mencakup hal yang lebih luas disesuaikan dengan kebutuhan yang saat ini terjadi sehingga dalam regulasi tersebut akan tercakup aspek hukum perdata materiil, hukum acara perdata dan pidana, hukum pembuktian, dan hukum pidana. Yang terjadi

apabila seorang yang melakukan tindak pidana penghinaan melalui dunia maya, dapat dikenakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Tindak pidana tersebut di atas diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  • 3.2 Pengaturan terhadap Korban Body Shamming dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Citra tubuh mempengaruhi penerimaan diri seseorang terhadap lingkungannya, sehingga semakin tinggi citra tubuh, maka semakin tinggi pula penerimaan diri seseorang terhadap dirinya. Namun, ketika standar dan penilaian sulit dicapai maka akan dapat menimbulkan perasaan tidak puas terhadap kondisi diri sendiri. Pola pikir ini terus terbawa, sehingga menimbulkan persepsi negatif terhadap citra tubuh cenderung terbentuk jika tidak memiliki bentuk tubuh ideal yang diharapkan dengan melakukan berbagai usaha seperti berolahraga, diet, menggunakan produk, serta operasi karena merasa bentuk tubuhnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh dirinya maupun lingkungannya. Berbagai usaha dilakukan untuk mencapai berat badan atau tubuh yang ideal menurut diri sendiri dan orang lain.

Body shaming adalah istilah yang merujuk kepada kegiatan mengkritik dan mengomentari secara negatif terhadap fisik atau tubuh orang lain atau tindakan mengejek/menghina dengan mengomentari fisik (bentuk tubuh maupun ukuran tubuh) dan penampilan seseorang.23 Tidak hanya berfokus pada bentuk ukuran tubuh ideal karena body shaming tidak sekedar terkait fat shaming (bentuk tubuh yang besar) atau skinny shaming (bentuk tubuh terlalu kurus), tapi body shaming juga mencakup segala aspek fisik seseorang yang dapat dilihat oleh orang lain, seperti warna kulit, tinggi badan, dan dilakukan oleh dan terhadap perempuan maupun laki-laki.24

Tindakan body shaming terjadi di sekitar kita di kalangan masyarakat di semua status sosial, di dunia nyata maupun di dunia maya melalui media sosial, terutama Instagram sebagai media yang fokus pada photo sharing para penggunanya. Body shaming lebih sering dialami oleh perempuan, hal ini terjadi karena perempuan cenderung menginternalisasi penilaian pengamat yang mengobyekkan tubuhnya dibandingkan laki-laki. Budaya memiliki tuntutan yang lebih besar terhadap standar tubuh perempuan, namun bukan hanya perempuan saja tetapi laki-laki juga mengalami body shaming walaupun perempuan memiliki body shaming yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Dengan demikian fenomena body shaming dapat dialami baik perempuan maupun laki-laki.25

Body Shaming merupakan tindakan seseorang yang mencela atas suatu bentuk tubuh individu lain dimana bentuk tubuh tersebut tidak ideal dan atau tidak seperti bentuk-

bentuk tubuh pada umumnya. Terdapat lima dimensi dalam pengukuran citra tubuh (body image), yaitu:

  • a.    Appearance evaluation (evaluasi penampilan) Evaluasi penampilan yaitu penilaian penampilan secara keseluruhan tubuh.

  • b.    Appearance orientation (orientasi penampilan) Orientasi penampilan yaitu pandangan yang mendasar tentang penampilan diri.

  • c.    Body area satisfaction (kepuasan terhadap bagian tubuh) Kepuasaan terhadap bagian tubuh, yaitu mengukur kepuasaan individu terhadap bagian tubuh secara spesifik secara keseluruhan dari atas sampai bawah.

  • d.    Overweight preoccupation (kecemasan menjadi gemuk) Kecemasan menjadi gemuk yaitu kewaspadaan individu terhadap bertambahnya berat badan, dan akan membatasi pola makan.

  • e.    Self-classified weight (Pengkategorian ukuran tubuh) Pengkategorian ukuran tubuh, yaitu pengklasifikasikan golongan tubuh, dari kurus sampai gemuk. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dimensi body image sebagai berikut : Appearance evaluation, Appearance orientation, Body area satisfaction, Overweight preoccupation, Self-classified weight.26

Dampak dari body shamming sangatlah mengkhawatirkan, karena akan mengganggu stabilitas psikologis diri dan akan membuat diri menjadi tidak berarti dimata orang lain.

Tindakan body shamming juga dapat dikatakan sebagai sebuah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Hal ini karena di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) dijelaskan bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang setara sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU HAM yang menjelaskan Pasal 3 ayat 1 “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan”. Selain itu UU HAM juga mengatur terkait hak asasi pribadi setiap manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun sesuai ketentuan Pasal 4 UU HAM “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Ketentuan dalam Pasal 4 UU HAM menjelaskan bahwa hak untuk diakui sebagai pribadi adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Namun, dengan adanya tindakan body shamming dengan tentu telah melanggar hak pribadi manusia unuk dianggap sebagai pribadi yang sama antara setiap manusia. Selain itu, sebagai manusia juga memiliki kewajiban dasar yang termuat dalam Pasal 69 ayat 1 dan ayat 2 UU HAM yang menjelaskan bahwa

  • (1)    Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara.

  • (2)    Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.

Berdasarkan hal tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaku tindakan body shamming telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yaitu terhadap ketentuan Pasal 4 UU HAM dengan tidak mengakui hak pribadi setiap orang , selain itu pelaku body shamming juga telah melanggar ketentuan Pasal 69 ayat 1 UU HAM dengan tidak menghormati hak asasi manusia orang lain dalam hal ini dengan melakukan tindakan body shamming terhadap korban. Tindakan body shamming juga menunjukkan bahwa pelaku tidak memiliki etika dan moral terlebih lagi tindakan tersebut kadang membuat korban menjadi depresi dengan adanya perbuatan penghinaan terhadap tubuh korban.

  • 4.Kesimpulan

Perlindungan terhadap korban tindak pidana body shamming di sosial media termuat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun ancaman tindak pidana tersebut yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Serta Pengaturan terhadap korban body shamming di sosial media dalam perspektif Hak Asasi Manusia adalah adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap korban body shamming yaitu dalam ketentuan Pasal 4 UU HAM dengan tidak mengakui hak pribadi setiap orang , selain itu pelaku body shamming juga telah melanggar ketentuan Pasal 69 ayat 1 UU HAM dengan tidak menghormati hak asasi manusia orang lain dalam hal ini dengan melakukan tindakan body shamming terhadap korban. Tindakan body shamming juga menunjukkan bahwa pelaku tidak memiliki etika dan moral terlebih lagi tindakan tersebut kadang membuat korban menjadi depresi dengan adanya perbuatan penghinaan terhadap tubuh korban.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdillah, Leon A., Moh Hatta Alwi, Janner Simarmata, Muhammad Bisyri, Nasrullah Nasrullah, Asmeati Asmeati, Sri Gusty, Sakir Sakir, Nur Azizah Affandy, and Erniati Bachtiar., Aplikasi Teknologi Informasi: Konsep dan Penerapan. Jakarta, Yayasan Kita Menulis, (2020).

Achmad, Yulianto, and N. D. Mukti Fajar. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, (2015).

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, (2012).

Jurnal Ilmiah

Alawiyah, Desi. "Pendekatan Person-Centered Dalam Menangani Body Shaming Pada Wanita." Jurnal Mimbar: Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani 5, no. 1 (2019): 9-15.

Anggraini, Anggraini. "Upaya Hukum Penghinaan (body Shaming) Dikalangan Media Sosial Menurut Hukum Pidana Dan Uu Ite." Jurnal Lex Justitia 1, no. 2 (2020): 113124.

Chairani, Lisya. "Body Shame dan Gangguan Makan Kajian Meta-Analisis." Buletin Psikologi 26, no. 1 (2018): 12-27.

Gani, Andika Wahyudi, and Novita Maulidya Jalal. "Persepsi Remaja Tentang Body Shaming." IKRA-ITH HUMANIORA: Jurnal Sosial dan Humaniora 5, no. 2 (2021): 17

Gerdiman, Enny Lindawati. "Pengaruh Persepsi Konsep, Fungsi dan Penerapan Teknologi Informasi Terhadap Minat dan Prilaku Pemanfaatan E-Commerce Studi Kasus: Pengusaha Komputer di Jakarta." Telematika MKOM 1, no. 1 (2016): 37-44.

Harefa, Safaruddin. "Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Indonesia Melaui Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam." University Of Bengkulu Law Journal 4, no. 1 (2019): 35-58.

Kaimuddin, Arfan. "Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian Ringan Pada Proses Diversi Tingkat Penyidikan." Arena Hukum 8, no. 2 (2016): 258-279.

Khanadita E, Mutia. "Prospek Pidana Kerja Sosial Sebagai Sanksi Pidana Bagi Pelaku Kejahatan Serius Tertentu Dalam Pembaharuan KUHP Indonesia." PhD diss., UII, 2016.

Mujianto, Diki. "Analisis Naratif Konsep Diri dalam Film Imperfect: Karier, Cinta dan Timbangan." Bachelor's thesis, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mutmainnah, Ayuhan Nafsul. "Analisis Yuridis Terhadap Pelaku Penghinaan Citra Tubuh (Body Shaming) Dalam Hukum Pidana Di Indonesia." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 26, no. 8 (2020): 975-987.

Rahim, Abdul Jabar. "Tinjauan Hukum Terhadap Penyelesaian Pidana Menurut Adat Tolaki Dalam Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Di Desa Tirawuta Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe." Jurnal Hukum Responsif 7, no. 2 (2019): 84-99.

Riffai, Bahtiar. "Kualifikasi Delik Pelecehan Seksual Melalui Elektronik Atas Laporan Kepala Sekolah Terhdap Baiq Nuril Dikatkan Dengan Undang-Undang No 11

Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik." Phd Diss., Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 2021.

Rismajayanthi, Ni Gusti Agung Ayu Putu, and I. Made Dedy Priyanto. "Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penghinaan Citra Tubuh (Body Shaming) Menurut Hukum Pidana Indonesia." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9 (2018): 1-16.

Rosyidah, Alimatur. "Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (Abk) Sebagai Korban Tindak Pidana Persetubuhan Dalam Proses Pendampingan Visum Et Repertum Dengan Nomor Perkara Sp. Lidik/1228/Xi/2018/Satreskrim Malang Kota." PhD diss., Universitas Muhammadiyah Malang, 2020.

Saitya, Ida Bagus Subrahmaniam. "Faktor-faktor penyebab tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak." Vyavahara Duta 14, no. 1 (2019): 1-7.

Sari, Genny Gustina, Welly Wirman, and Andella Dekrin. "Pengaruh Body Image terhadap Konsep Diri Mahasiswi Public Relation Di Kota Pekanbaru." CoverAge: Journal of Strategic Communication 12, no. 1 (2021): 52-60.

Sukma, Oktafia Della Melati, and Bintara Sura Priambada. "Upaya Hukum Penghinaan (Body Shaming) Dikalangan Media Sosial Menurut Hukum Pidana Dan Undangundang Informasi Dan Transaksi Elektronik." DELICT 6, no. 2 (2020): 1-8.

Sunarjo, Sunarjo. "Perlindungan Hukum Pemegang Kartu Kredit Sebagai Nasabah Bank Berdasarkan Perjanjian Merchant." Jurnal Cakrawala Hukum 5, no. 2 (2014): 180-196.

Yanto, M. "Kajian Yuridis Tentang Tindak Pidana Penistaan Pasal 310 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Kuhp) Indonesia (Putusan Nomor: 219/Pid. B/2008/Pn. Lmg)." Jurnal Independent 7, no. 1 (2019): 160-166.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 2 Tahun 2022, hlm. 320-333