KEPASTIAN HUKUM DEPONERING OLEH JAKSA AGUNG BERDASARKAN ASAS OPORTUNITAS PADA

SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Made Ananda Bella Cahyani, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, e-mail: bellacahyani2312@gmail.com

Dewa Gede Pradnya Yustiawan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, e-mail: pradnya_yustiawan@unud.ac.id

DOI: KW.2022.v11.i02.p16

ABSTRAK

Studi bertujuan untuk menganalisa pengaturan dan kepastian hukum deponering oleh jaksa agung menurut asas oportunitas yang diatur pada sistem peradilan pidana indonesia. Studi ini ditulis menggunakan metode yuridis normatif yang melibatkan pendekatan peraturan perundang-undangan serta analisis konsep hukum. Hasil studi menunjukkan pengaturan indikator deponering memuat suatu kekaburan norma yang berakibat pada ketidakpastian hukum. Frasa kepentingan umum terdapat di Pasal 35 ayat (1) huruf c Undang-Undang Kejaksaan tidak dicantumkan mengenai indikator penentu dan mempunyai arti yang luas bagi Jaksa Agung sebagai pemegang kewenangan deponering. Selain itu, untuk menjamin kepastian hukum deponering oleh Jaksa Agung, Undang-Undang Kejaksaan perlu untuk direvisi dengan memperjelas indikator dari kepentingan umum.

Kata Kunci: Jaksa Agung; Deponering; Asas Oportunitas; Sistem Peradilan Pidana.

ABSTRACT

This aimed to analyze the provisions and legal certainty of deponering authority possessed by the Attorney General according to the principles of opportunity in the Indonesian criminal justice system. This journal uses normative juridical research methods that include statutory and analysis approaches. Results of this journal indicate that the deponering provisions do not have clear provisions that resulted in the existence of legal uncertainty. The phrase of public interest governed under Article 35 paragraph (1)(c) of the Attorney Statutory doesn’t have a clear indicator and can be broadly interpreted by the Attorney General as the holder of the deponering authority. Moreover, to guarantee the legal certainty on the application of deponering, a revision of the Attorney Statutory is needed to give legal certainty to the indicator of public interest.

Keywords: Attorney General; Deponering; Opportunity Principle; Criminal Justice System.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Sistem peradilan pidana ialah sebuah sistem penegakkan hukum pidana mencakup empat institusi, yakni penyidikan, penuntutan, pengadilan serta pelaksana putsan.1 Lembaga yang berwenang untuk melaksanakan penuntutan

adalah lembaga kejaksaan. Kejaksaan menyesuaikan mekanisme kerja melalui koordinasi antar instansi dengan penegak hukum yang lain (Kepolisian, Advokat, Departemen Hukum, Departemen HAM/Lembaga Pemasyarakatan, serta Mahkamah Konstitusi/Pengadilan). Hal ini sejalan dengan recht positive yang dimiliki Kejaksaan selaku Subsistem Peradilan Pidana. (Intergrited Criminals Justice Systems).2

Kejaksaan Republik Indonesia mempunyai peranan strategis untuk melaksanakan penuntutan berdasarkan sistem peradilan pidana terpadu sesuai UU Nomor 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP.3 Dalam Hukum Pidana Indonesia, Kejaksaan memiliki kewenangan atribusi guna melaksanakan tuntutan perkara pidana dimana wewenang penuntutan (dominus litis) ialah monopoli Kejaksaan selaku jaksa penuntut umum, sesuai Pasal 13 sampai dengan Pasal 15 KUHAP. Kemudian dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (selanjutnya disebut UU Kejaksaan), dirumuskan bahwa “Jaksa adalah pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional yang memiliki kekhususan dan melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang.”

Adapun yang menjadi pimpinan serta orang yang memiliki tanggung jawab tertinggi ranah Kejaksaan disebut dengan Jaksa Agung menurut Pasal 18 ayat (4) UU Kejaksaan. Disebutkan bahwa dalam Pasal a quo bahwa “Jaksa Agung merupakan pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, wewenang Kejaksaan, dan tugas lain yang diberikan oleh negara.” Menurut Pasal 35 ayat (1) huruf c UU Kejaksaan, Jaksa Agung selaku pemimpin paling tinggi di kejaksaan memiliki wewenang dalam menyampingkan sebuah kasus dengan berdasarkan kepentingan umum. Kasus yang dimaksudkan ialah kasus atau perkara yang memiliki bukti cukup.

Pengesampingan perkara guna kepentingan umum ini juga disebut dengan istilah deponering. Frasa ini berasal dari Bahasa Belanda dengan urat katanya “seponer” atau “sepot” yang diartikan sebagai menyampingkan (terzijde leggen),4 tak menuntut (neit vervalgen), sesuai dengan KUHP Belanda (Het nederlands stragproces recht).5 Deponering yakni hak istimewa yang dimiliki Jaksa Agung guna menyampaikan kasus atas dasar kepentingan umum. Hal itu dilakukan atas adanya saran maupun masukan dari lembaga-lembaga hukum lainnya6. Sebagaimana terurai di penjelasan pada Pasal 35 ayat (1) huruf c UU Kejaksaan, deponering ialah perwujudan asas oportunitas. Asas mana diartikan sebagai penuntut umum tak berkewajiban untuk memberikan tuntutan seorang yang telah melaksanakan sebuah tindakan apabila sesuai pertimbangan

tuntutan bisa menimbulkan kerugian pada kepentingan umum.7 Asas oportunitas ini pada dasarnya bertujuan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kewenangan oleh penuntut umum, karena asas ini dikhususkan hanya pada permasalahan tertentu yang sejatinya berkaitan dengan kepentingan umum. Kewenangan ini diperuntukkan bagi Jaksa Agung ketika menyelenggarakan deponering sehubungan dengan kekuasaannya untuk menyampingkan perkara untuk perihal kepentingan umum.8

Apabila dicermati secara lebih mendalam, frasa mengenai kepentingan umum ini memuat suatu kekaburan norma, dalam artian tidak adanya kriteria atau indikator penentu apa yang dimaksudkan sebagai kepentingan umum tersebut. UU Kejaksaan hanya menentukan pengertian kepentingan umum pada Penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf c sebagai “yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Jaksa Agung memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.” Tidak ada indikator penentu mengenai kepentingan bangsa, negara, ataupun masyarakat luas tersebut sehingga rentan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang cenderung berakibat pada penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.

Adapun untuk menjamin orisinalitas studi ini, dipaparkan beberapa studi lain dengan topik serupa namun memiliki perbedaan pada pokoknya, antara lain sebagai berikut:

  • 1.    Penelitian dalam bentuk jurnal oleh Muhamad Iqbal pada tahun 2018 dengan judul “Implementasi Efektifitas Asas Oportunitas di Indonesia dengan Landasan Kepentingan Umum”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa:  1) Konteks Implementasi Asas Oportunitas di Indonesia

terhadapkasus-kasus kejahtan yang terbilang communal di Indonesia, terbilang sangatlah kurang dan jarang; dan 2) Terdapat penafsiran aparat penegak hukum yang beragam sehingga kasus pidana masyarakat komunal jarang tersentuh implementasi asas oportunitas.

  • 2.    Penelitian yang dilakukan oleh Rosyid Aji Galamahta Sulistiyono pada tahun 2018 dengan judul “Praktik Pengesampingan Perkara Pidana dengan Alasan Demi Kepentingan Umum oleh Jaksa Agung Republik Indonesia”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: 1) Tidak adanya kejelasan mengenai arah pengesampingan perkara yang dilakukan demi kepentingan umum; dan 2) Adanya pertimbangan yang berbeda dan tidak konsisten mengenai makna frasa kepentingan umum dalam perkara yang dikesampingkan.

Untuk itu, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai Kepastian Hukum Deponering Oleh Jaksa Agung Berdasarkan Asas Oportunitas pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang di sub bab 1.1., kemudian ditentukan rumusan permasalahan penulisan jurnal ini, yang meliputi:

  • 1.    Bagaimana pengaturan deponering sebagai kewenangan Jaksa Agung didasarkan atas asas oportunitas pada sistem peradilan pidana di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana kepastian hukum pelaksanaan deponering oleh Jaksa Agung menurut Undang-Undang Kejaksaan?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Ditulisnya studi ini memiliki tujuan sebagai berikut:

  • 1.    Mengetahui pengaturan deponering sebagai kewenangan Jaksa Agung didasarkan atas asas oportunitas pada sistem peradilan pidana di Indonesia.

  • 2.    Menganalisis dan menelaah kepastian hukum pelaksanaan deponering oleh Jaksa Agung menurut Undang-Undang Kejaksaan.

  • II.    Metode Penelitian

Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan berdasarkan pendekatan peraturan perundang - undangan (statute approach) dan analisis terhadap konsep hukum (analytical and legal concept). Studi ini juga dilakukan dengan sifat penelitian deskriptif yang ditunjang dengan data sekunder dan bahan hukumnya terdiri atas: (a) Bahan hukum primer, terdiri atas peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi terhadap topik penelitian; dan (b) Bahan hukum sekunder, terdiri atas buku, jurnal, hasil penelitian, dan karya tulis hukum lainnya sepanjang memiliki relevansi dengan topik studi.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan Deponering Sebagai Kewenangan Jaksa Agung Beridasarkan Atas Asas Oportunitas pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Pengesampingan kasus berdasar kepentingan umum ialah wewenang yang dimiliki oleh Jaksa Agung termuat pada Pasal 35 ayat (1) huruf c UU Kejaksaan. Perkaranya yang dimaksudkan ialah perkara yang memiliki bukti cukup, namun karena adanya kepentingan umum yang lebih mendesak, dikehendaki untuk tidak dilakukan penuntutan. Pengesampingan perkara ini berkaitan erat dengan keberadaan asas oportunitas, dimana asas oportunitas berperan untuk menentukan layak atau tidaknya diadakan penuntutan terhadap suatu perkara berdasarkan sudut pandang sebab akibat dan dari sudut pandang kepentingan umum.9 Meskipun tidak termaktub secara eksplisit mengenai asas oportunitas pada UUD NRI Tahun 1945, tidak serta merta pula memiliki arti diterapkannya asas oportunitas merupakan hal yang memberikan pertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.10

Sebagaimana Pasal 35 ayat (1) huruf c yang termuat di UU Kejaksaan, Jaksa Agung bertugas dan berwenang untuk mengesampingkan perkara demi

kepentingan umum. Selanjutnya, di Penjelasaan pasal yang sama diatur bahwa:

Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Jaksa Agung memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut

Definisi frasa kepentingan umum tersebut menurut hemat penulis memiliki suatu arti yang begitu luas dan tidak ditentukan indikator penentu dari kepentingan bangsa dan negara, maupun mengenai kepentingan masyarakat luas. Bahkan masih tidak jelas tentang badan kekuasaan negara manakah yang memiliki kewenangan untuk berpendapat apabila Jaksa Agung hendak melaksanakan deponering. Kendati telah mendapat tafsir resmi dari pembentuk undang-undang dalam Penjelasan Pasalnya, senyatanya tafsir tersebut tidak memuat suatu kepastian hukum mengenai batasan yang dimaksud sebagai kepentingan masyarakat luas atau kepentingan yang menyangkut bangsa dan negara, sehingga menimbulkan kekaburan dan keragu-raguan dalam penerapannya.

Chairul Huda memberikan pendapat mengenai penjelasan yang terdapat pada Pasal 35 ayat (1) huruf c UU Kejaksaan yang dirasa memerlukan tafsir konstitusional, karena penjelasan tanpa tafsir yang konstitusional dapat menyebabkan Jaksa Agung secara subjektif menggunakan kewenangan deponering yang nantinya dapat menimbulkan kerugian pada kepentingan pihak lain (dalam hal ini yaitu pelapor atau korban ataupun masyarakat luas).11 Selain itu, I Gde Pantja Astawa berpendapat bahwasanya tak terdapat pembatasan pada pemaknaan, cakupannya serta tolok ukur mutlak mengenai kepentingan umum serta siapa atau lembaga negara manakah yang memiliki keterkaitan pada permasalahan yang dimaksudkan pada pemaknaan terkait Pasal 35 (c) UU Kejaksaan. Ketiadaan batasan dan tolak ukur tersebut menunjukkan bahwa wewenang deponering oleh Jaksa Agung merupakan kewenangan bebas (vrij bevoegdhed) yang dilakukan didasarkan diskresi (discretionary powers; freis ermesson) oleh Jaksa Agung tersebut. Wewenang memberikan ruang yang luas bagi Jaksa Agung untuk bebas menyediakan pertimbangannya (beoordelingsvrijhed), serta pengambilan kebijakannya (beleidsvrijhed).12

Berbeda dengan pendapat Chairul dan Pantja, DPR RI dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 29/PUU-XIV/2016 mengemukakan pandangannya terhadap kepentingan umum yang dianggap sebagai resultante hasil pertimbangan beragam kepentingan pada kalangan umum dan menjadikan kepentingan umum sebagai kepentingan teratas. Untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, maka setiap kasus per kasus memerlukan pertimbangan dari segi filosofi, sosiologi, dan yuridis yang berbeda-beda berdasarkan peristiwa hukum dan kepentingan hukumnya, disertai dengan pertimbangan dari badan-badan kekuasaan negara lainnya. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa dalam undang-undang a quo, kepentingan umum didasarkan atas batasan yang memiliki dinamika, karena menyesuaikan dengan perkembangan hukum serta kondisi masyarakat.

Sebaliknya, jika terdapat rincian yang jelas dan konkret terkait dengan batasan kepentingan umum, maka hal tersebut akan memiliki potensi berkontradiksi pada kepentingan umum, dikarenakan tidak selaras dengan keadaan masyarakat hukum yang sedang berkembang.13

Sejalan dengan pendapat dari DPR RI, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak melihat permasalahan dalam frasa “demi kepentingan umum”, karena kewenangan deponering tak diarahkan pada penghilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, serta kepastian hukum yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) sesuai yang ditetapkan pada Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 serta diberlakukan tanpa diskriminasi antar WNI dan WNA, melainkan deponering dilakukan demi kepentingan negara, bangsa serta dan/atau masyarakat luas14 yang pengertiannya bisa diberi arti dengan luas oleh Jaksa Agung sebagai yang memiliki wewenang deponering.15 Namun, untuk tetap melindungi dan menjunjung tinggi hak konstitusional WNI, Mahkamah memberikan tafsiran terhadap Penjelasan Pasal 35 ayat (1) huruf c UU Kejaksaan, dimana kalimat “setelah memerhatikan saran dan pendapat dari badan- badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” memiliki arti, “Jaksa Agung wajib memerhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Penafsiran ini dimaksudkan untuk memberikan batasan serta ukuran dalam penggunaan kewenangan deponering. Hal ini karena apabila suatu perkara telah dideponir, maka tidak ada upaya hukum lain untuk bisa membatalkan kewenangan tersebut, kecuali atas dasar kewenangan Jaksa Agung itu sendiri. Selain itu, Mahkamah memandang bahwa pentingnya tafsiran tersebut berkaitan dengan perbedaan antara deponering dengan dihentikannya penuntutan yang diatur pada Pasal 140 ayat (2) KUHAP, di =mana dihentikannya penuntutan ini mencakup upaya hukum praperadilan. Hal ini sejalan dengan Pasal 77 huruf a KUHAP, serta Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XII/2014, bertanggal 28 April 2015.16

  • 3.2    Kepastian Hukum Pelaksanaan Deponering oleh Jaksa Agung Menurut Undang-Undang Kejaksaan

Semenjak diaturnya kewenangan deponering pada tahun 1961 di dalam UU Kejaksaan, sebagaimana dicatat oleh Surachman, perkara pidana yang diseponeer oleh Kejaksaan tidak lebih dari 10 (sepuluh) perkara. Apabila dikomparasikan pada negara hukum sipil penganut asas ekpediensi, maka angka ini merupakan angka yang jauh lebih kecil, dimana di negara-negara tersebut ditemukan setidaknya tiap tahunnya nyaris lima puluh persen kasus kepidanaan diterapkan penyampingan didasarkan pada asas oportunitas.17 Hal ini menunjukkan bahwa Jaksa Agung sangat jarang mengimplementasikan wewenangnya, terutama dalam kasus-kasus yang

notabenenya merupakan kasus komunal. Adapun kasus-kasus yang pernah dilakukan diseponerr antara lain:18

  • a.    Pada tahun 2019, Basar (40) serta Kholil (51) dijerat kurungan dua bulan sepuluh hari karena mencuri 1 butir semangka dan dianggap melanggar Pasal 362 ayat (1) KUHP;

  • b.    Pada November 2009, Nenek Minah (55) didakwa melakukan pencurian pada tiga buah kakao dari perkebunan PT Rumpun. Sari. Antan. (RSA) yang dijerat pasal 362 KUHP, kemudian dikenai hukuman penjara satu 1 bulan lima belas hari, dengan tiga bulan masa percobaan;

  • c.    Pada tahun 2010, Ibu Miniasih berserta 2 anaknya, dan keponakan terkena ancaman satu tahun kurungan dengan masa percobaan selama empat bulan dikarenakan dituding melakukan pencurian buah randu serta melakukan pelanggan terhadap Pasal 363 KUHP;

  • d.    Pada November 2010, seorang siswa SMKN 3 Palu berinisial AAL (15) dijerat dengan Pasal 362. KUHP yakni acaman terlama lima tahun kurungan karena mencuri sandal jepit;

  • e.    Pada tahun 2015, Nenek Asyani (70) dibebakan Pasal 12. jo. Pasal 83 UU 18 Tahun 2013 (Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan), menerima ancaman kurungan lima tahun karena mencuri 7 (tujuh) buah kayu jati.

Disamping itu, terdapat sejumlah contoh kasus yang pernah terjadi melibatkan kewenangan deponering oleh Jaksa Agung, diantaranya sebagai berikut:

  • 1.    Deponering terhadap perkara Tersangka R. Susmono Adimartono, Drs. H. Abdul Rosjid Muchtar, Suryanto, serta Suhono

M.A Rachman selaku Jaksa Agung pada era reformasi menggunakan kewenangannya untuk melakukan pengesampingan pada perkaranya dengan alasan demi kepentingn umum melalui Surat Pemberhentian  Penyidikan No. Prin-043/A/F.2.1/04/2002 yang

dicetuskan pada 3 April 2002. Kasus ini berkaitan dengan tindak pidana korupsi oleh tersangka R. Susmono Adimartono, Drs. H. Abdul Rosjid Muchtar, Suryanto, serta Suhono yang diduga melakukan penyelewengan pada pendanaan APBD Pemerintah Daerah Sukoharjo Tahun Anggara 2001 mengenai Proyek Pengadaan Sepeda Motor Anggota DPRD Sukoharjo. Adapun pertimbangan Jaksa Agung untuk menerapkan kewenangan deponeringnya dalam perkara ini adalah:19 1) Adanya ketidakharmonisan hubungan antara DPRD Kabupaten Sukoharjo yang merupakan lembaga legislasi serta Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo yang sejatinya merupakan lembaga eksekutifnya sehingga membuat efek psikologis cukup berat yang menyebabkan kinerja pemerintah serta layanan publik tak berjalan dengan optimal. Selanjutnya mekanisme bahasan Rancangan APBD

2022 tidak memiliki ketepatan waktu sehingga memberi efek pada stabilitas Pemerintah Daerah ; dan

  • 2)    Diadakannya pertimbangan untuk mengesampingkan perkara yang datang dari permohonan Bupati Sukoharjo dan Gubernur Jawa Tengah (H. Mardiyanto), yang didasarkan pada terjadinya situasi yang tidak kondusif bagi terlaksananya pemerintahan di Kabupaten Sukoharjo semenjak proses penyidikan kasus.20

  • 2.    Deponering terhadap Perkara Chandra M. Hamzah serta DR. Bibit Samad Rianto

Deponering ditetapkan terhadap tersangka Chandra M. Hamzah serta Bibit Samad Rianto, dimana mereka berkedudukan sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga turut serta dalam keterlibatan pada perkara penyalahgunaan kewenangan mengenai diterbitkannya berkas ajuan dicabutnya pencekalan pada Anggoro Widjoyo serta Joko Soegiarto, disertai dengan tindak pidana korupsi dan suap. Terhadap hal tersebut, timbul pergerakan publik yang melakukan pendesakan atas dibebaskannya Bibit-Chandra dikarenakan disinyalir ada indikasi kriminalisasi. Menganggapi hal tersebut, Sosilo Bambang Yudhoyono selaku presiden kala itu diperantarakan oleh tim delapan dengan Prof. Adnan Buyung Nasution sebagai ketuanya merekomendasikan untuk memberhentikan perkara berdasarkan asas oportunitas apabila Kejaksaan berpendapat demi kepentingan umum21. Menindaklanjuti rekomendasi tersebut, Jaksa Agung Basrief Arief dengan resmi melakukan penerbitan dokumen No. TAP. 001/A/JA/01/2011 An. Chandra Marta Hamzah, serta TAP. 002/a/JA/01/2011 An. Dr. Bibit Samad Rianto untuk mengesampingkan kasus keduanya. Adapun dalam mengambil keputusan tersebut, Jaksa Agung memiliki beberapa pertimbangan yaitu sebagai berikut.22

  • 1)    Masyarakat beropini bahwa KPK dikriminalisasi oleh Polri, sehingga telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat;

  • 2)    Apabila perkara keduanya dilimpahkan kepada pengadilan, bisa berdampak pada hasil kerja KPK yang memerlukan sinergi pada instansi yang berwenang dalam penegakan hukum untuk melaksanakan kewajiban serta kewenangannya sehingga dapat menimbulkan kerugian terhadap kepentingan umum.

  • 3)    Adapun Wakil Jaksa Agung pada periode tersebut memberikan pertimbangan lain dari diterapkannya deponering dalam perkara ini, yaitu bahwa apabila perkara dilimpahkan ke Pengadilan, bisa menyebabkan status quo pada jabatan wakil ketuanya dikarenakan perkara tersebut dapat mengubah status hukum para tersangka menjadi terdakwa ataupun dapat menyebabkan tersangka dibuat

berhenti dari jabatannya secara temporal sebagai pimpinan (vide Pasal 32 ayat (1) huruf c, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK). Selanjutnya diubah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 133/PUU-VII/2009 pada 25 November). Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kinerja KPK dikarenakan prinsipil kinerja kolegialnya seorang pemimpin KPK (vide Pasal 21 ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK) kemudian dapat memperlemah etos kerja KPK secara manajerial kelembagaan, psikis kelembagaan, maupun secara teknis.

  • 4)    Dilanjutkannya proses perkara keduanya dapat menyebabkan melemahnya rasa percaya publik atas KPK, dimana dipersepsikan dalam konsepsi triger mechanis dalam memberantas corruption crime di Indonesia, kemudian diakhir bisa membuat tujuan negara tersebut menjadi melemah

  • 3.    Deponering terhadap perkara dengan Tersangka Abraham Samad serta Bambang Widjojanto

Abraham Samad dalam kasus ini merupakan tersangka yang diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen, sedangkan Bambang Widjojanto merupakan tersangka yang diduga menyuruh saksi untuk memberikan keterangan palsu di Sidang Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010.23 Atas kedua perkara tersebut, oleh Jaksa Agung yang menjabat saat itu, H.M. Prasetyo, pada tanggal 3 Maret 2016 menerbitkan dua surat untuk mengesampingkan perkara tersebut. Menurut Jaksa Agung, deponering dilakukan karena Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dikenal sebagai pejuang anti korupsi di Indonesia, sehingga perkaranya merupakan perkara luar biasa, dimana kedua tersangka tersebut dianggap gencar memberantas korupsi.

Untuk itu, Jaksa Agung menganggap apabila perkara tersebut dilanjutkan, dikhawatirkan akan berdampak pada semangat bangsa dan negara untuk memberantas korupsi24. Dalam mengambil keputusan ini, Jaksa Agung mengaku telah memerhatikan pertimbangan dan saran MA, DPR RI serta Polri. Kemudian, Jaksa Agung melakukan pertimbangan dengan memperhatikan dukungan dari warga Indonesia pada Abraham Samad serta Bambang Widjojanto dimana menjadi simbolisasi dari KPK saat itu25.

Terlepas dari contoh kasus deponering yang pernah terjadi di Indonesia, penulis berpendapat kerancuan norma pada frasa kepentingan masyarakat luas maupun kepentingan bangsa dan negara

merupakan ranah subyektif penggunaan kewenangan oleh Jaksa Agung. Diperlukan adanya suatu indikator penentu atau syarat obyektif yang menekankan arti kepentingan masyarakat luas maupun kepentingan bangsa dan negara. Disamping itu, badan kekuasaan negara yang dimaksud UU Kejaksaan juga perlu diperjelas terkait apakah hanya lembaga negara saja yang boleh memberikan pendapat ataukah masyarakat secara kolektif komunal dalam bentuk organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat boleh memberikan pendapatnya kepada Jaksa Agung untuk menggunakan kewenangan deponering-nya dengan memperhatikan adagium “vox populi, vox dei” yang bermakna sebagai suara Tuhan, suara rakyat. Hal ini perlu mendapatkan penjelasan lebih dalam UU Kejaksaan ataupun aturan turunannya.

Dengan begitu, penulis berpendapat, atas problematik hukum yang ada, dilakukan upaya sebagai berikut:

  • 1.    Dilakukan revisi terhadap frasa kepentingan umum dalam UU Kejaksaan dengan memperjelas indikator atau syarat-syarat yang bersifat obyektif serta terkait badan kelembagaan yang berwenang memberikan pendapat diperluas sehingga masyarakat dapat berpartisipasi memberikan pendapatnya kepada Jaksa Agung dalam bentuk kolektif komunal; atau

  • 2.    Dibuat suatu aturan turunan yang bersifat teknis-prosedural yang memuat materi indikator obyektif frasa kepentingan umum dalam UU Kejaksaan dan terkait badan kelembagaan yang berwenang memberikan pendapat diperluas serta diperjelas sehingga masyarakat dapat berpartisipasi memberikan pendapatnya kepada Jaksa Agung dalam bentuk kolektif komunal.

IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Parameter deponering berdasarkan asas oportunitas dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum diatur secara jelas, khususnya untuk parameter “demi kepentingan umum”, dimana MK pada putusannya yang bernomor 29/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak melihat permasalahan dalam frasa “demi kepentingan umum”, sehingga definisi kepentingan umum bisa diberikan arti dengan cakupan luasnya oleh Jaksa Agung sebagai yang memegang wewenang deponering. Adapun dalam penerapan deponering harus dilaksanakan “setelah memerhatikan saran dan pendapat dari badan- badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”, yang menurut MK wajib diberi makna, “Jaksa Agung wajib memerhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Dari analisis penerapan deponering berdasarkan asas oportunitas terhadap perkara: 1) R. Susmono Adimartono, Drs. H. Abdul Rosjid. Muchtar, Suryanto, dan Suhono; 2) Chandra M Hamzah dan DR. Bibit Samad Rianto; dan 3) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dapat disimpulkan bahwa penerapan asas oportunitas in casue masih cenderung bersifat politis. Untuk itu, Jaksa Agung belum mampu menerapkan kewenangan deponering secara efektif, karena masih tercampur aduk dengan kepentingan politik. Diperlukan parameter yang jelas dalam memaknai frasa “demi

kepentingan umum” seperti diterapkan pada Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, agar penerapan deponering tidak dilaksanakan secara sewenang-wenang dan juga penting dalam memberikan perlindungan pada hak konstitusional WNI, khususnya berkaitan dengan penerapan prinsipnya yakni keadilan diatas hukum dimana diamine sistemasi peradilan kepidanaan di Indonesia. Guna mencapai efektivitas penerapan deponerin oleh Jaksa Agung, perlu dilakukan rekonstruksi yang disesuaikan pada keasasan yang diberlakukan di dalam KUHAP guna memberi persamaan dihadapan hukumnya yang diatur didalam UUD 1945 sebagai payung hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Darmono. Penyampingan Perkara Pidana Seponering dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Solusi Publishing, (2013).

JURNAL ILMIAH

Hairi, Prianter Jaya. "Pengesampingan Perkara Pidana Abraham Samad dan Bambang Widjojanto." Info Singkat Hukum 8, No. 4 (2016).

Hasan, Damiri. "Diskresi Seponering dalam Perspektif Hukum Islam: Studi Kasus Pidana Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah." Intizar 22, no. 1 (2016): 35-54.

Hutajulu, James Hasudungan. "Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan (Studi Di Polres Malang Kota)." Arena Hukum 7, no. 3 (2016): 388-403.

Iqbal, Muhamad. "Implementasi Efektifitas Asas Oportunitas di Indonesia Dengan Landasan Kepentingan Umum." Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 9, no. 1 (2018): 87-100.

Napitupulu, Tumpal. "Penerapan Azas Oportunitas Berhubungan dengan Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana (Kajian Perkara Terhadap Terdakwa Novel bin Salim Baswedan)." Tanjungpura Law Journal 2, no. 1 (2018): 109-132.

Perbawa, Gede Putera. "Kebijakan Hukum Pidana terhadap Eksistensi Asas Dominus Litis dalam Perspektif Profesionalisme dan Proporsionalisme Jaksa Penuntut Umum." Arena Hukum 7, No. 3 (2014): 325-342.

Rozi, Raja Mohamad. "Perluasan Penerapan Oportunitas Jaksa Agung Pada Proses Penyidikan Korupsi." Widyariset 14, No. 1 (2011): 181-189.

Santosa, I. Kadek Darma, Ni Putu Rai Yuliartini, and Dewa Gede Sudika Mangku. "Pengaturan Asas Oportunitas Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia." Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 9, No. 1 (2021): 70-80.

Triwati, Ani. "Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum Pascaputusan Mahkamah Konstitusi." Jurnal Ius Constituendum 6, No. 1 (2020): 32-54.

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI/HASIL PENELITIAN

Karniasari, Arin. "Tinjauan Teoritis, Historis, Yuridis Dan Praktis Terhadap Wewenang Jaksa Agung Dalam Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum." Tesis. Universitas Indonesia, (2012).

Sulistiyono, Rosyid Aji Galamahta. "Praktik Pengesampingan Perkara Pidana Dengan Alasan Demi Kepentingan Umum Oleh Jaksa Agung Republik Indonesia."

Skripsi. Universitas Islam Indonesia, (2018).

INTERNET

Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. 2016. “Jaksa Agung Pertimbangkan Reaksi Masyarakat Sebelum  Deponering Kasus  Abraham Samad-BW" URL:

https://nasional.kompas.com/read/2016/03/03/18172971/Jaksa.Agung.Perti mbangkan.Reaksi.Masyarakat.Sebelum.Deponering.Kasus.Abraham.Samad-BW. Diakses pada 11 Februari 2022.

Rahadian, Lalu.. 2016. “Jaksa Agung Deponering Kasus Abraham Samad- Bambang Widjojanto,” URL: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160303170657-12-115183/jaksa-agung-deponering-kasus-abraham-samad-bambang-widjojanto. Dikases pada 13 Februari 2022.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

LAIN-LAIN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 29/PUU-XIV/2016 Tahun 2016.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No.2 Tahun 2022, hlm. 399-410