PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI MELALUI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
on
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI
PENGADILAN NEGERI MELALUI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Kukuh Prabowo Putra Dipayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i04.p6
ABSTRAK
Tujuan dari penulisan jurnal ini agar memahami dan tahu bagaimana keistimewaan mediasi bisa menguntungkan pengadilan lokal dalam mengatasi sengketa, dan kekuatan mengikat keputusan memilih mediasi untuk menggntikan pengadilan lokal dalam menyelesaikan sengketa perdata. Melalui penggunaan metode penelitian normative. Hasil penelitian menunjukkan Mediasi didalam mengatasi sengketa perdata di pengadilan negeri bermanfaat guna proses sarana kegiatan untuk berkelanjutan kegagalan para pihak untuk berunding berdasarkan ketentuan ini. artikel. Pasal 2 UU No. 6. No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian Sengketa. Apabila perselisihan tersebut tak bisa diselesaikan, maka tertulis kesepakatan pihak itu sendiri, mediator dalam sistem peradilan digunakan untuk menyelesaikan perselisihan atau perselisihan tersebut dengan bantuan seseorang atau konsultan ahli, yaitu pengadilan negeri. Sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata, kekuatan mengikat putusan mediasi mengikuti prinsip sebagai berikut: mediasi bermaksud untuk menggapai titik temu yang bisa diperoleh semua sisi yang ingin menyelesaikan perkara, dan tujuannya adalah sebagai berikut: 1) Dapat diterima, rencana kesepakatan masa depan ditentukan oleh pihak yang bersangkutan. 2) Menyiapkan pihak untuk menerima akibat dari keputusan. 3) Dengan membantu semua pihak yang bersengketa mencapai resolusi konsensus, mengurangi kekhawatiran konflik dan efek negatif lainnya.
Kata kunci: pengadilan negeri, mediasi, peneylesaian sengketa
ABSTRACT
The purpose of writing this journal is to understand and know how the privilege of mediation can benefit local courts in resolving disputes, and the binding power of decisions to choose mediation to replace local courts in resolving civil disputes. Through the use of normatif research methods. The research shows, Mediation in overcoming civil disputes in district courts is useful for the process of activity facilities to sustain the failure of the parties to negotiate based on this provision. article. Article 2 of Law no. 6. No. 30 of 1999 concerning Alternative Arbitration for Dispute Resolution. If the dispute cannot be resolved, then the agreement is written by the parties themselves, the mediator in the judicial system is used to resolve the dispute or dispute with the help of a person or expert consultant, namely the district court. As an alternative to civil dispute resolution, the binding force of mediation decisions follows the following principles: mediation intends to reach a common ground that can be obtained by all parties wishing to resolve the case, and the objectives are as follows: 1) Acceptable, future agreement plans are determined by the parties involved. concerned. 2) Prepare parties to accept the consequences of the decision. 3) By helping all disputing parties reach a consensus resolution, reducing fears of conflict and other negative effects.
Keywords: district court, mediation, dispute resolution
-
I. Pendahuluan
-
1.1 Latar Belakang Masalah
-
Dalam negara Indonesia, ketika Makamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Makamah Agung No. 2 Tahun 2003, lalu diganti dengan PERMA No. 2 Tahun 2003. No. 1 Tahun 2003, dirubah didalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Tata
cara mediasi untuk mengatasi perkara perdata secara damai didalam pengadilan. Ketentuan tersebut bersejarah hukum dalam sistem peradilan di negara Indonesia.1
Tujuan utama dari PERMA No. 1 Tahun 2008 adalah untuk mengelola dasar dan proses mediasi terkait di pengadilan untuk kasus perdata yang diajukannya. Selanjutnya memperkuat mediasi didalam metode hukum di negara Indonesia dan meminimalkan perkara perdata yang kemungkinan lahir menggunakan mediasi diluar Pengadilan, MA No. 1 Tahun 2008 memuat aturan yang bisa dipakai pihak itu sendiri. Bagi yang sudah berhasil menyelesaikan sengketa ini, meminta pengadilan untuk mengukuhkan perjanjian perdamaian diluar pengadilan bersama kontrak perdamaian melalui mediasi di luar pengadilan. Tidak banyak kelainan antara mediasi didalam pengadilan dan mediasi didalam pengadilan, terutama dalam titik temu yang berhasil dilakukan oleh pihak. Didalam jangka waktu selama 30 hari dari dimulainya penandatanganan perjanjian, Salinan atau asli dari perjanjian tersebut harus didaftarkan dan diberikan oleh panitera di Pengadilan Negeri. Pendaftaran dan pemberian salinan perjanjian yang sebenarnya dilaksanakan oleh mediator.2 Apabila terdapat pihak yang melanggar perjanjian, ia tidak boleh meminta penegakan hukum dari pengadilan, dan mewajibkan mengajukan gugatan kembali. Berbeda dengan mediasi di Pengadilan, mediasi pengadilan memiliki kekuatan penegakan dan bisa memerlukan penegakan.
PERMA RI No. 2 Tahun 2003 melibatkan mediasi sebagai tata cara di Pengadilan. Mediasi salah satu elemen yang tak terpisahkan dari penyelesaian perkara di pengadilan. Sebagaimana tercantum didalam Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg KUHAP, mediasi pengadilan dapat memperkuat upaya perdamaian. Pasal 2 Perma No. 2 Tahun 2003, ialah segala sengketa perdata jika diajukan harus diselesaikan dengan bantuan seorang Mediator. Mediator harus bertindak mengikuti PERMA No. 2 Tahun 2003 lalu diganti PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Tata Cara Mediasi Pengadilan.3 Didalam Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini”.
Menurut Pasal 130 HIR/154 RBg, direkomendasikan supaya pemimpin sidang hakim sebelumnya mengusahakan peleraian bagi pihak yang berperkara. Dikeluarkannya PERMA No. 1. Nomor 2 Tahun 2003, diubah degan PERMA No. 2 Tahun 2003. Undang-undang No. 1 Tahun 2008 tentang tata cara mediasi pengadilan mengatur bahwa pihak yang bersengketa wajib mengusahakan perdamaian secara mediasi, dengan menyangkut pihak ketiga yang bukan merupakan bagian yang bersengketa. Pada kenyataan dari banyaknya prosedur mediasi yang diajukan untuk mendapatkan persetujuan bersama tidak sesuai harapan. Keberhasilan mediasi sangat rendah yang menyebabkan banyak perselisihan berakhir dengan kegagalan. Oleh karena itu, mediator memberitahukan kegagalan mediasi terhadap ketua hakim agar tata cara sidang dapat dilanjutkan kembali.4
Mengenai praktiknya di pengadilan, walau mekanisme penyelesaian sengketa berjalan menggunakan asas sederhana, biaya ringan dan peradilan cepat,selanjutnya pengadilan yang melaksanakan pemeriksaan dan memutuskan perkara yang akurat
dengan dasar hukum dan adil, walau hukum di pihak yang kalah tetap ada ruang menggunakan upaya hukum dengan alasan hasil keputusan yang keluar tidak adil. Maka dari itu mengurangi banyaknya perkara dengan level terakhir, MA melahirkan aturan yaitu PERMA No. 2 Tahun 2003 dengan perubahan No. 1 Tahun 2008. Maka pelaksanaan mediasi didalam pengadilan sangat menolong pihak menuntaskan perkara atau permasalahan dengan jujur tanpa ada bahasa menang atau kalah. Dengan menyelesaikan perkara lewat mediasi di Pengadilan pelaksanaannya bisa sangat eksekutorial yang selanjutnnya pihak-pihak wajib melindungi dan menjalankan hal yang sudah disepakatkan Bersama dalam perdamaian.
State of the art, khususnya di dalam penelitian ini membahas terbitnya PERMA mediasi dan ruang lingkup mediasi, dimana penyelesaian sengketa di pengadilan negeri mengefektifkan prosedur melalui proses damai sehingga pihak yang berkonflik atau bermasalah bisa mencapai penyelesaian yang bisa diterima. Sedangkan didalam penelitian sebelumnya yang pertama berjudul “MEDIASI SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN” oleh Sri Puspaningrum,5 membahas tentang eksistensi mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan dan kekuatan mediasi selama proses penyelesaian sengketa berlansung. Dan penelitian sebelumnya yang kedua berjudul “PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI BERDASARKAN PERMA No. 1 TAHUN 2008” oleh Ainal Mardhiah,6 membahas tentang penyelesaian perkara secara litigasi yang tidak menghabiskan waktu lama dan mediasi sebagai jalan keluarnya.
Dengan melihat keadaaan tersebut, peneliti dapat mengkaji suatu masalah yang akan dituangkan dalam bentuk karya ilmiah berupa jurnal dengan judul yaitu PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI MELALUI MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA.
-
1.2 Rumusan Masalah
-
1. Bagaimanakah terbitnya PERMA mediasi dan ruang lingkup mediasi?
-
2. Bagaimanakah manfaat dan Kekukuhan terikatnya hasil Mediasi guna Altermatif menyelesaikan Sengketa Perdata didalam Pengadilan Negeri ?
-
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana terbitnya PERMA mediasi dan ruang lingkupnya serta untuk menegetahui manfaat dan Kekukuhan terikatnya hasil Mediasi guna Altermatif menyelesaikaan Sengketa Perdata didalam Pengadilan Negeri.
-
II. Metode Penelitian
Penelitian ini memakai metode penelitian normatif, ialah penelitian dengan objek sumber hukum dan bahan hukum lainnya, bersama konsep yang tertulis didalam sumber hukum yang menjadi tolak ukur perilaku manusia. Maka jenis penelitian kualitatif, biasanya deskriptif, yaitu Teknik analisis data deskriptif pada penelitian kualitatif ini berupa proses menganalisis, menggambarkan dan meringkas kejadian atau fenomena dari data yang diperoleh melalui proses wawancara maupun pengamatan langsung ke lapangan. Adapun tujuan dari analisis deskriptif kualitatif adalah untuk
menggambarkan secara utuh dan mendalam mengenai kejadian berbagai fenomena yang diteliti untuk mendapatkan gambaran secara baik dan jelas tentang objek penelitian seakurat mungkin.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Terbitnya PERMA Mediasi dan Ruang Lingkupnya Mediasi
-
Kekuasaan kehakiman merupakan manifestasi dari kekuasaan kehakiman. Pasal 24 Amandemen UUD 1945 mengatur “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Lalu ada hukum ke-18 UU No. 48 tentang Kekuasaan Kehakiman tahun 2009 mengatur “kekuasaan kehakiman diatur oleh MA dan lembaga peradilan di bawahnya di lingkungan MA dan peradilan umum di bawahnya, peradilan militer, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.
Lembaga tertinggi yang memiliki kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung berhak mengadili perkara-perkara perdata yang diajukan dan dimintakan peninjauan kembali, serta berwenang memelihara terselenggaranya ketertiban hukum di dalam peradilan yang berada di bawah yurisdiksinya. Untuk merumuskan Peraturan Makamah Agung (PERMA) mengisi kekosongan hukum dalam UU, dan aturan ini telah menjadi teknis untuk melakukan tugasnya menegakkan hukum secara bijaksana dan adil. PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Tata Cara Mediasi yang membentuk perubahan atas PERMA No. 2 Tahun 2003.7
“Maka yang menjaidi pertimbangan yaitu dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tersebut adalah :
-
a. Mediasi dalam proses hukum dapat menjadi alat yang efektif dalam menghilangkan kemungkinan backlog dalam proses hukum.
-
b. Mediasi ini merupakan salah satu cara tercepat dan termurah serta dapat menjangkau para pihak yang bersengketa guna mencapai keadilan atau penyelesaian sengketa secara damai..
-
c. Pelembagaan proses mediasi di lembaga peradilan dapat meningkatkan dan memaksimalkan efisiensi pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses peradilan yang merupakan proses peradilan.
-
d. SE No. 1 tahun 2002 ini belum selesai dalam yurisdiksi pengadilan tingkat pertama untuk penegakan lembaga damai (Pasal 130 HIR / 154 RBg) dan oleh karena itu harus ditingkatkan.
-
e. Aturan acara yang berlaku, baik 130 HIR maupun 154 RBg, mendorong para pihak untuk melakukan proses perdamaian yang diintensifkan dengan dimulainya proses mediasi di pengadilan tingkat pertama.
-
f. Memperhatikan bahwa menunggu peraturan perundang-undangan dan kekuasaan Mahkamah Agung untuk mengatur proses peradilan yang tidak diatur secara memadai oleh peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum,
ketertiban dan fleksibilitas dalam proses rekonsiliasi antara para pihak, dalam sengketa perdata perlu menetapkan aturan Mahkamah Agung.”8
Demi adanya arbitrase dalam sengketa perdata di muka pengadilan, lahir pertanyaan Bagaimana segala jenis sengketa perdata dapat diselesaikan melalui badan arbitrase, sebagaimana telah diuraikan di atas dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang sengketa yang dilarang oleh undang-undang setuju untuk pengadilan.
“Ada dua (dua) jenis badan hukum yang kekuasaannya terbatas pada perdamaian, yaitu:
-
1. Wali Amanat dan Pengawas/Pemilik.
-
2. Kepala Daerah.”9
PERMA No. 2 sejak tahun 2003 tidak memasukan batasan terhadap perselisihan yang belum terselesaikan, PERMA No. 1 Tahun 2008 secara khusus disebutkan dalam Pasal 4: “Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosuder pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.”
“Perkara yang tidak dapat dilakukan perdamaian dengan mediasi dalam Pasal 4 PERMA No 1 Tahun 2008 ada 4 (empat) yaitu:
-
1. Sengketa pada Pengadilan Niaga;
-
2. Sengketa pada Pengadilan Hubungan industrial;
-
3. Keberatan terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
-
4. Sengketa atas keberatan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.”
Pelarangan prosedur mediasi dalam kasus tersebut terkait dengan penetapan batas waktu penyelesaian setiap jenis perkara yang ditentukan UU, prosedur mediasi diatur didalam Tindakan Mediasi tidak dapat diterapkan. PERMA No. Masa sidang sengketa ini tidak terpenuhi, terlihat dari beberapa pengaturan hukum untuk sengketa Tipe 4 yaitu UU No. 4 tentang Kepailitan tahun 1998, 30 sejak tanggal pengajuan pailit. pernyataan telah didaftarkan, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja-Manajemen 50 hari kerja sejak sidang pertama, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, paling lambat setelah diterimanya keberatan 21 hari, UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat selama 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.
-
3. 2 Manfaat dan Kekukuhan terikatnya Hasil Mediasi Guna Altermatif Menyelesaian Sengketa Perdata didalam Pengadilan Negeri.
Harus diakui bahwa menengahi kedua belah pihak di pengadilan tidak mudah, terutama ketika emosi pribadi lebih kuat dari banyaknya faktor yang menghambat keberhasilan tercapainya perdamaian, salah satunya yaitu belum sedianya lembaga hukum untuk menyelesaikan sengketa dengan tepat.
MA sebagai otoritas kehakiman tertinggi, sangat prihatin dengan keberhasilan proses perdamaian dan percaya bahwa backlog kasus di MA disebabkan karena
kegagalan tata cara perdamaian factie Judex berikutnya. Melalui penggunaan sumber daya hukum secara intensif dalam perkara perdata yang dihasilkan oleh pengadilan. Pada level pertama, situasi terlalu telat untuk dipertahankan oleh MA, yang mengusulkan ketentuan strategis untuk mengoptimalkan institusi perdamaian di lingkungan pengadilan umum dan pengadilan agama.
Tahun 2002 MA melahirkan Surat Keputusan SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama untuk menyelenggarakan badan perdamaian, dan selanjutnya mengeluarkan Keputusan PERMA Nomor 1. SK No. 2 Tahun 2003 tentang Tata Cara Mediasi Pengadilan dimasukkan dalam SK No. 1 Tahun 2008 kurang lebihnya 8 tahun setelah diterbitkannya SK No. 1 PERMA No. 1 Tahun 2008. MA membaharui peraturan baru tersebut menjadi Keputusan No. 1 Tahun 2016. PERMA mulai muncul beberapa pergantian tata cara mediasi, awalnya tidak tunduk pada PERMA No. 1 Tahun 2008.10
Pada awalnya mediasi didalam Pengadilan sering berjiwa sukarela (auxiliary), namun sekarang menjadi perlu/wajib. Dapat diucapkan mediasi di Pengadilan membentuk buatan pembinaan dan pengembangan badan perdamaian diatur dalam Pasal 130HIR/154RBg, Kewajiban hakim mensidangkan terhadap permasalahan seadil-adilnya dan benar mengusahakan perdamaian terkait dengan pihak yang bersangkutan dengan perkara melalui proses intergrasi mediasi di peradilan. Sistem yang sama bentuknya dengan koneksitas peradilan mediasi yang digunakan dimacam-macam Negara.
Memasuki proses peradilan cukup memberikan harapan bagi pencari keadilan (justitiabelen) untuk menciptakan pelayanan penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana, dan murah. Oleh penengah. Pada dasarnya, dibandingkan dengan prosedur litigasi atau arbitrase yang relatif mahal, biaya prosedur mediasi hampir nol. Dengan memperkenalkan konsep mediasi ke dalam prosedur litigasi, akan memberikan peluang bagi mediator profesional dengan keahlian eksklusif di bidang negosiasi dan pernyataan konflik. Hal ini membantu para pihak menemukan solusi terbaik untuk perselisihan tersebut. PERMA No. 1 Tahun 2016 mengatur sebagai detail proses mediasi dan hukum beracara.
Mengintegrasikan mediasi masuk ke dalam proses pengadilan bisa menjadikan salah satu cara yang berhasil untuk mengatasi backlog sengketa pengadilan, termasuk backlog sengketa yang dibatalkan oleh MA, memperkuat dan meningkatkan fungsi lembaga pengadilan didalam menyelesaikan sengketa. Selain prosedur pengadilan ajudikasi, dengan diundangkannya PERMA NO. 1 Januari 2016 bertujuan mengefektifkan prosedur menyelesaian sengketa melalui proses damai sehingga pihak yang berkonflik bisa mencapai penyelesaian yang seimbang dan bisa diterima.11
Dasarnya, mediasi pengadilan ialah badan dan pengembangan sistem perdamaian yang ditetapkan oleh PERMA No.1 Tahun 2016. Terlihat justru membawa pihak yang berkonflik akan menyelesaikannya melalui negosiasi atau proses damai. Sehingga tren ini intens dan termasuk dalam pengadilan. Rotary ditujukan untuk mengembangkan dan menargetkan mediasi di bidang operasi perdamaian dalam kekurangan, atau sebelum kasus Cotei. Dalam penelitian oleh level pertama (alias).
Mediasi di salah satu pendiri para pendiri PENGADILAN adalah pembicaraan pihak ketiga, tidak disertakan:
-
1. Menyelesaikan penyelesaian melalui negosiasi atau perdamaian antara pihak-pihak yang berlawanan.
-
2. Pembicaraan diadakan dengan pihak ketiga yang dinetralkan dan berbeda, yang disebut "Mediator".
-
3. Broker bekerja di sini untuk menemukan pihak-pihak yang mencari konflik ke berbagai fasilitas untuk menyelesaikan perselisihan bahwa para pihak membantu mereka.
-
4. Perantara tidak dipaksa untuk memutuskan partai-partai konflik.
-
5. Negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima dan menargetkan manfaat konflik untuk mengakhiri konflik.12
Peran hakim didalam penanganan sengketa secara perdamaian sangat fundamental. Memilih perdamaian berarti mencari keadilan. Perselisihan diselesaikan sepenuhnya, diselesaikan dengan cepat, murah, dan biaya rendah. Permusuhan bersengketa telah mereda. Ini jauh lebih baik daripada memecahkan masalah dengan perintah sederhana yang harus dijalankan dengan paksa. Penyelesaian suatu kasus atau perselisihan memiliki sejumlah manfaat yang melekat dan psikologis, yang paling penting adalah:
-
1. Penyelesaian secara santai
-
2. Akan menangani perselisihan antara pihak
-
3. Kurun waktu pelunasan ringkas
-
4. Bayaran rendah
-
5. Bukti tidak diperlukan
-
6. Sistem penyelesaian bersifat rahasia
-
7. Ikatan antara kedua belah pihak adalah kerjasama
-
8. Berkomunikasi fokus pada kinerja
-
9. Hasilnya sama dengan menang
-
10. Bebas dari perasaan dan dendam.13
Perselisihan adalah konflik atau pergumulan yang muncul didalam aktivitas masyarakat yang menimbulkan konflik/konflik antar individu, kelompok atau organisasi tentang suatu masalah yang bermasalah. “Sengketa adalah konflik yang muncul antara individu atau kelompok yang memiliki hubungan, kepentingan, atau aset yang sama dan mengakibatkan percabangan hukum di antara mereka,” kata Vinardi.
“Sengketa adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul karena perbedaan persepsi kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Secara umum, ada bentuk penyelesaian sengketa, kata Ali Achmad.: 1. Litigasi/pengadilan
-
2. Arbitrase
-
3. Early Neutral Evaluation (ENE)
-
4. Mediasi
-
5. Negosiasi
-
6. Pencari fakta/Fact finding.
Mediasi dalam penyelesaian perkara atas biasanya merupakan pilihan bisa dipakai pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Setiap jenis penyelesaian sengketa memiliki karakteristik beda.
Setiap orang yang mencari keadilan di seluruh dunia menginginkan sidang yang cepat, mudah dan murah. Masalah tersebut terdapat dalam UU No. 4 Tahun 2004 Perintah Nomor 48 Tahun 2009 atas dasar peradilan yaitu Pengadilan harus cepat, mudah dan murah. Cepat berarti sangat nisbi, tetapi tidak sembrono atau ugal-ugalan. Memang istilah yang tepat, bila diartikan sebagai waktu yang cukup dalam hukum Belanda, memang tidak ditentukan dalam beberapa hari, akan tetapi harus diselesaikan, menurut prinsip-prinsip berikut: waktu yang cukup untuk hukum acara dalam litigasi perdata, misalnya, ada ajaran yang disebut sebagai audi alteram partem, yang mendengarkan pendapat kedua pihak. Tidak ragu, selesai penggugat mengikuti bahwa masalah itu tidak akan diselidiki lagi, tetapi tergugat tidak berkepentingan, itu tetap akan diputuskan oleh pejabat yang berwenang, yaitu hakim.
Proses penyelesaian perkara secara damai melalui mediasi di Indonesia memiliki kesempatan besar untuk maju. Menggunakan adat ketimur yang sudah mendarah daging, masyarakat akan lebih menekankan pada pembinaan ikatan persahabatan antara keluarga, hubungan dengan mitra bisnis dari pada keuntungan sementara jika terjadi perselisihan. Jika Anda menang, menyelesaikan perselisihan di pengadilan mungkin merupakan kemenangan besar, tetapi hubungan itu juga bisa rusak. Dalam penyelesaian perkara di negara budaya Timur di negara Indonesia, menyelamatkan nama baik seseorang terkadang lebih berarti.14 Masyarakat Indonesia juga menempatkan kerukunan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Meskipun salah satu pihak berpendapat bahwa substansi kasus lebih tepat, namun dapat diminta untuk membuat konsesi untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman sosial.
Maka pihak ketiga yang bertindak sebagai penengah perkara harus orang yang integritasnya baik di masyarakat guna menjunjung tinggi standar dan etika. Berkelainan dari proses hasil, bukan dari aturan yang adil. Sebenarnya, mediasi bukan cara penyelesaian sengketa baru yang cukup diketahui di negara Indonesia. Karena mediasi intinya memiliki lebih kesamaan dengan semangat masyarakat Indonesia didalam penyelesaikan sengketa melalui cara bermusyawarah dan mufakat. Negosiasi jenis ini pada dasarnya sama dengan mediasi dalam gaya/budaya oriental, yang mana pihak berkompromi mencapai kesepakatan bersama untuk suatu titik yang menguntungkan banyak pihak sampai tercapai kata sepakat. Namun, mediasi barat cenderung mencari cara baru tanpa merugikan kepentingan salah satu pihak. Namun, kata "mediasi" sudah lama tidak digunakan oleh pengacara, dan umumnya tidak dikenal masyarakat. Dengan kata lain, mediasi digunakan ketika metode ini dipelajari oleh para akademisi, bahkan di sekolah hukum sekita tahun 1990. Kata lain ini telah menyebar sejak diperkenalkannya mediasi PERMA.
Menurunnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga hukum tidak akan menjerumuskan masyarakat ke dalam kekacauan, karena mereka terbiasa dengan pengaturan diri, termasuk penyelesaian sengketa. Meskipun beberapa perilaku “dinilai” sendiri, banyak lagi yang dapat diselesaikan oleh komunitas didalam kasus pribadi. Membuktikan bahwa selain sensitifitas kontroversi dan ketidak pedulian aparat
penegak hukum, budaya negosiasi masih diterima masyarakat. Bagir Manan, mantan Ketua MA RI, mendukung ke budaya primitif Indonesia, dan menyelesaikan sengketa dengan musyawarah tidak melalui pengadilan. Ia menilai, merevitalisasi mekanisme negosiasi agar masyarakat bisa percaya diri untuk menyelesaikan sengketa. Argumentasi dari penulis mengenai mediasi yaitu tepat di terapkan dan cocok dengan kehidupan dan kebudayaan Indonesia, yang paling utama dalam hal perselesaian perselisihan keluarga yang tetap menginginkan ketahan keharmonisan dalam menjaga rahasia. Karena banyaknya cara atau pilihan yang ditawarkan, mediasi menginginkan yang di berikan itu berupa alternatif sangat efektif dalam menyelesaikan perselisihan di negara Indonesia.
Penggunaan metode peradilan formal dan damai di Indonesia dimulai dengan UU No. 1. Keputusan No. 22 Tahun 1957 tentang Penggunaan Istilah Mediasi untuk Menyelesaikan Perselisihan Perburuhan. Pada tahun 1990-an mediasi digunakan sebagai penyelesaian perselisihan. UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 menyatakan bahwa pihak dapat menanggulangi perselisihan mereka lewat mediasi pengadilan. Mediasi secara efektif diatur dalam UU, yaitu dalam UU No. 1. No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Cukup satu ketentuan hukum mengatur mediasi untuk menyelesaikan sengketa perdata. Saat itu, mediasi telah digunakan sebagai solusi penyelesaian perselisihan di banyak bidang, seperti hukum perburuhan, sumber daya air, kekayaan intelektual (merek dagang, paten, desain, dan rahasia dagang).
Kualifikasi, keterampilan dan pengetahuan profesional mediator, idealnya harus memenuhi kebutuhan pihak, sejarah keilmuannya bisa digunakan untuk membantu pihak menuntaskan masalah dan solusi. Dalam beberapa kasus, kontroversi disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk masalah ekonomi, psikologis, spiritual, dan konflik lainnya.15 Penyebutan ahli sebagai mediator pada dasarnya tertuang dalam ketentuan Pasal 6 (3) UU No. 30/1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Karena keharmonisan mediasi dan budaya Indonesia, mediasi berperan langsung dalam menjaga budaya yang hidup di masyarakat. Keuntungan mediasi lebih lanjut yaitu: Proses mediasi sukarela, karena pihak yang dapat berhenti dan pergi kapan saja tanpa memberikan alasan. Meskipun mediasi ada banyak keuntungan, mediasi tidak memberi solusi untuk banyak macam konflik. Mediasi yang tidak sah jika dalam berbagai hal, keuangan, pendidikan, pusat atau lainnya, terjadi ketidakseimbangan kedudukan dan kekuasaan antara pihak-pihak yang terlibat. “Mediasi juga memerlukan beberapa syarat agar dapat menyelesaikan sengketa secara efektif, yaitu:
-
1. Para pihak yang berkonflik harus memiliki kemauan yang sama untuk menyelesaikan konflik secara damai
-
2. Semua pihak harus beritikad baik didalam melakukan proses mediasi. Jika tidak, dapat digunakan sebagai taktik untuk mengulur waktu
-
3. Isu ideologis atau pendapat pemangku kepentingan yang tidak dapat diselesaikan tidak cocok untuk menggunakan mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa.
-
4. Mediasi bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan perselisihan kepribadian, karena jenis perselisihan ini lebih cenderung mengarah pada penyelesaian perselisihan melalui pengambilan keputusan. Mediasi lebih cocok untuk konflik kepentingan.”
Penulis tidak setuju dengan poin ketiga dan keempat. Pada poin ketiga, mempertimbangkan model penyelesaian sengketa yang diadopsi, kasus-kasus terkait ideologis juga cocok untuk penyelesaian secara damai.16 Budaya Indonesia mengkhususkan negosiasi dan mufakat sebagai penyelesaikan perselisihan secara damai, meski terkadang mengorbankan hak dan kepentingan. Pada saat yang sama, metode mediasi barat didasarkan pada kepentingan para pihak.17 Scoring atau penilaian tidak diinginkan daripada mencari solusi dapat memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Kekuasaan merupakan faktor penting dalam negosiasi/mediasi. Keberhasilan mediasi tidak ditentukan oleh kasih karunia, tetapi oleh kenyataan bahwa para pihak saling membutuhkan untuk menyelesaikan sengketa. Kebutuhan kedua belah pihak satu sama lain tergantung pada ada tidaknya kekuasaan di kedua belah pihak. Untuk itu, penguatan kekuasaan menjadi penting untuk memperkuat status mediasi. Beberapa jenis kekerasan dalam mediasi, yaitu:
-
1. Otoritas hukum;
-
2. Kekuatan ekonomi / keuangan;
-
3. Kekuatan politik;
-
4. Kekuatan sosial;
-
5. Kekuatan moral.
Mediasi memiliki kekuatan memberi wewenang kepada pihak dalam menyelesaikan perselisihan menurut keinginan mereka sendiri. Dibandingkan dengan prosedur formal di pengadilan, pihak yang bersengketa melihat proses mediasi dan dapat melaksanakan cara yang sederhana. Kedua belah pihak kemudian harus mematuhi keputusan. Sebagai mediator, mediator bersifat netral atau tidak memihak para pihak, dan tujuannya adalah untuk memperoleh selesaiannya dengan adil tanpa membebankan pihak lain.18
Informasi dihasilkan dalam cara mediasi, dilindungi oleh hukum dan tidak boleh diungkapkan kepada proses lain. Dalam Pasal 19 ayat (1), PERMA No. 1 Tahun 2008, “Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan melalui perundingan, maka keterangan dan pengakuan para pihak selama proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan. kasus ini atau kasus lainnya” Tujuannya agar pihak yang tidak baik menjebak dengan dalih perdamaian, menyalahgunakan proses mediasi, bahkan jika mereka memiliki itikad buruk. Hal tersebut dilakukan bertujuan agar pihak dalam proses mediasi bisa mengungkap kenyataan tanpa rasa takut..19
Putusan MA No. Pada bulan Februari 2003, harus terbuka untuk umum mengenai tata cara mediasi di pengadilan, sengketa publik, yaitu proses mediasi dalam hal perkara lingkungan, tanah, produsen, konsumen dan HAM. Peraturan MA Nomor
Januari 2008 tentang Proses Mediasi Pengadilan Sebelum aturan MA No. 1 diundangkan. SejaK tahun 2003 tidak lagi mengetahui adanya sengketa publik, cara mediasi pada prinsipnya bukan untuk umum kecuali pihak yang diizinkan. Melalui mediasi, pihak yang bermasalah bisa mengungkapkan berbagai aspek atau pandangan dari perkara yang bersangkutan, tidak hanya pada sisi hukum tetapi pada sisi lain. Hasilnya adalah solusi yang menguntungkan para pihak, karena mediasi bersifat konsensual.
Dilihat dari jenis kesepakatan atau persetujuan dan kerjasama, mediasi selalu mengarah pada kompensasi yang seimbang bagi pihak, sehingga pihak yang bermasalah tidak dirugikan. Mediasi ialah alternatif penyelesaian perkara yang cenderung murah dan tidak menggunakan banyak waktu dibandingkan dengan jalur pengadilan. Selain itu, hasil yang dicapai dalam tata cara mediasi adalah sepakat bersama antara keduanya sehingga pihak yang berperkara tidak bertentangan dengan apa yang disepakati.
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Mahkamah Agung memiliki hak dalam perkara-perkara perdata yang diajukan dan dimintakan peninjauan kembali untuk memelihara terselenggaranya ketertiban hukum di dalam peradilan yang berada di bawah yurisdiksinya. Manfaatnya yaitu menciptakan pelayanan penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana, dan murah. Oleh penengah. Karena dasarnya, jika dibandingkan dengan prosedur litigasi atau arbitrase yang relatif mahal, biaya prosedur mediasi hampir nol. Dengan memperkenalkan konsep mediasi ke dalam prosedur litigasi, akan memberikan peluang bagi mediator profesional dengan keahlian eksklusif di bidang negosiasi dan pernyataan konflik. Kekukuhan Peran hakim didalam penanganan sengketa secara perdamaian sangat fundamental. Memilih perdamaian berarti mencari keadilan. Perselisihan diselesaikan sepenuhnya, diselesaikan dengan cepat, murah, dan biaya rendah. Permusuhan bersengketa telah mereda.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Abbas, Syahrizal, “Mediasi dalam hukum syariah , hukum adat, dan hukum nasional”, Kencana, Jakarta: 2011.
Amriani, Nurnaningsih, 2012 “Mediasi Alternatif Penyelesain Sengketa perdata Dipengadilan”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Fatahillah A. Syukur, “Mediasi Yudisial di Indonesia Peluang dan Tantangan Dalam Memajukan Sistem Peradilan”, (Bandung: CV Mandar, 2012).
JURNAL ILMIAH :
Abdullah,Muhammad Radhi dan Syarifudin,Puthut dan Isdhiyanto,Yulis Ilham "Menyoal Akreditasi Pendidikan Mediator oleh Mahkamah Agung" jurnal kertha semaya vol. 9 no. 4 Tahun 2021.
Ainal Mardhiah “Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Berdasarkan PERMA no. 1 Tahun 2008” Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011).
Anugrah Reskiani, “Kompetensi Mediator Dalam Menunjang Keberhasilan Mediasi Pada Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Makassar (Tinjauan Teoretis Dan Faktual)”, Jurnal Diskursus Islam Volume 04 Nomor 2, Agustus 2016.
Bahrun, Bahrun, Syahrizal Abbas, and Iman Jauhari. "Peranan Hakim Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Pasca Perceraian di Mahkamah Syar’iyah." Syiah Kuala Law Journal 2, no. 3 (2018).
Firman Freaddy Busroh, “Peran Tokoh Adat Sebagai Mediator Sosial Dalam Menyelesaikan Konflik Agraria Yang Melibatkan Masyarakat Adat Multikultural Di Indonesia (Prespektif Kajian Socio Legal Research)”, Jurnal Hukum Mimbar Justicia, fakultas hukum universitas surya kencana, Vol. 3 No. 1 Junii 2017.
Fitra,Ferry."Penyelesaian Sengketa Perdata Dengan Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008" Vol. 5 No. 1 Tahun 2012.
Irawan, Candra. "Problematika Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia."ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata 1, no. 2 (2015).
Karmuji, S. Sy, and M. Sy. "Peran dan Fungsi Mediator dalam Penyelesaian Perkara Perdata." Jurnal Ummul Qura 7, no. 1 (2016).
Mardalena Hanifah."Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan" Vol.2, No.1, (2016).
Muazzin, “Hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples) atas Sumber Daya Alam: Perspektif Hukum Internasional”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 - No 2 -Tahun 2014.
Perdana, Thea Rizky Asa, S. H. Zakki Adhiliyati, and LL M. MH. "Urgensi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Negeri Surakarta." Verstek 5, no. 1 (2017).
Sri Puspitaningrum,"Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan" Vol. 15 No. 2 (Oktober 2018).
Stevana ,"Hakekat Keberadaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri."Lex Crimen Vol.5 No.6 (2016).
Wayan Resmini, Abdul Sakban. “Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Pada Masyarakat Hukum Adat”, Universitas Muhammadiyah Mataram, Vol. 6 No. 1 Maret 2018.
PERUNDANG - UNDANGAN:
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor. 2 Tahun 2003 yang direvisi dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 108/KMA/SK/VI/2016 Tentang Tata Kelola Mediasi di Pengadilan.
Undang-undang Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No.04 Tahun 2022, hlm. 759-770
Discussion and feedback