ALASAN PEMAAF SEBAGAI PENGHAPUS PIDANA DALAM TINDAK PELAKU PENYIMPANGAN SEKSUAL FETISISME

Kadek Novita Dwi Irianti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Sagung Putri M.E Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i02.p11

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian yang dilakukan yakni memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai adanya alasan pemaaf sebagai penghapus pidana terhadap pelaku yang melakukan penyimpangan seksual yang terklasifikasi sebagai fetisisme. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan metode penelitian hukum yang normatif melalui teknik deskriptif analitis. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan didapat pengetahuan mengenai alasan pemaaf yang bias diterapkan pada pelaku yang melakukan penyimpangan seksual. Sebab, penerapannya sudah sesuai dengan KUHP sebagai lex superior dari hukum pidana yakni dengan adanya alasan - alasan yang dapat mengahapuskan, mengurangi, ataupun memberatkan penjatuhan pidana. Dengan demikian, harapannya upaya pemidanaan terhadap pelaku penyimpangan seksual berjenis fetis ini mendapat solusi yang terbaik dan memberikan efek jera kepada pelaku tanpa merugikan korban. Adanya alasan – alasan yang bisa menghapuskan, mengurangi, dan memberatkan pemidanaan sebagaimana Pasal 44 KUHP menjadi salah satu pertimbangan dalam mengambil upaya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Namun, dalam implementasinya masih banyak kekaburan norma dari pelaksanaan Pasal 44 KUHP ini, seperti halnya pada pelaku penyimpangan seksual. Kekaburan norma merupakan kondisi dimana norma atau aturan sudah ada namun belum mempunyai makna yang jelas atau norma (aturan) tersebut memunculkan lebih dari satu arti yang menyebabkan norma menjadi kabur atau tidak jelas.

Kata Kunci : Alasan Pemaaf, Fetisisme, Restitusi

ABSTRACT

The purpose of research is to giving knowledge to public regarding about excuse forgiveness as a crime against perpetrators who commit sexual deviations which are classified as fetishism. This research use a normative legal study method with a descriptive analytical approach.1 The result of the research appears that a forgiving excuse can be applied to perpetrator of sexual deviation. Because, its application is in accordance with the Criminal Code (KUHP) as lex superior to criminal law, namely by the existence of things that can eliminate, reduce or burdens the crime. Thus, it is hoped that the efforts to convict the perpetrators of this fetal type of sexual deviation will get a solution that is solution and gives an effect to perpetrator without harming victim. The existence the thigs that can abolish, reduce, or incriminate the crime regulated in Article 44

KUHP is one of considerations in taking criminal efforts for perpetrators of criminal acts. However, in its implementation, there are many ambiguous norms from the implementation of article 44 KUHP, as is that case with perpetrators of sexual deviance. Norm obscurity is a norm condition where the norm already exists but has no clear meaning or the norm gives rise to more than one meaning that make the norm vague or unclear.

Keywords: Forgiving Reasons, Fetishism, Restitution

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Belakangan seringkali terdengar adanya kasus penyimpangan seksual yang tak lazim berjenis fetisisme yang dapat diklasifikasikan ke dalam kejahatan terhadap kesusilaan. Meski bukanlah hal yang baru terjadi, ternyata banyak masyarakat yang belum mengetahui mengenai adanya penyimpangan seksual yang satu ini. Penjelasan Hasan Shadily dalam tulisan Ensiklopedi Indonesia, menjelaskan bahwa istilah fetisisme adalah dorongan bagi seseorang untuk bisa merasakan kenikmatan seksual dengan benda – benda non seksual dari lawan jenis ataupun yang tertarik pada benda mati untuk memenuhi hasrat seksualnya. Penyimpangan Seksual Fetish adalah kelainan atau penyimpangan seks yang berkaitan dengan keadaan jiwa yang berhubungan dengan kecenderungan atau perilaku seksual, artinya kecenderungan erotis seseorang yang berfokus pada sesuatu bagian tubuh atau dapat juga pada pakaian wanita. Kepuasan seks bagi tiap orang bukan hanya mengenai hubungan antar kelamin yang terjadi pada pasangan manusia yang berbeda jenis, namun juga berkaitan dengan otak dbawah kesadaran yang dikuasai fantasi, ingatan, dan emosi.2

Seiring dengan adanya perkembangan kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat, penyimpangan seksual berjenis kelainan fetis ini menjadi salah satu kasus yang meresahkan masyarakat termasuk di Indonesia. Psikolog sekaligus penulis buku, Barry McCarthy yang berjudul “Men’s Sexual Health” berhasil meneliti penderita kelainan seksual berjenis fetis diperkirakan mencapai 2 – 4% (persen) dari laki – laki di dunia, penderita kelainan seksual ini mempunyai kecenderungan yang berjenis fetis. Berdasarkan American Psychiatric Association (APA), kelainan seksual fetisisme adalah suatu bentuk dari penyakit kejiwaan. Meski pada mulanya fetis dikategorikan sebagai penyebutan obyek yang memiliki kekuatan spiritual, namun kemudian diperkenalkan menjadi obyek seksual yang dianggap sebagai sinonim dari fetish seksual. Gairah seksual yang tak lazim ini mengarah pada adanya gangguan kejiwaan dalam diri seseorang. Dikatakan tak lazim atau terdapat penyimpangan dikarenakan adanya hasrat atau keinginan dari tingkah laku yang pada umumnya berkaitan dengan bentuk aktivitas (kegiatan), objek yang orang ataupun benda, ataupun kondisi dimana situasi normal tidak membuat terangsang secara seksual.

Dalam hal terpenuhinya syarat diagnosa kelainan fethistik, seseorang yang didiagnosa harus mempunyai fantasi, hasrat, dan tingkah laku seks yang intens dan juga berulang - ulang, yang juga mengaitkan benda mati atau bagian dari tubuh manusia (umumnya wanita) non-genital. Sehingga dalam perkembangan ilmu kesehatan pun fetisisme dianggap sebagai sebuah gangguan

kejiwaan yang terjadi dalam diri seseorang dengan kriteria tertentu salah satunya dengan dilakukan secara intens atau berulang kali. Perkembangan kejahatan yang kian mengarah kepada hal yang tabu untuk diperbincangkan kini justru menjadi salah satu bahan diskusi menarik bagi masyarakat karena menganggap hal tersebut sangat tak lazim atau aneh bisa terjadi pada seseorang. Namun, disisi lain juga banyak orang yang tidak menyadari bahwa dalam dirinya terdapat gangguan kejiwaan terhadap gairah seksual yang dapat meresahkan masyaraktat tersebut.

Dilihat dari kriteria diagnosis mengenai adanya perilaku seksual yang intens dan berulang, dapat diartikan dalam kasus ini terdapat pihak - pihak yang menjadi korban dari tindakan yang diduga mengarah pada pelecehan seksual. Walaupun di sisi lain KUHP sebagai hukum materiil dari pidana sendiri tidak menyebutkan secara spesifik apakah fetis termasuk memenuhi unsur yang melanggar kesusilaan yang dilindungi ataukah justru tidak memenuhi unsur – unsurnya. Untuk itu, diperlukan langkah represif dalam upaya pemidanaan yang diambil oleh aparat penegak hukum untuk menanggulangi adanya kasus yang meresahkan masyarakat ini. Dimana dalam hukum pidana kita mengenal ada tiga hal penting yang menjadi acuan dalam mengambil langkah hukum pidana sebagai ultimum remidium yaitu pertanggungjawaban, tindak pidana, dan juga pemidanaan. Selain itu, peraturan atau regulasi sebagai dasar hukum kejahatan terhadap kesusilaan yang didalamnya juga menjabarkan mengenai tindakan yang mengarah pada pelecehan seksual terdapat dalam BAB XIV Pasal 281, 289, 292 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.

Akibat adanya kemajuan perkembangan pada teknologi di era saat ini yang begitu pesat, banyak serta beragam juga jenis – jenis tindakan kriminal baru yang terjadi di masyarakat. Dan mayoritas dari sistem peradilan pidana di Indonesia seringkali mengambil keputusan ‘pamungkas’ penjatuhan pidana, yakni penjara. Nyatanya selain dari telah adanya korban dalam suatu tindak pidana, namun upaya pemidanaan sudah seharusnya menimbulkan efek perasaan jera pada pelaku supaya tidak akan melakukan perbuatannya kembali. Adanya alasan - alasan yang dapat menghapuskan, mengurangi ataupun memberatkan penjatuhan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 44 KUHP menjadi salah satu pertimbangan dalam mengambil upaya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Kekaburan norma yang terdapat pada Pasal 44 KUHP ini menjadi tanggungjawab pemerintah dalam rangka memberikan ketentuan yang ideal dan jelas bagi masyarakat guna mengatasi permasalahan yang terjadi terkait upaya pemidanaan bagi pelaku yang mengalami gangguan kejiwaan.3 Umar Syarif, Ahli hukum bagian pidana UGM Yogyakarta mengatakan pada hukum pidana terdapat alasan pemaaf bagi yang melanggar hukum pada beberapa kasus sehingga dapat mengajukan keringanan atau justru terbebas dari hukuman. Selain alasan pembenar, pada ilmu hukum pidana juga dikenal adanya alasan pemaaf sebagai alasan yang bisa menghapuskan pidana sesuai KUHP, dimana alasan ini dapat menghapus / menghilangkan kesalahan pelaku tindak pidana dari sisi pelaku / orangnya (secara subjektif), hal tersebut

berkaitan dengan dapat tidaknya seseorang mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Alasan pemaaf tidak semata – mata diberikan atau diterapkan dalam sistem peradilan pidana mengingat ada pihak yang terdampak oleh kejahatan tersebut yaitu korban yang juga harus dititikberatkan keadilannya. Dalam hal ini, pelaku fetis seksual yang dikatakan bermula dari adanya gangguan kejiwaan dalam dirinya dapat dipidana karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap korban. Sedangkan salah satu unsur diterimanya alasan pemaaf yaitu ketidakmampuan seseorang dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya karena mengalami daya pikir yang kurang sempurna. Dalam penyelesaian permasalahan bagi pelaku fetis seksual dilihat dari adanya konsep pemidanaan yang akan didapat, alasan pemaaf menjadi salah satu yang patut dipertimbangkan agar regulasi yang telah diterapkan sesuai dengan output yang diharapkan, yakni dapat diraih sebagai upaya represif dari adanya tindakan yang menyimpang dari hukum yang telah ditegakkan.

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan penulis belum ada penelitian yang menyangkut masalah dengan judul: “Alasan Pemaaf Sebagai Penghapus Pidana Dalam Tindak Pelaku Penyimpangan Sesual Fetisisme” sehingga merupakan hasil dari pemikiran penulis. Dimana penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelum-sebelumnya yang pernah ada, dikarenakan penelitian ini mengkaji permasalahan mengenai konsep alasan pemaaf bagi pelaku penyimpangan seksual yang berjenis fetis. Sedangkan dalam penelusuran yang dilakukan oleh penulis didapat beberapa judul jurnal yang hampir sama dengan penulisan ini, namun ide yang tertuang dalam penulisan ini orisinil dari sumbangsih pemikiran penulis. Beberapa judul jurnal yang sama, contohnya jurnal yang ditulis oleh Bob Steven Sinaga yang dipublikasikan pada tahun 2016 yang berjudul “Proses Hukum Bagi Pelaku Yang Mengalami Gangguan Kejiwaan Berdasarkan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. Yang dimana karya tersebut juga membahas terkait sanksi bagi pelaku yang mengalami gangguan kejiwaan. Namun, perbedaan yang ada dalam penulisan ini ialah penulisan lebih berfokus pada pelaku penyimpangan seksual dan ganggun jiwa yang dimaksud dalam tulisan ini ialah gangguan kejiwaan berupa fethistic disorder yang termasuk gangguan kelainan seksual.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Sesuai kajian yang telah dijabarkan diatas, penulis berfokus pada permasalahan Bagaimana konsep alasan pemaaf pada pelaku penyimpangan seksual fetis?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penelitian ini yaitu memberikan pengetahuan pada masyarakat mengenai adanya alasan pemaaf bagi pelaku tindak pidana yang memenuhi kriteria dalam menghapuskan pidana yang harus dipertanggungjawabkan.

  • II.    Metode Penelitian

Berdasar dari latar belakang dalam penelitian dan rumusan masalah, kajian menggunakan pendekatan dengan metode yuridis normatif. Yakni melalui

penelitian normatif berbentuk produk dalam tingkah laku hukum, seperti halnya mengkaji perundang – undangan. Fokus penelitiannya merupakan hukum atau aturan yang dikaji sesuai konsep norma atau aturan yang diterima masyarakat serta menjadi suatu acuan tingkah laku semua elemen masyarakat. Jadi, kajian hokum dengan metode normatif mengacu pada pengaplikasian hukum positif, doktrin, asas – asas, penemuan hukum pada perkara konkret, sistematika hukum, perbandingan, taraf sinkronisasi, serta sejarah dari hukum.4 Jika dilihat dari sifat penelitiannya, termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Yaitu memaparkan seluruh obyek teliti secara sistemik melalui metode analisis data.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1 . Konsep Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf merupakan hal - hal yang dapat menghapus atau menhilangkan kesalahan dari pelaku tindak pidana, sedangkan perbuatan pelaku tetap melawan hukum. Sehingga, alasan pemaaf jika dilihat dari sisi pelaku / orangnya (secara subjektif).5 Terkait pengaturan alasan pemaaf bisa dilihat pada Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana:

“Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”

Karena tidak bisa dihukumnya pelaku (terdakwa) sebab perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa yakni sebab kurang sempurna akal atau cara berpikirnya, dan karena sakit berubah akalnya misalnya bermacam – macam penyakit gangguan jiwa6

Alasan pemaaf atau alasan yang dapat menghapuskan pidana (kesalahan) (dalam bahasa asing disebut schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund) berhubungan dengan pribadi pembuat, artinya yaitu orang atau pelaku tersebut tidak bisa dicela (berdasarkan hukum) dengan kata lain orang tersebut tidak bersalah atau tidak bisa dipertanggungjawabkan, walaupun perbuatannya termasuk melawan hukum. Alasan pemaaf yang termuat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ialah pada Pasal 44 KUHP (tidak mampu bertanggungjawab), Pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), Pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Memorie van Teolichting menyebutkan bahwa salah satu hal tidak bisa menjadi alasan untuk tidak dapat dipertanggungjawabkannya orang yang terdapat pada diri orang tersebut (inwendig), yaitu perkembangan jiwa atau mental yang kurang sempurna atau terganggu karena menderita penyakit (Pasal 44 KUHP).

Pasal 44 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana berisi aturan bahwa tidak bisa dipidananya seseorang yang melakukan kesalahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada pelaku sebab tidak sempurnanya jiwa / akalnya, ataupun terganggunya jiwa karena menderita penyakit. Sehingga dapat

diartikan bahwa tidak bisa dipidananya pelaku dikarenakan dianggap tak ada kesalahan. Dalam praktik pada persidangan, terkait pembuktian terganggunya jiwa seseorang terdakwa atau pelaku tindak pidana berdasarkan keterangan saksi ahli dokter kejiwaan dapat dilihat pada kasus seorang oknum polisi yang melakukan pembunuhan. Persidangan Mahkamah Militer mengadili terdakwa yang merupakan seorang oknum militer dengan pangkat sersan mayor polisi yang bertugas pada Polda Nusra dimana oknum tersebut melakukan penembakan terhadap 3 (tiga) orang hingga korban meninggal dunia. Sesuai dengan keterangan ahli kejiwaan yang diuraikan dalam persidangan, terdakwa kasus pembunuhan ini terkena stres berat akibat alasan yang tidak diketahui sehingga menderita penyakit gangguan “amok” yakni kondisi jiwa atau mental yang tidak dalam keadaan sadar) sewaktu dirinya melakukan penembakan hingga korban meninggal dunia. Pengidap gangguan ‘amok’ seperti itu sudah terganggu akal sehatnya (atau yang disebut dengan ziekelijk storing derverstandelijk vermogens). Oleh sebab itu, terdakwa dinyatakan tidak memiliki unsur berupa kesalahan sesuai Pasal 44 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang bias diimplementasikan pada kasus a quo. MA (Mahkamah Agung) pada putusan Nomor 33.K / Mil / 1987 tertanggal 27 Februari 1988 memutuskan bahwa terdakwa tidak terbu kti dengan sah dan meyakinkan sehingga dilepaskan dari semua tuntutan hukum.7

Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 215 K / Pid / 2005 pertimbangan terkait keadaan jiwa terdakwa tidak berasal dari adanya keterangan saksi ahli dokter jiwa dalam persidangan. Pada persidangan perkara tersebut, majelis hakim memperoleh informasi terkait keadaan jiwa terdakwa sesuai dengan Surat yang dikeluarkan dari Rumah Sakit Jiwa Dadi Makassar yang dalam hal ini menerangkan bahwa terdakwa merupakan orang ‘kurang waras’ (tidak bisa berpikir dengan baik) atau terganggu jiwanya. Sesuai informasi tersebut, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, namun dikarenakan terdakwa dinyatakan sebagai orang yang ‘kurang waras’ atau tidak sehat secara jiwa maupun mental sesuai Surat yang dikeluarkan dari Rumah Sakit Dadi Makassar, sehingga berdasarkan bunyi Pasal 44 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, terdakwa pelaku tindak pidana tidak bisa dikenakan sanksi pidana serta terlepas dari segala tuntutan hukum.8

Melihat berdasarkan contoh putusan – putusan hakim diatas, alasan pemaaf bisa menjadi pertimbangan yang sangat penting diperhatikan oleh aparat dan penegak hukum yang membuat kebijakan.9 Pelaku penyimpangan seksual fetisisime mayoritas diindikasikan sebagai adanya gangguan / kecacatan mental pada diri pelaku, oleh karena itu norma atau kaidah tersebut dapat diterapkan pada pelaku yang melakukan penyimpangan seksual ini. Tidak juga berarti segala tindak pidana penyimpangan seksual yang terklasifikasi sebagai fetisisme ini dapat diberikan alasan pemaaf. Hal ini tentu saja memerlukan pemeriksaan mendalam yang membuktikan bahwa pelaku memang mengalami gangguan pada kejiwaan sehingga memiliki daya pikir yang tidak sempurna. Lalu upaya

yang dapat diambil mengingat dengan adanya dampak dari kerugian yang ditimbulkan korban yaitu bisa dengan mengambil upaya Keadilan Restoratif (restorative justice). Restorative justice atau Keadilan Restoratif merupakan alternatif baru yang ditawarkan dengan berkaca pada proses berjalannya penegakan hukum utamanya hukum pidana yang seringkali berfokus pada hal – hal yang terkait dengan cara memulihkan kerugian yang ditimbulkan pada diri korban dalam suatu tindak pidana serta hubungan antara pelaku yang melanggar hukum dengan korban.10

Seiring dengan perkembangan hukum pidana khususnya pada saat munculnya upaya restorative justice (keadilan restorative), maka restitusi atau ganti kerugian dinilai dapat menjadi alternative pemberian sanksi atas tindak pidana atau hukuman yang bertujuan guna membuat seimbangnya hak-hak perdata dari korban tindak pidana yang bisa dikonversi atau diganti dengan uang sebagai ganti kerugian dengan nominal yang sesuai dan memulihkan korban. Upaya Keadilan Restoratif menawarkan keadilan bagi tercapainya kesepakatan antara korban dengan pelaku tindak pidana, serta pada maksud kesepakatan tersebut salah satu alternatifnya yaitu adanya pembayaran ganti kerugian dari pelaku tindak pidana kepada korbannya atau keluarga korban ataupun juga ahli warisnya.

  • 3.2    Restitusi Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Korban

Upaya Restitusi atau ganti rugi adalah biaya yang harus dibayar oleh pelaku akibat adanya kerugian yang diderita orang lain (korban) secara ekonomi. Jika dilihat berdasarkan hukum materiil, upaya restitusi atau ganti kerugian belum jelas apakah upaya tersebut termasuk dalam pidana pokok ataupun pidana tambahan, hal tersebut dikarenakan upaya restitusi belum diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana sebagai salah satu jenis pemidanaan. Alasan inilah yang mengakibatkan upaya restitusi (ganti kerugian) tidak dinilai dapat menjadi salah satu jenis “pidana” yang dapat diambil oleh para penegak hukum. Pertama kalinya restitusi (ganti kerugian) diatur di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana yakni pada pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP, yang dalam hal ini menjadi hukum formil mengenai restitusi (ganti kerugian). Selain daripada itu perlindungan hukum anak korban dari tindak pidana pemerkosaan juga berhak mendapat rehabilitasi yang didampingi pemerintah yang dijamin secara fisik maupun mental, bahkan spiritual dan sosial, serta memiliki hak untuk dilindungi privasinya.11

Pada perkembangan hukum positif di Indonesia, sudah bermunculan berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya ganti kerugian restitusi, yang diatur pada beberapa UU dan juga Peraturan Pemerintah. Pada pengamatan yang dilakukan pada beberapa peraturan perundang-undang didapatkan 7 (tujuh) Undang - Undang dan 4 (empat) Peraturan Pemerintah. Perundang -Undangan yang saat ini mengatur mengenai sanksi pidana berupa ganti

kerugian restitusi12 misalnya Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 15 / 2003 tentang Tindak Pidana Teroris, UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Jo. UU Nomor 31 tahun 2014 tentang revisi UU Nomor 13 / 2006, UU Nomor 21 tahun 2007 Tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 35 / 2014 tentang Revisi Undang -Undang Perlindungan Anak (Undang - Undang Nomor 23 tahun 2002), UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sedangkan, dalam Peraturan Pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2002 tentang Restitusi dan Kompensasi bagi Korban Pelanggaran HAM. Kemudian ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2008 dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2018 yang tergolong peraturan yang mengatur restitusi dan juga kompensasi yang merupakan perwujudan dari adanya UU Perlindungan Saksi dan Korban. Serta Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2017 yang mengatur restitusi bagi anak sebagai korban.13

Berbicara mengenai hak seorang korban tindak pidana, misalnya pada perkara pidana kekerasan seksual, sudah banyak sekali jenisnya, seperti halnya secara medis, psikologi, serta pendampingan yang diperlukan bagi orang - orang yang ada dalam persidangan. Klausul – klausul yang berfokus terkait restitusi dapat dilihat pada pasal 7A Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada klausul tersebut dinyatakan bahwa upaya restitusi (ganti kerugian) pada korban tindak pidana bisa berbentuk ganti rugi akibat hilangnya kekayaan materiil ataupun penghasilan seseorang; ganti rugi karena menderitanya korban yang berhubungan langsung dari adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku; serta upaya restitusi berupa biaya perawatan baik perawatan medis ataupun psikologi. Alasan - alasan yang telah dipaparkan di atas masih tidak banyak diketahui oleh korban yang mengalami kejahatan (tindak pidana). Pada hal lainnya, seringkali didapatkan penegak hukum yang masih belum berani menerapkan restitusi bagi korban tindak pidana. Hak sebagai korban kejahatan seharusnya penting untuk disosialisasikan agar para korban kejahatan dapat mengetahui hak apa saja yang bisa didapatkan untuk memulihkan kembali keadaan korban baik secara materiil, medis, ataupun psikologis. Upaya tersebut mengingatkan korban dan juga keluarganya bahwa Undang – Undang juga memberi kesempatan bagi korban kejahatan untuk mengajukan tuntutan berupa ganti kerugian kepada pelaku tindak pidana. Ketentuan untuk mengajukan upaya ganti kerugian (restitusi) tersebut dapat diajukan bersama - sama dengan proses pidana dari awal dilakukannya proses penyelidikan. Pengajuan upaya ganti kerugian harus disertai dengan identitas dari pemohon (dalam hal ini korban atau keluarga korban), identitas dari pelaku tindak kejahatan, uraian lengkap dan runtut tentang kronologis yang terjadi dan merugikan korban, uraian kerugian yang dialami serta jumlah total ganti kerugian (restitusi) yang dimohonkan. Permohonan ganti kerugian dapat diajukan mulai dari dimulainya

proses pidana, sebelum adanya putusan dari majelis hakim, melalui penyidik, penuntut umum atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan setelah adanya putusan pengadilan harus diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Penderitaan secara materiil ataupun non - materiil yang diderita oleh korban kejahatan suatu tindak pidana dapat dikonversikan dalam bentuk rupiah yang dimohonkan oleh keluarga korban yang menjadi wali korban untuk mendapat restitusi. Tindak Pidana dalam bentuk kejahatan seksual merupakan jenis kejahatan yang berupa pelecehan yang membuat ternodanya harkat martabat seorang manusia. Kejahatan tersebut mempunyai efek yang sangat besar bagi korban kejahatan, baik secara fisik, psikis, ekonomi bahkan secara sosial. Efek yang diderita korban sangat berdampak pada meningkatnya reaksi masyarakat utamanya pada saat perempuan yang menjadi korban kejahatan. Keadaan korban kejahatan seksual malah akan terpojok, sebab korban kejahatan seksual akan terbatas dalam melakukan peran sosialnya di masyarakat. Karena korban kejahatan akan mengalami trauma berkepanjangan sehingga sangat memerlukan pemulihan.

Upaya perlindungan korban utamanya bagi perempuan dan juga anak-anak sebagai korban dari kejahatan seksual merupakan upaya bagi hak-hak para korban kejahatan, terutama kejahatan seksual. Upaya ganti kerugian (restitusi) dan kompensasi merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan penegak hukum sebagai komponen dari adanya hak asasi manusia14 yang perlu dilindungi demi terciptanya kesejahteraan serta jaminan sosialnya, yang menjadi salah satu upaya perlindungan hak asasi manusia yang sudah seharusnya terpenuhi kepada para korban kejahatan tertutama kejahatan seksual. Penerapan tuntutan berupa kompensasi bagi para korban kejahatan pada era ini dipandang masih saja berfokus dengan upaya implementasi ganti kerugian yang langsung dibebankan bagi pelaku tindak pidana. Cara pandang seperti itu harusnya sudah dibenahi, utamanya bagi korban kejahatan seksual yang merupakan anak-anak ataupun perempuan (orang dewasa). Korban dari pelaku kejahatan seksual sudah saatnya tidak hanya berfokus hanya pada kewajiban bagi pelaku tindak pidana, akan tetapi harus dilihat juga dari sisi negara yang memiliki kewajiban untuk memberi kompensasi bagi korban kejahatan.

  • 3.3    Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Penyimpangan Seksual Fetisisme

Penyimpangan seksual merupakan tingkah laku atau tindakan seks yang tidak normal yang dilakukan untuk mendapat kenikmatan atau hasrat seksual yang tidak wajar . Tindakan tersebut termasuk dalam bentuk psikologis atau kejiwaan, misalnya cerita di masa kecil, bisa juga dari lingkungan sekitar, ataupun dapat timbul akibat alasan genetik yang dihubungkan dengan interaksi sosial dan juga faktor moral di lingkungannya. Tingkah laku yang menyimpang karena tidak sewajarnya bisa dianalisa dengan teori sosiologis yang dalam hal ini memaparkan sebab akibat munculnya penyimpangan atau kelainan seksual pada diri seseorang, dimana teori tersebut mempertegas penjelasan konsep hukum dan semua sebab gejala ketertiban umum yang terjadi pada masyarakat sebagai usulan para penegak hukum guna mendapat evaluasi terkait efektivitas

implementasi hukum pada masyarakat. Peraturan terkait penyimpangan seksual di dalam hukum positif Indonesia bisa dilihat pada Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yakni Perzinahan Pasal 284, Persetubuhan pasal 285 KUHP, persetubuhan dengan perempuan dalam keadaan pingsan dan tidak berdaya pasal 286 KUHP, dan persetubuhan dengan perempuan belum cukup umur pada pasal 287 KUHP. Tindak pidana tersebut melanggar kesusilaan, yang dimaksud dengan pelanggaran kesusilaan dalam hal ini yaitu perilaku pelanggaran sopan santun di bidang kesusilaan yang berkaitan dengan alat kelamin atau bagian badan lainnya yang bisa memunculkan nafsu seseorang terangsang.15 Terkait Sanksi Pidana yang lebih berat diberikan kepada pelaku penyimpangan seksual yakni disahkannya Perpu No. 1 / 2016 tentang perubahan kedua UU No. 23 / 2002 yang sebelumnya telah diperbaharui dalam UU No. 35 / 2014 tentang Perlindungan Anak.16

Fetis merupakan munculnya daya tarik / hasrat seksual yang ‘over’ dan sangat kuat pada benda - benda mati ataupun bagian tubuh yang jika dilihat secara umum tidak sewajarnya dilihat sebagai objek seksual. Hal tersebut bisa akan menjadi semakin parah akibat adanya tekanan ataupun gangguan secara klinis dalam diri seseorang penderita yang terjadi secara intensif dan signifikan. Kelainan tersebut pada dasarnya merupakan sesuatu yang normal sebagai bagian hasrat seksual. Akan tetapi, akan menjadi masalah jika tiba – tiba gairah seksual tersebut muncul dan sangat memerluka bantuan objek yang pada akhirnya akan memaksakan kehendak bagi orang lain.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), fetis bisa disimpulkan sebagai keadaan yang mempunyai hasrat yang sangat kuat pada benda mati, misalnya pakaian dalam wanita. Disamping itu, fetish tersebut bisa terjadi pada salah satu bagian tubuh yang tidak sewajarnya dan spesifik, misalnya bagian kaki, hanya agar mendapatkan hasrat seksual yang diinginkan. Dengan hal – hal tersebutlah penderita kelainan seksual fetisisme ini bisa mendapat gairah seks. Fethistic Disorder termasuk kelainan seksual, dikatakan disorder karena termasuk dengan gangguan yang meruakan rangkaian dari penyakit kejiwaan/mental (the label “disorder” is akin to labeling a set of symptoms as a mental illness.)17 Kemudian, dikutip dari kanal Psychology Today, fetis diartikan dengan kelainan yang lebih banyak diderita oleh laki – laki dibanding perempuan. Selain itu, dijelaskan apabila gangguan tersebut hampir eksklusif diderita kaum laki – laki. Gangguan tersebut masuk pada kategori umum kelainan paraphilis, dimana gangguan tersebut membuat seseorang mempunyai gairah seksualitas pada benda tidak hidup ataupun bagian tubuh selain stimulasi sewajarnya yang biasa terjadi secara genital.

Mengutip kata salah seorang Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Primaya Hospital di Bekasi Barat yakni dr. Alvina, Sp.KJ pada siaran pers melalui channel

youtube Lifestyle Bisnis, bahwa Fetish tidak pasti merupakan kelainan apabila tidak sampai membuat distres dan juga tidak sampai memunculkan gangguan pada fungsi saraf. Agar mencapai syarat dikatakan mengidap gangguan mental atau gangguan jiwa, seorang pengidap kelainan seksual Fetish harus merasakan distres dimana sangat mengganggu pengidap dan memaksa untuk mencapai hasrat seksualnya, dan juga gangguan pada fungsi organnya misalnya seperti merasa bingung atau sangat menderita pada kondisi yang mengganggunya. Pada saat merasa semakin mengganggu, diagnosanya dapat disimpulkan sebagai gangguan penyimpangan seksual yang disebut Fetihistik.

Tidak segampang dibayangkan jika menjatuhkan hukuman pada seseorang, ada beberapa tolak ukur yuridis yang menjadi pertimbangan mejelis hakim dalam menjatuhkan putusan pada terdakwa. Salah satunya yakni unsur tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum harus benar – benar sempurna terpenuhi secara sah dan meyakinkan majelis hakim. Teori pada hukum positif yakni hukum pidana juga dikenal adanya istilah strafbaar feit yang memiliki makna “perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, yang diancam dengan hukuman”. Sehingga perbuatan pidana yang bisa dijatuhi hukum an sudah seharusnya termasuk pada kategori strafbaar feit, dikarenakan tidak semua perbuatan pidana dapat dijatuhi sanksi pidana. Konsep Strafbaar feit menurut ahli hukum Simons bahwa Strafbaar feit dapat dirumuskan jika telah memenuhi kriteria di bawah ini, yaitu:

  • a.    Adanya perbuatan yang dilakukan oleh manusia;

  • b.    Perbuatan tersebut merupakan “wederrechtelijke” (bertentangan dengan hukum atau melanggar yang berlaku);

  • c.    Perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang yang bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya “toerekeningsvatbaar”;

  • d.    Kemudian seseorang tersebut bisa dipersalahkan.

Jika dilihat dari kritera – kriteria menurut Simons di atas, kali ini dapat dibahas terkait “perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar)” dimana hal ini dapat dikaitkan pada keadaan psikologis atau jiwa seseorang yang pada istilah terminologi Belanda disebut “toerekeningsvatbaarheid”.

Keadaan psikis seseorang pelaku penyimpangan seksual dimana dalam hal ini bisa dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (mendapat sanksi hukuman pidana) harus dipahami dan diketahui akan adanya nilai dari perbuatan pelaku penyimpangan seksual tersebut sehingga bisa memahami akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Kondisi psikis pelaku penyimpangan seksual harus demikian sehingga bisa menentukan secara sadar perbuatan yang dilakukan. Pelaku penyimpangan seksual harus juga insaf, tobat dan sadar bahwa perbuatannya merupakan perbuatan yang melanggar, dilarang, dan tidak bisa dibenarkan apapun alasannya, baik itu secara hukum, menurut masyarakat maupun dari segi pandang norma kesusilaan. Fethisisme termasuk gangguan kejiwaan yang lebih condong pada alasan pemaaf yang berkaitan dengan keadaan si pelaku18 sesuai dengan Pasal 44 ayat (1) KUHP, yang isinya “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”

Terkait keadaan psikologi seseorang pengidap gangguan fetisisme saat melakukan tindak pidana perlu dianalisa dan dikaji dalam proses persidangan. Agar bisa dituntut perlu adanya pembuktian terhadap keadaan jiwa apakah dalam keadaan sehat atau sakit dengan benar sebelum diputuskan untuk dapat dijatuhi sanksi pidana. Belum sesuainya kriteria keadaan psikis yang dapat dikatakan sehat maka seseorang belum bisa dihukum walaupun segala unsur – unsur pidana sudah terpenuhi. Penderita kelainan psikologis atau orang gila atau gangguan mental tidak bisa diartikan sadar bahwa perbuatannya tersebut merupakan perbuatan melanggar, dilarang, dan tidak bisa dibenarkan apapun alasannya, baik itu secara hukum, menurut masyarakat maupun dari segi pandang norma kesusilaan. Kelainan psikologis merupakan kelainan kejiwaan dimana terdapat gangguan pada otaknya dimana ditandai dengan gangguan terhadap cara berpikir, emosi, tingkah laku, dan juga penangkapan panca indera yang didapat.

Pada teori liability dalam konsep hukum pidana atau yang diartikan sebagai pertanggungjawaban adalah teori terpusat yang sering diketahui dan dipahami sebagai ajaran kesalahan. Mengingat hukum pidana mempunyai tujuan khusus yakni dalam melindungi kepastian hukum masyarakat dalam 3 (tiga) tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.19 Secara terminology pada bahasa latin ajaran kesalahan tersebut sering dikatakan dengan penyebutan mens rea tersebut didasarkan atas maxim actus nonfacit reum nisi mens sit rea20, yang artinya bahwa “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pekiran orang itu jahat”.

Secara tradisional, selain ketentuan - ketentuan objektif dilakukannya perbuatan pidana, harus dilihat pula dari sisi terpenuhinya pula kriteria subyektif ataupun ketentuan - ketentuan kejiwaan untuk bisa mempertanggungjawabkan serta dijatuhi hukuman pidana. 21 Syarat subyektif tersebut disebut sebagai “kesalahan”. Berdasarkan teori kesalahan (yakni kesengajaan dan juga kealpaan) mampu mempertanggungjawabkan. Pada teori hukum pidana ketentuan ini dijadikan satu dengan mens rea.22 Bertolak belakang dengan teori normatif yang menciptakan konsep kesalahan, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan tersebut, serta analisa tentang pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana dapat diartikan pelaku perbuatan tersebut secara sah dan meyakinkan bisa dikenakan pemidanaan akibat perbuatannya tersebut.23

Secara filosofi tanggungjawab negara bagi korban tindak pidana karena Negara sudah mengambil alih hak tersebut untuk membalas pada korban dan

masyarakat bagi pelaku tindak pidana guna mencegah adanya “eigenrichting” sesuai kedaulatan kebijakan Negara dan juga kedaulatan yang ditur dalam hukum suatu Negara tersebut sendiri, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang pada konstitusi yakni Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang bertujuan untuk memberi keadilan bagi semua orang sesuai asas “equality before the law”. Kondisi psikis seseorang yang menderita cacat atau kelainan pada perkembangan dan kelainan psikis dikarenakan penyakit yang diderita bukan dimaksud dari segi pandang ilmu kedokteran, tetapi suatu konsep dari sudut pandang hukum. Sesuatu yang dijadikan tolak ukurnya yaitu terkait adanya keterkaitan kondisi psikis seseorang dengan perbuatannya yang sehingga pelaku tindak pidana yang mengalami gangguan kejiwaan bisa disimpulkan tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Keterkaitan antara keadaan jiwa pelaku dengan perbuatan yang dilaksanakan bukan kewenangan dari ahli kejiwaan, tetapi merupakan kewenangan majelis hakim pada proses persidangan, sehingga meskipun bukan termasuk kewenangan ahli kejiwaan ataupun psikiater, namun pendapat dari ahli kejiwaan pada proses persidangan bisa menjadi pertimbangan majelis hakim dalam menjatuh putusan.24

IV. Kesimpulan

Dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan pidana adalah salah satu sesuatu yang sangat krusial dalam hukum pidana. Pihak – pihak terkait, yakni pelaku, korban, saksi, dan lain sebagainya juga merupakan manusia yang perlu dilindungi hak – haknya. Biasanya di setiap permasalahan hukum yang terjadi, kebanyakan yang dilindungi adalah korban, dan bagaimana korban bisa menuntut keadilan bagi apa yang telah dialaminya. Namun, di sisi lain patut juga dipikirkan apakah pelaku melakukan hal tersebut merupakan murni karena ada niat untuk melakukan tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap hukum. Hal tersebut memang haruslah dibuktikan di dalam persidangan, mengingat dalam hal pembuktian gangguan jiwa yang dialami pelaku hanya dapat dibuktikan dengan keterangan ahli jiwa, yang juga diyakini oleh hakim bahwa pelaku atau terdakwa memang benar sedang mengalami cacat mental dan harus mendapat perawatan khusus. Tetapi, di lain sisi hal ini juga tidak menutup keadilan bagi korban atas apa yang telah merugiakannya, baik dari segi fisik, material, maupun secara psikis. Hal tersebut haruslah seimbang dengan konsep keadilan yang mengedepankan asas equality before the law yag harus dipegang. Banyak jalan keluar yang seharusnya bisa diambil untuk tetap menegakkan keadilan yang seadil – adilnya. Beberapa solusi dari penegakan hukum agar semua pihak merasa adil, seperti misalnya dengan pendekatan Restorative Justice, dengan mengganti kerugian korban dengan restitusi, merupakan langkah – langkah yang harus diketahui oleh masyarakat terkait hak – haknya sebagai korban, dan atas pertanggungjawaban pelaku bilamana gugur pertanggungjawaban pidananya dikarenakan ketentuan – ketentuan yang sudah tertuang dalam peraturan perundang – undangan. Diaturnya peraturan

perundang-undangan yang menegaskan implementasi pertanggungjawaban negara bagi korban dan juga upaya – upaya hukum yang bisa diambil oleh korban saat pelaku tindak pidana tersebut tidak bisa menjalani sanksi hukumannya, adanya analisa dan penelitasn yang lebih mendalam pada wujud keadilan yang ditawarkan bagi korban dan bagi keluarga korban sebagai wali korban terhadap korban kejahatan yang sampai meninggal dunia karena akibat tindak pidana yang dialami, maka apabila pelaku tindak pidana tersebut tidak bisa menjalankan sanksi pidananya misalnya karena terbukti mengalami gangguan kejiwaan, ataupun akibat gagalnya negara melindungi ketertiban umum secara hukum dan atau gagalnya Negara dalam mencapai tujuan dari konsep pemidanaan tersebut. Hal tersebut harus diperhatikan agar baik korban maupun pelaku yang merupakan komponen dalam suatu Negara dapat merasakan keadilan karena hak maupun kewajibannya tersosialisasikan dengan baik sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir, Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Cet. 1, 2004).

Erdianto Efendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia-Suatu Pengantar. (Bandung: PT Refika Aditama, 2011).

Jurnal Ilmiah

Anggreni, Made Sisca, I Ketut Rai Setiabudi, Sagung Putri M.E. Purwani. “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Eksibionisme Dalam Hukum Pidana Indonesia.” Jurnal Kertha Wicara 5, No. 1 (2016).

Daming, Saharudin. “Mengkaji Pidana Kebiri Kimia Dalam Perspektif Medis, Hukum Dan Ham (Assessing Chemical Castrated Penal In Medical, Legal And Human Rights Perspectives).” Jurnal Supremasi Hukum 9, No. 1 (2020).

Delcea, Christian. “Fethistic Disorder.” International Journal Of Advanced Studies In Sexology 1, No. 1 (2019).

Karma, Ni Made Sukaryati. “Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Seorang Kleptomania.” Jurnal Preferensi Hukum 3, No. 1 (2022).

Kolompony, Grant P. “Eksistensi Tindak Pidana Pelanggaran Kesusilaan Di Depan Umum (Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).” Lex Crimen 4, No. 7 (2015).

Murtadho, Achmad. “Pemenuhan Ganti Kerugian Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan.” Jurnal HAM 11, No. 3 (2020).

Paul Mccold dan Ted Wachtel. 2003 “In Pursuit of Paradigm: A Theory of Restorative Justice”, Kajian tersebut dipaparkan pada Kongres Kriminologi Tingkat Dunia ke - XIII di Rio de Janeiro, Brazil.

Pertiwi, Ratna. “Hak Restitusi Anak Korban Kejahatan Seksual.” Jurnal Doktoral Ilmu Hukum 1, No. 1 (2020).

Puspitasari, Ida Ayu Indah. “Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Mutilasi Yang Mengidap Gangguan Jiwa Skzofrenia (Studi Putusan No. 144/Pid.B/2014/PN. CJ).” Recidive 8, No. 2 (2019).

Rozi, Fahrul. “Gambaran Perilaku Eksibionis Pada Perempuan Dalam Komunitas Nude Photography di Jakarta.” Jurnal Psikologi 1, No. 1 (2016).

Sania, Gusti Ayu Trimita, Anak Agung Sri Utari. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan.” Jurnal Kertha Wicara 9, No. 3 (2020).

Sari, Novita. “Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pelajar/Mahasiswa Dalam Memperoleh Narkoba.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 19, No. 1 (2019).

Sinaga, Bob Steven. “Proses Hukum Bagi Pelaku Yang Mengalami Gangguan Kejiwaan Berdasarkan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. JOM Fakultas Hukum Universitas Riau III, No. 4 (2016).

Yulianti, Sri Wahyuningsih. “Kebijakan Pengaturan Pemberian Kompensasi Dan Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana Berbasis Prinsip Keadilan Dan Kemanusiaan Perspektif Hukum Inklusif.” Jurnal Pendidikan Politik, Hukum Dan Kewarganegaraan 11, No. 2 (2021).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 33.K/Mil/1987.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 215 K/Pid/2005.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 2 Tahun 2022, hlm. 334-348