PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH TERHADAP PENAGIHAN PINJAMAN ONLINE DI MASA PANDEMI

Ni Putu Tamar Raisa Bangsawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i02.p8

ABSTRAK

Dalam bidang perekonomian saat ini, berbagai transaksi serta pinjaman tidak perlu lagi dilakukan di bank. Finance Technology membuat transaksi dapat dilakukan melalui telepon pintar dan dalam waktu yang singkat serta proses yang lebih mudah. Fintech Lending merupakan jenis yang paling populer karena memberikan pinjaman untuk kebutuhan-kebutuhan yang dengan syarat yang mudah. Selain kelebihan yang ditawarkan, terdapat pula permasalahan dalam penggunaannya, dimana masih marak penagihan pinjaman online melalui telepon dan sms spam yang mengganggu bahkan mengintimidasi nasabah, Terlebih di masa pandemi, dimana perekonomian masyarakat menurun yang turut menyulitkan pembayaran pinjaman online. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan bagi konsumen atau nasabah Fintech Lending atau dikenal dengan pinjaman online berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (No. 8 Tahun 1999), pengaturan Layanan Finance Technology dalam POJK Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (No. 77/POJK.01/2016), POJK Inovasi Keuangan Digital di sektor Jasa Keuangan (No. 13 Tahun 2018) serta keringanan bagi pinjaman online yang belum tercakup dalam POJK Stimulus Covid-19 (No. 11/POJK.03/2020), menyebabkan ketidakpastian perlindungan bagi nasabah pinjaman online.

Kata Kunci : Fintech Lending, Perlindungan Konsumen, Masa Pandemi

ABSTRACT

In the economic field these days, many transactions and loans are no longer needed to be done at the bank. With the existence of Finance Technology transactions can be done via smartphones, and in a shorter time and also the easier process. Fintech Lending is the most popular type because it provides loans for needs with easy terms. In addition to the advantages offered, there is also problem in use of it, online loan collection by telephone and SMS spam is still rampant, which disturbs and even intimidates customers. This research aims to determine the protection for consumers/customers of Fintech Lending or known as online loans based on Consumer Protection Act (No. 8 of 1999 ), regulation of Finance Technology Services in POJK Information Technology-Based Borrowing and Borrowing Services (No. 77/POJK.01/2016), POJK Digital Financial Innovation in the Financial Services sector (No. 13 of 2018), and also waivers for online loans that have not been covered by POJK No. 11/POJK.03/2020 regarding the Covid-19 Stimulus, causing uncertainty in protection for online loan customer during this pandemic.

Keywords: Fintech Lending, Consumer Protection, Pandemic Period

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Perubahan zaman berjalan, seiring dengannya ada pula hal-hal yang berkembang dengan cepat, salah satunya teknologi. Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, segala sesuatu dapat diakses dengan mudah. Salah satu sektor yang terdampak pada perubahan teknologi adalah sektor perekonomian. Hal-hal yang semula harus dilakukan dengan pergi ke bank atau lembaga perkreditan resmi yang melalui proses yang cukup memakan waktu, kini dapat dilakukan secara online bahkan dalam hitungan menit saja melalui smartphone. Inilah suatu sistem perkonomian di era digital, yang akrab disebut sebagai Financial technology (Teknologi Finansial) yang juga disingkat menjadi Fintech. menurut Bank Indonesia Fintech (Teknologi Finansial ) merupakan sistem keuangan yang mempergunakan teknologi dalam mewujudkan hasil buatan, pelayanan, teknologi, bentuk bidang usaha baru yang memiliki dampak terhadap keseimbangan ekonomi, keseimbangan mekanisme keuangan, efisisensi, kelancaran, keamanan dan keandalan sistem pembayaran1.

P2PL atau Peer to Peer Lending merupakan yang terpopuler diantara jenis Fintech lainnya, hal ini dikarenakan jenis ini menyediakan pinjaman bagi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Menurut Firanda dalam Diponegoro Law Jurnal, P2P Lending sendiri merupakan pelaku penyedia fasilitas jasa finansial yang menjembatani pemberi dengan penerima pinjaman lewat suatu aplikasi berbasis TI (teknologi informasi) yang kerap dikenal dengan pinjaman online2. Fasilitas P2P tersebut membawa kemudahan untuk pengembangan UMKM bagi pelaku usaha yang memiliki keterbatasan dana. Fintech Lending ini telah memiliki regulasi jelas di Indonesia melalui aturan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (PBI) serta aturan yang diterbitkan oleh OJK (POJK). Selain melalui kedua peraturan tersebut, regulasi mengenai P2P Lending atau akrab disebut sebagai pinjaman online juga tercantum dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE (No. 11 Tahun 2008 ), Perkominfo Sistem Manajemen Pengamanan Informasi (No. 4 Tahun 2016), serta Permenkominfo Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik (No. 20 Tahun 2016).

Melambungnya jumlah pemakai internet serta telepon pintar di nusantara menjadi andil terbesar dalam perkembangan financial technology Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari pemanfaatan internet dan smartphone, karena memungkinkan adanya konektivitas antar individu, bisnis dan pemerintah di dalamnya. Untuk mengoptimalkan peran fintech dalam pertumbuhan sosial ekonomi dan perkembangan keuangan Indonesia, perlu dipelajari bagaimana menyeimbangkan antara kenyamanan, keluwesan fasilitas finansial yang disediakan oleh fintech serta perlindungan konsumen. Jika perkembangan financial technology tidak memiliki keseimbangan seperti itu, maka akan mengurangi keyakinan publik kepada sistem finansial serta dapat mempengaruhi keseimbangan ekonomi. Menurut Njatrijani dalam jurnalnya3, pemakai layanan jasa teknologi finansial (fintech) harus dijamin dalam perolehan perlindungan hukumnya, semisal ketersediaan informasi terperinci

mengenai produk serta layanan yang dipergunakan, selain itu juga nilai guna, efek, biaya serta proteksi data pemakai.

Pelayanan kredit sistem Fintech lending tidak sekadar memberi imbas yang baik atau positif, tetapi terdapat pula dampak negatifnya. Contohnya kemudahan pengajuan pinjaman dan longgarnya syarat, dimana hanya memerlukan KTP guna pengisian identitas diri mendorong masyaarakat untuk mengajukan kredit, namun banyak orang yang tidak memperhitungkan bunga pinjaman yang ditentukan oleh suku bunga pinjaman. Hal ini kemudian menyebabkan berbagai permasalahan, terutama kepada debitur, contohnya debitur yang terjebak dengan bunga yang sewaktu-waktu menjadi melonjak. Menurut Muhammad Yusuf dalam skripsinya menyatakan bahwa keresahan masyarakat disebabkan dalam layanan P2P belum tersedia pengaturan mengenai batas dalam bunga pinjaman serta tindakan kekerasan verbal maupun nonverbal dalam penagihan pembayaran kredit4. Keluhan lainnya yang banyak ditemukan dalam pinjaman online adalah adanya upaya penagihan pinjaman online yang “bandel” padahal batas pembayaran belum jatuh tempo terlebih di masa pandemi ini. Pandemi merupakan faktor tidak terduga yang telah mempengaruhi berbagai sektor kehidupan masyarakat, dan membuat perekonomian menurun. Penagihan pinjaman online “bandel” di masa pandemic ini contohnya dalam kasus dengan salah satu penyelenggara pinjaman/kredit online di Indonesia berbasis aplikasi yaitu Home Credit Indonesia, dimana nasabah bernama Sipca Endrasta mengeluhkan mengenai penagihan melalui telepon yang tidak kenal waktu padahal belum jatuh tempo pembayaran, tidak adanya kelonggaran penagihan di masa pandemic, serta keluhan yang tidak ditanggapi oleh penyelenggara pinjaman/ kredit online tersebut melalui email5.

Di masa pandemi seperti sekarang, banyak sektor yang terpaksa ditutup sehingga menyebabkan turunnya perekonomian. Hal ini tentu berpotensi menyebabkan keterlambatan pembayaran oleh nasabah. Terlebih lagi, POJK Stimulus Covid-19 (Nomor 11/POJK.03/2020) tidak berlaku wajib bagi Penyelenggara Fintech. Dimana Ketua AFPI dalam sebuah teleconference menyatakan bahwa POJK Nomor 11/2020 tidak mencakup P2P dalam restrukturisasi, penyebabnya adalah bisnis dengan bentuk fintech Lending itu tidak sama dengan bank konvensional serta perusahaan pembiayaan (multifinance). Di lain pihak, Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi menimbang bahwa peminjam kredit online semestinya juga memiliki hak untuk memperoleh keringanan pembayaran kredit ketika masa pandemi ini. Karena, kebanyakan debitur merupakan masyarakat menengah ke bawah6. Terkait perihal itu, dibutuhkan usaha dari pemerintah untuk melakukan penindakan pelaku usaha pinjaman online untuk mengatasi permasalahan cara dan etika penagihan pinjaman online di masa pandemi ini. UU Perlindungan Konsumen (No. 8 Tahun 1999), UU ITE (Nomor 19 Tahun 2016), POJK Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (No. 77/POJK.01/2016), POJK Inovasi Keuangan Digital di sektor Jasa

Keuangan (No. 13 Tahun 2018), POJK Stimulus Covid-19 (Nomor. 11/POJK.03/2020), dan peraturan terkait lainnya nyatanya tidak memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi para pemakai fasilitas jasa finansial kredit online.

Sebelumnya telah ada dua penelitian yang membahas dan berkaitan dengan pinjaman online atau fintech serta penagihan hutangnya. Penelitian pertama berjudul “Perlindungan Konsumen Dalam Penggunaan Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Peer to Peer Lending” yang ditulis oleh Azmi Aulia Rahmi, penelitian ini terfokus pada penggunaan data pribadi konsumen layanan pinjam meminjam berbasis fintech7. Penelitian kedua berjudul, “Nagih Utang (Debt Collector) Pinjaman Online Berbasis Financial Technology” yang ditulis oleh G.A. Firanda, P. Prananimgtyas dan S.N. Lestari yang berfokus pada pengawasan dan tindak lanjut OJK terhadap permasalahan penagihan hutang oleh debt collector8. Dari kedua penelitian tersebut, dalam tulisan ini lebih difokuskan pada permasalahan penagihan pinjaman online setelah masa pandemi dan pengaturan pasca dikeluarkannya POJK Stimulus Covid-19 (Nomor. 11/POJK.03/2020).

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis berupaya mendalami mengenai bagaimana perlindungan hukum yang disediakan kepada nasabah pinjaman/kredit online dan dicurahkan dalam sebuah karya tulisan berjudul “Perlindungan Hukum Nasabah Terhadap Penagihan Pinjaman Online di Masa Pandemi”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah :

Didasarkan pada pemikiran yang sudah dipaparkan, terdapat beberapa rumusan permasalahan yang perlu diulas, yakni :

  • 1.    Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen pada pinjaman online terutama di masa pandemi?

  • 2.    Bagaimana kewenangan, pengawasan serta penindakan OJK atas pelanggaran-pelanggaran oleh penyedia jasa pinjaman online?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penelitian ini mempunyai maksud guna menganalisis dan membahas mendalam hal-hal terkait perlindungan hak-hak konsumen dalam penagihan pinjaman online terutama di tengah situasi pandemi saat ini serta tinjauan mengenai pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa keuangan pinjaman online, serta penindakan yang dapat dilakukan pihak berwenang terhadap pelanggaran hak-hak konsumen pinjaman online.

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif yang menerapkan pendekatan peraturan perundang-undangan (The statute Approach) serta pendekatan fakta (Fact Approach). Dalam penelitian melalui metode hukum normatif, yang menjadi konstruksi sistem norma adalah hukum. Rangkaian paduan norma yang dibangun terdiri atas asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin atau ajaran9. Penulisan ini berpedoman pada norma hukum termuat didalam suatu aturan perundang-undangan, yurisprudensi dan hukum yang tumbuh di masyarakat10. Kemudian, bahan hukum kedua (sekunder) memiliki sumber

dari buah karya penelitian hukum, buah pikiran sarjana hukum atau ahli, literatur lainnya mengenai hukum (buku, jurnal hukum, skripsi hukum) yang berkaitan. Ketiga, bahan hukum tersier sabagai referensi guna mendalami sebuah konsep hukum, semisal melalui kamus. Pendekatan fakta didasari oleh penelusuran kenyataan-kenyataan yang terkait dengan isu yang terdapat dalam tulisan ini.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Konsumen Dalam Pinjaman Online di Masa Pandemi

Perlindungan Hukum di Indonesia tercantum pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 2D ayat (1), dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan serta kepastian hukum, yang berarti adanya kesetaraan hukum membuat jaminan dan perlindungan hukum harus diberi kepada seluruh rakyat. Perlindungan Hukum adalah perlindungan dalam arti yang lebih sempit, yang mana perlindungan dilakukan hanya oleh hukum. Berdasarkan pendapat CST Kansil, perlindungan hukum dikaitkan dengan hak serta kewajiban dalam hubungan antar individu dan lingkungannya dalam kaitan sebagai subjek hukum. Tindakan hukum dapat dilakukan berkaitan dengan hak serta kewajiban individu sebagai subyek hukum11. Perlindungan hukum adalah tindakan hukum dengan maksud melindungi yang sesuai dengan aturan hukum, diberikan pada subyek hukum, yang berfungsi sebagai tindakan preventif atau pencegahan maupun sebagai tindakan represif atau pemaksaan, baik tidak tertulis (lisan) maupun tertulis (tulisan). Ada 2 macam perlindungan hukum, yakni:

  • a.    Perlindungan hukum preventif

Suatu tindakan pengamanan dimana diturunkan oleh negara melalui pemerintah dalam bentuk undang-undang, bertujuan sebagai tindakan pencegahan pelanggaran. Tujuan legislasi adalah untuk mencegah pelanggaran dan membatasi pelaksanaan keharusan.

  • b.    Perlindungan Hukum Represif

Suatu bentuk perlindungan terakhir, dengan hukuman berbentuk pembayaran sejumlah uang, kurungan, serta hukuman lainnya jika terdapat masalah dan/atau pelanggaran.

Perlindungan Hukum secara tersirat juga tercantum pada UU HAM (No. 39 Tahun 1999). Dimana pada pasal 3 ayat (2) berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”, hal ini membuktikan bahwa negara sangat menghargai perlindungan hukum terhadap warga negaranya. Dalam Pasal 15 UU ITE juga tertuang suatu bentuk perlindungan hukum, yaitu mengenai tindakan preventif mengenai kewajiban penyelenggara sistem elektronik dalam menyediakan sistem elektronik12

Konsumen sendiri secara yuridis diartikan sebagai “setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” yang telah secara faktual tercantum pada UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1. Pada aturan perundangan tersebut tercantum pula setiap usaha guna memberikan

jaminan adanya kepastian hukum yang melindungi konsumen. Hak-hak Konsumen/ nasabah secara khusus tercantum pada Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, anatara lain: hak mendapatkan rasa nyaman, aman, selama penggunaan barang atau jasa; dapat memiliki pilihan dan mendapat barang/ jasa yang setara dengan pembayaran serta jaminan kondisi; berhak mendapat informasi terperinci mengenai barang atau jasa; hak untuk mengajukan serta ditanggapi masukan serta komplain/ keluhannya; mendapatkan nasihat hukum, perlindungan, dan usaha penanganan masalah perlindungan konsumen sebagaimana seharusnya; berhak atas edukasi konsumen; berhak atas perlakuan adil; berhak atas kompensasi, penggantian, jika tidak mendapatkan barang atau jasa yang seharusnya; hak lainnya yang tercantum pada peraturan perundangan lain.

Agar tercapai keselarasan pada pelaksanaannya, hak dan kewajiban harus dijalankan tidak berat sebelah. Oleh karenanya, untuk mendapatkan haknya konsumen juga harus memenuhi kewajibannya yang harus dipenuhi. Hal ini tercantum dalam UU Perlindungan Konsumen pasal 5, diantaranya konsumen atau nasabah diwajibkan untuk membaca serta mengikuti petunjuk penggunaan barang/ jasa; beritikad baik pada kesepakatan penggunaan barang/jasa; melakukan pembayaran sebagaimana kesepakatan nilai barang/ jasa; patut bekerjasama dalam usaha penyelesaian hukum dalam permasalahan perlindungan konsumen.

Bersumber pada pendapat Chrisisnta dalam Jurnal Kertha Semaya13, POJK No.13 tahun 2018 berperan sebagai perangkat hukum yang melindungi masyarakat, terutama pengguna fasilitas pinjaman kredit online. OJK bertanggungjawab atas jaminan rasa aman pengguna failitas pinjaman kredit online agar tidak terjerumus dalam dampak negatif pinjaman kredit online, terlebih yang pinjaman illegal atau belum terdaftar di OJK. Surat Edaran Bank Indonesia No 14/17/DASP juga mencakup mengenai prinsip perlindungan Konsumen, dalam hal ini nasabah. Azmi Aulia berpendapat kedudukan konsumen/ nasabah lebih lemah jika ditilik dari banyaknya kasus pelanggaran yang dilakukan penyedia layanan pinjaman kredit online yang berdampak negatif pada konsumen/ nasabah, seperti penagihan disertai intimidasi serta data konsumen yang dislahgunakan selama proses penagihan pembyaaran14 . Suharnoko dalam bukunya15, mengatakan bahwa diperlukan perlindungan hukum agar debitur terhindar dari kesewenangan kreditur. Sudah menjadi hukum alam jika hak di dapatkan apabila sudah melaksanakan kewajiban. Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana tindakan terhadap pelanggaran hak padahal sudah melaksanakan kewajiban.

Seperti dalam kasus keluhan nasabah terhadap Home Credit Indonesia karena pihak layanan jasa keuangan tersebut melakukan tindakan penagihan pembayaran pinjaman online melalui SMS dan telepon secara terus menerus tidak mengenal waktu sehingga nasabah mengganggu nasabah. Padahal nasabah bernama Endrasta tersebut mengaku jatuh tempo pembayaran masih tersisa dua hari, serta tidak pernah terlambat membayar tagihan serta usahanya untuk tetap melunasi cicilan walaupun kondisi perekonomiannya menururn akibat pandemi. Dimana dapat dilihat bahwa nasabah sudah menjalankan kewajibannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 huruf b UU Perlindungan Konsumen dimana itikad baik atau good faith diperlukan dalam melakukan transaksi. Itikad baik tersebut ditunjukan dengan tidak menghindar saat

dihubungi mengenai pembayaran, bahkan tetap berusaha untuk melunasi cicilan di masa pandemi ini, namun itikad baik tersebut balik bersambut karena pihak Home Credit masih terus menghubungi berulang kali di hari yang sama untuk menanyakan perihal pembayaran. Kedua, nasabah telah membayarkan setara dengan pembayaran sesuai kesepakatan, sebagaimana tertera pada kontrak perjanjian pinjaman sesuai dengan huruf c. Namun, nasabah mengeluhkan jika haknya sebagai konsumen dilanggar oleh pihak Home Credit Indonesia. Pelanggaran hak tersebut diantaranya hak atas rasa aman, nyaman dan keselamataan dalam dan selama penggunaan barang atau jasa yang juga menyangkut segala privasi konsumen di dalamnya (Pasal 4 UUPK).

Dalam pengakuannya, nasabah menyatakan bahwa, “Cara penagihan mereka (pihak Home Credit) yang tidak tahu waktu mulai pukul 6 pagi sudah menelepon puluhan kali bahkan sampai pukul 9 malam masih juga menelpon seperti meneror, padahal jatuh tempo pembayaran masih 2 hari lagi. Apalagi bila saya dan istri saya bayarnya agak terlambat maka bisa semakin menjadi-jadi dalam meneror melalui telepon sehingga sangat mengganggu privasi kami dan terkesan seperti saya dan istri saya ini maling yg mau lari dari tanggung jawab dan gak mau bayar angsuran.” Pelanggaran hak konsumen lainnya yang terjadi pada kasus ini adalah tidak ditanggapinya keluhan nasabah oleh pihak Home Credit Indonesia hingga akhirnya nasabah tersebut mengirimkan surat terbuka melalui laman mediakonsumen.com yang diterbitkan secara online dengan judul “Amat Sangat Kecewa Berat dengan Homecredit Indonesia Karena Menagih Lewat Telepon Tak Kenal Waktu “. Nasabah dalam artikel tersebut kemudian menyatakan juga bahwa pihak Home Credit Indonesia Tidak peduli terhadap keluhan konsumen karena tidak mau merespon email yang telah dikirim sebanyak 2 kali ke website layanan keluhan pelanggan yaitu [email protected].

Selain kasus Endrasta, adapula keluhan yang disampaikan oleh nasabah Home credit Indonesia, kembali melalui laman Media Konsumen, karena email yang dikirimkannya ke pihak Home Credit tidak mendapatkan respon. Berita ini diterbitkan pada Agustus 2020 pada kolom Surat Pembaca lama Media Konsumen dengan judul “Penagihan Home Credit Indonesia Tidak Sesuai Peraturan OJK Saat Pandemi, Sangat Mengecewakan”. Penulis sekaligus nasabah bernama Sussy Esseni Tambunan asal Tangerang mengeluhkan kegiatan yang dianggap mengganggu, serta sangat kecewa dengan cara penagihan yang dinilai berlainan dengan aturan baru yang diterbitkan oleh OJK, terlebih di masa pandemi terjadi penurunan pemasukan nasabah. Aktivitas tersebut merujuk pada tindakan tidak professional menelepon nasabah berulang kali tidak kenal waktu serta sopan santun, dimana nasabah juga menyertakan bukti menerima 23 panggilan dalam satu hari, padahal belum lewat 30 hari sejak Sussy mengkonfirmasi keterlambatan pembayaran serta batas waktu kelonggaran pembayaran16.

Tindakan yang dilakukan oleh pihak Home Credit Indonesia melanggar Kode Etik Perusahaan Pinjaman dalam penagihan yang diatur dalam POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (No. 1/POJK.07/2013), yang mana tercantum:

  • (1)    “Pelaku usaha jasa keuangan wajib memiliki sistem pengendalian internal terkait dengan perlindungan konsumen”

  • (2)    “Sistem pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup :

  • a.    kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan konsumen ; dan

  • b.    sistem pelaporan dan monitoring terhadap tindak lanjut pengaduan konsumen” 17.

Pihak Home Credit Indonesia memang sudah mengeluarkan Kebijakan Keringanan di Masa Pandemi18, namun sistem layanan konsumen tidak berjalan dengan maksimal dalam menanggapi keluhan serta pengajuan keringanan dari nasabah. Hal ini kemudian dapat berakibat keterlambatan konfirmasi pengajuan keringanan pembayaran dan penagihan pembayaran yang belum jatuh tempo pada nasabah yang cukup mengganggu.

Secara tersirat, etika penagihan tercantum pada Surat Edaran BI Nomor 14/17/DASP tentang Penyelenggaran Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu. Etika Penagihan tersebut diantaranya, larangan untuk menggunakan tindakan intimidasi atau ancaman serta segala tekanan lainnya baik secara fisik maupun psikis, tidak diperbolehkan melakukan penagihan ke orang lain selain pemegang kartu, dilarang mempergunakan sarana telekomunikasi secara berlebihan hingga menggagu, penagihan hanya dapat dilakukan pada alamat tertagih pada jam kerja (08.00 – 17.00) waktu setempat19.

Dimana berdasarkan pengaduan Endrasta dan Sussy, pihak Home Credit Indonesia melanggar poin 2 dan 4 dalam etika penagihan. Selain itu juga penyalahgunaan dan persekusi melalui media elektronik melanggar UU ITE pada Pasal 3, dimana disebutkan bahwa dalam memanfaatkan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik harus berasaskan : “asas kepastian hukum; kemanfaatan; kehati-hatian; beritikad baik; serta bebasdalam pemilihan teknologi”. Tindakan menelepon secara terus menerus atau spam dapat dikatakan tidak memiliki itikad baik dalam pemanfaatan teknologi. Selain itu, Peraturan Menkominfo No. 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik yang mana perlindungan data merupakan hak individu untuk bertukar data dengan orang lain atau tidak. Dalam jurnalnya, Sinta Dewi berpendapat bahwa perlindunga hukum terhadap data pribadi konsumen melingkupi prosedur keamanan serta persyaratan dalam menggunakan data pribadi orang lain20.

Jika ditilik dari perspektif Hak Asasi Manusia, tindakan telpon terus menerus seperti teror tersebut kemudian dapat membuat nasabah merasa terganggu bahkan terintimidasi. Padahal hak individu diantaranya ada yang tertulis pada UU Perlindungan Konsumen Pasal 30.

Selama masa pandemi, POJK Stimulus Covid-19 (No. 11/POJK.03/2020) tentunya menjadi angin segar bagi debitur atau nasabah kredit. Namun tidak halnya dengan nasabah Fintech lending atau pinjaman online, karena POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tidak mewajibkan Fintech Lending untuk merestrukturisasi cicilan dan pembayaran hutang nasabahnya dikarenakan bentuk Fintech Lending yang berbeda dari Bank serta Multifinance sesuai yang pada POJK No. 11/POJK.03/2020. Pada angka 1 POJK Stimulus Covid disebutkan bahwa POJK tersebut diberlakukan pada BUK, BUS, UUS, dan BPRS. Hal tersebut mengakibatkan adanya norma kabur bagi Fintech Lending dalam menjalankan restrukturisasi serta keringanan dalam pembayaran, dengan tidak adanya kewajiban bagi Fintech Lending untuk memberi keringanan, maka tidak ada pula sanksi yang dapat diberikan apabila di masa pandemi ini pinjaman online atau Fintech lending masih tetap menagih hutang nasabah tanpa ada keringanan akibat dampak pandemic. Sehingga, perlindungan hukum bagi konsumen atau nasabah pinjaman online tidak terjamin selama masa pandemic ini, karena tidak ada ketentuan yang mewajibkan layanan Fintech Lending atau pinjaman online untuk memberi keringanan pembayaran cicilan ataupun restrukturisasi pembayaran.

  • 3.2 Kewenangan Pengawasan Serta Penindakan OJK Terhadap Penagihan Utang “Bandel”

Fintech Lending merupakan suatu terobosan dalam bidang finansial dalam bentuk digital, dimana mencakup pembaharuan tata cara bisnis, bentuk usaha /bisnis, serta alat finansial yang membuat industry jasa finansial mendapatkan tambahan nilai dengan menyertakan komunitas digital, hal ini tersirat pada Pasal 1 POJK Republik Indonesia Nomor 13 /POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital Di Sektor Jasa Keuangan. Sekarang, terdapat 2 institusi berwenang atas pengaturan pelaku usaha di bidang layanan finansial berbasis teknologi di Indonesia, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Bank Indonesia (BI).

  • a)    Pengawasan Fintech Lending oleh OJK

Bersumber pada Pasal 5 UU OJK (No. 21 Tahun 2011) disebutkan jika, “OJK berfungsi penyelenggara sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Ranah kewenangan OJK dalam kaitannya tentang perlindungan konsumen tercantum di dalam Bab VI UU OJK21, antara lain Pasal 28 mengenai tindak preventif bagi konsumen, di pasal 29 mengenai layanan aduan konsumen, pasal 30 mengenai advokasi bagi konsumen, serta pasal 31 mengenai ketetapan lainnya yang lebih mengkhusus tercantum dalam POJK.

Dalam jurnalnya, Elvira Pakpahan22 menyatakan bahwa dasar hukum P2P Lending di Indonesia terdapat pada POJK Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis TI (No. 77/POJK.01/2016). Yang mana bentuk ini adalah pertemuan debitur dan kreditur yang dikelola oleh layanan jasa finansial, yang mengadakan kesepakatan pinjaman dengan rupiah mempergunakan ineternet lewat aplikasi. Oleh karenanya, OJK berhak untuk mengawasi serta menindak Penyelenggara atau Perusahaan-Perusahaan Fintech Lending.

Dalam pengawasannya, OJK bekerjasama Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia atau disingkat AFPI, merupakan asosiasi yang secara resmi menyelenggarakan P2P Lending melalui surat S-5/D.05/2019 dikeluarkan oleh OJK, AFPI kemudian diresmikan pada 5/10/2018 oleh OJK, dan berperan penting dalam membantu OJK, terutama dalam pengaturan kebijakan dan pemantauan selaras pada POJK No. 77/POJK.01/2016 Bab 13, pasal 48.

AFPI mengeluarkan pedoman perilaku pemberian layanan Fintech P2P Lending dalam menjalankan usahanya, salah satunya adalah prinsip good faith atau itikad baik.

Prinsip ini wajib diterapkan oleh setiap pelaku usaha serta dalam melakukan tawaran sebagai wadah untuk kredit online. Hal ini dikarenakan pengusaha juga diwajibkan untuk memberikan perhatian terhadap kepentingan para pihak, berlaku bagi yang meminjamkan ataupun peminjam tanpa merendahkan harkat martabat pengguna oleh penyelenggara. Pada tata cara penagihan hutang gagal bayar dengan menerapkan prinsip itikad baik, pihak penyelenggara wajib :

  • a.    Penyelenggara pinjaman online wajib memberi tahu pemberi dan penerima pinjaman terkait tata cara penyelesaian sertapenagihan hutang yang gagal bayar.

  • b.    Penyampaian infromasi kepada konsumen /peminjam terkait tindakan yang harus dilakukan dalam menyelesaikan gagal bayar atas pinjaman uang.

Langkah-langkah penyelesaian tersebut diantaranya:

  • 1)    Surat peringatan untuk nasabah dari penyelenggara pinjaman

  • 2)    Penataan kembali pinjaman atau perbaikan kredit bagi debitur yang dinilai tidak dapat memenuhi kewajibannya

  • 3)    Korespondensi jarak jauh oleh pihak penyelenggara dengan konsumen/ peminjam saat terjadi gagal bayar, korespondensi melalui telepon, email, atau percakapan lainnya.

  • 4)    Konfirmasi kedatangan atau kontak melalui debt collector oleh pihak penyelenggara pinjaman.

  • 5)    Kewajiban memiliki sertifikasi agen penagihan bagi penggunaan pihak ketiga yang dikeluarkan oleh AFPI.

  • c.    Tidak diperbolehkan menagih hutang langsung kepada nasabah jika telah lewat jatuh tempo 90 hari gagal bayar hutang.

  • d.    Informasi terperinci kepada peminjam risiko terkait konsekuensi apabila tidak dapat menyelesaikan kewajibannya dari pihak Penyelenggara Pinjaman.

  • e.    Kewajiban penyelenggara dalam memperhatikan kepentingan nasabah sebagai pemberi dan penerima pinjaman dalam melakukan prosedur penyelesaian dan penagihan kepada masing-masing pihak.23

  • b)    Pada Pasal 53 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tercantum sanksi apabila Perusahaan Layanan Jasa Keuangan melanggar peraturan-peraturan pada POJK No.1/POJK.07/2013, diantaranya surat ultimatum, pembayaran denda, usaha dibatasi, usaha dibekukan, serta terakhir usaha dicabut izinnya.

Gusti Ngurah Putu24 memberikan pengertian terhadap sanksi diatas yang berupa peringatan tertulis yang diberikan oleh lembaga yang berwenang (OJK) yang

didapatkan oleh penyedia layanan jika tidak menaati aturan POJK. Kemudian sanksi denda dengan pembayaran sejumlah uang tertentu kepada OJK karena Penyelenggara melanggar ketentuan yang tercantum dalam POJK. Lalu, adanya pembatasan kegiatasan usaha dimana segala kegiatan penyelenggara yang melanggar dibatasi, serta terakhir dicabutnya izin usaha oleh POJK karena tidak menaati aturan yang ada. Berdasarkan peraturan diatas, OJK berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada Perusahaan Layanan Jasa Keuangan, apabila ditemukan melakukan pelanggaran sebagaimana ketentuannya pada POJK No. 1/POJK.07/2013. Namun, terkait dengan POJK Stimulus Covid-19 (No. 11/POJK.03/2020) belum ada ketentuan sanksi bagi Penyelenggara Fintech Lending atau pinjaman online, dikarenakan POJK tersebut tidak mencakup Fintech Lending.

  • 4. Kesimpulan

Tindakan penagihan pembayaran pinjaman online secara terus menerus melalui SMS dan telepon sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran, merupakan pelanggaran kode etik tata cara penagihan yang tercantum pada POJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Selain melanggar POJK, tindakan tersebut juga tidak menghargai berbagai hak nasabah yang sebagaimana telah ada pada UUPK, dimana nasabah memiliki atas rasa nyaman, aman, serta jaminan keselamatan pada pengkonsumsian barang dan/atau jasa serta berhak untuk ditanggapi kritik serta saran juga keluhan atas penggunaan barang atau jasa. Pada masa pandemi ini POJK Stimulus Covid-19 (Nomor 11/POJK.03/2020) tidak mencakup relaksasi/ restrukturisasi bagi pinjaman online dikarenakan model Fintech berbeda dengan bank dan multifinance. Hal ini juga menyebabkan ketidakpastian perlindungan hukum bagi nasabah pinjaman online yang terdampak akibat pandemi, karena tidak adanya kewajiban untuk layanan Fintech Lending memberikan keringanan di masa pandemi. Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk mengawasi serta menindak Fintech Lending atau penyedia jasa keuangan yang melakukan pelanggaran (Pasal 5 UU No 21 Tahun 2011 mengenai OJK serta POJK No. 77/POJK.01/2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi). Dalam pengawasan perusahaan-perusahaan Fintech Lending, OJK bekerja sama dengan AFPI berdasar pada surat No. S-5/D.05/2019 yang dikeluarkan oleh OJK. Selain mengawasi, OJK juga berhak menindak penyedia jasa keuangan yang melakukan pelanggaran, dimana sanksi bagi pelanggar telah diatur dalam POJK No. 1/POJK.07/2013 serta Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 Pasal 47 ayat (2), berupa Peringatan tertulis, Denda, Pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin. Namun tindakan itu pula masih belum maksimal melindungi konsumen, sehingga banyak konsumen yang kecolongan sudah dirugikan oleh pihak perusahaan Fintech yang bahkan telah terdaftar di OJK.

Daftar Pustaka

Buku

CST, Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka,1989)

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Cetakan IV . (Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2017)

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (Jakarta: Penerbit P.T. Grasindo, 2000)

Suharnoko, 2012, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisis Kasus, Cet. VII, (Jakarta : Prenada Media Grup)

Zainudin Ali,2013, Metode Penelitian Hukum, Cetakan 2, (Jakarta : Sinar Grafika)

Skripsi

Muhammad Yusuf, Skripsi: “Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pada Layanan Pinjaman Uang Berbasis Financial technology” (Jakarta : UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, 2019)

Jurnal

Azmi Aulia Rahmi, 2020, “Perlindungan Konsumen Dalam Penggunaan Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Peer to Peer Lending”, Badamai Law Journal Vol.5

Chrisinta,Intan Vaudya dan I Gusti Ngurah Parwata. “Kajian Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen Pinjaman Online Di Indonesia Ditinjau Berdasarkan POJK Nomor 13/POJK.02/2018”. Jurnal Kertha Semaya Vol. 8, No. 4 ,(2020)

Elvira Pakpahan, dkk. 2020, “Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Mengawasi Maraknya Pelayanan Financial technology (Fintech) di Indonesia”, Jurnal Magister Hukum Udayana Vol. 9

G.A. Firanda, P. Prananingtyas, dan S.N. Lestari. “Nagih Utang (Debt Collector) Pinjaman Online Berbasis Financial technology”. Diponegoro Law Jurnal Vol. 8, No. 4 (2019)

I Gusti Ngurah Putu Wahyu Khrisnantara Putra dan A.A Ketut Sukranatha. “Pengaturan Tentang Sanksi Administratif Bagi Penyelenggara Layanan Aplikasi Fintech”. Kertha Negara : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 7, No. 11 (2019)

Martina Fina Dei. “Transaksi Pinjaman Online Ditinjau Dari Undang-undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”. Procceding: Call for Paper 2 nd National Conference on Law Studies: Legal Development Towards A Digital Society Era, (2020)

Muhammad Fachri Azis dan Nooraini Dyah Rahmawati. “Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Pinjaman Online dan Penggunaan Data Konsumen Kredit Pintar”. Fortiotory Law Journal Vol.1, No. 1 (2021)

Njatrijani Rinitami, “Perkembangan Regulasi Pengawasan Financial technology di Indonesia”. Diponegoro Private Law Review Vol. 4 No. 1 (2019)

Sinta Dewi. “Konsep Perlindungan Hukum Atas Privasi dan Data Pribadi Dikaitkan dengan Penggunaan Cloud Computing di Indonesia”. Yustitia Jurnal Hukum Vol. 5 No. 1 (2016)

Artikel

Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia. “Pedoman Perilaku”. diakses dari : https://www.afpi.or.id/en/detailsnews/pedoman-perilaku-afpi (pada tanggal 18 September 2021)

Bank Indonesia, “Apa Itu Teknologi Finansial (Fintech)”. Diakses melalui: https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/ritel/financial-technology/default.aspx (pada tanggal 18 September 2021)

Bank Indonesia, “Perlindungan Konsumen Bank Indonesia (Pengaduan Pelanggaran Etika Penagihan Debt Collector Kartu Kredit)”, diakses melalui : https://bicara131.bi.go.id/knowledgebase/article/KA-01072/en-us   (pada 19

September 2021)

Endrasta Spica, 2020, “Amat Sangat Kecewa dengan Home Credit Indonesia Karena Menagih   Lewat Telepon Tak Kenal Waktu” diakses dari

https://www.google.co.id/amp/s/mediakonsumen.com/2020/04/21/surat-pembaca/amat-sangat-kecewa-berat-dengan-homecredit-indonesia-karena-menagih-lewat-telepon-tak-kenal-waktu/amp (pada tanggal 18 September 2021)

CNN Indonesia, diakses melalui ,

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200421182931-78-495836/fintech-tak-wajib-beri-keringanan-cicilan-pinjol-saat-corona , (pada 18 September 2021)

Sussy Esseny Tambunan, 2020, “Penagihan Home Credit Indonesia Tidak Sesuai Peraturan OJK Saat Pandemi, Sangat Mengecewakan”, diakses melalui : https://mediakonsumen.com/2020/08/21/surat-pembaca/penagihan-home-credit-indonesia-tidak-sesuai-peraturan-ojk-saat-pandemi-sangat-mengecewakan , (pada 19 September 2021)

Home Credit Indonesia, diakses melalui https://www.homecredit.co.id/pertanyaan-umum/pertanyaan-yang-sering-diajukan-selama-pandemi-covid-19/kebijakan-keringanan-di-masa-pandemi-covid-19

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3886

Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di sektor Jasa Keuangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Covid-19,

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 2 Tahun 2022, hlm. 296-308