KUALIFIKASI LAYANAN SEKSUAL SEBAGAI BENTUK GRATIFIKASI DAN SUAP DALAM PERSPEKTIF PENAFSIRAN
on
KUALIFIKASI LAYANAN SEKSUAL SEBAGAI
BENTUK GRATIFIKASI DAN SUAP DALAM
PERSPEKTIF PENAFSIRAN
Kadek Angga Dwipayana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Wayan Bela Siki Layang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v11.i01.p20
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah layanan seksual dapat dikualifikasikan sebagai gratifikasi dan suap. Serta apakah penyedia layanan seksual (pekerja seks) dalam kaitannya dengan gratifikasi dan suap dapat menjadi korban berdasarkan tipologi korban. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktriner dan menggunakan pendekatan “undang-undang” dan pendekatan “konsep”. Hasil penelitian menunjukan bahwa layanan seksual dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap dengan menggunakan penafsiran ekstensif dan penafsiran komparatif. Penafsiran ekstensif merupakan penafsiran yang dapat memperluas makna dari suatu pasal, sehingga dengan penafsiran ekstensif pemberian layanan seksual dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap. Penafsiran komparatif juga dapat memberikan jalan keluar dalam mengkualifikasikan layanan seksual sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap, yaitu dengan membandingkan antara sistem hukum di negara lain yang sedang melakukan pemberantasan terhadap layanan seksual dalam bentuk gratifikasi dan suap seperti Cina, Malaysia, India dan Singapura. Selanjutnya mengenai penyedia layanan seksual dalam tindak pidana gratifikasi tidak dapat disebut sebagai korban berdasarkan tipologi korban. Hal ini berlaku selama penyedia layanan seksual tersebut tidak memperoleh kerugian dari perbuatannya.
Kata Kunci: Layanan Seksual, Gratifikasi, Suap, Penafsiran, Tipologi Korban.
ABSTRACT
The purpose of this study is to find out whether sexual services can be qualified as gratuities and bribes. And whether sexual service providers (prostitute) in relation to gratification and bribery can become victims based on the typology of victims. This research uses doctrinal research methods and uses a “legal” approach and a “concept” approach. The results of the study show that sexual services can be qualified as criminal acts of gratification and bribery by using extensive interpretation and comparative interpretation. Extensive interpretation is an interpretation that can expand the meaning of an article, so that with an extensive interpretation the provision of sexual services can be qualified as a crime of gratification and bribery. Comparative interpretation can also provide a way out in qualifying sexual services as criminal acts of gratification and bribery, namely by comparing legal systems in other countries that are carrying out eradication of sexual services in the form of gratification and bribery such as China, Malaysia, India and Singapore. Furthermore, the sexual service provider in the crime of gratification cannot be called a victim based on the typology of the victim. This applies as long as the sexual service provider does not get harm from his actions.
Key Words: Sexual Services, Gratification, Bribery, Interpretation, Typology of Victims.
Lumrah terdengar ditelinga masyarakat Indonesia terkait korupsi. Banyak orang menilai bahwa perbuatan korupsi merupakan perbuatan yang serakah. Melihat dari bahasa latin, Belanda, dan Inggris, mengenai korupsi memiliki makna yang pada intinya sama yaitu kata “korup” itu sendiri berarti buruk, busuk, dan suka menerima uang sogok.1 Korupsi merupakan tindak pidana yang biasanya melibatkan lebih dari satu orang dan sangat merugikan keuangan negara serta merusak moral bangsa. Di Indonesia kasus korupsi menjadi pemasalahan yang masih sering terjadi. Hal ini menyebabkan Indonesia sedang berada di dalam satu posisi penguasaan trihibrid, yaitu tiga aspek yang berbeda sifatnya diantaranya politik, hukum dan korupsi yang menjadi satu. Dapat dibayangkan jika 10 hingga 20 tahun kedepannya satu negara dipimpin oleh birokrasi yang korup, politisi yang busuk, pengacara kotor, serta penguasa kapitalistik, maka negara tersebut akan runtuh.2 KPK adalah lembaga yang hadir ditengah permasalahan dalam setiap kasus korupsi. Hal ini disebabkan tanggungjawab KPK dalam memberantas kasus korupsi sangat dibutuhkan. Mengenai kinerja KPK selama ini patut diapresiasi, karena KPK merupakan lembaga yang senantiasa menjaga kinerja dalam upaya mencegah maupun dalam melakukan penindakan bagi pelaku tindak pidana korupsi.3
Kasus korupsi tidak hanya menjadi tantangan bagi KPK saja namun juga tantangan bagi pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat secara bersama-sama memberantas korupsi. Selain itu, penjatuhan hukuman yang berat menjadi sarana guna menimbulkan efek jera. Salah satu praktik kotor yang sering terjadi yaitu suap-menyuap dan pemberian secara cuma-cuma atau yang lebih dikenal dengan gratifikasi. Gratifikasi merupakan suatu pemberian dari seseorang sebagai bentuk ekspresi ucapan terimakasih atau kasih sayang kepada orang lain, namun hal ini tidak bertahan lama, seiring berjalannya waktu pemberian (gratifikasi) mulai dimanfaatkan sebagai alasan untuk memberi oleh orang-orang jahat untuk mencapai tujuannya dengan jalan yang tidak benar. Pada umumnya pemberian tersebut berkaitan dengan kekuasaan atau kewenangan oleh penerima. Hingga saat ini pemerintah berupaya menutup celah-celah terjadinya hal tersebut, namun berkembangnya dinamika kehidupan memunculkan modus-modus baru bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam mencari celah-celah agar dapat terhindar dari jeratan hukum. Perlu kita ketahui saat ini gratifikasi tidak hanya berbentuk materi yang berlimpah, namun bisa juga dalam bentuk pemuasan nafsu atau hasrat. Munculnya gratifikasi dalam bentuk layanan seksual tentunya menimbulkan isu hukum baru yaitu mengenai jasa layanan seksual. Tentunya yang menyediakan jasanya dapat diperiksa dan patut diduga ikut terlibat dalam kasus gratifikasi dan suap. Hal ini menyulitkan dalam proses pembuktian.
Menjatuhkan pidana kepada pelaku haruslah perbuatan pidana tersebut memenuhi unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan terhadap pelaku.4 Secara
faktual kasus mengenai praktik layanan seksual sebagai bentuk gratifikasi menjadi fenomena yang mulai muncul di dalam lingkungan penegak hukum. Salah satu kasus yang ditangani KPK yaitu kasus hakim Setyabudi Tejocahyono yang ditangkap di tempatnya bekerja karena uang yang telah diterimanya dengan jumlah yang lumayan yakni seratus lima puluh juta rupiah, uang ini merupakan hasil suap dari Asep Triana. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap Toto Hutagalung (yang dalam kasus ini sebagai pelaku pemberi gratifikasi) Setyabudi juga diduga menerima layanan seksual sebagai bentuk gratifikasi. Setyabudi Tejocahyono selalu meminta disediakan layanan seksual setiap hari jumat. Dalam kasus yang telah inkrah ini, dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum tidak dengan terang menyebutkan adanya penerimaan layanan seksual sebagai bagian dari gratifikasi.
Dalam kasus ini kita dapat mengetahui bahwa UU. Tipikor Indonesia masih terdapat kelemahan yaitu tidak secara tegas menyebutkan bahwa layanan seksual dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap.5 Dalam hal gratifikasi seksual, pelaku mudah dalam melepaskan diri dari segala dakwaan yang ditujukan kepadanya. Pemberian layanan seksual sebagai bentuk gratifikasi ini sangat berpeluang dilakuakn oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, sehingga permasalahan norma seperti ini harus menjadi perhatian bagi para pembuat aturan dan penegak hukum. Hal ini sangat menarik untuk dibahas, mengingat kasus korupsi di Indonesia terus terjadi dan berkembang dengan modus-modus baru. Oleh karena itu penulis mengangkat judul “KUALIFIKASI LAYANAN SEKSUAL SEBAGAI BENTUK GRATIFIKASI DAN SUAP DALAM PERSPEKTIF PENAFSIRAN”. Penelitian ini memiliki sisi kebaharuan dalam mengangkat isu hukum, karena dalam rumusan masalah kedua penelitian ini mengkaji terkait apakah penyedia layanan seksual (pekerja seks) dapat menjadi korban dalam tindak pidana gratifikasi dan suap yang selajutnya dianalisis berdasarkan tipologi korban. Adapun penelitian terdahulu yang terkait layanan seksual sebagai bentuk gratifikasi dan suap yakni berjudul “Gratifikasi Seksual Dalam Hubungannya Dengan Tindak Pidana Korupsi” yang ditulis oleh Ida Ayu Dwi Wirautami6 yang merupakan mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam jurnalnya mengangkat rumusan masalah terkait bagaimana sebaiknya gratifikasi seksual diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnalnya ini dipublikasikan di Jurnal Kertha Wicara. Selanjutnya jurnal yang terdahulu berikutnya terkait layanan seksual sebagai bentuk gratifikasi dan suap yakni ditulis oleh Saiful Akbar yang di publikasikan di Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan yang berjudul “Gratifikasi Seksual Sebagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi”.7 Dalam jurnalnya mengangkat rumusan masalah terkait Apakah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah berupa layanan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana gratifikasi, dan Bagaimanakah teknik pembuktian kesalahan penerima hadiah kesenangan berupa layanan seksual sebagai tindak pidana gratifikasi. Kedua jurnal diatas memiliki fokus kajian yang berbeda-beda dari jurnal yang diangkat oleh penulis saat ini, sehingga jurnal “Kualifikasi Layanan Seksual Sebagai Bentuk Gratifikasi Dan Suap Dalam Perspektif Penafsiran” ini memiliki sisi kebaharuan di dalam merumuskan masalahnya.
-
1. Apakah layanan seksual dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap berdasarkan perspektif penafsiran?
-
2. Apakah penyedia layanan seksual (pekerja seks) sebagai bentuk gratifikasi dan suap dapat menjadi korban, berdasarkan tipologi korban?
Penulis dalam penelitian ini bertujuan untuk:
-
1) Memperoleh gambaran atau mengetahui apakah layanan seksual dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap berdasarkan perspektif penafsiran.
-
2) Memperoleh gambaran atau mengetahui apakah penyedia layanan seksual (pekerja seks) sebagai bentuk gratifikasi dan suap dapat menjadi korban, berdasarkan tipologi korban.
-
2. Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan penelitian doktriner atau yang sering disebut dengan normatif. Sesuai dengan istilahnya, maka penelitian ini difokuskan untuk mengkaji hukum yang tertulis, yang dikaitkan khususnya terkait tindak pidana gratifikasi dan suap. Dalam penulisan ini menggunakan dua model pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.8 Dalam hal ini penulis menggunakan konsep-konsep terkait ilmu hukum yang telah mengalami perkembangan. Dengan memahami pandangan-pandangan tersebut, dapat menjadi acuan dalam mengatasi kekaburan norma hukum sehingga dapat mempertegas makna yang terkandung di dalam norma hukum tersebut. Bahan hukum yang gunakan yakni bahan hukum primer meliputi perundang-undangan (UU No.31/1999 Jo. UU No.20/2001 dan UU No.31/2014), bahan hukum sekunder yang menerangkan terkait bahan hukum primer, yakni berupa pandangan para ahli, jurnal, buku, yang tentunya dalam hal ini memiliki hubungan erat dengan pokok permasalahan. Selain kedua bahan hukum yang telah dijelaskan diatas, dalam penulisan ini juga menggunakan kamus-kamus bahasa yang dalam penelitian ini disebut dengan bahan non hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah library research atau yang sering dikenal dengan studi kepustakaan. Pengumpulan bahan hukum ini dilakukan dengan cara meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan artikel yang ada kaitannya dengan pembahasan dalam tulisan ini. Pada akhirnya semua bahan yang sudah dikumpulkan tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif sesuai dengan kebutuhan untuk dijadikan bahan pembahasan dan kemudian selanjutnya ditarik kesimpulan.
-
3. Hasil dan Pembahasan
Konsep korupsi dapat dilihat dari pandangan Lubis dan Scott yang secara inti menurut hemat penulis terkait korupsi merupakan tingkah laku guna memperoleh keuntungan pada diri dengan jalan mendatangkan rugi ke orang lain, yang dilakukan oleh pemerintah dengan melewati kaidah hukum terkait dengan tingkah laku tersebut.
Dalam waktu yang bersamaan, peluang dan keinginan menjadikan korupsi itu terlaksana. Dimulainya korupsi dapat dilakukan dari mana saja, misalkan suap dengan uang yang ditawarkan kepada pejabat negara atau pejabat negara yang meminta uang sebagai kelancaran. Sejatinya orang yang menginginkan sesuatu yang bukan haknya akan mengupayakan segala cara termasuk menyuap, atau sebaliknya pejabat negara yang memiliki budaya yang korup akan meminta uang yang bukan haknya dan bertentangan dengan kewajibannya. Berdasarkan penggabungan antara Kamus Besar Bahasa Inggris (Webster hlm. 120) dan Buku Ensiklopedi Dunia (hlm. 487) dapat ditarik pengertian secara singkat tentang “Suap” yakni tindakan yang memeberikan seseorang yang memiliki otoritas atau yang dipercaya, berupa janji, barang, atau uang.9 Apabila disederhanakan penjelasan “Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor” yang pada intinya gratifikasi berarti memberi dalam arti luas baik menggunakan sarana elektronik maupun tidak, di dalam ataupun diluar negeri. Pemberian tersebut dapat berupa potongan harga, pengobatan, pinjaman tanpa bunga, uang, barang, komisi dan lain sebagainya sesuai yang tercantum pada penjelasan pasal tersebut. Suatu pemberian gratifikasi dapat dianggap sebagai wujud dari suap jika terdapat keterkaitan dengan jabatan dan berlawanan atau tidak sesuai dengan kewajiban penerimanya. Pada hakikatnya gratifikasi memang masuk ke ranah tindak pidana korupsi, namun perlu ditegaskan bahwa deliknya berbeda.10
Berkembangnya dinamika kehidupan manusia menyebabkan munculnya persoalan-persoalan baru mengenai tindak pidana korupsi khususnya gratifikasi dan suap, yaitu munculnya layanan seksual sebagai bentuk dari gratifikasi dan suap. Layanan seks itu sendiri sudah menjadi komponen dalam pratik tipikor, hal ini dinyatakan oleh Sujarnako. Layanan seksual merupakan suatu layanan yang menyakut kepuasan nafsu seksual. Layanan seksual dapat digolongkan ke dalam perekonomian di bidang jasa, yang berlawanan dengan kaidah hukum yang berlaku. Biasanya pekerja seks menawarkan jasanya secara diam-diam atau terselubung dan tidak banayak orang yang tau akan keberadaan pekerja seks terebut. Dan konsumen dari layanan seksual juga jarang mendapat sorotan dari masyarakat karena masyarakat berfokus pada pekerja seks yang sering dianggap sebagai limbah masyarakat. Seorang yang membuka jasa layanan seksual pada umumnya memiliki permasalahan ekonomi dan dengan jasa layanan seksualnya tersebut merekat dapat meningkatkan pendapatan dengan instan. Para oknum yang sengaja ingin melancarkan gratifikasi dan suap untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan sangat leluasa melakukan pemberian layanan seksual kepada pejabat yang bersangkutan sehingga aparat penegak hukum sulit untuk menemukan bukti, karena dalam hal ini pejabat yang menerima layanan seksual dapat diumpamakan sebagai seseorang yang pulang dengan perut kenyang tanpa berbekal materi (tangan kosong). Masuknya layanan seks ke dalam tipikor mengakibatkan aparat penegak hukum kesulitan dalam menjalankan tugasnya terlebih lagi Pasal 12 B dan 12 C dianggap belum bisa mengakomodir layanan seks tersebut sebagai bentuk gratifikasi dan suap, sehingga pelaku tindak pidana kejahatan dengan sangat leluasa memilih fasilitas jasa layanan seksual yang dianggap sangat strategis agar tidak dapat dijerat menggunakan undang-undang
Tipikor.11 Namun terdapat teori penafsiran yang dapat dilakukan, sehingga layanan seksual dapat dikualifikasikan sebagai gratifikasi dan suap. Terdapat 2 (dua) teori penafsiran yang dapat mengkualifikasikan layanan seksual sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap yaitu:
-
1) Kualifikasi Dengan Penafsiran Ekstensif
Dalam mengkualifikasikan baik layanan seksual maupun fasilitas seksual lainnya ke dalam bentuk tindak pidana gratifikasi dan suap adalah dengan cara melakukan penafsiran ekstensif. Penafsiran ini merupakan penafsiran yang dapat memperluas makna dari pasal yang terkandung dalam undang-undang tipikor yakni pasal yang memuat gratifikasi dan suap.12 Sehingga layanan seksual dan fasilitas seksual lain yang terkit dan patut diduga gratifikasi dan suap dapat diakomodir dengan bantuan penafsiran ekstensif. Kalimat yang dapat diperluas maknanya yaitu pada Pasal 12 B pada kalimat “pemberian dalam arti luas” pemberian dalam airti luas tersebut dapat diperluas maknanya sehingga bentuk pemberian dalam layanan seksual dapat dikualifikasikan dalam gratifikasi. Selain itu pada kalimat selanjutnya pada Pasal 12 B yaitu “……fasilitas lainnya” dapat diperluas maknanya, sehingga segala bentuk pemberian fasilitas seksual dapat dikualifikasikan dalam Pasal 12 B.
-
2) Kualifikasi Dengan Penafsiran Komparatif
Dengan penafsiran komperatif dapat memberikan jalan keluar dalam mengkualifikasikan layanan seksual sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap. Adapun cara yang ditempuh yaitu dengan membandingkan antara sistem hukum di negara lain yang sedang melakukan pemberantasan terhadap layanan seksual dalam bentuk gratifikasi dan suap.13 Adapun contoh negara yang sedang giat melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana gratifikasi yang menggunakan layanan seksual yaitu Negara Cina, Malaysia, India dan Singapura.
Kedua penafsiran diatas dapat dijadikan dasar untuk menjerat baik pemberi maupun penerima layanan seksual. Selain itu, kedua penafsiran diatas dapat melengkapi kekaburan norma yang terkandung di dalam UU. Tipikor, sehingga kejahatan dengan modus sejenis dapat dikenakan pasal terkait. Penafsiran ekstensif dapat memperluas makna yang terkandung dalam Pasal 12 B, tepatnya pada kalimat “pemberian dalam arti luas”. Pemberian dalam arti luas ini dapat diartikan seluas-luasnya sehingga pemberian dalam bentuk apapun terkait gratifikasi dan suap dapat dikenakan Pasal 12 B. Selain penafsiran ekstensif juga dapat menggunakan penafsiran komperatif yang dapat memberikan jalan keluar dalam mengkualifikasikan layanan seksual sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap yaitu dengan membandingkan antara sistem hukum di negara lain yang sedang melakukan pemberantasan terhadap layanan seksual dalam bentuk gratifikasi dan suap seperti Cina, Malaysia, India dan Singapura. Membandingkan sistem hukum merupakan langkah yang tepat dalam mengatasi kekaburan norma dan menciptakan hukum yang dicita-citakan, dengan menjungjung tinggi asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum.
Semakin luas perkembangan modus yang digunakan dalam melakukan gratifikasi dan suap membuat aturan di Negara Indonesia ini semakin melemah. Melemahnya aturan ini menjadi jalan yang terang bagi pelaku tindak pidana khusunya gratifikasi dan suap. Seharusnya perkembangan modus baru dalam tindak pidana juga diikuti oleh perkembangan aturan itu sendiri, namun faktanya menunjukan sebaliknya aturan mengenai gratifikasi dan suap tidak selaras dengan perkembangan modus suap dan gratifikasi yang dalam hal ini menggunakan cara-cara yang dapat menghidari dari jeratan hukum. Salah satunya dengan layanan seksual, membuat proses pembuktiannya menjadi sulit. Terlebih lagi ketika munculnya isu hukum mengenai apakah yang melakukan pelayanan seksual dalam hal ini dapat menjadi korban, baik itu pelecehan ataupun kekerasan seksual sehingga memberi keringanan baginya dalam kasus gratifikasi dan suap. Agar dapat memecahkan isu hukum tersebut dapat kita kaji menggunakan teori-teori tentang korban. Penjual jasa seksual merupakan orang yang dengan sengaja menyewakan dirinya demi kepuasan nafsu orang lain agar memperoleh materi yang dianggap sesuai dengan layanan yang diberikan. Penjual jasa seksual atau sering disebut dengan pelacur merupakan bentuk dari prostitusi. Apabila dilihat dari aspek etimologi asal kata prostitusi yakni prostitution yang bermakna menempatkan, dihadapkan, hal menawarkan. Makna lainnya yakni menjual dan menjajakan.14 Berdasarkan pandangan Keith Hart yang pada intinya menyatakan bahwa prostitusi merupakan jasa yang dapat dikatakan jasa ekonomi, namun dalam lingkup informal illegal, oleh karena jasa tersebut berlawanan dengan peraturan yang ada.15 Selain bertentangan dengan peraturan hukum juga jasa layanan seksual juga dipergunakan sebagai sarana dalam upaya gratifikasi dan suap. Hal ini juga membuat kencendrungan bahwa pekerja seks berpeluang untuk menjadi korban dari tindak pidana. Melihat dari pandangan Richard Quinney mengenai suatu perbuatan pidana yang pada intinya menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dipandang sebagai perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut menimbulkan korban. Korban itu sendiri dapat diibaratkan sebagai seorang peserta dalam suatu perbuatan pidana. Hal ini dikarenakan perbuatan pidana selalu disertai dengan munculnya korban.16 Secara konseptual berdasarkan UU. No. 31 Tahun 2014 yang pada intinya menyatakan korban merupakan seseorang dengan penderitaan secara mental, ekonomi, maupun fisik yang disebabkan oleh tindak pidana.
Tanggung jawab fungsional antara koban dengan pelaku kejahatan dapat diuraikan berdasarkan tipologi korban dari Stephen Schafer. Selain itu Stephen Schafer dan juga Benjamin Mendelson memberikan pandangannya terhadap terjadinya kejahatan dengan mengkualifikasikan bentuk-bentuk keterlibatan korban.17 Selanjutnya terdapat 6 kategori terkait terlibatnya korban berdasarkan derajat
kesalahan si korban dalam tindak kejahatan yang diungkapkan oleh Mendelsohn, yaitu:18 (1) Korban tidak bersalah sama sekali; (2) karena kelalaiannya menyebabkan dirinya menjadi korban; (3) Kesalahan pelaku sama dengan korban; (4) Korban lebih bersalah dari pelaku; (5) Cuma korban saja yang bersalah; (6) Korban berimajinasi dan berpura-pura. Selanjutnya Schaffer juga memberikan pandangannya mengenai tipologi korban yaitu:19
-
1) Unrelated Victims, yakni yang pada awalnya korban belum mempunyai hubungan dengan pelaku, namun menjadi mempunyai hubungan dengan pelaku ketika pelaku telah melakukan kejahatan terhadap korban. Maka dari itu pertanggungjawaban penuh pada pelaku.
-
2) Provocative Victims, merupakan orang-orang yang merangsang diri-sendiri agar menjadi korban. Mengenai pertanggungjawabannya yaitu pada pelaku dan korban. Contoh yang dapat diberikan dalam tipologi ini yakni perselingkuhan dengan orang lain.
-
3) Precipitative Victims, merupakan korban yang sebenarnya tidak melakukan apapun kepada pelaku, namun tidak terbesit sedikitpun di pikiran korban bahwa perilakunya mendorong pelaku berbuat jahat kepada dirinya. Pelaku adalah orang yang bertanggung jawab sepenuhnya dalam peristiwa ini. Contohnya seseorang yang tempat sepi di malam hari seorang diri, sehingga merangsang penjahat untuk melakukan perampasan harta benda atau bahkan pembunuhan.
-
4) Biological Weak Victims, yaitu sesorang yang karena mental dan fisiknya menjadikan orang lain melakukan perbuatan jahat kepada dirinya. Masyarakat dan pemerintah adalah yang bertanggungjawab, karena mereka dalam konteks peristiwa ini tak berdaya yang membutuhkan perhatian serta pertolongan pemerintah dan masyarakat. Dalam tipologi ini yang biasanya menjadi korban contohnya orang yang sudah tua (lanjut usia), wanita, orang cacat, dan anak-anak.
-
5) Socially Weak Victims, yaitu korban yang muncul karena tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat sebagai anggota dari masyarakat itu sendiri. Dalam peristiwa ini pertanggungjawaban tertuju pada masyarakat atau pelaku. Seperti yang dijelaskan pada tipologi ini yang menjadi korban dapat dicontohkan bahwa mereka yang lemah dalam kedudukan sosialnya seperti penganut agama tertentu, imigran dan minoritas etnis.
-
6) Self-Victimizing Victims, merupakan kejahatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri yang berakibat menjadikan dirinya sebagai korban. “Kejahatan tanpa adanya korban” banyak yang berpandangan seperti ini, namun dalam tipologi ini yang mendasari bahwa semua kejahatan melibatkan penjahat dan korban. Judi, homoseks, pecandu obat bius, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari tipologi ini. Tentunya korban sekaligus pelaku yang bertanggungjawab dalam hal ini.
-
7) Political Victims, merupakan lawan politik yang menjadikan seseorang menderita (korban). Secara sosiologis dalam hal ini korban tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Melihat pandangan Keith Hart yang menyatakan bahwa prostitusi merupakan jasa yang dapat dikatakan jasa ekonomi, namun dalam lingkup informal illegal, oleh
karena jasa tersebut berlawanan dengan peraturan yang ada. Dalam Pasal 296 jo. Pasal 506 KUHP, kegiatan prostitusi dapat dikatakan atau dipandang sebagai sebuah perbuatan yang melanggar kaidah hukum pidana. Tidak seorangpun dibenarkan melakukan praktik prostitusi. Dalam pandangan ilmu viktimologi, mempunyai fungsi untuk mempelajari sejauh mana peran dari seorang korban dalam terjadinya tindak pidana, serta bagaimana perlindungan yang harus diberikan oleh pemeritah terhadap seseorang yang telah menjadi korban kejahatan. Dalam hal layanan seksual sebagai gratifikasi dan suap, pelaku prostitusi (pekerja seks) dapat dilihat bahwa sebenarnya juga berperan dalam hal apabila terjadi tindak pidana terhadap dirinya (pekerja seks) yang mengakibatkan dirinya sebagai korban baik korban penganiayaan atau bahkan pembunuhan. Apabila dilihat dari tipologi Self-Victimizing Victims yang dikemukakan oleh Stephen Schafer, dapat digolongkan persoalan diatas sebagai kejahatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri (pelaku prostitusi) yang berakibat menjadikan dirinya sebagai korban. Dengan kata lain, pelaku tindak pidana juga dapat menjadi korban dalam suatu tindak pidana yang berbeda. Berdasarkan tipologi yang dikemukakan oleh Mendelson, dapat digolongkan bahwa korban sama bersalahnya dengan pelaku. Untuk dapat dikatakan sebagai korban, dapat merujuk pada UU No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Dalam Pasal 1 angka 3 bahwa: “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” Mengenai pertanggungjawaban pidana dalam persoalan diatas, pelaku dan korban sama-sama bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang diperbuat, tentunya dalam berkas perkara yang terpisah dan tempat mengadili yang berbeda. Hal ini dikarenakan gratifikasi termasuk ke dalam tindak pidana khusus sedangkan prostitusi, penganiayaan dan pembunuhan termasuk ke dalam tindak pidana umum.
Dapat disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana dapat menjadi korban dari tindak pidana yang diakibatkan oleh dirinya sendiri seperti kejahatan prostitusi, penyalah gunaan narkotika dan lain sebagainya. Dapat dilihat dari kasus yang menimpa Dwi Farica Lestari, umur 23 tahun. Sebelum ditemukan tewas bersimbah darah di homestay lantai 2 Kamar Nomor 1 Jalan Tukad Batanghari Gang X Nomor 12 Panjer, Denpasar Selatan. Diduga kuat korban ada buka orderan di MiChat dan disinyalir sering terima bookingan karena foto - foto korban tanpa busana. Dalam kasus ini, Dwi Farica Lestari dapat diduga menjadi pelaku tindak pidana yaitu melakukan praktik prostitusi yang dapat diancam dengan Pasal 296 KUHP dan menjadi korban dari tindak pidana pembunuhan. Apabila diakitkan dengan tipologi korban yang dikemukakan Stephan Schafer, korban (Dwi Farica Lestari) ini termasuk kedalam Self-Victimizing Victims, merupakan kejahatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri yang berakibat menjadikan dirinya sebagai korban.
-
4. Kesimpulan
Berdasarkan atas pembahasan di atas, dapat disimpukan bahwa layanan seksual dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana gratifikasi dan suap, dengan menggunakan teori penafsiran ekstensif dan penafsiran komparatif. Penafsiran ekstensif merupakan penafsiran yang memperluas makna yang terkandung dalam undang-undang sedangkan penafsiran komparatif merupakan penafsiran yang membandingkan antara sistem hukum baik di luar maupun dalam negara yang sedang melakukan pemberantasan terhadap layanan seksual dalam bentuk gratifikasi dan suap. Dalam hal layanan seksual sebagai gratifikasi dan suap, pelaku prostitusi (pekerja seks) dapat dilihat bahwa sebenarnya juga berperan dalam hal apabila terjadi
tindak pidana terhadap dirinya (pekerja seks) yang mengakibatkan dirinya sebagai korban, baik korban penganiayaan atau bahkan pembunuhan. Mengenai tanggung jawab fungsional antara koban dengan pelaku kejahatan dapat diuraikan berdasarkan tipologi korban dari Stephen Schafer dan Benjamin Mendelson. Apabila dilihat dari tipologi Self-Victimizing Victims yang dikemukakan oleh Stephen Schafer, bahwa layanan seksual sebagai gratifikasi dan suap yang dilakukan oleh pekerja seks yang dalam perbuatannya pekerja seks menderita kerugian sebagai kejahatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri (pelaku prostitusi) yang berakibat menjadikan dirinya sebagai korban (berdasarkan pengertian koban dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 31 tahun 2014). Dengan kata lain, pelaku tindak pidana juga dapat menjadi korban dalam suatu tindak pidana yang berbeda. Apabila didasarkan pada tipologi yang dikemukakan oleh Mendelson, dapat digolongkan bahwa korban sama bersalahnya dengan pelaku. Mengenai pertanggungjawabannya, pelaku dan korban sama-sama bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang diperbuat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Arsyad, Jawade Hafidz. Korupsi dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara). (Sinar Grafika, 2013).
Efendi, Jonaedi dan Ibrahim, Johnny, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. (Prenada Media, 2018).
Indah, Maya dan Maya, "Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi." (Jakarta: Kencana 2014).
JURNAL:
Akbar, Saiful. "Gratifikasi Seksual Sebagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan 4, No. 3 (2016).
Amalia, Mia. "Analisis terhadap tindak pidana prostitusi dihubungkan dengan etika moral serta upaya penanggulangan di kawasan Cisarua Kampung Arab." Jurnal hukum mimbar justitia 02, No. 02 (2018).
Artosa, Odam. "Pekerja Migran dan Ekonomi Informal Ilegal (Prostitusi) di Wilayah Pasar Kembang, Yogyakarta." Jurnal Pemikiran Sosiologi 05, No. 1 (2018).
Bethesda, Elisabeth "Masyarakat Memandang Gratifikasi Dalam Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 5, No. 2 (2019).
Hardinanto, Aris. "Manfaat Analogi Dalam Hukum Pidana Untuk Mengatasi Kejahatan yang Mengalami Modernisasi." Yuridika 31, No. 2 (2016).
Mahardani, Mirah, dan Artha, Gede. "Analisis Yuridis Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pada Gratifikasi Seks Ditinjau Dari UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi." Kertha Wicara 05, No. 02 (2016).
Sari, Awaliyah, dan Larossa, Betha. "Analisis Peranan Korban Dalam Terjadinya Kejahatan Seksual Terhadap Anak Ditinjau Dari Viktimologi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
Nomor:50/Pid.Sus/2012/PT.Smg)." Jurnal Hukum Pidana dan penanggulangan Kejahatan 03, No. 1.
Septiadi, Rian dan Marwanto, “Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Gratifikasi Seksual Berdasarkan Hukum Positif Indonesia.” Jurnal Kertha Wicara 8, No. 9 (2020).
Setiadi, Wicipto. “Korupsi Di Indonesia (Penyebab, Bahaya, Hambatan, dan Upaya Pemberantasan, Serta Regulasi).” Jurnal Legislasi Indonesia 15, No. 3 (2018).
Soemanto, "Pemahaman Masyarakat Tentang Korupsi." Yustisia Jurnal Hukum 3, No. 1 (2014).
Wirautami, Dwi, dan Utari, Sri. "Gratifikasi Seksual Dalam Hubungannya Dengan Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Kertha Wicara 8, No. 7 (2019).
Zuber, Ahmad. "Strategi Anti Korupsi Melalui Pendekatan Pendidikan Formal Dan Kpk (Komisi Pemberantasan Korupsi)." Journal of Development and Social Change 1, No. 2 (2018).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 1 Tahun 2021, hlm. 213-223
Discussion and feedback