PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN YANG MENJADI KORBAN MALPRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONAL
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN YANG MENJADI KORBAN MALPRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONAL
A.A. Ngurah Bagus Agung Wira Nantha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
A. A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v11.i01.p08
ABSTRAK
Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah guna menganalisis tentang pengaturan Hukum Positif di Indonesia berkaitan dengan praktek pengobatan tradisional serta pertatanggungjawaban hukum penyelenggara praktek pengobatan tradisional, apabila melakukan malapraktik terhadap pasiennya dengan peningkatan biaya kesehatan setiap tahunnya membuat masyarakat mencari alternatif lain yaitu salah satunya dengan menggunakan pengobatan tradisional, yang diharapkan mampu mengobati dengan biaya yang terjangkau. Namun pada kenyataannya, praktek pengobatan tradisional ini tidak selamanya berjalan dengan sebagaimana mestinya akibat pelaku malpraktik pengobatan tradisional. Penulisan ini mengaplikasikan dua unsur masalah, yaitu tentang pengaturan Hukum Positif di Indonesia berkaitan dengan praktek pengobatan tradisional serta pertatanggungjawaban hukum penyelenggara praktik pengobatan tradisional, apabila melakukan malapraktik terhadap pasiennya. Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu praktek pengobatan tradisional memiliki dasar hukum yang jelas dan pasien juga mendapat perlindungan hukum yang jelas namun lemah dalam pembuktian administrasi.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Pasien, Pengobatan Tradisional, Malapraktik
ABSTRACT
The purpose of writing this study is to analyze the positive legal arrangements in Indonesia relating to traditional medicine practices and the legal accountability of traditional medicine practitioners, when doing malpractice against patients with increasing health costs every year makes people look for other alternatives, one of which is using traditional medicine. Which is expected to be able to treat at an affordable cost. But in reality, the practice of traditional medicine does not always run as it should due to the perpetrators of malpractice of traditional medicine. This writing applies two elements of the problem, in which the regulation of Positive Law in Indonesia relates to the practice of traditional medicine and the legal accountability of the organizers of traditional medicine practices, when doing malpractice against their patients. Theresearch methodused isnormative juridical. The conclusion of thisstudy is thatthe practice of traditional medicine has a clear legal basis and patients also receive clear legal protection but are weak in administrative evidence.
Keywords : Legal Protection, Patient, Medical Traditional Practice, Malpractice
Sejalan dengan bergantinya zaman dari masa ke masa hingga pada abad ke-21 kini, teknologi informasi mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Kondisi ini berpengaruh juga kepada semakin sadarnya masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Dalam menjalankan kehidupannya sehar-hari kesehatan merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Maka dari itu kondisi tubuh yang sehat baik secara fisik serta psikis akan mampu mendukung manusia untuk bisa menjalani kehidupan yang produktif di masyarakat.
Dalam rangka masyarakat mencari pelayanan kesehatan, beberapa orang tidak semata mata hanya percaya terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter seperti pada umumnya. Adapun juga sebagian masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih mempercayakan kesembuhan dari penyakit yang di dritanya dengan pengobatan tradisonal yang masih dipercayai oleh segelintir masyarakat seperti orang pintar, tabib, dukun dan beragam sebutan lainnya. Meskipun fasilitas kesehatan modern dewasa ini sudah kian berkembang di Indonesia, akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi minat segelintir masyarakat memilih pengobatan tradisional seperti pijat, servis tulang, tabib beranak, ahligigi dan lain sbagainya yang terbukti masih tetap diminati. Dilihat dari Survei Sosial Ekonomi Nasional diketahui bahwasannya tahun 2001, 57,7% jumlah rakyat Indonesia menjalankan pengobatan secara mandiri dimana diketahui 31,7% mengkonsumsi obat herbal tradisional. Sementara itu 3 tahun setelahnya pada tahun 2004 diketahui rakyat Indonesia yang masih menjalankan pengobatan mandiri meninggi sampai 72,44% dimana 32,87% masih tetap mengkonsumsi obat herbal tradisional.1
Kesehatan mutlak merupakan sebuahhak asasi yang diperoleh oleh manusia dan dimiliki oleh setiap orang sebagai suatu bentuk kesejahteraan yang mesti diwujudkan oleh Negara sesuai dengan tekad bangsa Indonesia yag tertuang dalam lima sila Pancasila dan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Kesehatan adalah salah satu media tolak ukur keberhasilan pembangunan manusia2. Maka dari itu tanpa adanya pelayanan kesehatan, maka manusia akan terganggu kehidupannya. Kendati demikian seiring meningkatnya biaya kesehatan setiap tahunnya menjadi sebuah dilemma bagi masyarakat khususnya kalangan kelas menegah kebawah yang menyebabkan masyarakat tersebut lebih memilih untuk pergi mencari pengobatan alternatif salah satunya pengobatan tradisional, dimana pengobatan ini dianggap mampu mengobati dengan tidak mengeluarkan biaya yang besar.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan no : 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional disebutkan adanya keterkaitan hukum bagi pengobat tradisional dan pasiennya, hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 15
ayat(1) dan(3) yang arti sesungguhnya hubungan hukum pengobat tradisional dengan pasien ketika menjalankan pelayanan kesehatan merupakan hubungan hukum perdata berdasarkan kesepakatan para pihak. Pengobattradisional mesti menginformasikan tentang cara pengobatannya, kemudian pasien berhak untuk menyetujui segala metode yang harus dilaksanakan oleh pengobat tradisional. Artinya, segala yang diinginkan pasien juga diinginkan oleh pengobat tradisional. Dalam posisi ini pasien dibuat percaya dengan cara yang digunakan oleh dukun dalam pelayanan kesehatan untuk menyembuhkan pasien, seperti halnya dukun harus mempercayai keluhan yang diungkapkan pasien agar dukun bisa mengambil tindakan apa yang harus dilakukan ketika akan memberikan pelayanan kesehatan, agar tindakan tersebut sesuai dengan keadaan atau kondisi pasien.
Metode pengobatan tradisional di Indonesia sudah digunakan oleh masyarakat Indonesia sejak sebelum adanya pengobatan modern. Masyarakat Indonesia yang secara turun temurun menggunakan pengobatan tradisional untuk menyembuhkan berbagai penyakit, disamping juga menggunakan obat tradisional yang diracik sendiri dengan bahan-bahan alami3. Tidak hanya Indonesia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2009 menulis sekitar 30-50% negara-negara di dunia penduduknya masih mempercayai dan memakai metode pengobatan tradisional guna mendukug kesehatan masyarakatnya. Fakta tersebut menandakan bahwa pengobatan tradisional berarti penting untuk menyokong kehidupan masyarakat luas dan berpotensi untuk dapat dikembangkan4.
Seiring masih digunakan dan dicarinya metode layanan kesehatan tradisional sampai saat ini oleh sebagian masyarakat, sudah tentu sebaiknya disertai dengan dilakukannya kajian lebih lanjut terkait penguatan dari segi aturan hukum yang sudah ada agar tercipta regulasi yang jelas terhadapnya. Peran seseorang pengobat tradisional sebagai salah satu tenaga kesehatan dengan metode tradisional sangat perlu dijamin legalitasnya. Hal tersebut diperlukan agar masyarakat yang notabene sebagai pasien sekaligus konsumen bisa terlindungi hak-haknya. Selain itu adanya penguatan dari segi aturan hukum terhadap pengobatan tradisional ini akan menampik isu-isu menyangkut keselaatan dan keamanan pasien, dan juga dari sisi pengobat tradisional akan memperoleh kepastian akan perlindungan hukum terhadap profesinya5. Pada kenyataannya, praktek pengobatan tradisional ini tidak selamanya berjalan dengan sebagaimana mestinya, yang di mana pasien sendiri justru menjadi korban yang tidak diinginkan dari hasil praktek pengobatan tradisional itu sendiri. Tentu timbul suatu polemik, tentang bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien tentang pengobatan tradisional itu sendiri. Oleh karena permasalahan tersebut penulis berkeinginan melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengangkat judul “Perlindungan hukum terhadap pasien yang menjadi korban malpraktik pengobatan tradisional”. Sebelumnya, ada penelitian yang menjelaskan kepada pasien bahwa mereka tidak perlu menunjukkan/mengungkapkan proses
terjadinya kelalaian, hanya menunjukkan akibat yang telah mereka derita. Mengingat pasien merupakan orang yang awam dalam dunia ilmu kedokteran. Maka sangat berlawanan dengan asas keadilan apabila pasien yang menjadi korban suatu perbuatan kelalaianjuga wajib dapat menunjukan adanya kelalaian, walaupun pasien tidak mengetahui proses terjadinya kelalaian tersebut terjadi, karena pasien menitipkan kehidupan dan kesehatannya. Dalam hal terjadi sengketa, solusi terbaik yang kerap ditempuh biasanya dengan melakukan mediasi menggunakan Alternatif Dispute Resolution (ADR). Sementara itu, perjanjian mediasi atau perjanjian ganti rugi malpraktek belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang Kesehatan.
Dari latar belakang yang disampaikan penulis, adapun permasalahan yang dapat dirumuskan adalah :
-
1. Bagaimana pengaturan Hukum Positif di Indonesia berkaitan dengan praktek pengobatan tradisional ?
-
2. Bagaimana pertanggungjawaban hukum penyelenggara praktek pengobatan tradisional, apabila melakukan malapraktik terhadap pasiennya ?
Mengenai tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui serta mengkaji dan menganalisis tentang pengaturan Hukum Positif di Indonesia berkaitan dengan praktek pengobatan tradisional serta pertatanggungjawaban hukum penyelenggara praktek pengobatan tradisional, apabila melakukan malapraktik terhadap pasiennya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian yang bertujuan guna pengembangan hukum dan menjawab permasalahan hukum yang terdapat kekaburan pada norma hukum pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun2009 tentang Kesehatan pasal tersebut. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan atau dalam istilah lain di sebut Doctrinal Research adalah cara yang digunakan dalam melakukan penelusuran hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan kepustakaan. Bahan pustaka yangdimaksud adalah produk hukum yang digunakan sebagai kajian utama dan sebagai bahan hukum primer dalam mengidentifikasi suatu permasalahan.
-
3. Hasil dan pembahasan
-
3.1. Pengaturan Hukum Positif Di Indonesia Yang Berkaitan Dengan Praktek Pengobatan Tradisional
-
Pemahaman tentang pentingnya pelayanan kesehatan terkait hak yang dimilik oleh masyarakat/pasien kian meningkat tiap waktunya. Sehubungan dengan hal itu membuat mereka menjadi sadar dan menjadi kritis dalam menuntut hak-hak yang seharusnya didapat. Beberapa kalangan masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi akan meminta pelayanan yang lebih modern, sedangkan kalngan masyarakat menengah ke bawah cenderung mengambil upaya lain yaitu dengan berobat pada praktek pengobatan tradisional. Sebetulnya praktek ini dilegalkan di Negara Indonesia dan juga memiliki aturan hukum yang jelas. Praktik pengobatan tradisional terdapat dan diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
(selanjutnya disingkat Undang – Undang Kesehatan) yang menggantikan Undang-Undang Nomor No 23 tahun 1992. Terhadap pengobatan tradisional, saat ini belum terdapat pengaturan mengenai pemidanaan terhadap pengobatan tradisional yang melakukan kesalahan sehingga menyebabkan kerugian bagi korban. Dalam prakteknya pada dasarnya memerlukan pertanggungjawaban dari pelaku pengobatan tradisional terhadap pasien yang dirugikan, namun secara umumnya terhadap suatu kelalaian telah diatur dalam pasal 359, 360, 361 KUHP, namun hal ini hanya diatur secara umum.
Berdasarkan haltersebut ketika seorang pelaku pengobatan tradisional lalai ketika melaksanakan pekerjaanya maka pasien saat menuntut pertanggungjawaban kepada pelaku pengobatan tradisional belum dapat dimintai secara jelas, karena dalam KUHP itu sendiri tidak dicantumkan yang melakukan kelalaian itu adalah seorang dalam menjalankan profesi yang sudah diakui dan mendapat izin dari pemerintah atau ditujukan untuk orang yang tidak memiliki keahlian atau orang yang memiliki keahlian melakukan suatu pengobatan tradisional tanpa izin atau dapat dikatakan melakukan suatu pengobatan tanpa izin namun dalam hal ini pelaku pengobatan tradisional memiliki niat yang baik untuk melakukan pengobatan yang pada dasarnya perbuatan kelalaian tersebut tidak dilakukan dengan sengaja yang akibatnya memang benar tidak disadari karena telah melakukan proses praktik pekerjaan sesuai dengan Standar Oprasional Kerja (SOP).
Berdasarkan ketentuan aturan pada Psal 1 angka (16) UU Kesehatan disebutkan bahwasanya yang dimaksud pengobatantradisional adalah “pengobatan atau perawatan dengan cara menggunakan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan yang di peroleh turun temurun secara empiris yang bisa dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.”6
Merujuk dari ketentuan aturan pada Psal 39 PP No. 103 Tahun 2014 menyebutkan bahwa “pelayanan kesehatan tradisional empiris memiliki kewajiban untuk mendaftarkan pelayanannya dan memiliki Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT)”. Sedangkan pada Pasal 43 disebutkan bahwasanya “pelayanan kesehatan tradisional komplementer memiliki kewajiban memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan Tradisional (STRTKT) dan Surat Izin Praktik Tenaga Kesehatan Tradisional (SIPTKT)”.
Mekanisme pendaftaran yang dilaksanakan oleh pengobat tradisional tidak menjamin keamanan hukum masyarakat dan juga tidak melindungi masyarakat yang menggunakan pelayanan kesehatan tradisional. Hal ini dikarenakan pemerintah hanya mengotorisasi keberadaan pelayanan kesehatan tradisional tersebut dalam sistem registrasi, sedangkan sistem perizinan memberikan unsur pengakuan dan pemberian negara oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan tradisional.7
Pelayanan kesehatan tradisional ini dijelaskan kembali di dalam Pasal 59 hingga Pasal 61 yang pokoknya menjelaskan yaitu :
-
a. Pembagian pelayanan kesehatan secara tradisional berdasarkan cara pengobatannya yaitu :
-
1) Pelayanan kesehatan tradisional dengan keterampilan.
-
2) Pelayanan kesehatan tradisional dengan ramuan.
-
b. Pelayanan kesehatan tradisional digalakkan dan diawasi oleh pemerintah agar dapat diperhatikan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.
-
c. Setiap orang yang memberikan pelayanan medis tradisional dengan menggunakan alat dan teknologi harus mendapatkan izin dari fasilitas kesehatan yang sesuai.
-
d. Penggunaan alat dan teknologi perawatan kesehatan tradisional harus bertanggung jawab atas manfaat dan keamanannya serta tidak boleh bertentangan dengan norma agama dan budaya masyarakat.
-
e. Masyarakat diberi kesempatan yang sebesar-besarnya untuk mengembangkan, meningkatkan, dan memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dijamin manfaat dan keamanannya.
-
f. Pemerintah meregulasi dan mengawal segala bentuk pelayanan kesehatan tradisional atas dasar adanya keamanan, dan perlindungan terhadap hak masyarakat.
Selain diatur dalam Undang – Undang Kesehatan, praktek pengobatan tradisional ini secara spesifik juga diatur dalam PeraturanPemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun2014 Tentang PelayananKesehatanTradisional. PeraturanPemerintah ini pada dasarnya dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Praktek pengobatan tradisional ini juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/Menkes/Sk/Vii/2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional yang diklompokan ke dalam ketranpilan, pendekatan keagamaan, ramuan dan supranatural.
Ada 2 (dua) model hubungan antara pengobat tradisional dengan pasien, yaitu model hubungan vertikal dan model hubungan kontrak horizontal. Dalam posisi hubungan vertikal, kedudukanpengobat tradisional sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidakboleh dianggap sejajar dengan pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan. Dalam hubungan kontraktual horizontal, kedudukan antara penerima maupun penyedia jasa adalah sama.8
Berdasarkan dari peraturan perundang-undangan yang ada, telah membuktikan bahwa praktek pengobatan tradisional pada dasarnya dilegalkan dan memiliki dasar hukum yang kuat karena telah memiliki peraturan perundang– undangan yang mengatur tentangnya.
Mengacu pada UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur bahwasannya “pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”. Dan dalam aturan tersebut pelaku pengobatan tradisional tidak termasuk di dalamnya. Jika didasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 61 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris pasal 1 ayat (6) maka barulah didapat definisi pasien (pada peraturan
ini disebut klien) yang didefinisikan sebagai “setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatan dan/atau pelayanan kesehatan tradisional empiris”.
Malapraktik bersumber dari kata “mala” yang berarti salah/bukan smestinya, dan “praktik” yang brarti penindakan kasus/pasien oleh orang yang berkompeten dengan standar peratuan kerja yang sudah ditetapkan oleh organisasi profesinya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa malapraktik adalah suatu praktik yang keliru maupun menyimpangi prosedur yangbenar.9
Dalam menjalankan praktek pengobatan tradisional, tentu pasien harus mendapatkan hasil yang optimal sesuai kesepakatan yang telah dibuat antara pasien dengan pelaku praktek pengobatan tradisional sebelumnya. Namun pada kenyataanya, praktek pengobatan tradisional ini tidak selamanya berjalan dengan sebagaimana mestinya, yang di mana pasien sendiri justru menjadi korban yang tidak diinginkan dari hasil praktek pengobatan tradisional itu sendiri.
Salah satu kasus malapraktik berujung kematian yaitu peristiwa meninggalnya Allya Siska Nadya pada 7 Agustus 2015 akibat malpraktek yang dilakukan pelaku pengobatan chiropractic tepatnya di suatu klinik diJakarta Selatan. Sehari setelah menerima terapi, tepatnya 6 Agustus, korban mengalami kesakitan luar biasa pada bagian lehernya. Korbanpun langsung dibawa ke instalasi gawat darurat yang ada di RSPI pada tmalam hari. Setelah diperiksa berdasarkan keterangan medis dari dokter, diduga pasien mengalami pembuluh darah pecah sehingga bagian belekang lehernya membengkak. Pagi harinya dokter menyatakan Siska telah tiada. Saat ini, pelaku praktek pengobatan chiropractic, Randal Cafferty melarikan diri. Dan sampai saat ini, pihak polisi masih mencari keberadaan Randal yang telah pergi meninggalkan Negara Indonesia.
Berdasarkan contoh kasus tersebut, pelaku praktek pengobatan tradisional memiliki tanggung jawab hukum terhadap pasien yang ia tangani. Tanggung jawab hukum memiliki pengertian bahwa ketika terjadi suatu keadaan tidak diinginkan seseorang wajib bertanggungjawab atas segala tindakannya dan ketika terjadi sesuatu yang merugikan maka seorang tersebut dapat dituntut, dimintai peranggungjawaban, dan dipersalahkan, Jika dikaitkan dengan pemberi jasa pengobtan tradisional, maka tanggung jawab ini dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang wajib dilaksanakan oleh sipengobat dikala pasien mengalami penderitaan sejak menjalankan malapraktik yang sudah dijalankan.
Pasien dalam pengertian perlindungan hukum, pada dasarnya merupakan upaya hukum untuk melindungi hak asasi semua orang yang dirugikan oleh orang lain. Apabila pasien merasa dirugikan karena adanya pelanggran yang disebabkan oleh pelaku jasa pengobatan tradisional maka pasien yang dirugikan tresebut memiliki hak untuk memohon pertanggungjawaban dari pellaku pengobatan yang telah merugikan, serta untuk meminta ganti rugi atas apa yang telah diderita oleh pasien bersangkutan. Pasal 58
UU Kesehatan menjelaskan bahwasannya “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya” dengan menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 29 berbunyi bahwa “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.10 Kemudian, jika pasien berpendapat bahwa pelayanan kesehatan yang diterima dari pengobat tradisional merugikan, maka pasien bisa mengajukan gugatan ke pengadilan. Tidak hanya itu, pasien juga bisa melaporkan pelanggaran bisnis yang tidak sesuai dengan iklannya.11
Apabila dikaitkan dengan suatu tindakan malpraktik, dalam hukum positif Indonesia perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melakukan pengobatan tradisional sehingga menyebabkan orang lain atau pasien dirugikan maka dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Hal ini didasari oleh ketentuan yang ada dalam KUHP yang berbunyi ”Barang siapa karena kekhilafannya menyebabkan orang terluka atau sampai menyebabkan kematian, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurunganpaling lama satu tahun”.
Selain itu kebanyakan dari penyediaan jasa pengobatan tradisional selama melksanakan praktiknya, tidak melaksanakan pengadministrasian terhadap pasien yang berkunjung ketempatnya. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan di kemudian hari bagi pasien apabila pasien yang telah berobat merasa telah dirugikan, maka untuk membuktikannya tidak bisa dilakukan, karena tidak dilakukan pengadministrasian yang jelas pada saat pengobatan tersebut. Hal ini menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oknum penyedia pengobatan tradisional untuk tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena tidak memberikan data-data administrasi yang sesungguhnya wajib ada. Sehingga menyebabkan kedudukan pasien selaku pemakai jasa menjadi tidak kuat.
Bertolak dari hal yang telah dijelaskan sebelumnya, pasien sebetulnya memiliki perlindungan hukum yang jelas apabila ia merasa dirugikan oleh pelaku malapraktik pengobatan tradisional. Namun, dalam segi administrasi, pengobatan tradisional tidak memiliki administrasi yang jelas, sehingga di sini lah letak kelemahan konsumen karena tidak memiliki bukti yang kuat apabila dimintai keterangan bukti.12
Bertitik tolak dari uraian sub bab di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa praktek pengobatan tradisional di Negara Indonesia pada dasarnya dilegalkan oleh pemerintah. Adapun dasar hukum yang mengatur tentang pengobatan tradisional ini, di antaranya UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Selain undang-undang tersebut, praktek pengobatan tradisional ini diatur secara spesifik lagi di dalam Peraturan
Pemerintah No. 103 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Keputusan Menteri Kesehatan No.1076/Menkes/Sk/Vii/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Kesehatan jika dikaitkan dengan pengobatan radisional, apabila pasien merasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pengobat tradisional merugikanhak-hak pasien, maka pasien bisa mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan. Selainitu dalam KUHP berbunyi ”Barangsiapa karena kekhilafannya menyebabkan orang luka luka hinga menyebabkan kematian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama lamanya satu tahun” harus memiliki hak kenyamanan keselamatan untuk memperoleh informasi dan perlindungan sebagai pasien. Meski dirasa sudah memiliki dasar hukum yang kuat, namun dalam mengajukan tuntutan ke pengadilan, pasien sendiri memiliki kelemahan dalam pemberian bukti pengobatan, karena penyediaan jasa pengobatan alternatif yang selama ini melakukan praktik cenderung memiliki administrasi yang tidak jelas.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Notoatmodjo Soekidjo. Etika Dan Hukum Kesehatan (Jakarta, RinekaCipta,2010)
Ochtorina Susanti, Dyah. 2015 Penelitian Hukum (Jakarta, Sinar Grafika)
JURNAL
Agustina, Bunga. “Kewenangan Dalam Perlindungan Hukum Pelayanan Kesehatan Tradisional Ditinjau Dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.” Jurnal Wawasan Hukum, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung (2009)
Dila, Kartika. “Pelayanan Kesehatan Tradisional.” Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.”(2016)
Frangkiano, Brandang. “Model Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Pengobatan Tradisional.”Jurnal Lex Privatum (2017)
Idward. “Seberapa Besar Manfaat Pengobatan Alternatif.”Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (2018)
Kartika, Dian. “Pelayanan Kesehatan Tradisional Dan Perlindungan Hukum Bagi Pasien.”Jurnal Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang (2019)
Lavenia, Rarung. “Tanggung Jawab Terhadap Pelaku Obat-Obatan Tradisional Ditinjau Dari UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.” Jurnal Fakultas Hukum Unsrat (2017)
Roring,Daniel. “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pengobatan Tradisional Atas Kelalaiannya Yang Menyebabkan Luka Atau Matinya Orang Dalam Hukum Positif Di Indonesia.”Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (2016)
Syifa, Alam. “Perlindungan Hukum Bagi Pasien Terhadap Malpraktek Pada Pengobatan Tradisional.” JurnalFakultas Hukum Universitas Airlangga (2018)
PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.1 Tahun 2021, hlm.81-90
Discussion and feedback