TANTANGAN MEMASUKAN PERUSAHAAN TRANSNASIONAL SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

I Komang Ari Wiweka Ananta Wijaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

I Gusti Ngurah Parikesit Widiateja, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i12.p01

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan mengkategorikan Perusahaan Transnasional sebagai subjek Hukum Internasional. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan pustaka seperti buku, jurnal dan instrumen Hukum Internasional yang terkait dengan isu dalam studi ini. Berdasarkan studi yang telah dilakukan, penulis mengetahui bahwa perkembangan hukum internasional menjadi faktor pendorong perlunya memasukan Perusahaan Transnasional sebagai subjek hukum internasional. Proses ini lalu menimbulkan pro kontra. Di satu sisi Perusahaan Transnasional dianggap belum dapat memenuhi persyaratan agar dapat disebut sebagai subjek hukum internasional, sementara di sisi lain, para sarjana berpendapat bahwa mereka sudah memenuhi syarat sebagai subjek hukum internasional. Hal ini dikarenakan aktivitas yang telah dilakukan dan beberapa instrumen juga telah membebankan hak dan kewajiban pada mereka. Kemudian, berikutnya juga dibahas mengenai apa saja hambatan lain dalam menjadikan PT/TNC sebagai subjek HI ditinjau dari segi praktek Hukum Internasional.

Kata kunci : Hukum Internasional, Perusahaan Transnasional, Subjek Hukum, Hambatan

ABSTRACT

This study aims to identify the barriers to categorizing Transnational Corporation as subjects of International Law. The method employed in this study is a normative law research method through a literature approach such as books, journals and International Law instruments related to the issues in this study. The authors find that the development of international law is a driving factor for the need to include Transnational Corporation as subjects of international law. This process then raises the pros and cons. On the one hand, Transnational Corporations are considered unable to meet the requirements to be called as a subjects of international law, while on the other hand, scholars argue that they have met the requirements as subjects of international law. This is based on the activities that have been carried out and several instruments have also imposed rights and obligations on them. Afterwards, the next section will also discuss what are the obstacles in puttingPT/TNC a subject of IL in terms of the practice of International Law.

Keywords : International Law, Transnational Corporation, Legal Subject, Obstacle

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Sebagai salah satu cabang hukum, Hukum Internasional tentunya memiliki subjek, dalam Hukum Internasional itu merupakan salah satu pondasi yang menjadi penyangga secara bersama-sama dengan berbagai subjek lainnya. Berbeda dengan hukum lain seperti hukum pidana yang membagi subjek hukumnya menjadi 2 yakni individu (natuurlijk persoon) dan badan hukum/korporasi (rechtpersoon). Di lapangan Hukum Internasional, subjek dalam Hukum Internasional dibagi menjadi 2 jenis yakni “state actor” serta “non-state actor”. Berdasarkan 2 subjek hukum ini, terdapat perbedaan dilihat dari sisi kemampuan hukumnya. Golongan yang

mempunyai kemampuan hukum secara penuh (full legal capacity) dan golongan yang mempunyai kemampuan hukum secara terbatas (limited legal capacity).1

Hukum Internasional merupakan hukum yang luas, hal tersebut dapat dilihat dengan pembagian subjek subjek hukum yang lebih dari dua yang meliputi : Negara, Organisasi Internasional, Tahta Suci Vatikan (Holy See), Individu, ICRC (Palang Merah Internasional), Pemberontak (belligerent), dan terakhir adalah Perusahaan Transnasional, yang dalam perkembangannya masih diperdebatkan apakah Perusahaan Transnasional merupakan salah satu subjek Hukum Internasional. Dalam doktrin hukum, khususnya Hukum Internasional, yang dimaksud dengan Subjek Hukum Internasional merupakan setiap pemegang hak dan kewajiban menurut Hukum Internasional.2 Dari pengertian diatas hak & kewajiban yang dimaksud misalnya seperti suatu negara yang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri dan berkewajiban untuk mematuhi kaidah hukum internasaional yang berlaku. Kemudian lebih lanjut dikatakan, subjek suatu sistem hukum adalah semua yang dapat dilimpahkan atau diakui oeh hukum seperti kemampuan untuk bertindak.3 Kemampuan yang dimaksud merupakan personalitas yang dibutuhkan oleh subjek hukum untuk melakukan hak dan kewajibannya.

Pada awal perkembangan Hukum Internasional tepatnya pada abad ke 19, entitas/subjek HI masih bersifat sempit dan hanya melingkupi negara saja sebagai entitas utama, sebagaimana dinyatakan oleh L.F.L Oppenheim seorang juris di bidang Hukum Internasional dengan menyatakan “Hukum antarbangsa dibuat oleh persetujuan bersama di antara negara-negara, dan bukan oleh individu perseorangan, sehingga negara merupakan subjek Hukum Internasional yang utama”. Perkembangan subjek Hukum Internasional menjadi bertambah diliputi banyak faktor misalnya perkembangan paradigma politik dunia yang kian maju sehingga menyebabkan munculnya subjek HI satu persatu. Faktor lain yang tak kalah penting yakni pemikiran manusia yang menginginkan tercapainya suatu tujuan yang dituju, sehingga menciptakan keinginan untuk bekerja sama satu sama lain supaya lebih efektif dalam mencapainya. Peristiwa diatas didorong aspek satu tujuan dan rasa senasib sepenanggungan untuk membuat hidup lebih baik, misalnya pembentukan ICRC yang diawali tekad dan visi Henry Dunant untuk merawat korban perang.

Yang menjadi pembicaraan selanjutnya adalah, di antara 7 subjek Hukum Internasional, perusahaan transnasional seringkali diperdebatkan kepastiannya apakah termasuk atau bukan, masuknya perusahaan transnasional sebagai subjek HI terkadang menjadi urgensi dikarenakan di zaman globalisasi dan maju seperti sekarang ini, hubungan antara satu subjek HI dengan subjek lainnya kian meluas dan mengglobal, tidak hanya sebatas antara negara dan negara, negara dan organisasi internasional, atau dengan yang subjek lainnya. Perdebatan ini merupakan hal yang lumrah terjadi dikarenakan Hukum Internasional pada masa kini sedang berada di masa peralihan untuk kesatuan pendapat dari Hukum Internasional klasik menuju Hukum Internasional modern, dimana hubungan antara negara sebagai entitas utama dengan perusahaan transnasional sudah mulai sering untuk dilakukan, mulai dari hubungan bisnis ataupun lainnya dengan tujuan untuk mempererat kerja sama yang nantinya bakal menguntungkan kedua pihak.

Perkembangan eksistensi aktor non negara (non state actor) yang disebutkan di atas kian pesat dalam mengikuti perkembangan zaman dan politik dunia, selain perusahaan transnasional, organisasi internasional juga pada awalnya sempat diragukan sebagai subjek HI, yang mana peristiwa tersebut adalah di saat PBB mengajukan advisory opinion terhadap

Mahkamah Internasional, untuk memastikan apakah PBB sebagai organisasi dunia memliki kapasitas hukum (legal capacity), yang mana kapasitas hukum ini merupakan unsur terpenting apakah mereka merupakan subjek Hukum Internasional atau tidak. Kembali lagi, permasalahan perusahaan transnasional sebagai subjek Hukum Internasional timbul karena mereka tidak tunduk maupun tidak mempunyai hak serta kewajiban dibawah Hukum Internasional. Pada kenyataannya, Non Govermental Organization dan TNC/MNC (perusahaan transnasional) didirikan berdasarkan hukum nasional sehingga tunduk terhadap hukum nasional.4. Apabila dilihat berdasarkan prakteknya, perusahaan transnasional sudah memiliki berbagai kapasitas hukum layaknya subjek Hukum Internasional lain, misalnya kapasitas untuk membuat kontrak dan mengajukan gugatan. Perkembangan hukum khususnya Hukum Internasional memiliki peran yang penting dalam mengakhiri perdebatan apakah PT merupakan salah satu subjek HI melalui segi praktikal yang telah dilakukan PT itu sendiri maupu dari segi teoritikal.

Penulis berpandangan, kajian yang membahas mengenai tantangan memasukan Perusahaan Transnasional sebagai subjek hukum internasional serta hambatannya telah dilakukan dengan membahas mengenai perlunya, tetapi belum membahas secara detail mengenai hambatannya. Namun terdapat sejumlah kajian serta penelitian yang dituangkan dalam bentuk artikel maupun jurnal mengenai isu dari Perusahaan Transnasional sebagai subjek hukum internasional. Erna Amalia dalam tulisannya yang bertajuk “Kedudukan Perusahaan Transnasional Sebagai Subyek Hukum Internasional” membahas tentang bagaimana kedudukan dari Perusahaan Transnasional sebagai subjek hukum internasional, ditinjau dari prasyarat yang dikemukakan ahli. Dalam tulisannya juga membahas mengenai dampak yang ditimbulkan PT beserta faktor-faktor pendorong lainnya agar PT bisa dimasukkan sebagai subjek HI.

Kemudian, Ivone Melissa Perez dalam tulisannya yang berjudul “Urgensi Dimasukkannya Perusahaan Transnasional Sebagai Subjek Hukum Internasional” juga membahas mengenai apa-apa saja yang membuat Perusahaan Transnasional untuk menjadi salah satu subjek HI sebagai hal yang perlu, kemudian di bagian kesimpulan juga menerangkan bahwa peran PT dalam lingkup ekonomi global, bahkan mampu menekan subjek HI klasik lainnya.

Terakhir, Jonathan L. Carney dalam jurnalnya yang berjudul “Transnational Corporations and Developing Public International Law” menuliskan bahwa komunitas internasional yang berkembang merupakan hal yang mendorong agar PT ikut serta dalam perkembangan norma internasional, tetapi merupakan suatu hal yang kurang bijak apabila PT diberikan personalitas hukum, yang akan mengakibatkan ketegangan yang berlebih terhadap karakterisitik hukum internasional. Meskipun terbit pada tahun 1983, terdapat beberapa isu yag masih relevan dengan kondisi yang terjadi sekarang dan adapula yang kurang relevan.

Berdasarkan permasalahan diatas, tulisan ini berupaya menjadi penelitian lanjutan dan megupas lebih jauh mengenai isu ini, sehingga dalam penulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai bagaimana tantangan memasukan Perusahaan Transnasional sebagai subjek hukum internasional beserta hambatan yang ada.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas terdapat beberapa permaslahan yang akan dikaji dalam penulisan ini diantaranya :

  • 1.    Mengapa Perusahaan Transnasional perlu dimasukkan sebagai subjek hukum internasional ?

  • 2.    Apa sajakah hambatan yang dialami dalam menjadikan Perusahaan Transnasional sebagai subjek Hukum Internasional ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi dan edukasi mengenai pengaruh perkembangan Hukum Internasional sebagai dasar dalam memasukkan Perusahaan Transnasional sebagai subjek Hukum Internasional, serta berbagai hambatan dalam menjadikan Perusahaan Transnasional untuk masuk sebagai subjek Hukum Internasional.

  • II.    Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang diterapkan dalam penulisan ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan pustaka dengan menggunakan berbagai buku, jurnal, peraturan perundang undangan dan beberapa instrumen Hukum Internasional sebagai sumber primer.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Mengapa Perusahaan Transnasional perlu dimasukkan sebagai subjek Hukum Internasional

Kita tentu mengetahui bahwa Hukum Internasional sudah mengalami perubahan, diawali pada saat zaman kuno yang hanya mengatur hubungan antar negara, dan negara menjadi subjek HI tunggal pada saat itu, kemudian fase setelah perang dunia 2, dimana jumlah negara semakin banyak, demikian juga bertambahnya subjek HI. Bisa dikatakan bahwa perkembangan Hukum Internasional menuju era baru dimulai sejak usainya perang dunia ke-2 dimana hal tersebut ditandai dengan lahirnya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai organisasi yang dibentuk untuk menciptakan perdamaian dunia dan ditegaskan kembali sebagai salah satu subjek Hukum Internasional melalui Reparation Case 1949. Pasca perang dunia ke-2 berakhir, masa kecerahan mulai muncul yang menjadi tahapan baru terhadap perkembangan masyarakat beserta Hukum Internasional. Alasan disebut demikian, dikarenakan terjadi berbagai dinamika dan perkembangan baru yang sangat berlainan dari masa sebelumnya.5

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa, subjek HI adalah setiap pemegang hak dan kewajiban menurut Hukum Internasional. Pemegang hak dan kewajiban yang dimaksud diatas atau bisa dikatakan sebagai subjek hukum memiliki peran sebagai unsur yang mampu melakukan hubungan-hubungan hukum dengan subjek hukum lain sebagai pemegang hak dan kewajiban hukum yang lain. Zaman globalisasi yang sedang terjadi sekarang ini menjadi faktor pendorong dan membuat kita semakin menyadari bahwa Hukum Internasional tidak bisa berpaku dan diam tak bergerak, dalam artian tidak selaras dengan perkembangan zaman, hal ini dapat kita amati dengan pergeseran yang terjadi dari penerapan Hukum Internasional klasik bergeser perlahan ke arah Hukum Internasional modern. Peristiwa tersebut sudah sepantasnya tidak kita ratapi karena pada dasarnya setiap hal apapun di dunia ini pasti akan mengalami perubahan, yang kita tentu harapkan perubahan ini menuju ke arah yang lebih baik dan bukan sebaliknya. Masa masa ini bisa dibilang sebagai masa peralihan, adanya pro kontra merupakan

sesuatu yang biasa dan memang begitu adanya, sehingga yang harus kita lakukan adalah mencegah terjadinya kemunduran yang tidak diinginkan. Semakin jelas bahwa Hukum Internasional telah mengalami banyak kemajuan selama beberapa abad kebelakang, dan akan terus berlanjut di masa masa mendatang.

Menurut I Wayan Parthiana perkembangan Hukum Internasional yang sedang terjadi adalah sebagai berikut :

  • a.    Subjek-subjek hukumnya yang beraneka macam, tidak lagi terbatas pada negara ataupun organisasi internasional antar pemerintah, dengan segala hak dan kewajiban internasionalnya serta kemampuannya mengadakan hubungan-hubungan (hukum) internasional.

  • b.    Hubungan-hubungan hukum yang dicakupnya juga semakin banyak dan kompleks, sebagai konsekuensi dari luas dan banyaknya subjek hukum maupun objek hukum serta peristiwa peristiwa hukumnya.6

Pernyataan yang dikemukakan diatas merupakan hal yang relevan dalam perkembangan HI, dimana Perusahaan Transnasional disebut sebagai subjek HI atau bukan adalah wujud perkembangan dari Hukum Internasional itu sendiri. Poin (a) sudah kita amati dan telah terjadi dilihat dari terbentuknya berbagai subjek Hukum Internasional lain seperti ICRC, Individu, Pemberontak dan yang terbaru tetapi masih diperdebatkan adalah Perusahaan Transnasional. Kemudian poin (b) dapat kita lihat dari pengakuan pengakuan terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan transnasional melalui pendirian United Nations Centre on Transnational Corporations (UNCTC). Hubungan hukum yang sedang marak dilakukan yakni semakin kompleksnya hubungan antara berbagai subjek HI satu sama lain yang kian beragam, misalnya Perusahaan Transnasional yang kerapkali mengadakan kontrak kerjasama di beberapa bidang dengan suatu negara.

Adanya perkembangan di dalam dunia Internasional memunculkan subyek Hukum Internasional baru terutama aktor non negara, yakni badan hukum asing atau perusahaan asing, yang dalam dunia internasional disebut “Transnational Corporations”. Perusahaan Transnasional adalah “organ masyarakat” yang penting dalam teritori dimana mereka beroperasi. Mereka memilki properti sendiri, menghasilkan pendapatan/income, membayar pajak, mengolah dan memproduksi barang dan jasa, serta mempengaruhi kehidupan dari para pekerja dan juga masyarakat lokal.7 Beberapa pendapat telah dinyatakan oleh para sarjana HI, mengenai bagaimana sebenarnya status PT di ranah Hukum Internasional. Misalnya perusahaan transnasional digolongkan sebagai subyek hukum di ranah Hukum Perdata Internasional atau ekonomi internasional.8 Adapun pendapat yang menyatakan bahwa PT/TNC tertentu memiliki kekuatan layaknya negara terhadap masyarakat dan harus diperlakukan sebagai entitas “quasi state”.9

Hal yang mendasari pendapat tersebut karena PT memiliki peran krusial dan juga besar dalam perkembangan ekonomi serta teknologi suatu negara. Sedangkan pendapat berbeda dikemukakan oleh Francois Rigaux : perlu ditegaskan bahwa Perusahaan Transnasional bukanlah

merupakan subjek maupun quasi subjek dari Hukum Internasional). Untuk memahami apa itu quasi states, Robert H Jackson menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Quasi States: Sovereignty, International Relations, and the Third World”, quasi states adalah entitas yang diakui sebagai negara, tetapi tidak mampu melaksanakan praktek kenegaraan.10 Sedangkan Kolsto lebih lanjut menyatakan bahwa quasi states adalah konsep untuk mendeskripsikan entitas yang dianggap hampir sebagai negara.11 Tidak heran eksistensi dua pendapat diatas sejalan dengan kekuasaan PT dalam ranah internasional yang kadang hampir setara dengan beberapa negara, sehingga muncul urgensi dijadikannya PT sebagai subjek quasi state. Berdasarkan data Forbes Fortune Global 500 list 201712, GDP (gross domestic product) beberapa perusahaan transnasional di dunia bahkan melebihi suatu negara, baik negara maju maupun berkembang. PT seperti Walmart, Exxon Mobile, Toyota dan lainnya menempati urutan 30 besar GDP terbesar di dunia mengalahkan Belanda, Spanyol, Finlandia. Hal ini cukup mengejutkan mengingat ketiga negara tersebut digolongkan sebagai negara maju, sehingga dapat disimpulkan bahwa PT memiliki kedudukan lebih besar dari beberapa negara.

Mengapa perusahaan transnasional perlu dimasukkan sebagai subjek hukum internasional?, Dal Ri Junior dan Bastos Calazans menyatakan bahwa PT adalah peserta penting dalam komunitas Internasional dan para ahli hukum Internasional mengakui bahwa peran mereka terlalu penting untuk diabaikan secara hukum. Tidak ada keraguan bahwa PT bisa mempengaruhi atau dipengaruhi oleh Hukum Internasional.13 Hal itu tentu benar, mengingat PT mempunyai peran besar dalam komunitas global sehingga pemajuan HI terdorong dengan adanya kemunculan subjek HI baru. Melalui globalisasi, mereka (PT) menjadi cukup independen terhadap negara mereka berasal. Kekuatan ini menyebabkan muncul asumsi bahwa PT juga merupakan salah satu subjek Hukum Internasional.14 Karena wilayah teritori yang makin luas, sejumlah aktor non negara dulunya ada/eksis secara damai atau berkonflik dengan komunitas tetap. Kompleksnya geografis dan daerah memberikan lebih banyak kesempatan bagi aktor non negara untuk berkembang.15 Kemajuan tersebut seolah-olah memperkuat eksistensi dari Perusahaan Transnasional yang berbarengan dengan perkembangan ekonomi, lingkungan serta penghargaan terhadap nilai nilai HAM. Meskipun begitu setiap subjek Hukum Internasional tidak luput dari penghormatan hal itu semua.

Pada zaman globalisasi seperti sekarang ini, perlu pertimbangan terhadap teori dengan praktek yang sedang terjadi. Merujuk pada sisi lain, Perusahaan Transnasional seringkali dikatakan bahwa sudah saatnya untuk menggolongkannya sebagai salah satu subjek HI, karena PT kerap kali melakukan beberapa pelanggaran, terutama di bidang HAM serta lingkungan,

sehingga apabila tidak digolongkan sebagai subjek, PT akan lebih leluasa dalam melakukan pelanggaran tersebut. Bukan tanpa alasan, mereka terkadang luput dalam penegakkan Hukum Internasional, hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan berikutnya dari para pakar Hukum Internasional menjadikan PT sebagai salah satu subjek HI. Selama ini kebanyakan mereka hanya dipertanggungjawabkan secara hukum nasional saja, meskipun pelanggaran yang telah dilakukan sudah berlingkup transnasional atau bahkan internasional. Sedangkan di tingkat internasional, perusahaan transnasional masih belum secara penuh diakui sebagai subyek hukum sehingga walaupun aktivitas yang diakibatkan perusahaan dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan internasional, suatu pengadilan internasional seperti ICC (International Criminal Court) tidak menyandang yurisdiksi untuk mengadilinya.16

Dalam rangka memenuhi keperluan tersebut, berbagai usaha telah dilakukan untuk mengontrol aktivitas PT dengan pembebanan hak/kewajiban secara internasional melalui New International Economic Order (NIEC) tahun 1970, dimana kesepakatan Human Rights Council (HRC) dibuat untuk mendirikan Open-Ended Intergovernmental Working Group on Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Respect to Human Rights (IGWG) dalam rangka menangani dan juga mengatasi kegiatan yang berpotensi membahayakan yang dilakukan Perusahaan Transnasional dengan cara membuat instrumen hukum mengikat yang mengatur kegiatan serta aktivitas PT. Hal ini cukup penting mengingat Perusahaan Transnasional memiliki pengaruh besar di bidang ekonomi dari suatu negara, mempengaruhi kestabilan politik serta yang paling riskan adalah pencemaran lingkungan. Biasanya, aktivitas dari PT/TNC sebagai aktor utama dari globalisasi menunjukkan kesulitan dalam menuntut pertanggungjawaban pelanggaran mereka atas hak asasi manusia dalam pemahaman Hukum Internasional klasik/tradisional yang sudah umum.17

Untuk menentukan apakah suatu subjek Hukum Internasional telah memenuhi persyaratan/kriteria perlu dilakukan pembandingan lebih lanjut antara teori dan kenyataan yang terjadi ataupun aktivitas yang telah dilakukan oleh subjek HI tersebut. Agak disayangkan hingga saat ini masih belum terdapat instrumen internasional yang mengatur secara pasti tentang apa saja parameter untuk menentukan apakah suatu badan dapat dikatakan sebagai subjek HI atau tidak. Untuk mementukan hal tersebut pasti akan menimbulkan kesulitan atau bahkan pro kontra, dikarenakan parameter yang kita gunakan masih sebatas pendapat para sarjana seperti salah satunya Ian Brownlie dan juga Reparation Case 1949. Salah satu prasayarat menjadi subjek HI dalam Reparation Case 1949 adalah kapasitas menanggung hak dan kewajiban.

Apabila dilihat secara praktek, beberapa instrumen insternasional telah membebankan kewajiban pada PT dalam menjalankan fungsinya, antara lain International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (Konvensi Inernasional Tanggung Jawab Sipil Untuk Kerusakan Polusi Minyak); International Convention on the Law of the Sea (Konvensi Internasional Hukum Laut); The Convention on Civil Liability for Damage Resulting from Activities Dangerous to the Environment (Konvensi Tanggung Jawab Sipil Atas Kerusakan Yang Diakibatkan dari Aktivitas Berbahaya Pada Lingkungan); serta United Nations Comission Transnational Corporation 1977. Selain itu, instrumen internasional United Nations on Responsibilities of Transnational Corporation with Regarding on Human Rights atau singkatanya “UN Norms” di bagian pembukaan juga menyatakan bahwa ”Mengakui bahwa meskipun negara memiliki tanggung jawab utama untuk

melaksanakan, menjamin pemenuhan penghormatan dan melindungi hak asasi manusia, perusahaan ransnasional dan perusahaan bisnis lain, sebagai organ masyarakat, juga bertanggung jawab untuk melaksanakan dan menjamin hak asasi manusia, berangkat dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.18 Bahwasanya preambule UN Norms tersebut mewajibkan perusahaan transnasional untuk menghormati nilai nilai HAM yang ada, namun instrumen internasional ini bersifat tidak mengikat (soft law), hanya dijadikan acuan bertata kelakuan PT dalam melaksanakan aktivitasnya dan tidak memiliki sanksi jika dilanggar. Merja Pentikainen menyatakan tidak ada mekanisme yang mampu menjatuhkan sanksi kepada mereka (PT) saat mereka melanggar kewajiban di konvensi19. Lebih lanjut menurut Emeka Duruigbo, Perusahaan Transnasional memikul hak dan kewajiban berdasarkan Hukum HAM Internasional, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai konvensi HAM yang bersifat soft law.20 Sehingga dapat diakatakan sebagai subjek hukum HAM internasional. Menurut hemat penulis, beliau mendasarkan pada telah adanya instrumen internasional yang membebankan kewajiban pada PT meskipun hanya berlingkup pada kewajiban melakukan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia saja.

Tetapi agak sulit untuk meyakinkan apabila hal tersebut dapat digolongkan sebagai pembebanan kewajiban, sehingga dapat disimpulkan PT merupakan salah satu subjek HI, sebab pembebanan kewajiban Hukum Internasional yang sesungguhnya biasanya bersifat memaksa dan memiliki sanksi apabila dilanggar. Para ahli hukum berusaha mencari solusi terhadap hal ini. Dahvor Muhvic menyatakan bahwa perjanjian bilateral bisa diikutsertakan antara negara cabang PT/TNC dan dengan negara asal PT, melalui pakta dengan prinsip persetujuan pihak ketiga, sehingga PT akan memiliki hak diantara PT itu sendiri dan negara cabang dari PT). Hal diatas menjelaskan bahwa Perusahaan Transnasional juga dapat dibebani hak berdasarkan perjanjian antara negara berdirinya cabang PT dengan negara asal PT, dengan menggunakan prinsip in favorem tertii, PT selaku pihak ketiga akan mengemban hak dari perjanjian yang dilaksanakan kedua negara tersebut. 21

Karena kesulitan inilah usaha dalam mewujudkan PT sebagai subjek HI selalu menemukan pro kontra, sehingga salah satu solusi menurut Karsten Nowrot, PT bisa dijadikan sebagai “subjek kemudi”atau steering subject22 di Hukum Investasi Internasional yang dalam pertimbangannya lebih luas daripada subjek HI, dimana terdiri dari seluruh negara, subnegara, IGO dan lain lain karena partisipasinya dalam WTO sebagai amicus curiae. Apabila diamati berdasarkan perspektif Hukum Internasional TNCs/Perusahaan Transnasional bukanlah suatu subyek Hukum Internasional, sehingga akibatnya TNCs tidak bisa dikenakan sanksi berdasarkan

ketentuan Hukum Internasional.23 Untuk sekarang, komunitas internasional harus menahan diri mengenai isu ini, karena faktanya PT/TNC masih belum dapat digolongkan sebagai subjek HI, sebagaimana prasyarat diatas. Sehingga konsekuensinya adalah, PT masih belum mampu ditindak secara Hukum Internasional melalui sanksi.

  • 3.2    Hambatan dalam Memasukkan Perusahaan Transnasional sebagai Subjek Hukum Internasional

Pasca Perang Dunia 2, mayoritas pakar Hukum Internasional yakin bahwa hanya negaralah yang menjadi subjek HI tunggal, meskipun setelahnya muncul pengakuan terhadap subjek HI baru seperti Organisasi Internasional, Individu, Pemberontak, dan yang terbaru perdebatan mengenai Perusahaan Transnasional sebagai subjek HI atau tidak dikarenakan perannya yang semakin besar dalam aktivitas internasional. Berbagai pihak atau para sarjana hukum menyatakan bahwa jika PT merupakan salah satu subjek Hukum Internasional, mereka tidak memiliki hak serta kewajiban menurut Hukum Internasional, sehingga tidak bisa digolongkan sebagai salah satu subjek HI. Sedangkan di lain pihak adapula yang menyatakan bahwa PT sebenarnya merupakan salah satu subjek di bidang Hukum Internasional tertentu misalnya Hukum HAM Internasional, HPI, Hukum Investasi Internasional, serta HEI dilihat dari berbagai intrumen internasional tertentu yang membebankan kewajiban kepada PT. Perdebatan diatas memang merupakan sesuatu yang lumrah terjadi namun menjadi hambatan dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Secara praktek, saat ini Hukum Internasional yang dikatakan sudah masuk ke era modern masih belum memiliki peraturan universal mengenai peraturan mengikat terhadap perusahaan transnasional tersebut, dan masih hanya mendelegasikan wewenang pada negara negara untuk mengatur PT di negaranya, sebagaimana dinyatakan dalam Charter of Economic Rights and Duties of States 1974 (CERDS) dimana pasal 2 menyatakan “To regulate and supervise the activities for transnational corporation within its national jurisdiction and take measures to ensure that such activities comply with its laws, rule and regulations and conform with its economic and social policies. Transnational corporation shall not intervene in the internal affairs of a host state ”. 24 UNCTC (United Nations Commission on Transnational Corporation) menyatakan, aktor lain contohnya perusahaan transnasional juga mempunyai tanggung jawab di ranah perlindungan terhadap hak asasi manusia.25 Status dari PT itu sendiri kadang menjadi penghalang dalam memaksakan mereka untuk bertanggung jawab dan patuh terhadap Hukum Internasional.

Sebagaimana dijelaskan di bagian latar belakang diatas, PT dianggap bukan merupakan salah satu subjek HI karena mereka tunduk pada hukum nasional, hal ini sejalan dalam Code of Conduct on Transnational Corporation ECOSOC, dimana pasal 55 menyatakan Entitas perusahaan transnasional adalah tunduk pada yurisdiksi di negara dimana mereka beroperasi. Suatu entitas perusahaan transnasional beroperasi di negara tertentu dalam menghormati operasinya di negara itu untuk ditunda”26 Dengan menjadi subjek hukum dari negara tersebut, otomatis mereka tunduk terhadap hukum nasional negara tersebut, meskipun code of conduct itu tidak

mengikat secara langsung terhadap PT. Tidak hanya itu pengaturan mengenai PT sebagai subjek Hukum Nasional dan harus tunduk terhadap HN Indonesia juga dinyatakan dalam Undang Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, khususnya di pasal 5, itu artinya PT bisa dihukum di pengadilan Indonesia menurut hukum Indonesia. Bisa disimpulkan bahwa hambatan pertama dalam menjadikan PT/TNC sebagai subjek HI dikarenakan instrumen yang mengaturnya masih kurang serta terbatas.

Mahkamah Internasional (ICJ) telah menyatakan dalam Reparation Case 1949 mengenai kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi subjek HI, yakni a) kapasitas menanggung hak dan kewajiban, b) memiliki kapasitas untuk mengajukan klaim ke pengadilan internasional.27 Sedangkan prasyarat menurut Ian Brownlie seperti yaitu : membuat kontrak, memiliki hak dan kewajiban berdasarkan beberapa instrumen Hukum Internasional, mengajukan klaim dari cabang Hukum internasional dan menikmati hak serta imunitas dari yurisdiksi nasional.28 Lanjutnya Ian Brownlie menyatakan untuk dapat dikatakan sebagai salah satu subjek HI setidaknya harus memenuhi salah satu prasyarat tersebut, sehingga bisa dikatakan sebagai subjek HI secara terbatas. Meskipun begitu para sarjana seperti James Crawford dan Christoper Greenwood29 menganggap bahwa hal itu masih belum cukup untuk menegaskan status PT sebagai subjek HI.

Mengenai kapasitas PT dalam membuat kontrak, dapat ditemukan dalam the Institute of International Law (ILA) Resolution 1979, di salah satu bagian pertimbangan menyatakan bahwa : Kontrak yang ditandatangani oleh pemerintah dan perusahaan asing (TNC/PT) merupakan kontrak yang penting dewasa ini dalam hubungan ekonomi internasional. Hambatan selanjutnya adalah dalam menegaskan PT sebagai subjek HI yang mana salah satunya adalah membuat kontrak, masalah yang ditemukan adalah ketidakseimbangan kedudukan antara negara dan PT. Perusahaan atau badan hukum (PT), adalah subjek hukum dengan kapasitas yang terbatas. Dalam hal ini hanya bertindak sebagai pelaksana hukum (yang dibuat oleh negara). Secara langsung menurut Huala Adolf, PT merupakan subjek HI yang terbatas. 30

Menilik dari poin (b) dari Reparation Case diatas, sejauh ini hanya Instrumen ECHR dan Pengadilan HAM Eropa yang mengakui PT sebagai pemegang hak dan kewajiban, serta memilki hak mengajukan klaim, sehingga bisa menjadi pihak disana. Hal tersebut dinyatakan di pasal 34 EHCR yang menyatakan “The Court may receive applications from any person, non governmental organisation or group of individuals claiming to be the victim of a violation by one of the High Contracting Parties of the rights set forth in the Convention or the Protocols thereto. The High Contracting Parties undertake not to hinder in any way the effective exercise of this right.”31 Dengan mendasarkan pada yurisprudensi kasus Agrotexim dkk vs Yunani tahun 1995, Muijsenbergh dan Sam Rezai menyatakan bahwa jelas melalui yurisprudensi tersebut bahwa korporasi/PT termasuk dalam NGO terhadap akibat dari pasal 34 ECHR, oleh karena itu PT mempunyai kapasitas untuk menjadi pihak korban di pengadilan.

Pengakuan ini mengimplikasikan bahwa pengadilan mempertimbangkan PT memiliki hak dalam perjanjian internasional, termasuk juga ECHR/Konvensi Eropa tentang HAM.32 Meskipun PT telah memenuhi kedua kriteria dari Bernadotte Case dan sejumlah kriteria dari HI klasik, mereka tidak diakui sebagai subjek. Maka PT/TNC dikatakan sebagai subjek de facto Hukum internasional. Simpulan lain menyatakan bahwa status “subjek Hukum Internasional” diperoleh melalui pengakuan. Hal ini bergantung pada keinginan politik dari suatu negara dan mereka tidak memiliki ketertarikan dalam mengakui PT/TNC sebagai subjek. Sebagai tambahan, PT/TNC tidak memilki keinginan terhadap pengakuan ini, yang mana akan secara resmi memberikan pembebanan kewajiban dalam Hukum Internasional terhadapnya.33 Meskipun beberapa negara seperti Indonesia telah mengakui bahwa PT merupakan subjek Hukum Nasional, sebagaimana telah dijelaskan diatas dalam UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Penulis melihat bahwa mengapa PT sebagai aktor non negara yang memiliki pengaruh yang cukup besar kesulitan untuk masuk sebagai golongan subjek HI, dikarenakan beberapa akademisi menggunakan pedoman Reparation Case 1949 sebagai acuan mutlak agar suatu subjek dapat dikatakan sebagai subjek HI. Hal ini diibaratkan seperti sebuah patok kayu yang digetok dengan palu baja yang besar, tentu saja itu tidak masuk akal. Jika mengacu pada suatu syarat pertama bahwa suatu subjek harus memikul hak dan kewajiban dengan menggunakan perbandingan antara negara dan PT itu tidak memungkinkan. Menurut Jernej, Hak dan kewajiban antara negara dan PT, bagaimanapun juga tidak sama. Memang terlihat tidak mungkin serta tidak sepantasnya untuk menyalin/menyamakan hak dan kewajiban dari negara terhadap PT. Adanya berbagai jenis jumlah hak/kewajiban, menunjukan bahwa hal tersebut tidak dapat diperluaskan ke PT. Dengan kata lain hak serta kewajiban negara itu lebih luas dari PT.34 Lebih lanjut, beliau mengutip dari Reparation Case 1949 yang menyatakan bahwa “subjek hukum dalam sistem hukum manapun tidak harus/selalu mirip dengan satu sama lain, dalam hal sifat atau di lingkup hak mereka, sifat mereka tergantung dengan kebutuhan masyarakat”. Ini memang benar bahwa kita tidak bisa menyamakan bahwa setiap partisipan dalam HI memiliki sifat yang sama, sehingga kriteria tersebut harus diterapkan ke setiap partisipan yang akan bergabung dalam subjek HI.

Hambatan lainnya adalah, sebagaimana dinyatakan oleh Clapham, Penolakan untuk mengakui personalitas hukum mereka (PT/TNC) didasarkan pada dua ketakutan. Yang pertama, ketakutan bahwa PT/TNC entah akan bagaimana mampu dengan mudah untuk ikut campur dalam politik serta urusan ekonomi dari negara jika mereka diakui sebagai subjek Hukum Internasional. Kedua, ketakutan bahwa perusahaan asing dapat menimbulkan perlindungan diplomatik secara berlebih kepada perusahaan nasional di negara tuan rumah, dimana warga asinglah yang mengendalikan saham dalam perusahaan nasional tersebut.35. Meskipun negara dapat mengontrol PT/TNC dengan Undang Undang atau Pengadilan mereka. Namun mekanisme ini secara teratur tidak dapat berfungsi dengan baik. Negara Host State tempat PT didirikan kebanyakan merupakan negara kurang maju yang membutuhkan ekonomi

yang berbunga dalam mengangani berbagai masalah mereka. 36 Mengingat bahwa adanya penolakan dari negara yang berdaulat dan beberapa akademisi mengenai keabsahan PT/TNC sebagai subjek Hukum Internasional, para sarjana khawatir tentang adanya kekosongan hukum mengenai hal ini.37

Penulis beranggapan bahwa hambatan lain yang pertama dalam menjadikan PT sebagai subjek Hukum Internasional disebabkan oleh berbagai hal, misalnya pro kontra di kalangan pakar HI yang cenderung memiliki berbagai pandangan masing masing, ada kubu yang berpaham HI klasik dan ada kubu yang berpaham modern. Dimana HI klasik tidak mengakui Perusahaan Transnasional sebagai subjek HI dan hanya Negara (Negara-sentris), contohnya Hans Kelsen dan Karl Heinrich Tripiel, dimana paham mereka masih dianut hingga kini. Menurut Alvarez, komunitas/masyarakat internasional sedang berubah dan model tradisonal/klasik sudah tidak mampu mengikuti kenyataan baru. Negara harus mengakui dan mempertimbangkan pengaruh yang PT/TNC telah lakukan hingga hari ini dan berdasarkan perbuatan yang telah mereka lakukan dalam level nasional serta internasional.38 PT/TNC merupakan salah satu dari aktor non negara selain IGO dan lainnya yang menjadi bahan pembicaraan hingga saat ini. Aktor Non Negara (NSAs) menimbulkan tantangan tertentu kepada para ahli hukum di lingkup Internasional karena mereka tidak sesuai dengan baik dalam konstruksi klasik, negara sentris di Hukum Internasional.39 Sudah tidak diragukan bahwa negara merupakan subjek HI tertua dan terpenting serta telah lama dipertimbangkan sebagai satu satunya subjek Hukum Interasional. Lebih lanjut dalam perkembangannya, tidak semua penulis siap untuk mengakui kemunculan aktor baru yang memikul personalitas Hukum Internasional.40 Terlihat dalam pandangan diatas bahwa pergelutan mengenai paham klasik dan modern masih berjalan hingga kini, meskipun globalisasi semakin meruak ke dalam kehidupan komunitas internasional.

Di sisi lain, White dan Macleod mengemukakan, secara tradisional/klasik korporasi/PT masih belum dianggap memiliki personalitas Hukum Internasional, dan dengan begitu tidak menanggung hak serta kewajiban dibawah Hukum Internasional, khususnya tanggung jawab pada pelanggaran HAM serta berkaitan dengan Hukum Humaniter Internasional. Lebih lanjut, Narasi Westphalia Klasik menyatakan Negara sebagai satu satunya subjek Hukum Internasional dengan memegang erat hak-hak serta kewajiban, sehingga pandangan Hukum Internasional konservative/klasik terus dipakai.41 Terasa pelik apabila sebuah aktor non negara yang mempunyai peran besar dalam perkembangan komunitas internasional masih dianggap bukan sebagai subjek Hukum Intenasional, karena tidak memikul hak serta kewajiban di bawah HI, lantas mengapa hak dan kewajiban tersebut tidak sesegera mungkin diberikan pada PT, bukankah jika hal itu tidak diberikan, menjadikan mereka beraktivitas tanpa adanya sanksi jika ditemukan pelanggaran.

Kemudian yang kedua, dan cukup penting adalah masih belum adanya instrumen yang membebankan hak/kewajiban langsung kepada PT dengan konsekuensi sanksi menurut HI jika dilanggar. Adapun belum terdapatnya instrumen tegas dan jelas dari lembaga terkait mengenai kriteria khusus yang harus dipenuhi PT untuk menjadi subjek HI. Menurut Martin Dixon, salah satu kelemahan dalam Hukum Internasional adalah tidak jelasnya aturan Hukum Internasional yang ada (unclear) sehingga menyebabkan munculnya berbagai penfasiran - penafsiran di lapangan dan mengakibatkan kepastian hukum berkurang, sehinga malah memunculkan pro kontra. Peraturan mengenai Perusahaan sudah banyak pengaturannya, entah di ranah Hukum Internasional ataupun Hukum Nasional. Akan tetapi dalam penafsiran terhadap perjanjian internasional tentang perusahaan sebagai suatu subjek Hukum Internasional masih berwujud wacana dan juga perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi sehingga menimbulkan penafsiran yang multitafsir.42 Penafsiran multitafsir itulah yang penulis nilai menjadi penghambat masuknya PT sebagai subjek HI. Reparation Case 1949 contohnya, padahal instrumen tersebut sudah cukup jelas mengenai prasayarat agar dapat dikatakan sebagai subjek HI, namun beberapa akademisi saling memiliki penafsiran tersendiri, sehingga ada beberapa kelompok praktisi yang sependapat bahwa PT merupakan salah satu subjek HI dan juga ada yang tidak sependapat.

Selain itu kelemahan selanjutnya adalah, dalam HI terdiri dari seperangkat hukum yang cukup rumit, tetapi memiliki insitusi yudisial dan eksekutif yang lemah. Hukum mengatur aspek yang tak terhingga dari tindakan internasional, seperti penggunaan kekuatan, praktek perang, perdagangan, komunikasi, transportasi, lingkungan serta lain-lain.43Apabila dilihat secara praktek, memang benar apabila penegakan Hukum Internasional masih tergolong lemah, mengingat masyarakat internasional tidaklah terkoordinatif layaknya hukum nasional, diatmbah lagi mereka telah mempunyai sistem hukum sendiri. Salah satu tantangan terbesar yang sedang dihadapi komunitas internasional adalah kegagalan untuk mematuhi komitmen/keterikatan internasional secara umum.44 Menurut hemat penulis, ketidakpatuhan terhadap keterikatan tersebut juga membuat aturan-aturan HI terkesan tidak jelas dan kurang tegas karena adanya ketidakpatuhan dalam masyarakat internasional sehingga menimbulkan kebingungan terhadap instumen tersebut dan menciptakan munculnya interpretasi berbeda beda di praktek dalam lapangan untuk melakukan penegasan secara sendiri-sendiri.

Sebenarnya, apabila PT dibebankan hak dan kewajiban berdasarkan Hukum Internasional, maka PT secara otomatis memenuhi salah satu unsur Reparation Case 1949. Tetapi hingga kini, PT masih dibebankan hak dan kewajiban berdasarkan instrumen-instrumen soft law yang bahkan tidak mengikat dan tidak memiliki sanksi bila dilanggar. Ruang gerak mereka (TNC) hanya dapat dibatasi melalui mekanisme eksternal yang dapat ditegakkan bukan melalui Hukum HAM internasional dan norma yang ringan (soft law).45 Sehingga disini dapat dilihat bahwa institusi internasional masih ragu ragu dan tidak tegas mengenai maksud pemberian hal tersebut. Kemudian, apabila menggunakan Reparation Case 1949 sebagai pedoman penentuan

subjek HI, dikhawatirkan itu tidak relevan bahkan tidak serasi dengan berkembangnya zaman, yang sebagaimana kita tahu, RC 1949 dikeluarkan pada saat paham negara sentris masih menjadi trend dikalangan pakar HI, jika ini terus dijadikan acuan, dikhawatirkan akan menjadi bom waktu di kemudian hari.

  • 4. Kesimpulan

Hukum Internasional yang telah berkembang ke arah modern merupakan faktor pendorong yang mendesak masuknya Perusahaan Transnasional sebagai subjek HI. Betapa tidak, PT memiliki pengaruh yang besar di bidang HAM, ekonomi serta lingkungan di lingkup komunitas internasional. Bahkan dalam beberapa kasus ditemukan bahwa PT sendiri memiliki lebih kuat daripada suatu negara. Dalam upaya melaksanakan hal tersebut ditemukan perbedaan pendapat maupun pro kontra di kalangan akademisi serta ahli Hukum Internasional, ada yang mengatakan bahwa inilah saatnya untuk menjadikan PT sebagai salah satu subjek HI. Karena menemukan kendala tersebut, beberapa ahli menyatakan bahwa PT merupakan subjek di beberapa bidang tertentu seperti Hukum HAM Internasional, Hukum Invenstasi Internasional dan bahkan sebaiknya PT dijadikan sebagai steering subject ataupun juga quasi state subject. Adapun faktor faktor yang menghambat langkah untuk menjadikan PT sebagai subjek HI, misalnya masih terbatasnya instrumen internasional yang mengikat PT dalam membebankan hak serta kewajiban, dan hanya masih bersifat soft law sehingga konsekuensinya apabila instrumen tersebut dilanggar, maka belum ada sanksi yang bisa dijatuhkan pada PT/TNC. Adapun beberapa ahli hukum menggunakan RC 1949 sebagai landasan untuk dapat dimasukan sebagai subjek HI, terdapat penolakan dari negara untuk mengakui PT, masih dianutnya paham HI klasik yang notabene hanya negara satu satunya sebagai subjek HI, peraturan/instrumen HI yang kurang jelas sehingga menimbulkan penafsiran di lapangan, serta lemahnya peraturan/ institusi penegak Hukum Internasional.

Perkembangan Hukum Internasional merupakan urgensi dan faktor pendesak agar ketidakjelasan dan perdebatan PT bisa segera diakhiri, karena sudah saatnya PT yang sudah semakin diakui keberadaannya layak untuk mendapatkan kejelasan. Hukum Internasional harus membebankan hak dan kewajiban secara langsung kepada PT/TNC secara tegas, karena mereka memiliki pengaruh besar yang akan berdampak pada dunia internasional, sehingga PT harus bertanggung jawab atas itu melalui pembebanan hak/kewajiban.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adolf, Huala. Dasar Dasar Hukum Kontrak Internasional (Bandung, Refika Aditama, 2018).

Azhar dan Halim, Abdul. Hukum Internasional Sebuah Pengenalan ( Palembang, Unsri Press, 2020).

Brownlie, Ian, Principles of Public International Law (Oxford-New York, Oxford University Press, 2008).

Clapham, Andrew. Human Rights Obligations of Non-State Actors (New York, Oxford University Press, 2006).

Parthiana, I Wayan. Perjanjian Internasional di Dalam Hukum Nasional Indonesia, (Bandung, Penerbit Yrama Widya, 2019).

Simanjuntak, Mangisi. Hukum Internasional, (Jakarta, Mitra Wacana, 2018).

Yulianingsih, Wiwin dan Solihin, Moch Firdaus. Hukum Organisasi Internasional, (Yogyakarta, Andi, 2014).

Yuswanto. Dkk. Perkembangan Hukum Nasional dan Hukum Internasional (Bandar Lampung, Justice Publisher, 2015).

JURNAL

Alvarez, Jose E. “Are Corporations Subjects of International Law?”, Santa Clara Journal of International Law 9, No. 1, (2011) : 1-36.

Bela Pertiwi, Sukmawani, Kabinawa, L.N.R.W, & Elias, R.A. “The Diplomacy of QuasiState in the Territorial Disputes: Taiwan in the South China Sea “ Jurnal Hubungan Internasional 8, No. 2 (2018): 153-167.

C. Mahulette, Michael, dkk. “Status Production Sharing Contract Ditinjau Dari Konvensi Wina 1969 Dan Undang-Undang Dasar 1945.” Diponegoro Law Journal 5, No. 3 (2016) : 1-13.

Dal Ri Júnior, Arno dan Louise Bastos Calazans, Erika. “Transnational Corporations Subjectivity Based on the Criteria of the Bernadotte Case and the Traditional International Law Doctrine”. Anuario Mexicano de Derecho Internacional 18, (2018) : 156-189.

Daties, Dyah R.A.” Memahami Third World Approaches To International Law ( Twail )”, Jurnal Sasi 23 No.1 (2017) : 13-18.

Duruigbo, Emeka. “Corporate Accountability and Liability for International Human Rights Abuses: Recent Changes and Recurring Challenges”, Northwestern Journal of International Human Rights 6, No. 2 (2008) : 222-261.

Green, Fergus. “Fragmentation In Two Dimensions: The ICJ’s Flawed Approach To NonState Actors And International Legal Personality”, Melbourne Journal of International Law 9, No. 1, (2008) : 47-77.

Hazenberg, Jilles. L.J. “Transnational Corporations and Human Rights Duties: Perfect and Imperfect”, Human Rights Review 17, No. 4 (2016) : 479-500.

Kirchner, Stefan. "The Subjects of Public International Law in a Globalized World", Baltic Journal of Law & Politics 2, No.1, (2009) : 83-96.

Kolsto, P. “The sustainability and future of unrecognized quasi-states”. Journal of Peace Research 43, No. 6 (2006) : 723-740.

Letnar Cernic, Jernej. “Corporate Human Rights Obligations At The International Level”, Willamette Journal of International Law and Dispute Resolution 16, No. 1, (2008) : 130-205.

Muhvić, Dahvor. “Legal Personality as a Theoretical Approach to Non-State Entities in International Law: The Example of Transnational Corporations”,1 Pécs Journal of International and European Law, (2017) : 7-18.

Muijsenbergh, Winfried H. A. M. Van Den dan Rezai, Sam. “Corporations and the European Convention on Human Rights”, Global Business & Development Law Journal 25, No.1, (2012) : 45-68.

Nowrot, Karsten. “Transnational Corporations as Steering Subjects in International Economic Law: Two Competing Visions of The Future?”, Indiana Journal of Global Legal Studies 18, No. 2, (2011) : 803 - 842.

Pentikainen, Merja. “Changing International Subjectivity and Rights and Obligations under International Law – Status of Corporations.” Utrecht Law Review 8, No. 1 (2012) : 145-154.

Perislae, Petra. “Some Remarks on the International Legal Personality of Individuals”, The Comparative and International Law Journal of Southern Africa 49, No. 2, (2016) : 223-246.

Posner, Eric. A. “International Law: A Welfarist Approach”, The University of Chicago Law Review 73, No.2, (2006) : 487-543.

Prochazka, Susanne. “Did You Ever Expect a Corporation to Have a Conscience?” : Human Rights Obligations of Transnational Corporations”. Queen Marry Human Rights Law Review 2, No.1 (2015) : 84-108.

Saifullah, Khalid dan Ahmad, Azhar. “The Increasing Influence of The Non State Actors in International Politics” Journal of European Studies 36, No. 2 (2020) : 39-57.

Sefriani dan Wartini, Sri. “Corporate Social Responsibility Dan Tanggung Jawab Negara Terhadap Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya Di Indonesia” Jurnal Yustisia. Vol. 4 No. 2 (2015) : 269-291.

Singer, Peter Warren. “War, Profits and the Vacuum of Law: Privatized Military Firms and International Law”, Columbia Journal of Transnational Law No. 42, (2004) : 521-550.

Slawotsky, Joel. “The Global Corporation as International Law Actor”, Virginia Journal of International Law Digest 52, No 79 (2012) : 79-85.

Stulajter, Matus. “Problem Of Enforcement Of An International Law – Analysis Of Law Enforcement Mechanisms Of The United Nations And The World Trade Organization”, Journal of Modern Science Tom 2, No. 33, (2017) : 325-335.

Vázquez, Carlos Manuel. “Direct vs. Indirect Obligations of Corporations under International Law”, Columbia Journal of Transnational Law 43, No. 3 (2005) : 927-959.

Wartini, Sri dan Ghafur, Jamaludin. “Kebijakan Hukum terhadap Tanggung Jawab Transnasional Corporations (TNCs) atas Pelanggaran Hak Menikmati Lingkungan yang Sehat di Indonesia”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 21, No. 4 (2014) : 655-676.

Weilert, Katarina. “Taming the Untamable? Transnational Corporations in United Nations Law and Practice” Max Planck Yearbook of United Nations Law 14, (2010) : 445-506

White, Nigel. D dan Macleod, Sorcha. “EU Operations and Private Military Contractors: Issues of Corporate and Institutional Responsibility”, The European Journal of International Law 19, No. 5, (2008) : 965-988.

INSTRUMEN INTERNASIONAL

Charter of Economic Rights and Duties of States 1974 (CERDS).

Code of Conduct on Transnatonal Corporation 1987.

European Convention on Human Rights 1950

International Court of Justice, Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations, Advisory Opinion, 1949, ICJ Report.

Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with regard to Human Rights 2003.

INTERNET

Eelke Heemskerk, Fichtner, dan Babic, 2018, “Who is more powerful – states or corporations?”(https://theconversation.com/who-is-more-powerful-states-or corporations-99616 diakses pada tanggal 8 Oktober 2021 Pukul 11.09).

UNAIR News, 2016, http://news.unair.ac.id/2016/04/29/dubes-triyono-wibowo-kewajiban-perlindungan-ham-bukan-hanya milik-negara/.(diakses pada tanggal 22 Agustus 2021, 21.33).

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.12 Tahun 2021 hlm.959-975