Tanggung Gugat Pembeli Akibat Wanprestasi Dalam Transaksi E-Commerce Melalui Metode Cash On Delivery
on
TANGGUNG GUGAT PEMBELI AKIBAT
WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE MELALUI METODE CASH ON DELIVERY
Ni Putu Sri Wulandari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i11.p04
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji bentuk wanprestasi serta tanggung gugat pembeli akibat wanprestasi yang telah dilakukannya dalam perdagangan elektronik (transaksi e-commerce) melalui metode bayar di tempat (Cash on Delivery/COD). Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, mengkaji problema norma yang terjadi yaitu norma kosong dengan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual dan pendekatan analitis. Prosedur analisis pada penelitian ini yaitu dengan analisis yuridis kualitatif, dengan teknik penelusuran bahan hukum menggunakan teknik studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk wanprestasi yang dilakukan pembeli dalam transaksi e-commerce melalui metode COD berupa membatalkan sepihak dan menolak membayar pesanan kepada kurir yang menimbulkan tanggung gugat berdasarkan unsur kesalahan, yaiu prinsip yang berlaku apabila pembeli melakukan perbuatan melanggar hukum dan menimbulkan kerugian baik atas perbuatan melanggar hukum maupun atas kelalaian pembeli (Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata). Penjual dapat menuntut ganti rugi atau pembatalan pembelian sebagaimana diatur dalam Pasal 1266, 1267 dan 1517 KUHPerdata. Akibat hukum yang dapat dikenakan, yakni : Akun pembeli pada platform e-commerce akan dilaporkan oleh penjual sehingga akun tersebut terblokir, pembatalan perjanjian yang terjadi akibat pembeli lalai dan wanprestasi batal demi hukum, pembeli wajib membayar biaya kerugian yang diderita oleh penjual (Pasal 1243 KUHPerdata), dan pembeli yang melakukan wanprestasi wajib menanggung biaya perkara apabila sampai diperkarakan di pengadilan (Pasal 181 ayat (1) HIR).
Kata Kunci: Tanggung Gugat, Pembeli, Wanprestasi, Perdagangan Elektronik, Bayar di Tempat.
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the form of default and the buyer's liability due to defaults that have been carried out in e-commerce transactions through the Cash on Delivery (COD). This study uses a normative legal research method, examines the problem of norms that occur namely vacuum of norms with a statute approach, a conceptual approach and an analytical approach. The analytical procedure in this study is qualitative juridical analysis, with the technique of tracing legal materials using document study techniques. The results show that the form of default by the buyer in e-commerce transactions through the COD method is in the form of unilaterally canceling and refusing to pay orders to the courier which creates liability based on fault, which is the principle that applies if the buyer commits an unlawful act and incurs a loss either for his or her actions violates the law or the buyer's negligence (Articles 1365 and 1366 of the Civil Code). The seller can claim compensation or cancel the purchase as regulated in Articles 1266, 1267 and 1517 of the Civil Code. The legal consequences that can be imposed are: The buyer's account on the e-commerce platform will be reported by the seller so that the account is blocked, the cancellation of the agreement that occurs due to the buyer's negligence and default is null and void, the buyer is obliged to pay the costs of the loss suffered by the seller (Article 1243 of the Civil Code ), and
the buyer who defaults is obliged to bear the costs of the case if it is brought to court (Article 181 paragraph (1) HIR).
Key Words: Liability, Buyer, Default, E-commerce, Cash on Delivery.
Perkembangan dalam dunia teknologi informasi dan pola transaksi secara elektronik mengalami kemajuan sangat pesat lebih spesifik terjadi pada jual-beli daring/online (e-commerce) yang membuat aktivitas masyarakat tanpa kendala. Masyarakat kini memang lebih memilih melakukan kegiatan transaksi melalui online ketimbang melalui offline, semakin banyak pula terbentuk platform e-commerce yang merupakan sarana untuk transaksi jual-beli. Platform e-commerce memerlukan perangkat elektronik serta internet sebagai medianya, sehingga transaksi dapat dilaksanakan tanpa mewajibkan penjual dan pembeli untuk bertemu satu sama lainnya secara langsung.1 Terdapat beberapa marketplace (platform e-commerce) yang beredar di Indonesia, seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, Buka Lapak, Blibli dan sebagainya.
Perkembangan ini tidak luput dari salah satu pengaruh oleh efek dari coronavirus disease 2019 (COVID-19), berdampak besar perubahan struktur kehidupan masyarakat umum, bukan hanya Indonesia tetapi bahkan seluruh dunia terkena dampaknya. Selain itu, dampak pandemi terhadap sistem perekonomian, membuat ekonomi Indonesia kini dalam kondisi tidak baik-baik saja. Kondisi seperti ini membuat pemerintah dengan gencar membentuk kebijakan-kebijakan atau stimulus demi memutus penyebaran coronavirus disease (COVID-19) ini dengan diberlakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada bulan Januari tahun 2021. Bagi para pelaku usaha, pembatasan serta perubahan pola hidup masyarakat akan pandemi COVID-19 tentu mengakibatkan efek yang sangat besar maka dari itu pelaku usaha harus dapat beradaptasi dengan keadaan tersebut.
Upaya dalam menaikan minat publik yang cukup banyak pindah ke transaksi ecommerce, pelaku usaha online mulai melakukan kerja sama dengan perusahaan jasa ekspedisi pengiriman barang untuk bisa menerapkan metode Cash on Delivery (COD). Metode COD adalah sebuah cara transaksi atau pembayaran secara cash atau tunai saat produk atau barang diterima oleh pembeli. Pembayaran dengan cara ini pada dasarnya membuat pembeli nyaman, dikarenakan bahwa tidak perlu risau terhadap produk yang di belinya telah diantar atau belum sesudah pembeli mengirimkan uang, oleh sebeb itu metode ini dirasa lebih aman dan paling banyak diminati.2 Bahkan pembeli dapat mengajukan pengembalian apabila produk yang sampai tidak sesuai dengan apa yang telah di beli.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang lebih lanjut terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik mengatur tata cara bayar ditempat COD khususnya dalam metode pembayaran diluar transaksi online atau elektronik yang mengakibatkan
permasalahan baru yang ada pada BAB XII Pasal 60 ayat 3 prihal: “Pembayaran melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan sarana sistem perbankan atau sistem pembayaran elektronik lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Sementara dalam metode COD sistem pembayaran langsung tunai maupun konvensional. Oleh karena itu, transaksi melalui metode COD tidaklah ditentukan dalam undang-undang. Hingga dewasa ini metode pembayaran dengan COD bergantung dengan acuan platform e-commerce, oleh sebab itu ada aturan yang mekanismenya bervariasi, murni tidak ada keseragaman aturan yang bisa digunakan sebagai patokan/acuan. Dengan tidak terdapatnya aturan yang spesifik terkait mekanisme pembayaran dengan metode COD, tentu saja membuat kekosongan hukum dalam penerapannya.
Metode COD sejatinya hadir untuk memudahkan pembeli agar bisa membayar di tempat saat barang telah dikirimkan oleh kurir pengirim barang, tanpa perlu transfer via bank atau uang elektronik. Pada transaksi e-commerce dengan metode COD, pihak-pihak yang terkait antara lain :
-
a. Penjual atau merchant sebagai pelaku usaha;
-
b. Pembeli atau konsumen;
-
c. Kurir menjadi jasa pengiriman barang (ekspedisi); dan
-
d. Penyelenggara platform e-commerce.
Disamping dari keuntungan yang ditawarkan metode COD, ternyata masih banyak juga menimbulkan beberapa permasalahan. Berpacu pada aliran teori Perjanjian yang dikutip dari Van Dunne, terdapatnya hubungan hukum di antara dua pihak atau lebih sesuai dengan sebutan deal maka akan menyebabkan akibat hukum dalam hubungan itu.3 Salah satu kondisi yang dapat menimbulkan akibat hukum, yaitu seperti timbulnya suatu perbuatan wanprestasi oleh salah satu pihak. Belakangan ini marak kasus terkait metode COD yang merugikan para pihak, tidak hanya pembeli tetapi kerugian juga dapat dialami oleh penjual. Nyatanya, banyak pembeli yang kurang paham mengenai metode COD yang mengakibatkan belakangan ini banyak kasus pembatalan sepihak oleh pembeli dalam transaksi e-commerce melalui metode COD yang tentunya dapat merugikan penjual, hal ini disebabkan oleh rendahnya literasi digital masyarakat. Pembeli cenderung tidak teliti membaca aturan COD dan deskripsi produk sehingga sudah tergiur akan foto barang dan harga yang ditawarkan. Deskripsi produk biasanya tersedia dalam bentuk caption, maupun terdapat dalam kolom khusus, merupakan sarana bagi penjual untuk menjelaskan kondisi barang sedetail mungkin dalam rangka mengurangi pertanyaan serupa dari banyaknya calon pembeli. Sejatinya di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) hadir sebagai payung hukum yang memuat beberapa ketentuan yang cukup signifikan demi menyetarakan kedudukan baik pembeli, penjual hingga kurir sebagai jasa pengiriman barang.
Sebelumnya telah terdapat karya tulis yang serupa dengan konsep yang di kupas dalam karya tulis ini, yakni karya tulis yang disusun oleh I Wayan Widiantara dengan judul “Upaya Hukum dari Konsumen yang Mengalami Wanprestasi dalam Transaksi Jual Beli Online”, membahas mengenai bagaimana bentuk wanprestasi yang dialami konsumen serta upaya hukum yang ditempuh oleh konsumen yang
mengalami wanprestasi dalam transaksi jual beli online.4 Selain itu terdapat pula karya tulis yang disusun oleh Putu Sri Bintang Sidhi Adnyani yang berjudul “Akibat Hukum Wanprestasi dalam Transaksi Online dengan Metode Cash on Delivery pada Aplikasi Shopee”, berfokus pada keabsahan perjanjian jual beli yang terjadi diantara penjual dan pembeli, dan juga bagaimana cara penyelesaian masalah sengketa wanprestasi yang dalam hal ini dilakukan dari si pembeli dalam transaksi jual beli online melalui system Cash on Delivery (COD).5 Karya tulis sebelumnya memiliki persamaan topik bahasan yakni membahas mengenai transaksi jual beli online (e-commerce), akan tetapi dengan fokus bahasan yang berbeda. Penelitian ini berfokus pada transaksi jual beli online (e-commerce) melalui metode Cash on Delivery (COD), maraknya kasus COD terutama pembatalan sepihak oleh pembeli dalam transaksi e-commerce melalui metode COD tentunya dapat merugikan penjual, hingga saat ini tidak terdapat aturan yang spesifik terkait mekanisme pembayaran dengan metode COD yang menimbulkan kekosongan hukum dalam penerapannya. Oleh karena itu, penting untuk dikaji mengenai bentuk wanprestasi yang dilakukan pembeli serta tanggung gugat pembeli akibat wanprestasi yang telah dilakukannya dalam transaksi e-commerce melalui metode Cash on Delivery (COD), mengingat belum terdapat karya tulis dengan fokus bahasan yang serupa. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul “TANGGUNG GUGAT PEMBELI AKIBAT
WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE MELALUI METODE CASH ON DELIVERY”.
Mengacu dari uraian latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah bentuk wanprestasi yang dilakukan pembeli dalam transaksi ecommerce melalui metode Cash on Delivery ?
-
2. Bagaimanakah tanggung gugat pembeli akibat wanprestasi dalam transaksi ecommerce melalui metode Cash on Delivery ?
Maksud daripada penyusunan jurnal ini adalah untuk mengetahui bentuk wanprestasi yang dilakukan pembeli dalam transaksi e-commerce bisa metode Cash on Delivery, serta untuk mengetahui tanggung gugat pembeli akibat wanprestasi yang telah dilakukannya dalam transaksi e-commerce melalui metode Cash on Delivery.
Penulisan dari penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum memposisikan aturan sebagai fondasi dalam norma, dengan mengkaji problema norma yang terjadi yaitu norma kosong (vacuum of norm) dari aturan terkait transaksi e-commerce melalui mekanisme pembayaran dengan metode Cash on Delivery. Dalam menunjang teknik ini, diterapkan tiga pendekatan diantaranya pendekatan dengan suatu undang-undang (statute approach) adalah pendekatan yang
melalui teknik mengkaji dan menganalisis bagaimana suatu ketentuan di dalam pengaturan yaitu undang-undang. Pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara melihat pendapat atau doktrin-doktrin oleh para ahli hukum.6 Serta pendekatan analitis (analytical approach) merupakan pendekatan dengan analisis dari literatur guna mendapatkan makna yang terdapat di istilah-istilah yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional. Teknik penelusuran bahan hukum menggunakan teknik studi dokumen, dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen terkait topik pembahasan penelitian.7 Prosedur analisis pada penelitian ini yaitu dengan analisis yuridis kualitatif dalam penulisannya, berupa pemahaman lebih dalam prihal bahan-bahan hukum yang biasanya digunakan dalam penelitian hukum normatif
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Bentuk Wanprestasi Pembeli dalam Transaksi E-Commerce melalui Metode Cash On Delivery
-
Kesepakatan para pihak dalam mengikatkan diri dalam transaksi e-commerce dengan metode COD menjadi fondasi munculnya sebuah kontraktual, dan lebih spesifik lagi terdapat kontrak konvensional maupun juga kontrak secara elektronik yang mengakibatkan terjadinya hukum oleh para pihak yang sudah membuatnya sesuai yang tertera dalam Pasal 1338 KUHPerdata dengan berasaskan asas pacta sun servanda, selama dibuatnya perjanjian yang memenuhi kriteria sahnya sebuah perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata, di antaranya:8
-
a. Kesepakatan, pihak-pihak terkait harus sepakat serta setuju tentang sesuatu yang dijanjikan. Kesepakatan dalam transaksi e-commerce melalui metode COD dianggap telah lahir saat pembeli memesan barang pada platform e-commerce dan setuju terhadap syarat dan ketentuan yang tertera, sesuai dengan Pasal 1458 KUHPerdata berbunyi “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.”;
-
b. Kecakapan, bagi orang yang sudah cukup umur dan sehat walafiat baik pikiran atau jasmani dikatakan cakap oleh hukum;
-
c. Suatu situasi tertentu/adanya objek tertentu, dalam transaksi e-commerce barang/produk yang diperjualbelikan harus; dan
-
d. Suatu hal yang tidak terlarang, barang yang diperjualbelikan tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban (Pasal 1337 KUHPerdata).
Apabila syarat subjektif (a dan b) tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan atas permintaan pihak yang berhak atas suatu pembatalan. Namun apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian tersebut dianggap sah. Jika syarat obyektif (c dan d) tidak terpenuhi, perjanjian dapat batal demi hukum yang berarti sejak semula
dianggap tidak pernah diadakan perjanjian9. Meski perjanjian diciptakan agar segala yang telah disepakati dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan, tetapi dalam implementasinya pertukaran prestasi tidak semena-mena berjalan mulus begitu saja, oleh sebab itu muncul peristiwa yang disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi yaitu suatu kondisi dimana prestasi/kewajiban yang telah disepakati tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya.10
Akhir-akhir ini marak kasus viral mengenai transaksi e-commerce terutama yang menggunakan metode COD, banyak dari kasus tersebut disebabkan oleh wanprestasi yang dilakukan pembeli. Wanprestasi yang dilakukan berupa pembeli menolak membayar pesanan yang telah disepakati, dalam Pasal 5 huruf c UUPK menyatakan “konsumen wajib membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati,” maka pembeli wajib melunasi pembayaran kepada kurir sesuai dengan harga yang telah disepakati, apabila pembeli membatalan sepihak terhadap barang yang sudah diterima dan dibayarkan atau bahkan menolak membayar pesanan kepada kurir dengan kondisi paket yang telah dibuka pada metode COD, dalam konteks ini pihak pembeli dianggap melakukan wanprestasi. Biasanya pembeli menolak membayar pesanan karena menganggap pesanan tidak sesuai, rendahnya literasi digital masyarakat menyebabkan sering terjadi kesalahpahaman pada metode COD, baik mengenai kurang dipahaminya aturan COD hingga gagal paham dengan produk yang akan dibeli. Berbicara tentang literasi digital, disebutkan bahwa literasi digital yakni keterampilan individu dalam kecakapan pengaplikasian alat digital, komunikasi, dan juga jaringan internet guna bisa memanfaatkan media digital secara cerdas, bijak serta taat hukum agar mempermudah kehidupan sehari-hari.11 Pada Pasal 5 huruf a UUPK juga tersirat mengenai kewajiban pembeli untuk membaca serta mengikuti petunjuk informasi dan prosedur COD pada platform e-commerce, demi keamanan dan keselamatan. Meski transaksi e-commerce sudah menjadi hal yang lumrah dewasa ini, namun masih saja ada pembeli yang gagal paham dengan apa yang akan dibeli. Kebanyakan hal ini disebabkan karena tidak teliti membaca deskripsi produk, sehingga sudah tergiur akan gambar barang dan harga yang ditawarkan.
Pada dasarnya, apabila pembeli merasa bahwa pesanannya tidak sesuai, pembeli dapat menuntut penjual atau merchant sebagai pelaku usaha, untuk melakukan retur (pengembalian barang) sesuai dengan kebijakan penjual maupun platform e-commerce dimana transaksi dilakukan, dan harus diingat bahwa si pembeli wajib melakukan transaksi pembayaran terhadap kurir. Mengingat, kurir hanya mengantar barang atau dalam hal ini kurir hanya sebagai jasa kirim, jadi segala sesuatu mengenai dengan isi barang yang dipesan dikoordinasikan terlebih dulu dengan si penjual, dan bukan menjadi tanggung jawab kurir. Setiap platform e-commerce memberlakukan aturan yang beda dalam menggunakan pembayaran ditempat (COD), dan harus menunggu persetujuan dari penjual apakah bisa menggunakan metode ini, setelah itu pembeli di wajibkan membayar dengan tarif yang sesuai aplikasi dengan ditambah biaya kirim dan biaya penanganan dari aplikasi dan jasa kirim yang di pilih. Selain itu, platform ecommerce hadir dengan menyediakan layanan komplain yang menghubungkan
pembeli dan penjual. Apabila komplain diterima sebab terdapat bukti yang kuat terkait barang tidak sesuai pesanan, maka barang yang telah dikirim akan diambil kembali oleh kurir dan kemudian dikembalikan kepada si penjual, selanjutnya pembeli akan mendapatkan barang pengganti atau uang.
Dalam transaksi e-commerce melalui COD, penjual berkewajiban menyerahkan barangnya kepada kurir, nantinya kurir yang akan mengirimkan barang kepada pembeli, serta penjual berkewajiban untuk menanggung cacat-cacat tersebunyi terkait barang yang dikirimnya. Kemudian kurir sebagai jasa pengiriman barang wajib menjamin keselamatan dan ketepatan waktu barang yang diangkutnya. Sedangkan pembeli wajib beritikad baik serta membayar kepada kurir sesuai dengan harga barang serta ongkos kirim yang telah disepakati, nyatanya masih banyak pembeli yang kurang paham akan hak dan kewajibannya, serta rendahnya literasi digital akan aturan COD, seperti yang dilansir melalui OKEZONE.COM12, pada 10 Juni 2021, kurir pengantar barang disiram air saat sedang mengantar pesanan bor online dengan metode COD yang dipesan seorang wanita di Palembang, Sumatera Selatan. Awalnya wanita itu memesan bor seharga Rp. 77.000,00 selepas diamati produk yang di belinya adalah cuma kepala bor saja, tetapi wanita itu bersikukuh bahwa ia memesan sesuai foto yang ada di katalog penjual. Hanya saja ketika kurir membuka platform e-commerce tersebut, bahwa yang dijual memang hanya kepala bor, gambar yang tertera hanya sebagai contoh saja bila seandainya dipasang pada bor. Meski demikian pembeli tetap tidak terima dan menolak membayar pesanan kepada kurir. Penjual tentu saja menjadi pihak yang dirugikan dalam kasus ini, Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan “setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut.” Maka apabila pembeli melanggar, pembeli wajib mengganti kerugian yang timbul atas kesalahannya.
-
3.2. Tanggung Gugat Pembeli Akibat Wanprestasi dalam Transaksi E-Commerce melalui Metode Cash On Delivery
Terdapat ada dua istilah dalam pertanggungjawaban hukum, yakni tanggung gugat dan tanggung jawab. Dalam bidang hukum perdata, istilah tanggung gugat (aansprakelijheid/liability) digunakan untuk membedakan pengertian istilah tanggung jawab (verantwoorelijheid/responsibility), dan tanggung jawab lebih sering digunakan dalam hukum pidana. Tanggung gugat menurut Yudha Hernoko adalah kewajiban menanggung beban ganti rugi akibat adanya wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum.13 Sebenarnya tanggung gugat itu ada pada pihak yang terbukti bersalah yang menanggung resiko dari perbuatan melanggar hukum atau yang disebut wanprestasi, membayar ganti rugi kerugian itu adalah kewajiban yang tidak lain dari akibat klausa dalam adanya sebuah perjanjian yang ketentuan hukumnya secara sukarela tunduk berdasarkan yang sudah disepakati dalam (Pasal 1338 KUHPerdata). Tanggung gugat dapat lahir karena :14
-
1) Adanya tanggung gugat yang didasarkan oleh hubungan kontraktual dari para pihak;
-
2) Tanggung gugat atas dasar perbuatan melawan hukum (tortious/statutory obligation), tidak mensyaratkan adanya hubungan kontraktual.
Hubungan hukum yang lahir dari transaksi e-commerce dipengaruhi oleh sistem transaksinya, secara umum sistem transaksi melalui metode COD, sebagai berikut : a. Pembeli memilih dan memesan barang pada toko milik penjual yang terdapat pada platform e-commerce;
-
b. Pembeli memilih jasa pengiriman serta COD sebagai metode pembayaran;
-
c. Setelah pembeli mengonfirmasi pesanan maka penjual akan mengemas barang dan mengirimkan melalui jasa pengiriman barang;
-
d. Kurir sebagai jasa pengiriman barang mengirim pesanan pembeli;
-
e. Pembeli wajib melakukan pembayaran kepada kurir sesuai dengan harga yang tertera pada faktur tagihan/invoice;
-
f. Pembeli tidak boleh untuk membuka paket hingga memberikan uang pembayaran kepada kurir;
-
g. Pembeli bisa mengembalikan barang, jika pembeli belum membuka paket dan paket dalam keadaan utuh, maka pembeli tidak perlu melakukan pembayaran kepada kurir. Tetapi jika pembeli sudah membuka paket tersebut maka pembeli harus melakukan pembayaran full atau melunasi pembayaran kepada kurir, kemudian menghubungi pusat resolusi pada platform e-commerce terkait pengembalian barang.
Tanggung gugat hadir atas dasar hubungan yang muncul dari tindakan hukum suatu peristiwa hukum. Pada transaksi e-commerce melalui metode COD terdapat hubungan hukum antara :15
-
1) Pembeli/konsumen dan penjual/merchant sebagai pelaku usaha, atas dasar perjanjian jual beli;
-
2) Penjual/merchant sebagai pelaku usaha dan kurir sebagai jasa pengiriman barang, atas dasar perjanjian pengantaran barang.
Dapat disimpulkan, antara pembeli dan kurir sebagai jasa pengiriman barang tidak mempunyai hubungan hukum, kurir sebagai jasa pengiriman barang hanya bertanggung jawab kepada penjual atas dasar perjanjian pengantaran barang.
Terjadinya wanprestasi atas tindakan pembeli yang membatalan sepihak terhadap barang yang sudah diterima dan dibayarkan atau bahkan menolak membayar pesanan kepada kurir dengan kondisi paket yang telah dibuka pada metode COD, terutama apabila wanprestasi terjadi sebab rendahnya literasi digital pembeli sehingga timbul kesalahpahaman akan produk yang dipesan, menimbulkan tanggung gugat berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault). Pada hukum perdata, prinsip liability based on fault cukup umum berlaku khususnya dalam hal ini, pembeli yang melakukan perbuatan melanggar hukum serta menimbulkan kerugian kepada penjual, tidak hanya kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melanggar hukum, melainkan juga kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian pembeli yang tidak cermat dalam membaca deskripsi produk dan aturan COD, sesuai dengan Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata.
Pembeli dapat digugat atas dasar melanggar hak pelaku usaha serta kewajiban konsumen yang terkandung dalam Pasal 6 UUPK dan Pasal 5 UUPK dimana pembeli wajib membaca/mengikuti petunjuk informasi pada platform e-commerce, membayar
sesuai dengan harga yang tertera pada faktur tagihan/invoice dan beritikad baik dalam melaksanakan transaksi e-commerce. Akan perbuatan pembeli yang membatalkan sepihak pesanannya, penjual dapat menuntut ganti rugi atau pembatalan pembelian sebagaimana diatur dalam Pasal 1266, 1267 dan 1517 KUHPerdata.16 Selain itu gugatan didasari Pasal 1243 KUHPerdata, yang mana timbul wanprestasi dari perjanjian (agreement) diperkuat dengan penjelasan Pasal 1320, 1338, 1313 dan 1458 KUHPerdata.17 Akibat hukum yang pembeli dapatkan ketika melakukan wanprestasi, yakni :
-
a. Akun pembeli pada platform e-commerce akan dilaporkan oleh penjual sehingga akun tersebut terblokir;
-
b. Pembatalan perjanjian yang terjadi akibat pembeli lalai dan wanprestasi batal demi hukum;
-
c. Pembeli wajib membayar biaya kerugian yang diderita oleh penjual (Pasal 1243 KUHPerdata);
-
d. Pembeli yang melakukan wanprestasi wajib menanggung biaya perkara apabila sampai diperkarakan di pengadilan (Pasal 181 ayat (1) HIR).
Oleh sebab itu, pembeli tidak dibenarkan untuk membatalkan sepihak maupun menolak membayar pesanannya yang sudah diterima dan dibuka, karena itu merupakan kewajiban pembeli. Pembeli sebaiknya tetap membayar, lalu menggunakan fitur pengembalian barang yang tersedia pada platform e-commerce.
Bentuk wanprestasi yang dilakukan berupa pembeli membatalkan sepihak dan menolak membayar pesanan kepada kurir, pembeli melanggar hak pelaku usaha serta kewajiban konsumen yang terkandung dalam Pasal 6 UUPK dan Pasal 5 UUPK dimana pembeli wajib membaca/mengikuti petunjuk informasi pada platform ecommerce, membayar sesuai dengan harga yang tertera pada faktur tagihan/invoice dan beritikad baik dalam melaksanakan transaksi e-commerce. Maka, hal ini menimbulkan tanggung gugat berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) yaitu prinsip yang berlaku apabila pembeli melakukan perbuatan melanggar hukum serta menimbulkan kerugian kepada penjual, tidak hanya kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melanggar hukum, melainkan juga kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian pembeli yang tidak cermat dalam membaca deskripsi produk dan aturan COD, sesuai dengan Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata. Atas perbuatan pembeli yang membatalkan sepihak pesanannya, penjual dapat menuntut ganti rugi atau pembatalan pembelian sebagaimana diatur dalam Pasal 1266, 1267 dan 1517 KUHPerdata. Akibat hukum yang dapat dikenakan, yakni : Akun pembeli pada platform e-commerce akan dilaporkan oleh penjual sehingga akun tersebut terblokir, pembatalan perjanjian yang terjadi akibat pembeli lalai dan wanprestasi batal demi hukum, pembeli wajib membayar biaya kerugian yang diderita oleh penjual (Pasal 1243 KUHPerdata), dan pembeli yang melakukan wanprestasi wajib menanggung biaya perkara apabila sampai diperkarakan di pengadilan (Pasal 181 ayat (1) HIR). Oleh sebab itu, pembeli tidak
dibenarkan untuk membatalkan sepihak maupun menolak membayar pesanannya yang sudah diterima dan dibuka, karena itu merupakan kewajiban pembeli. Pembeli sebaiknya tetap membayar, lalu menggunakan fitur pengembalian barang yang tersedia pada platform e-commerce. Sebaiknya dibentuk regulasi khusus yang jelas untuk mengatur mengenai transaksi e-commerce khususnya transaksi dengan metode COD serta edukasi massal bagi para pengguna jasa COD di berbagai platform ecommerce di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amalia, Nanda. Hukum Perikatan (Nanggroe Aceh Darussalam: Unimal Press, 2013).
M., Hajar. Model-Model Pendekatan dalam Penelitian Hukum & Fiqh (Yogyakarta: Kalimedia, 2017).
Jurnal
Adnyani, Putu Sri Bintang Sidhi dan I Made Sarjana. “Akibat Hukum Wanprestasi dalam Transaksi Online dengan Metode Cash on Delivery pada Aplikasi Shopee.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 9, No. 9 (2021): 1532-1543.
Berata, Bagus Made Bama Anandika dan I.G.N. Parikesit Widiatedja. “Perlindungan Hukum terhadap Pelaku Usaha terkait Wanprestasi yang Dilakukan Konsumen dengan Cara Hit and Run.” Kertha Semaya: Journal Hukum 4, No. 1 (2016): 1-7.
Handayani, Emi Puasa, Zainal Arifin, dan Saivol Virdaus. “Liability Without Faulth dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia.” Adhaper: Jurnal Hukum Acara Perdata 4, No. 2 (2018): 1-19.
Jaya, I.B Surya Dharma dan Liberty Sinaga. “Pembatalan Perjanjian Jual Beli Online secara Sepihak oleh Lazada.co.id (Studi Kasus).” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 2, No. 6 (2014): 1-5.
Nilamsari, Natalina. “Memahami Studi Dokumen dalam Penelitian Kualitatif.” Wacana: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi 13, No. 2 (2014): 177-181.
Pratama, Sapta Abi. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Barang Tidak Sesuai Gambar Pada Transaksi di Marketplace.” Prosiding National Conference on Law Studies (NCOLS) 2, No.1 (2020): 182-199.
Ramadhanty, Ghifara Ayudia. “Peralihan Hak Milik atau Barang melalui Jual Beli Online dengan Sistem Cash On Delivery.” Jurnal Ilmu Hukum 10, No. 2 (2021): 361-380.
Santoso, Sugeng. “Sistem Transaksi E-commerce dalam Perspektif KUHPerdata dan Hukum Islam.” Ahkam 4, No. 2 (2016): 217-246.
Saputra, Sena Lingga. “Status Kekuatan Hukum terhadap Perjanjian dalam Jual Beli Online yang Dilakukan oleh Anak di Bawah Umur.” Jurnal Wawasan Yuridika 3, No. 2 (2019): 199-216.
Sazali, Hasan dan Fakhrur Rozi. “Belanja Online dan Jebakan Budaya Hidup Digital pada Masyarakat Milenial.” Jurnal Simbolika: Research and Learning in Comunication Study 6, No. 2 (2020): 85-96.
Silviasari. “Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Transaksi ECommerce Melalui Sistem Cash On Delivery.” Media of Law and Sharia 1, No. 3 (2020): 151-161.
Suriyadi. “Tanggung Gugat Penjual dan Jasa Pengantaran dalam Transaksi Jual Beli Online dengan Metode Cash On Delivery.” Jurnal El-Iqtishady 3, No. 1 (2021): 3243.
Widiantara, I Wayan dan I Made Sarjana. “Upaya Hukum dari Konsumen yang Mengalami Wanprestasi dalam Transaksi Jual Beli Online.” Jurnal Kertha Desa 9, No. 5 (2021): 23-32.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 222, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6420.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821.
Website
MNC Portal. “Kasus-Kasus COD Viral, Dari Disiram Air Sampai Diancam Samurai.”OKEZONE.COM.https://economy.okezone.com/read/2021/06/21/3 20/2428448/kasus-kasus-cod-viral-dari-disiram-air-sampai-diancam-samurai (diakses 3 Oktober 2021).
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.11 Tahun 2021, hlm. 905-915
Discussion and feedback