PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PENGGUNAAN FOTO PADA DESAIN BAJU DITINJAU DARI KEKAYAAN INTELEKTUAL

A.A Sagung Intan Pradnyaningrum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v11.i01.p17

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum serta akibat hukum ketika terjadi pelanggaran hak cipta atas foto yang digunakan tanpa izin pada desain baju untuk kegiatan komersial berdasarkan Undang – Undang Hak Cipta. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yakni mengenai aspek yang dapat dikaji berdasarkan dengan aspek peraturan perundang-undangan serta dilakukan dengan teknis analisis bahan hukum kualitatif yakni analisis dari keseluruhan data yang sudah dikumpulkan dengan data primer ataupun data sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yakni teknik studi dokumen. Hasil penelitian menunjukan bahwa menurut Undang – Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 9 ayat 3 menyebutkan bahwa setiap orang yang tanpa izin pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan komersial ciptaan pada potret atau fotografi, tetapi apabila karya fotografi atau potret tersebut menggunakan free copyright maka harus disesuaikan dengan terms of use. Sehingga penggunaan foto yang digunakan pada desain baju tidak untuk konsumsi pribadi tetapi digunakan untuk komersil melanggar UU HC. Sanksi dari pelanggaran terhadap penggunaan foto pada desain baju terdapat pada Pasal 12 menyebutkan bahwa tanpa persetujuan yang di potret untuk kepentingan reklama atau periklanan dalam penggunaan secara komersial baik dalam media elektronik maupun non elektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak RP 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Para pemegang hak cipta potret sebaiknya menggunakan watermark pada karyanya untuk mencegah terjadinya penggunaan atau penggandaan secara komersial dan pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar lebih memahami dan menghargai pentingnya hak cipta pada suatu karya.

Kata Kunci : Desain Baju, Foto, Perlindungan

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out and analyze legal arrangements and legal consequences when there is a copyright infringement on photos used without permission on clothing designs for commercial activities based on the Copyright Act. This research uses normative research methods. This type of research is descriptive in nature, namely regarding aspects that can be studied based on aspects of legislation and carried out with technical analysis of qualitative legal materials, namely the analysis of all data that has been collected with primary data or secondary data. The technique of collecting legal materials used is the document study technique. The results of the study show that according to Law No. 28 of 2014 concerning Copyright Article 9 paragraph 3 states that anyone without the copyright holder's permission is prohibited from making commercial copies of creations on portraits or photography, but if the photographic work or portrait uses copyright free then must be adjusted to the terms of use. So that the use of photos used in the design of clothes is not for personal consumption but is used for commercial purposes in violation of the HC Law. Sanctions for violating the use of photos on the design of clothes are contained in Article 12 which states that without the approval of being photographed for the benefit of

advertisements or advertising in commercial use, both in electronic and non-electronic media, the punishment is a fine of not more than Rp. 500,000.00 (five hundred thousand rupiah). thousand rupiah). Portrait copyright holders should use watermarks on their works to prevent commercial use or reproduction and the government should conduct socialization to the public to better understand and appreciate the importance of copyright in a work.

Keywords : Shirt Design, Photo, Protection

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Hak Atas kekayaan Intelektual (HKI) merupakan pengakuan hak yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Karya-karya intelektual memiliki nilai ekonomi yang melekat yang menumbuhkan konsepsi kekayaan dimana dalam proses penciptaan suatu karya tersebut terdapat proses pemikiran, sumber daya yang digunakan, waktu serta anggaran yang dapat disebut sebagai pengakuan HKI. Ilmu pengetahuan, seni dan teknologi merupakan salah satu contoh bentuk ciptaan dari hasil kegiatan intelektual manusia yang merupakan hak wujud dari HKI. Perkembangan teknologi menyebabkan semakin mudahnya proses penciptaan suatu karya. Internet merupakan salah satu media sumber informasi yang digunakan masyarakat modern dalam mencari referensi maupun inspirasi sebelum membuat suatu karya. Namun kemudahan akses sumber informasi selain merupakan suatu keuntungan juga sering disalahgunakan demi kepentingan pribadi semata. Keuntungan yang diambil dari desain yang di komersilkan merupakan akibat dari adanya peningkatan kebutuhan di kalangan masyarakat dimana hal ini dapat merugikan dari segi hak cipta desain pemilik karya tersebut. Kerugian tersebut diakibatkan tidak adanya pembuatan perjanjian sebelumnya antara pihak yang menggunakan desain secara komersial dengan pemilik hak cipta desain.1

UU No. 28 Tahun 2014 mengatur tentang Hak Cipta (Selanjutnya disebut UU HC) dimana pada Pasal 1 angka 1 serta angka 4 disebutkan pemegang hak cipta atau dapat disebut pencipta otomatis memiliki hak khusus yang dapat mencegah pemanfaatan oleh pihak lain tanpa izin yang disebut dengan hak eksklusif dan didalamnya terdapat hak ekonomi dan hak moral sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tanpa mengurangi pembatasan didalamnya. Fakultatif merupakan sifat hak cipta yang dapat disebut pula tidak mutlak dalam Pasal 64 ayat (2) UU HC yang dijelaskan bahwa Hak cipta dapat dicatatkan ataupun tidak sesuai dengan konsep perlindungan otomatis (Automatically Protection) yang didasari oleh Konvensi Bern. Terlepas dari sifat hak cipta tersebut agar memiliki bukti formal terkait dengan pengajuan tuntutan jika terjadi pelanggaran di kemudian hari akan lebih baik jika pencatatan atau pendaftaran dilakukan demi mencegah penjiplakan maupun peniruan hasil karya cipta.2

Pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi dan hak moral, dengan memperoleh keuntungan ekonomi berupa sejumlah uang merupakan hak ekonomi atas hak cipta yang diperoleh sebagai hasil akhir kegiatan ekonomi. Keuntungan yang diperoleh didapat dari pemberian lisensi dari pemilik hak cipta yang kemudian digunakan oleh pihak lain maupun penggunaan oleh diri sendiri. Terkait hak moral, hak cipta

mengandung hak yang memberikan suatu perlindungan terhadap reputasi penemu atau dapat disebut pencipta yang merupakan kepentingan pribadi. Perlindungan terhadap hak ekonomi dan hak moral memiliki masa berlaku yang cukup berbeda. Terkait dengan hak ekonomi atau dapat disebut juga sebagai hak komersial yang memiliki batas waktu. Hal tersebut diatur pada Pasal 59 ayat (1) UU HC yang menyebutkan 50 (lima puluh) tahun perlindungan sejak dilakukan pengumuman untuk karya cipta fotografi. Sementara itu untuk hak moral perlindungan akan berlaku untuk seumur hidup. Dalam hak cipta itu sendiri terdapat subjek maupun objek. Pemilik hak secara sah melalui perjanjian, warisan keluarga, maupun hibah termasuk di dalam subjek hak cipta diantaranya adalah pencipta atau pemegang hak , orang maupun suatu badan hukum, sedangkan objek dari hak cipta itu sendiri adalah benda tidak berwujud atau benda immaterial.3

Persoalan HKI di Indonesia masih marak terjadi dalam masyarakat karena menyepelekan peraturan mengenai hak cipta, tak jarang pencipta suatu karya seni potret harus membuktikan bahwa karyanya adalah ciptaannya. Dalam hal ini pencipta harus melaksanakan pendaftaran hak cipta agar tidak ada lagi orang yang mengaku ciptaan pencipta adalah ciptaanya.4 Masalah yang berkaitan dengan hasil karya cipta banyak terjadi di masyarakat kini. Pada era digital seperti sekarang kemudahan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan pelanggaran terhadap karya cipta seseorang. Salah satu permasalahan yang terjadi yaitu promosi melalui media yang mempergunakan foto tanpa mendapat izin dari pencipta hasil karya fotografi tersebut. Pelanggaran terhadap hak cipta fotografi memiliki potensi yang sangat besar terjadi bagi orang-orang yang menggunakan hasil karya tanpa persetujuan pencipta. Pengunaan untuk kepentingan diri sendiri oleh orang lain dalam bentuk publikasi maupun penggandaan secara tidak langsung merugikan pencipta yang hasil karyanya digunakan sembarangan.

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi, permasalahan terhadap karya fotografi juga semakin berkembang banyak. Hal ini menegaskan dampak negatif dari pesatnya perkembangan jaman saat ini. Ekspresi atau wajah merupakan hal utama dalam karya foto yang merupakan representasi seni yang ada dalam diri seseorang. Pemegang hak eksklusif atau pemegang hak cipta akan dirugikan apabila foto miliknya digunakan oleh orang lain tanpa izin demi mendapatkan manfaat ekonomi. Seiring dengan berkembangnya zaman, fotografi konvensional yang biasa digunakan dengan menggunakan film sebagai perekam gambar, berkembang menjadi era fotografi digital. Kemudahan yang didapat dari era digital ini menyebabkan siapa saja dapat memanfaatkan karya fotografi seseorang untuk kepentingan komersial yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi dirinya sendiri. Menggandakan, mencetak maupun mengambil hasil foto kemudian digunakan tanpa sepengetahuan pencipta secara tidak langsung merupakan tindakan yang merugikan. Dengan demikian, penting untuk dikaji dan diulas terkait dengan karya ilmiah ini karena belum ada tulisan atau karya ilmiah terkait dengan penggunaan foto yang diaplikasikan menjadi desain baju menurut Hak Kekayaan Intelektual.

Perihal state of art, proses penulisan jurnal ini, telah dilakukan secara kepustakaan berkaitan dengan jurnal ilmiah terdahulu yang memiliki unsur – unsur kemiripan di dalam konteks isu hukum yang dibahas. Sebagai contoh I Gusti Ayu Githa Dewantari Yasa dengan judul “Perlindungan Hak Eksklusif Potret Berdasarkan

Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta“ dari Universitas Udayana tahun 2021, dan jurnal yang ditulis oleh Luh Gede Nadya Savitri Artanegara yang berjudul ”Perlindungan Hukum Terhadap Potret Orang Lain Yang Digunakan Promosi Tanpa Ijin Di Jejaring Sosial”5. Namun kedua jurnal terdahulu tersebut berbeda dengan jurnal ini. Mengingat bahwa isu hukum yang diteliti pada jurnal ini ialah mengenai perlindungan hukum terhadap penggunaan foto pada desain baju ditinjau dari kekayaan intelektual.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat merumuskan beberapa permasalahan yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap penggunaan foto pada desain baju ditinjau dari kekayaan intelektual?

  • 2.    Bagaimanakah akibat hukum terhadap penggunaan foto pada desain baju ditinjau dari kekayaan intelektual?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Pembuatan jurnal ini memiliki tujuan untuk memahami pengaturan hukum terhadap penggunaan foto pada desain baju berdasarkan Undang – Undang Hak Cipta serta memahami akibat hukum jika terdapat pelanggaran Hak Cipta atas foto yang digunakan tanpa izin pada desain baju untuk kepentingan komersial.

  • 2.    Metode Penelitian

Adapun Jenis penelitian yang digunakan dalam menganalisis permasalahan diatas yaitu penelitian normatif. Penelitian ini memuat beberapa unsur didalamnya yaitu aturan hukum, pendekatan hukum, norma hukum, serta penelitian dan perbandingan hukum. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer berupa UU HC serta bahan hukum sekunder berupa literatur mengenai Hak Cipta. Jurnal ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach).6 Pendekatan perundang-undangan merupakan suatu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang serta regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti. Dalam prakteknya pelaksanaannya maupun dari segi teknis penormaan yang terjadi pada peraturan perundang-undangan masih memiliki kekurangan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran.7 Data yang dipergunakan sebagai bahan hukum pada penelitian ini mempergunakan data primer yang berbentuk perundang-undangan dan juga data sekunder yang berupa tulisan dari para ahli hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yakni teknik studi dokumen yang merupakan teknik penelitian hukum yang mempergunakan bahan-bahan hukum yang berbentuk sumber data, dokumen yang tertulis yang sesuai dengan permasalahan dari penelitian tersebut. Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yakni mengenai aspek yang dapat dikaji berdasarkan dengan aspek peraturan perundang-undangan serta dilakukan dengan teknis analisis bahan hukum kualitatif yakni analisis dari keseluruhan data yang sudah dikumpulkan dengan data primer ataupun data sekunder.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1 . Pengaturan Hukum Terhadap Penggunaan Foto Pada Desain Baju Ditinjau

Dari Kekayaan Intelektual

Karya intelektual dan karya seni merupakan suatu aspek karya yang dilindungi di dalam hukum hak cipta. Ekspresi merupakan salah satu bentuk dari karya tersebut dimana termasuk di dalamnya adalah foto. Suatu karya cipta dibuat melalui proses yang menyertakan angan-angan, fantasi serta visi dari pencipta sehingga karya yang diciptakan akan memiliki sifat khas salah satu contohnya adalah potret. Selain sifat khas, karya cipta juga memiliki sifat pribadi dimana hanya pencipta yang dapat memiliki ciptaan yang telah dibuat.8 Hasil foto yang menggunakan kamera merupakan suatu karya fotografi. Dalam UU HC disebutkan secara khusus karya fotografi yang memiliki manusia sebagai objeknya disebut sebagai potret. Penjelasan tersebut dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 10 serta pasal 40 huruf K UU HC.

Foto berasal dari arti kata cahaya dalam bahasa Yunani. Cahaya merupakan faktor penting dalam menggunakan kamera untuk mengambil atau merekam suatu kejadian maupun sutau objek karena tanpa adanya cahaya tidak akan bisa menghasilkan karya cipta fotografi yang jelas dan menarik.9 Preventif dan represif merupakan 2 (dua) cara yang dapat digunakan dalam melakukan perlindungan hukum terhadap hak cipta. Pemberian kesempatan merupakan cara perlindungan hukum secara preventif dimana dalam Pasal 64 UU HC diatur mengenai pencegahan terhadap pelanggaran dengan melakukan pencatatan yang dilakukan oleh pemerintah sehingga rakyat dapat mengemukakan pendapatnya sebelum pemerintah membuat suatu keputusan. Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir yang lebih kepada melakukan penanggulangan terhadap sengketa yang terjadi berupa sanksi seperti denda atau hukuman penjara oleh peradilan sesuai dengan isi Pasal 95 ayat (1) UU HC. Gugatan ke pengadilan niaga merupakan bentuk pemberian perlindungan pemerintah dalam bentuk represif apabila terdapat hak cipta fotografi yang dilanggar dan digunakan tanpa izin oleh orang lain.10

Pada dewasa ini terdapat berbagai jenis pelanggaran terhadap hak cipta, salah satunya yaitu hasil karya cipta yang dibajak dan merugikan beberapa pihak, salah satunya produsen.11 Sistem perlindungan hak cipta di Indonesia saat ini diketahui masih terdapat kekurangan dalam penegakkan aturan mengenai hak cipta yang diakibatkan adanya suatu permasalahan di dalam masyarakat. Penjelasan tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (3) UU HC yang menyebutkan bahwa “Setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Komersial Ciptaan”. Hasil ciptaan yang digunakan oleh seseorang tanpa izin pencipta merupakan salah satu pelanggaran hak cipta yang bisa menyebabkan kerugian besar yang diderita oleh produsen, pencipta maupun pemerintah.

Terkait dengan kasus yang dilakukan oleh seorang dalam perbuatannya yang mengkomersialisasikan potret tanpa sepengetahuan dari subjek foto tersebut adalah pelanggaran hak ekonomi. Pengaturan hak ekonomi dalam hal karya cipta potret

terdapat pada Pasal 12 – Pasal 15 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Pasal 12 ayat (1) UUHC menyatakan “melarang melakukan setiap kegiatan yang menyangkut tentang kormesialisasi, penggandaan, pengumuman, pendistribusian atas potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya”. Jikalau seorang maupun pihak lainnya yang ingin melakukan penggandaan maupun mengkomersialisasikan potret tersebut, pihak terkait wajib menanyakan persetujuan sebelumnya pada pemegang hak cipta yaitu subjek dari potret tersebut, merujuk pada Pasal 12 ayat (2) UUHC. Pasal 13 UUHC mengemukakan bahwa “pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi yang menyangkut tentang potret seseorang atau beberapa orang dalam suatu pertunjukan tidak termasuk dalam pelanggaran hak cipta, kecuali dinyatakan lain atau diberi persetujuan oleh pelaku pertunjukan maupun pemegang hak sebelum atau pada saat pertunjukan berlangsung”. Pada pasal 14 UUHC menjelaskan bahwa “kepentingan keamanan, kepentingan umum, dan/atau untuk keperluan bukti pada sanksi pidana, instansi yang berwenang dalam melakukan pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi potret tanpa harus meminta izin persetujuan dari orang atau beberapa orang yang menjadi subjek dalam potret.”

Dalam Pasal 15 ayat (2) UUHC menjelaskan bahwa “ Namun lain halnya jika sudah diperjanjikan dengan pemilik dan/atau pemegang ciptaan fotografi, lukisan, gambar, karya arsitektur, patung, atau karya seni lain maka berhak dalam melakukan pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan dalam suatu katalog yang di produksi untuk keperluan pameran tanpa persetujuan dari pencipta”. Pasal 15 ayat (2) menyatakan “ketentuan pengumuman ciptaan sebagaimana dimaksud dalam pasal (1) berlaku juga terhadap potret sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam pasal 12.”.12 Hak eksklusif dimiliki oleh pemegang hak cipta atau pencipta untuk memberikan izin atau tidak terhadap penggunaan gambar yang diambil untuk kepentingan pemanfaatan secara komersial. Pada situssitus internet yang menyediakan pengunduhan gambar gratis, pemegang hak cipta atau pencipta menggunakan bentuk “terms of use” untuk mengatur luas serta batasan izin yang diberikan kepada orang lain sebagai pemakai. Pencantuman “terms of use” menjadi syarat mutlak penggunaan dalam bentuk perjanjian lisensi dimana orang yang melakukan pengunduhan gambar dianggap telah menerima persyaratan yang disebutkan. Dalam bentuk perjanjian tesebut juga adanya larangan penggunaan yang dapat merugikan pencipta seperti digunakan untuk dijual kembali atau pemalsuan maupun melanggar peraturan hukum seperti pornografi atau penghinaan.13

Pengawasan dari pemerintah merupakan hal yang sangat diperlukan guna mencegah adanya pelanggaran karya cipta yang disebutkan dalam Pasal 54 UUHC. Dalam Pasal 55 UUHC juga menegaskan jika mengetahui adanya suatu pelanggaran karya cipta yang sifatnya tidak menguntungkan bagi para pencipta maka hal ini dapat di ditindak lanjuti atau dilaporkan secara tertulis melalui Direktorat Jenderal HKI kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.14 Penghargaan yang didapat oleh

pencipta merupakan salah satu bentuk kepastian hukum yang diberikan oleh pemerintah atas kerja keras yang dilakukan demi menciptakan suatu karya cipta fotografi yakni potret. Suatu potret pasti memiliki pemegang hak cipta atau pencipta yang menandai adanya unsur kepemilikan terhadap potret dalam konsep properti. Pemberian izin harus dilakukan terlebih dahulu untuk penggunaan potret secara komersial baik melalui media offline maupun online. Hal tersebut dapat dikecualikan jika telah terjadi perjanjian lain oleh pihak yang di potret, pencipta maupun pemegang hak cipta dengan pihak yang akan menggunakan.15

Kegiatan penggunaan secara komersial berhubungan erat dengan hak ekonomi yang terikat pada hasil karya cipta. Kegiatan komersial yang mudah dan sering terjadi adalah penggandaan foto yang diambil dari media online seperti sosial media untuk kemudian digunakan kembali demi memperoleh keuntungan seperti penggunaan foto sebagai desain baju. Peristiwa, hal ataupun benda yang “tertangkap” atau “diabadikan” dalam suatu karya fotografi tentu dapat mempengaruhi nilai ekonomi karya tersebut. Objek yang terdapat didalam sebuah potret dalam hal ini manusia serta ahli warisnya perlu memberikan izin untuk penggunaan potret tersebut. Jika tidak mendapat atau memiliki izin maka hak ekonomi yang mengikutinya tidak dapat diberikan serta orang yang menjadi objek potret tersebut dapat mengajukan tuntutan karena terjadinya pelanggaran ketentuan perlindungan hak cipta. Penyebaran informasi berdasarkan kebebasan pers dapat dilakukan selama tidak bertentangan atau dapat melanggar privasi. Perlindungan terhadap privasi atau dapat disebut sebagai hak-hak pribadi merupakan bukti nyata harus berakhirnya hak asasi dalam kebebasan memperoleh informasi. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Danrivanto Budhijanto dimana beliau mengambil contoh pada negara Amerika Serika serta Jepang. Negara-negara tersebut memberikan perhatian lebih dari para pihak yang berwenang dengan membuat aturan yang dapat melindungi hak-hak pribadi serta mencegah terjadinya pelanggaran privasi seperti informasi pribadi yang diperjual belikan oleh pihak lain. Walaupun tetap menghormati kebebasan memperoleh informasi untuk umum namun Amerika Serikat serta Jepang tidak memperkenankan terjadinya pelanggaran maupun penyalahgunaan informasi pribadi atau privasi milik seseorang. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sembarangan mempergunakan foto yang berisi objek orang lain tanpa memiliki izin dari objek foto maupun pemilih hak cipta merupakan suatu contoh kasus pelanggaran hukum. Kebabasan tidak bisa diartikan semata-mata sebagai suatu kehedak tanpa batas atau melewati batas kebebasan yang dimiliki orang lain. Penghormatan serta pengakuan terhadap hak dan kewajiban sesama manusia lah yang merupakan makna sesungguhnya dari kebebasan itu sendiri.16

Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Perbuatan pihak yang mempergunakan desain dengan menggandakan desain t-shirt kemudian menjualnya merupakan pelaksanaan hak ekonomi yang seharusnya wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemilik ciptaan. Terkait ini, Pasal 9 ayat (3) UU HC telah mengatur “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.” Perbuatan ini juga dapat dikategorikan sebagai pembajakan. Pembajakan artinya penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Perlu diketahui bahwa istilah “pendaftaran” telah diubah menjadi “pencatatan”. Pencatatan hak cipta bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta. Perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pencatatan. Hal ini berarti suatu ciptaan baik yang tercatat maupun tidak tercatat tetap dilindungi. Jadi, untuk mendapatkan perlindungan Hak Cipta tidak diperlukan adanya pencatatan atas ciptaan. Akan tetapi, pendaftaran atas suatu ciptaan ini kemudian akan menjadi penting dan esensial dalam hal bila terjadi sengketa dengan pihak ketiga (bila ada pelanggaran hak cipta). Pencatatan dimaksudkan untuk kepentingan pembuktian manakala terjadi sengketa atas Hak Cipta tersebut.Apabila terjadi suatu perselisihan/persengketaan/klaim antara dua belah pihak yang menyatakan bahwa masing-masing dari mereka itu adalah pemegang hak cipta atas suatu ciptaan, maka pendaftaran atas ciptaan yang dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya dapat menjadi suatu alat bukti yang kuat di depan persidangan yang sekaligus juga menjadi suatu bahan pertimbangan bagi Hakim untuk menentukan siapa pemegang hak cipta yang sah. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 UU Hak Cipta bahwa kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta yaitu orang yang namanya: disebut dalam Ciptaan; dinyatakan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan; disebutkan dalam surat pencatatan Ciptaan; dan/atau tercantum dalam daftar umum Ciptaan sebagai Pencipta.17

  • 3.2    Akibat Hukum Terhadap Penggunaan Foto Pada Desain Baju Ditinjau Dari Kekayaan Intelektual

Pada saat ini banyak sekali ditemukan pelanggaran-pelanggaran atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) salah satu bentuk pelanggaran yatitu dibajaknya suatu karya cipta potret oleh masyarakat yang tidak mempunyai hak atau izin sehingga merugikan bagi pencipta atau pemilik hak cipta potret tersebut. Sanksi hukum yang dapat diberikan terhadap pembajakan karya cipta tersebut dapat berupa sanksi perdata berupa tuntutan ganti kerugian dan dapat juga diterapkan sanksi pidana berupa tuntutan pidana penjara dan denda. Pasal 1365 KUH Perdata sebagai pasal yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum memegang peranan penting dalam hukum perdata memuat ketentuan sebagai berikut: “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”. 18 Suatu pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut secara langsung melanggar hak subjektif orang lain, serta disyaratkan adanya pelanggaran terhadap tingkah laku, berdasarkan hukum tertulis dan tidak tertulis yang seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku dan tidak ada alasan pembenar menurut hukum. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (Pasal 1365 KUH Perdata). Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya.

Pelanggaran hak cipta serta penyelesaiannya sengketa ditentukan dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 120 UU HC. Dalam menyelesaikan sengketa berkaitan dengan Pelanggaran hak cipta dapat dilakukan melalui jalur pengadilan atau jalur arbitrase. Pengajuan gugatan dapat dilakukan melalui Pengadilan Niaga sedangkan tuntutan pidananya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan Pasal 120 UU HC, tindak pidana dalam UU HC merupakan delik aduan.19 Penggunaan foto pada suatu desain baju tanpa melalui pemberitahuan, perjanjian, kerja sama atau tanpa mendapatkan izin untuk kepentingan promosi merupakan suatu pelanggaran hak cipta dalam bentuk pelanggaran hak ekonomi dan hak moral dari foto yang digunakan. 20

Dalam Pasal 113 ayat (3) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa: Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dengan demikian, bahwa akibat hukum bagi sesorang yang menggunakan potret orang lain tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta dapat dijerat dengan ancaman pidana sebagaimana disebutkan dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Selanjutnya Pasal 115 UU HC menjelaskan “Setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial, penggadaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau kominikasi atas potret sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 tanpa persetujuan yang di potret untuk kepentingan reklama atau periklanan dalam penggunaan secara komersial baik dalam media elektronik maupun non elektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak RP 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).”

Ketetapan dalam Pasal 115 ini menjelaskan bahwa adanya perlindungan hukum terhadap potret yang digunakan secara komersial tanpa sepengetahuan yang di potret tidak hanya sebatas mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga, namun bisa juga melewati upaya tuntutan pidana. Tuntutan pidana tertuang dalam Pasal 13 ayat (3) UU HC 2014. Menggunakan potret tanpa seizin pemegang hak cipta maupun pencipta dapat digugat dengan Pasal 96 UU HC, dimana pemegang hak cipta ataupun pencipta dapat memperoleh ganti rugi. Pembayaran ganti rugi terkait akan dibayar paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah keluarnya putusan dari Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap sesuai dengan Pasal 96 ayat (3). Selain mendapatkan ganti rugi, pemegang hak cipta ataupun pencipta dapat mengajukan permohonan dalam memberhentikan kegiatan yang dirasa merugikan, yang terdapat pada pasal 99 UU HC. Lahirnya ciptaan baru atau ciptaan yang sudah ada sebelumnya harus didukung dan dilindungi oleh hukum, wujud perlindungan itu dikukuhkan dalam undang-undang dengan menempatkan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hak cipta dengan cara melawan hukum. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menempatkan tindak pidana hak cipta itu sebagai delik aduan, dimana dalam hal ini penyidik selaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum diberi wewenang khusus sebagai penyidik baru dapat melakukan penyidikan apabila ada laporan dengan disertai bukti-bukti dari pihak pencipta yang merasa dirugikan. Mekanisme

Penyelesaian masalah pelanggaran atau sengketa dalam hak cipta dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu melalui jalur pengadilan dan/atau Alternative Dispute Resolution atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Untuk permasalahan yang bersifat terbuka dan tidak adanya kerahasiaan yang harus dijaga seperti hak cipta dan merek maka dapat menempuh jalur pengadilan. Sedangkan permasalahan yang memiliki kerahasiaan dan aspek kekayaan ataupun rahasia dagang dapat menempuh jalur Alternative Dispute Resolution atau Alternatif Penyelesaian Sengketa seperti arbitrase, konsoliasi, negoisasi dan mediasi. Jika ingin menempuh jalur terbaik dengan jalan damai dan tanpa adanya paksaan maka dapat memilih arbitrase. Penyelesaian sengketa jalur pengadilan niaga juga tersedia dimana hal ini digunakan untuk mengetahui cara-cara melakukan suatu gugatan atas pelanggaran hak cipta.21 Berdasarkan beberapa bentuk alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana telah diuraikan di atas, bentuk negosiasi dapat dikatakan bentuk yang sederhana dan dapat dimanfaatkan dalam upaya menyelesaikan sengketa, karena berjalan di atas prinsip musyawarah untuk mufakat diantara para pihak yang bersengketa. Negosiasi merupakan proses komunikasi 2 (dua) arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah. Negosiasi, adalah istilah lain dari musyawarah untuk mufakat.

Dasar utama dari hak cipta sebagai konsep kepemilikan yaitu bahwa hal tersebut memungkinkan adanya perlindungan bagi hasil karyanya sendiri. Hal ini merupakan dasar ketentuan, di mana karya-karya tersebut merupakan ekspresi dari gagasan yang diperkenalkan kepada publik. Para pemilik tersebut menjadi bagian dari hadirnya berbagai informasi dimana arus informasi yang tanpa hambatan tersebut akan dapat menjadi penting bagi masyarakat secara umum. Oleh karena itu, hak cipta memberikan jaminan bahwa para pencipta tidak hanya menjaga hasil karyanya di bawah pengawasan, dengan jalan mencegah terjadinya penyalinan ulang tanpa izin, akan tetapi juga memberikan jaminan bahwa para pencipta dapat memperoleh hasil manfaat dari hasil pekerjaan intelektualnya tersebut. Hal ini dapat dianggap sebagai sebuah insentif untuk mempublikasikan karyanya. Hak cipta juga bekerja sebagai sebuah kompensasi atas resiko keuangan dari penerimaan sang pemilik dengan jalan mempublikasikan hasik karyanya.

Tanpa adanya perlindungan akan hak cipta, seorang pencipta mungkin saja akan menolak untuk mempublikasikan hasil karyanya, yang pada akhirnya publik juga tidak dapat menikmati karya tersebut. Keuntungan yang dinikmati oleh pencipta melalui perlindungan akan hak cipta merupakan hal yang problematik. Hak penuh yang berada pada pemilik terhadap siapapun yang ingin menyalin hasil karyanya terkadang sangat berlawanan dengan kepentingan publik, seperti misalnya pada peran dan kepentingan di bidang sosial, politik, pendidikan dan kebudayan. Sebagian mengatakan bahwa informasi dan hasil karya seharusnya dipertimbangkan sebagai benda umum, oleh karenya tidak perlu dilindungi lagi oleh Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Hak untuk mengontrol akses bagi hasil karya seseorang sebelum dipublikasikan tidak akan menimbulkan permasalahan dalam kebebasan berbicara, akan tetapi penerbit dapat mengontrol akses tersebut setelah terjadinya publikasi. Hal ini menjelaskan kenapa secara historis hak cipta dianggap

sebagai suatu bentuk monopoli yang seharusnya secara tegas ditafsirkan untuk melayani kepentingan publik di atas pemegang hak cipta.

  • 4.   Kesimpulan

Menurut Undang – Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 9 ayat 3 menyebutkan bahwa setiap orang yang tanpa izin pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan komersial ciptaan pada potret atau fotografi, tetapi apabila karya fotografi atau potret tersebut menggunakan free copyright maka harus disesuaikan dengan terms of use. Sehingga penggunaan foto yang digunakan pada desain baju tidak untuk konsumsi pribadi tetapi digunakan untuk komersil melanggar UU HC. Sanksi dari pelanggaran terhadap penggunaan foto pada desain baju terdapat pada Pasal 12 menyebutkan bahwa tanpa persetujuan yang di potret untuk kepentingan reklama atau periklanan dalam penggunaan secara komersial baik dalam media elektronik maupun non elektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak RP 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Masyarakat diharapkan meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pemilik foto sebelum digunakan untuk kegiatan komersial. Untuk para pemegang hak cipta potret atau fotografi sebaiknya menggunakan watermark pada karyanya untuk mencegah terjadinya penggunaan atau penggandaan secara komersial. Untuk pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar lebih memahami dan menghargai pentingnya hak cipta pada suatu karya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2016)

Dharmawan, Ni Ketut Supasti. Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia (Bali, Swasta Nulus, 2018)

Pasek Diantha, I Made. Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Disertasi (Bali, Swasta Nulus, 2018)

JURNAL

Aji, Hieronymus Febrian Rukmana. "Perlindungan Hukum Terhadap Hasil Foto Pribadi Yang Digunakan Orang Lain Di Media Sosial Instagram Untuk Kepentingan Komersial Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta." Phd Diss, Universitas 17 Agustus 1945 (2019)

Aji, Hieronymus Febrian Rukmana dan Rosando, Abraham Ferry. "Perlindungan Hukum Terhadap Hasil Foto Pribadi Yang Digunakan Orang Lain Di Instagram." Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune 2, No. 1 (2019)

Artanegara, Luh Gede Nadya Savitri. “Perlindungan Hukum Terhadap Potret Orang Lain Yang Digunakan Promosi Tanpa Ijin Di Jejaring Sosial” Jurnal Kertha Semaya 8 No. 3 (2020)

Jannah, Uswatun. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Foto Yang Dipajang Di Baliho Guna Ketertiban Lalu Lintas

Putri, I. S., & Darmadi, A. A. S. W. Pelaksanaan Pengaturan Karya Cipta Potret Dalam Praktik Di Kota Denpasar

P, Yunadi. Kajian Hukum Transfer Pricing (Penentuan Harga Transfer) Pajak Penghasilan Perusahaan Multinasional Di Indonesia (Doctoral Dissertation, Universitas Muhammadiyah Purwokerto,2017)

S, Bustani. ”Potret Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta” Jurnal Hukum Prioris 4, No. 2 (2016): 101-114

Sulistiyono, Arief dan Fauzi, Irfan. “Tinjauan Yuridis Pasal 12 Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Terhadap Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Karya Desain Komunikasi Visual.”Warnarupa (Journal of Visual Communication Desain) 1, No.1 (2020)

Tus, Desyanti Suka Asih K. "Hak Ekonomi Dan Hak Moral Karya Cipta Potret Di Sosial Media." Vyavahara Duta 14, No. 1 (2019)

Yasa, I Gusti Ayu Githa Dewantari. “Perlindungan Hak Eksklusif Potret Berdasarkan Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta” Jurnal Kertha Samaya 9 No. 11 (2021): 2007-2008

WEBSITE

Jata Ayu Pramesti, Tri “Hak Cipta Desain     T-Shirt”

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6106/hak-cipta-desain-tshirt/ Diakses 25 Oktober 2017

Green, Graeme “Tanggung Jawab Sosial Di Balik Karya Fotografi Yang Mengubah Dunia” BBC Indonesia, 2018 https://www.bbc.com/indonesia/vert-cul-45570063. Diakses 28 Juni 2020

Risa, Amrika “Bolehkah Menggunakan Desain Gambar Gratis dari Internet untuk Dijual Kembali?” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5547f cf8519c8/bolehkah-menggunakan-desain-gambar-gratis-dari-internet-untuk-dijual-kembali. Diakses 16 Mei 2016

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599)

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 1 Tahun 2021, hlm. 175-186