EFEKTIVITAS HUKUM PENERAPAN ALTERNATIVE

DISPUTE RESOLUTION DALAM SENGKETA

HUBUNGAN INDUSTRIAL ANTARA PERUSAHAAN

DENGAN PEKERJA

Ilham Welfare Nazora, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Putu Ade Harriestha Martana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i10.p01

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa Efektivitas hukum penerapan Alterntive Dispute Resolution dalam sengketa hubungan Industrial antara perusahaan dengan pekerja serta batasan-batasan penerapan Alternative Dispute Resolution dalam sengketa hubungan industrial. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif serta pendekatan kasus (case approach) penelitian ini menganalisis efektivitas dan batasan penerapan Alternative Dispute Resolution dalam Putusan pengadilan negeri Denpasar Nomor:2/Pdt. Sus-PHI/2021/PN Dps yang ditinjau berdasarkan UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas penerapan ADR dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial dapat dibagi atas 2 yakni ; a. Efektif bila ditinjau berdasarkan tujuan diberlakukannya hukum yakni kesamaan derajat para pihak (equality before the law), dan b) Belum efektif bila ditinjau berdasarkan indikator keberhasilan ADR yakni terselesaikannya sengketa tanpa melalui jalur pengadilan dengan prinsip win-win solution. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial, ADR berada pada tahapan perundingan tripartit.

Kata Kunci : Penyelesaian Sengketa Alternatif, Sengketa, Hubungan Industrial

ABSTRACT

This study aims to analyze the legal effectiveness of the application of Alternative Dispute Resolution in industrial relations disputes between companies and workers and the limitations of the application of Alternative Dispute Resolutions in industrial relations disputes. By using a normative legal research method and a case approach, this study analyzes the effectiveness and limitations of the application of the Alternative Dispute Resolution in the Denpasar District Court Decision Number: 2/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Dps which is reviewed based on Law No.30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution and Law No. 2 of 2004 concerning Settlement of Industrial Relations. The results of the study indicate that the effectiveness of the application of ADR in the settlement of industrial relations disputes can be divided into 2 namely; a. Effective when viewed based on the purpose of enactment of the law, namely equality of the parties (equality before the law), and b) Not effective when viewed based on the indicators of ADR success, namely the resolution of disputes without going through court with the principle of win-win solution. In addition, the results of the study also show that in the settlement of industrial relations disputes, ADR is at the stage of tripartite negotiations.

Keywords: Alternative Dispute Resolution, Dispute, Industrial Relations

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara plural, terdapat banyak kelompok dan golongan. Tidak hanya sebatas pengelompokan berdasarkan suku, ras, dan agama. Lebih dari itu, perbedaan perspektif di berbagai bidang juga turut andil dalam kepluralan tersebut. Perbedaan pandangan politik, kelompok bidang keilmuan, dan banyak hal lainnya menjadi bagian dari pluralisme di Indonesia.

Berbagai perbedaan yang ada di Indonesia jika secara kasat mata harusnya sulit untuk dipersatukan. Karena banyak kepentingan yang saling bergesekan bahkan terbentur satu sama lain. Karena berbagai benturan kepentingan tersebut maka sering sekali terjadi konflik. Konflik yang terjadi juga begitu beragam. Ada yang merupakan bentuk tindakan melawan hukum yang dilakukan, ada pula perselisihan yang muncul karena bentuk perikatan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Teori du contract social sebenarnya sudah menjelaskan hal ini. Landasan terbentuknya suatu bangsa dan negara adalah suatu bentuk kesepakatan masyarakat untuk menyerahkan sebagian hak mereka untuk diatur oleh negara. Maka dari itu, dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga secara tegas mengamini hal ini. Warga negara memang memiliki hak dan kebebasan, namun dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain. Negara memiliki andil besar terkait dengan pemenuhan hak dan kebebasan yang dimiliki tiap-tiap warga negara.

Konflik yang terjadi di tengah masyarakat begitu banyak bentuknya. Karena sudah menyerahkan sebagian hak dan kebebasannya kepada negara, maka tiap-tiap warga negara kepentingannya dibatasi oleh kepentingan warga negara yang lainnya. Hal ini lah yang menjadi cikal-bakal lahirnya hukum. Ubi Societas Ibi Ius, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Artinya, hukum hadir sebagai dasar bertindak, bertingkah laku, dan sebagai sarana control social.

Lebih lanjut,konflik yang timbul ditengah-tengah masyarakat akan menjadi sengketa. Hal ini terjadi bilamana konflik tidak dapat diselesaikan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa konflik muncul akibat adanya pertentangan antar pihak akibat benturan kepentingan, jika tidak diselesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan diantara mereka. Sepanjang dapat diselesaikan, maka sengketa tidak akan terjadi. Namun sebaliknya jika tidak dapat diselesaikan dengan baik maka timbullah sengketa.

Dalam sengketa, terdapat dua proses yang dapat dilakukan untuk penyelesaian. Proses pertama ialah proses litigasi. Yakni proses pengadilan sebagai lembaga negara independen memberikan putusan yang tentunya setelah melewati serangkaian proses beracara. Ini juga bentuk keterlibatan negara dalam menyelesaikan sengketa yang ada di masyarakat. Proses yang kedua adalah proses penyelesaian non-litigasi. Yakni penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) antar para pihak diluar pengadilan.

Secara historis sebelum penyelesaian sengketa alternatif (ADR) berkembang, maka biasanya para pihak yang memiliki sengketa akan menyelesaikannya melalui pengadilan. Tentunya terdapat perbedaan dalam segi prinsip dan bentuk penyelesaian antara ADR sebagai penyelesaian sengketa non- litigasi dengan pengadilan (secara litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dirasakan lamban, mahal, dan kurang sesuai dengan paradigma bisnis. Mekanisme dan sistem pengadilan serta sumber daya hakim yang terbatas pada pengadilan membuat penumpukan perkara pada masing-masing tingkat pengadilan, terutama pada tingkat Mahkamah Agung.

Pada negara maju seperti Australia bahkan Amerika Serikat hampir 90% sengketa bisnis diselesaikan oleh para pihak melalui cara non-litigasi.

Karena berbagai kelemahan yang ditemui dalam praktik penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, maka masyarakat terutama para pahli hukum berupaya untuk membawa suatu sengketa perdata dari wilayah publik (yang dalam hal ini diselesaikan melalui pengadilan) kembali kepada wilayah privat. Hal ini dilakukan, karena hakikat ADR mengacu pada prinsip keperdataan.

Marwah M. Diah (2008) dalam jurnal nya menyatakan bahwa “sejak diundangkan tahun 1999, praktik penyelesaian sengketa melalui ADR sudah mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia, terutama di kalangan pengusaha, walaupun dengan frekuensi yang masih sedikit. Kondisi ini dapat terjadi karena perspektif masyarakat yang selama ini masih bernggapan bahwa setiap sengketa hanya dapat diselesaikan dengan jalur pengadilan (litigasi). selain itu, faktor ketidaktahuan atas penyelesaian sengketa dengan jalur ADR terutama pada kelebihan dan kekurangannya juga menjadi salah satu penyebab kondisi seperti ini.”

Penyelesaian sengketa dengan ADR merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan terutama oleh kalangan dunia usaha karena sesuai dengan “karakteristik/nature” bisnis, yang bercirikan win-win solution, penyelesaian konflik secara tuntas,sederhana, cepat, tidak birokratis, praktis, dan murah. Dalam proses penyelesaian sengketa melaui ADR, para pihak dapat menentukan sendiri secara bebas tentang prosedur, acara berperkara, lokasi peradilan, dan dapat memantau prosesnya secara langsung. Para pihak dapat secara bebas mengambil keputusan atau menentukan apaakh dalam proses penyelesaian ditemukan suatu model/bentuk penyelesaian yang lebih menguntungkan kedua pihak sehingga langsung dapat menetapkan perdamaian. Oleh karena itu, tak jarang sistem penyelesaian sengketa dengan ADR disebut sebagai suatu sistem penyelesaian sengketa yang dapat disesuaikan dengan keingan para pihak (tailor made system). Selain itu, penyelesaian ini juga juga sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia yang memiliki azas musyawarah dan mufakat dalam semua aspek kehidupan termasuk penyelesaian sengketa.

ADR menawarkan beberapa bentuk proses penyelesaian sengketa yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak yang bersengketa dalam rangka menuju kepada penyelesaian yang final and binding dan saling menguntungkan. Sifat yang menonjol dalam ADR adalah suasana yang informal dalam proses pelaksanaan nya yang berbeda dengan formalitas pada sistim penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hanya para pihak yang bersengketa ataupun melalui keputusan ataupun bantuan pihak ke tiga (arbiter, mediator, ataupun konsiliator). Spirit sukarela, keinginan untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan kerjasama (perjanjian) merupakan modal dasar bagi tercapainya win-win solution dalam ADR.

Lebih spesifik, penerapan ADR dalam bisnis dapat diterapkan dalam rangkaian penyelesaian sengketa hubungan industrial. Dalam hubungan industrial, kerap terjadi konflik kepentingan antara perusahaan dengan pekerja. Terkait konflik yang tak dapat diselesaikan dan menimbulkan sengketa , maka diperlukan penyelesaian dengan atau tanpa pihak ketiga. Umumnya, sengketa akan diselesaikan sebisa mungkin dengan cara negosiasi antar pihak perusahaan dan pekerja/serikat pekerja. Jika tidak bisa maka dilanjutkan dengan melakukan mediasi/konsiliasi dengan bantuan pihak ketiga.

Setelah melakukan pengkajian terhadap penelitian terdahulu, tepatnya dengan menelusuri database jurnal Kertha Wicara, penulis menemukan beberapa judul yang

hampir menyerupai topik yang hendak diangkat. “Tinjauan Yuridis Terhadap Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Kekayaan Intelektual” merupakan salah satu topik jurnal yang ditulis oleh Gatri Puspa Dewi bersama dengan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra pada Januari tahun 2020. yang mana topik tersebut melakukan penelitian normatif terkait dengan penerapan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa kekayaan intelektual. Tentu ranah bahasan berfokus pada kekayaan intelektual. Kemudian ada pula topik yang berjudul “Upaya Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Hak Cipta” yang ditulis oleh Dewa Gede Yudi Putra Wibawa bersama dengan I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati pada September 2019. Hampir serupa juga dengan topik sebelumnya yang memfokuskan penelitian pada ranah mediasi, namun dengan cakupan objek penelitian yang lebih mengerucut lagi pada hak cipta.

Topik terakhir dalam penelusuran yang paling mendekati penelitian yang hendak penulis angkat yakni jurnal yang ditulis oleh Dewa Gede Sai Pandu Rangga Vitala, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, dan I Ketut Tjukup pada Agustus 2018. jurnal tersebut memiliki judul “Implementasi Mediasi Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali”. Dengan menggunakan metode yuridis empiris jurnal tersebut membahas pengimplementasian mediasi dalam menyelesaikan selisih hubungan industrial. Namun demikian, penelitian tersebut hanya berfokus pada tahapan mediasi serta mengandalkan data dinas ketenagakerjaan. Yang mana ADR sendiri itu tidak terbatas hanya pada mediasi.

Lebih lanjut, juga terdapat salah satu jurnal rujukan, dan dasar dibuatnya penelitian ini. Jurnal berjudul “Efektivitas dan Efisiensi Alternative Dispute Resolution (Adr) sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia” yang ditulis pada tahun 2014 oleh Winda Rizky Febrina, Salvatia Dwi M., dan Ros Angesti Anas Kapindha. Jurnal tersebut merupakan suatu tinjauan yuridis normatif terkait efektivitas dan efisiensi ADR. Namun, waktu penelitian tersebut kurang up to date yakni telah dibuat sejak 7 tahun yang lalu. Ditambah dengan merebaknya wabah covid-19 yang juga berdampak pada dunia bisnis, sehingga dalam penerapannya ADR bisa saja berubah. Terutama dalam kasus-kasus hubungan industrial yang diakibatkan oleh dampak pandemi. Sejumlah jurnal menyatakan pandemi covid-19 dapat dikategorikan force majeure, dan ada beberapa juga yang menyatakan sebaliknya.

Untuk itu, dibuatlah suatu penelitian bertajuk “Efektivitas Hukum Alternative Dispute Resolution Dalam Sengketa Hubungan Industrial Antara Perusahaan Dengan Pekerja”. Penelitian normatif terkait efektivitas ADR yang dikerucutkan pada sengketa hubungan industrial antara perusahaan dengan pekerja. Selain itu,penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach) yang terjadi tahun 2020, dan telah diputuskan dengan putusan oleh Pengadilan Negeri Denpasar tahun 2021, dengan kata lain penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya, dengan mengikuti kasus terbaru dalam ranah bisnis, tepatnya hubungan industrial.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang melatarbelakangi penulisan ini, terdapat 2 rumusan masalah yang perlu untuk diulas, kedua rumusan tersebut adalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana efektivitas hukum penerapan Alternative Dispute Resolution dalam sengketa hubungan industrial antara perusahaan dengan pekerja ?

  • 2.    Apakah terdapat batasan penerapan Alternative Dispute Resolution dalam sengketa hubungan industrial ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hal-hal sebagai berikut :

  • 1.    Efektivitas hukum penerapan Alterntive Dispute Resolution dalam sengketa hubungan industrial antara perusahaan dengan pekerja.

  • 2.    Batasan-batasan penerapan Alternative Dispute Resolution dalam sengketa hubungan industrial.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah yuridis normatif. Rumusan masalah akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan studi kasus (case approach) serta dijabarkan secara deskriptif. Karena termasuk ranah penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini menggunakan data sekunder berupa bahan hukum. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini ialah; UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, serta putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor :2/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Dps. Sebagai bahan hukum sekunder untuk menunjang penelitian ini terdapat perspektif hukum dari beberapa praktisi hukum yang bermitra dengan kantor hukum RAH. Selain itu, studi kepustakaan (legal research) terhadap sejumlah buku hukum, jurnal, dokumen-dokumen kasus, dan penelitian ilmiah lainnya turut menjadi sarana penunjang dalam penelitian ini.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Efektifitas Hukum Penerapan Alterntive Dispute Resolution Dalam Sengketa Hubungan Industrial Antara Perusahaan Dengan Pekerja

Secara etimologi, kata efektivitas berasal dari kata efektif sebagai terjemahan dari kata effective dalam bahasa inggris yang dalam bahasa Indonesia memiliki makna berhasil dan dalam bahasa belanda dikenal dengan kata effectief yang memiliki makna berhasil guna. Secara umum efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai atau tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasilnya semakin mendekati sasaran berarti semakin tinggi efektivitasnya. 1 Dalam konteksnya dengan hukum, maka efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan keberhasilan guna hukum. Yakni keberhasilan mengimplementasikan hukum itu sendiri dalam tatanan masyarakat. Adapun secara terminologi, para pakar hukum dan pakar sosiologi memberikan pandangan yang beragam, tergantung pada sudut pandang masing-masing pakar. Secara umum Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain Taraf kepatuhan masyarakat dan penegak hukum terhadap suatu hukum. sehingga dikenal suatu asumsi bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan indikator berfungsinya suatu sistem hukum. berfungsinya hukum merupakan petanda hukum tersebut telah mencapai tujuannya,yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.2 Efektivitas juga diartikan sesuatu atau kondisi hukum itu telah sesuai dengan target atau tujuan yang akan diharapkan.3

Berdasarkan sejumlah teori diatas, terkait dengan efektivitas hukum dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 indikator kefektivan penerapan ADR dalam penyelesaian sengketa. Indikator tersebut, antara lain sebagai berikut :

  • 1)    Asas Equality before the law,yakni para pihak dalam penyelesaian sengketa menggunakan ADR tersebut berkedudukan setara, tanpa ada dominansi oleh salah satu pihak.

  • 2)    Tercapainya tujuan penyelesaian sengketa melalui ADR tersebut, dengan kata lain dengan menggunakan ADR maka sengketa tersebut dapat terselesaikan serta mencapai kesepakatan para pihak dengan win- win solution.

Penerapan berasal dari kata “terap”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penerapan adalah perbuatan menerapkan. Menurut beberapa ahli berpendapat bahwa penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekan suatu teori, metode dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya. Penerapan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.

Adapun unsur-unsur penerapan meliputi:

  • 1)    Adanya program yang dilaksanakan.

  • 2)    Adanya kelompok target, yaitu masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut.

  • 3)    Adanya pelaksana baik organisasi atau perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan maupun pengawasan dari proses penerapan.

Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Pengertian lain dari Alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa melalui jalur non pengadilan yang pada umumnya ditempuh melalui cara-cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak.4

Alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak dan para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa yang akan ditempuh yakni melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase atau meminta penilaian ahli. Hal ini menjadi kehendak bebas sepenuhnya para pihak. Para pihak mempunyai kebebasan untuk memilih bentuk penyelesaian sengketa. Hal inilah yang membedakan antara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Alternatif penyelesaian sengketa merupakan padanan dari istilah asing Alternative Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian sengketa melalui alternative dispute resolution masih dianggap relatif murah dan cepat, oleh karena itu saat ini penggunaan cara penyelesaian di luarpengadilan lebih disenangi dibandingkan penyelesaian melalui pengadilan. Menurut Joni Emirzon (2002: 495) ada beberapa kebaikan mekanisme ADR bila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, yaitu :

  • 1)    Sifat kesukarelaan dalam proses.

  • 2)    Prosedur yang cepat.

  • 3)    Keputusan non-yudisial.

  • 4)    Kontrol oleh manejer yang paling tahu tentang kebutuhan organisasi.

  • 5)    Prosedur rahasia.

  • 6)    Fleksibilitas yang besar dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah.

  • 7)  Hemat waktu dan biaya.

  • 8)  Perlindungan dan pemeliharaan hubungan kerja.

  • 9)    Tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan.

  • 10)    Tingkatan yang lebih tinggi untuk melaksanakan kontrol dan lebih mudah untuk memperkirakan hasil.

  • 11)    Kesepakatan-kesepakatan yang lebih baik dari pada sekedarkompromi atau hasil yang diperoleh dari cara penyelesaian kalah atau menang.

  • 12)    Keputusan bertahan sepanjang waktu.5

  • 3.1.1.    Gambaran Kasus Posisi

Pada penelitian ini menggunakan studi kasus terhadap kasus posisi yang telah mendapat putusan dengan nomor putusan 2/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Dps. Kasus Posisi adalah urutan peristiwa yang terkait dengan perkara. Dalam penelitian ini kasus posisi disusun berdasarkan kronologis peristiwa dari keadaan bermulanya kasus hingga tahap konsiliasi. Perlu ditekankan bahwa kasus yang diangkat dalam penelitian ini merupakan kasus nyata dan benar-benar terjadi. Namun, mengingat Kode Etik Advokat Indonesia tepatnya pasal 4 angka 8, para pihak terlibat dalam kasus ini disamarkan identitasnya untuk melindungi kerahasiaan privasi klien dari praktisi hukum yang bernaung di RAH (The House Of Legal Experts). 6

Kasus posisi menggambarkan sengketa seorang pekerja dengan sebuah perusahaan. Cornelius merupakan pekerja pada PT. Caterison Sukses dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan jabatan/posisi sebagai safety and security manager yang mulai bekerja pada Agustus 2019 dengan masa kontrak 2 tahun sebagaimana yang tercantum dalam Perjanjian Kerja antara Cornelius dan PT. Caterison Sukses. Pada awal tahun 2020, pandemi Covid-19 melanda Indonesia, dan berdampak pada sektor parwisata di Bali akibat dari adanya kebijakan lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia. Atas kejadian tersebut banyak perusahaan yang melakukan efisiensi bahkan ada yang sampai gulung tikar karena dampak pandemi yang begitu signifikan dan berkepanjangan.

PT. Caterison Sukses sebagai perusahaan yang juga bergerak di bidang wisata tak luput dari dampak pandemi tersebut. Sehingga pada bulan Juni 2020 mengadakan beberapa karyawan kontrak, termasuk Cornelius. Bahwa sebelum PHK dilakukan , manajemen PT. Caterison Sukses telah mengadakan pertemuan dengan pengurus Serikat Pekerja di Perusahaan tersebut untuk membahas uang kompensasi dan hak-hak yang diperoleh oleh pekerja yang di PHK dan tercapai kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Bersama. Atas Tindakan PHK tersebut, Cornelius tidak menerima dikarenakan Perusahaan hanya memberikan uang kompensasi sebesar 2 bulan gaji.

Adapun alasan perusahaan melakukan hal tersebut adalah karena Perusahan terus merugi sejak pandemi terjadi. Namun, karena ketidakterimaan Cornelius di PHK sepihak oleh perusahaan dan hanya diberikan uang kompensasi sebesar 2 bulan gaji sementara kontrak yang sebenarnya masih 14 bulan atau 1 tahun 2 bulan lagi. Cornelius menuntut dibayarkan uang kompensasi sebesar gaji yang seharusnya diperoleh sesuai sisa kontrak dan menuntut uang THR yang belum dibayarkan oleh perushaan pada Hari Raya Natal tahun 2019. Atas permintaan tersebut, perusahana tidak dapat menyanggupi dan kemudian tidak tercapai kesepakatan , sehingga Cornelius mengadukan hal tersebut ke Dinas Ketenagakerjaan.

  • 3.1.2.    Analisis Kasus Posisi

  • 1)    Hak pekerja PKWT yang di PHK sepihak

Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) merupakan pekerja kontrak dengan limitasi masa kerja (Pasal 56 ayat 2 UU Ketenagakerjaan). Oleh karena pekerjaan tersebut mempunyai limitasi, dalam UU Ketenagakerjaan juga memberikan persyaratan khusus dalam pembuatan hubungan kerja dengan PKWT ini, yakni harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 ayat 1) dan juga perusahaan tidak dapat mensyaratkan masa percobaan kerja (pasal 58 ayat 1). Selain itu, menurut pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan pekerja dengan PKWT ini diadakan terkait dengan jenis dan sifat suatu pekerjaan yang disinyalir :

  • 1.    Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;

  • 2.    Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

  • 3.    Pekerjaan yang siftanya musiman;

  • 4.    Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Sebelum membahas mengenai hak yang seharusnya didapatkan oleh pekerja dengan PKWT , perlu kiranya diketahui mengenai sebab yang menyebakan berakhirnya PKWT. Dalam pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, terdapat 4 hal yang menyebabkan berakhirnya PKWT, yakni :

  • 1.    Pekerja meninggal dunia;

  • 2.    Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

  • 3.    Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

  • 4.    Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Berdasakan kasus posisi, Pemutusan Hubungan Kerja sepihak yang dilakukan oleh Perusahaan memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 62 UU Ketenagakerjaan. Yakni Perusahaan wajib membayar upah pekerja (dalam hal ini Cornelius) sampai batas waktu berakhirnya kontrak, yakni disebutkan dalam kasus posisi sebanyak 1 tahun 2 bulan masa kerja (14 bulan). Dan biaya ganti rugi tersebut menjadi hak Cornelius sebagai Pekerja PKWT. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan (pasal 156), Hak pekerja PKWT dalam hal terjadinya PHK tidak sama dengan pekerja PKWTT.

Pekerja dengan PKWTT mendapat 3 jenis hak, diantaranya :

  • 1.    Uang Pesangon;

  • 2.    Uang Penggantian Hak;

  • 3.    Uang Penghargaan Masa Kerja.

Untuk itulah, dalam regulasi terbaru yakni PP 35 tahun 2021 memperkenalkan skema baru dalam pemberian kopensasi terhadap pekerja dengan PKWT yang diatur dalam pasal 16 PP ini.

  • 2)    Regulasi yang mengakomodir hak-hak pekerja yang di PHK

Secara umum, aturan yang mendasari terkait ketenagakerjaan termasuk PHK adalah Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lebih lanjut terkait dengan permasalahan yang timbul bilamana terdapat pihak yang tidak terima dan terjadi perselisihan, maka dapat diselesaikan dengan didasari Undang-undang No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dan ketentuan tersebut diperbaharui dengan sejumlah rombakan ketentuan pasca diundangkannya Undang-undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta peraturan pelaksaannya yakni Peraturan Pemerintah No.35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Namun kembali lagi, jika berdasarkan kasus posisi menyatakan bahwa sengketa terjadi tahun 2020 sebelum UU Cipta kerja disahkan, maka penyelesaian sengketa harus berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan UU Penyelesaiaan Perselisihan Hubungan Industrial.

  • 3)    Hakikat Perjanjian Bersama antar Perusahaan dengan Serikat Buruh

Jika dianalisis kembali, dalam kasus posisi telah diterapkan penyelesaian sengketa bipartit antara Perusahaan dengan Serikat Buruh yang menyepakati bahwa Perusahaan memberikan kompensasi berupa upah 2 bulan kerja (catatan : meski dalam UU Ketenagakerjaan tidak mengakomodir kompensasi terhadap pekerja PKWT melainkan yang dikenal hanyalah Uang Ganti Rugi , namun pada praktiknya sering digunakan, itulah alasan dalam PP 35/2021 diakomodir sehingga lebih jelas dan memiliki landasan yuridis tetap) terhadap pekerja PKWT yang di PHK. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam Perjanjian Bersama.

Dalam UU Ketenagakerjaan Jo. UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, hal ini sah secara hukum dan memiliki kekuatan mengikat. Yang artinya pekerja telah menyetujui hal tersebut.

  • 4)    Rekomendasi Konsiliasi

Karena penyelesaian bipartit sudah ditempuh dan masih terdapat keberatan oleh Cornelius sebagai pihak pekerja yang dirugikan, maka dalam Kasus Posisi dinyatakan bahwa akan diteruskan ke Dinas Ketenagakerjaan untuk melakukan konsiliasi. Sebagai konsiliator, sebaiknya merekomendasikan diterimanya Perjanjian Bersama sebagai penyelesaian, karena mengingat kerugian tidak hanya diderita oleh Cornelius sebagai pekerja, tapi justru jika secara general dianalisa, Perusahaan lah yang menederita kerugian terbesar karena dampak penurunan omset yang signifikan akibat wabah pandemi Covid-19. Hal ini sejalan dengan hal yang disampaikan informan bahwa kerugian terbesar justru dialami oleh kliennya yakni perusahan yang bergerak di bidang akomodasi pariwisata yang mengalami penurunan visitors semasa pandemi Covid-19 ini.7

  • 3.2.    Batasan-Batasan Penerapan Alternative Dispute Resolution Dalam Sengketa Hubungan Industrial Antara Perusahaan dengan Pekerja

    • 3.2.1.    Beberapa Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam penyelesaian sengketa, selain menggunakan cara litigasi atau melalui jalur pengadilan, ada juga beberapa penyelesaian yang dipilih oleh para pihak bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya diluar ranah pengadilan. Beberapa penyelesaian sengketa tersebut dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution. Sejumlah alternatif penyelesaian sengketa tersebut, dapat dijaabarkan sebagai berikut ;

  • 1)    Mediasi.

Menurut Garry Goodpaster , mediasi merupakan salah satu bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) yang ditangani oleh pihak ke-3 yang bersifat netral, imparsial, tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa. Mediasi dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).8

Mediasi dilakukan dengan beberapa tahapan. Oleh para sarjana hukum, proses mediasi tersebut adalah sebagai berikut :

  • (a)    Sepakat untuk menempuh proses mediasi.

  • (b)    Memahami masalah-masalah.

  • (c)    Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah.

  • (d)    Mencapai kesepakatan.

  • (e)    Melaksanakan kesepakatan.9

Dalam mediasi para pihak yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan. Mediator tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka.10

Lebih lanjut mengenai peranan dan fungsi mediator dapat diajabarkan sebagai berikut;

  • a) Peran dan fungsi mediator

Peran mediator sebagai garis rentang, yakni dari sisi peran yang terlemah adalah apabila mediator melaksanakan perannya, yakni:

  • a.    Penyelenggara pertemuan.

  • b.    Pemimpin diskusi netral.

  • c.    Pemelihara atau penjaga aturan perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradab.

  • d.    Pengendali emosi para pihak.

  • e.    Pendorong pihak/perunding yang kurang mampu atau segan mengemukakan pendapatnya.

Sisi peran yang kuat oleh mediator bila dalam perundingan mengerjakan/melakukan hal-hal diantaranya:

  • a.    Mempersiapkan dan membuat notulen perundingan.

  • b.    Merumuskan titik temu/kesepakatan para pihak.

  • c.    Membantu para pihak agar menyadari, bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan tapi diselesaikan.

  • d.    Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah.

  • e.    Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.11

  • 2) Arbitrase

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Pengadilan mempunyai beberapa keterkaitan dengan arbitrase. Dalam hal ini, dapat dilihat dari UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan beberapa peranan pengadilan di indonesia untuk memperkuat proses arbitrase dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.12

Dalam proses awal arbitrase dengan adanya suatu perjanjian arbitrase dalam bentuk tertulis, maka menghilangkan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Dengan adanya Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini, maka pada intinya Pengadilan Negeri wajib menolak dan menyatakan tidak akan campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Abitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter, maka Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berikut:

  • a.    Sidang arbitrase adalah tertutup untuk umum, sehingga kerahasian sengketa para pihak terjamin.

  • b.    Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan administratif dapat dihindari.

  • c.    Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.

  • d.    Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menagani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap para pihak yang bersengketa.

  • e.    Pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketaserta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.

  • f.    Putusan arbitarse mengikat para pihak (final and binding) dan dapat melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.

  • g.    Suatu perjanjian arbitrase (klausula arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhir atau batalnya perjanjian pokok.

  • h.    Di dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.

Selain kelebihan-kelebihan tersebut, terdapat juga kelemahan dari arbitrase, yaitu13 :

  • a)    Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan tekhnis arbiter untuk memberikan putusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan semua pihak.

  • b)    Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrasi tersebut.

  • c)    Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi hal yang sulit.

  • d)    Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahan-perusahan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis terbentuk. Pemeriksaan atas sengketa tersebut dapat diperpanjang dalam hal:

  • a.    Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus.

  • b.    Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya.

  • c.    Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbiter untuk kepentingan pemeriksaan.

  • 3) Konsiliasi

Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif. Penyelesaian Sengketa tidak memberikan suatu

rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Rumusan tentang konsiliasi dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 Penjelasan Umum, konsiliasi merupakan salah satu lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa. Konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa.Konsiliator dalam proses konsiliasi harus memiliki peran yang cukup berarti. Konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya mengenai duduk persoalannya.

Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak, sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan antara para pihak.

Pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian.Perdamaian sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan pasal 1864 buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal ini berarti segala sesuatu yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi tunduk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan secara khusus pada ketentuan pasal diatas. Hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa harus dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (7) UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeridengan waktu paling lama 30 (tiga Puluh) hari sejak penandatanganan.14

Pada dasarnya, konsiliasi merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan (litigasi) dilaksanakan. Ketentuan perdamaian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah identik dengan konsiliasi yang diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Konsiliasi tidak hanya dapat dilakukan untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi (peradilan), melainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik didalam maupun diluar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa yang telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

  • 3.2.2.    Batasan Penerapan Alternative Dispute Resolution Dalam Sengketa

    Hubungan Industrial

Persoalan antara pekerja dan pemberi kerja memang cenderung sering terjadi dengan berbagai macam alasan. Namun perlu diketahui bahwa untuk menyelesaikan perselisihan khususnya dalam hal ketenagakerjaan itu harus melewati beberapa tahapan. Secara garis besar, pengaturan mengenai penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diatur dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”). Dalam UU PPHI tersebut dijelaskan bahwa: “Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan

pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

Adapun jenis perselisihan yang termasuk adalah:

  • 1)    Perselisihan hak;

  • 2)    Perselisihan kepentingan;

  • 3)    Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan

  • 4)    Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Perlu dicatat bahwa berdasarkan UU PPHI, untuk menyelesaikan perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja terdapat 4 cara yaitu perundingan bipartit, tripartit, arbitrase, dan Pengadilan Hubungun Industrial (“PHI”). Namun, pada perlu diketahui bahwa pada praktiknya mekanisme arbitrase kurang diminati untuk digunakan dalam menyelesaikan perselisihan ini, sehingga kami hanya akan menjelaskan mekanisme penyelesaian yang sering digunakan tersebut. Selanjutnya dalam UU PPHI sudah jelas mengatur bahwa mekanisme penyelesaian perselisihan tersebut harus dilakukan secara bertahap.

Tahap pertama yang harus dilakukan adalah melalui perundingan bipartit. UU PPHI mendefinisikan perundingan bipartit sebagai: “Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.” Proses pelaksanaan perundingan bipartit ini diberikan waktu paling lama 30 hari sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam waktu perundingan tersebut terdapat salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan maka proses perundingan bipartit dianggap batal sesuai dengan Pasal 3 UU PPHI.

Gagalnya proses perundingan bipartit menimbulkan hak bagi salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk melakukan tripartit. Pada intinya tripartit merupakan proses perundingan kedua belah pihak yang melibatkan pihak ketiga. Dalam UU PPHI ini proses tripartit mencakup mediasi dan konsiliasi. Pihak ketiga dalam mediasi dan konsiliasi ini pada umumnya disediakan oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Apabila tahapan tripartit ini juga tidak menghasilkan suatu permadaian maka tahapan selanjutnya adalah membawa perkara kepada PHI. Pada dasarnya tahapan UU PPHI berangkat dari hukum antar individu. Oleh karena itu peselesaian yang ingin diutamakan adalah perselesaian melalui perdamaian oleh kedua belah pihak. Hal itulah yang membuat adanya persyaratan bagi para pihak untuk mencoba menyelesaikan melalui bipartit dan tripartit terlebih dahulu.

Untuk memperjelas tahapan penyelesaian sengketa Hubungan Industrial serta letak ADR dalam penyelesaian sengketa tersebut, berikut penulis cantumkan bagan penyelesaian sengketa hubungan Industrial.

Gambar 1.1 Bagan Penyelesaian Sengketa Hubungan Industial

Dalam kasus posisi sebagaimana tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor :2/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Dps, memiliki jenis perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Yang pada mulanya dilakukan negosiasi internal. Negosiasi ini dapat disebut sebagai bentuk penyelesaian sengketa jalur non-litigasi secara bipartit, karena hanya melibatkan kedua belah pihak yang berselisih. Karena tidak menemui kesepakatan, atau dengan kata lain salah satu pihak merasa keberatan dengan hasil negosiasi, maka diajukanlah penyelesaian sengketa secara tripartit.

Umumnya dalam sengketa hubungan industrial terutama yang berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian sengketa secara tripartit melibatkan Dinas Ketenagakerjaan sebagai pihak ketiga. Dalam kasus posisi, Dinas Ketenagakerjaan bertindak sebagai mediator, yang berarti penyelesaian sengketa jalur non-litigasi

secara tripartit menggunakan cara mediasi, sebagai Alternatif Dispute Resolution. Namun, satu hal kejanggalan yang ditemukan dalam proses penelitian ini dilakukan. Yakni, mediator yang seyogiyanya bertindak pasif, dalam kasus posisi ini justru bertindak secara aktif, bahkan memberikan anjuran. Hal ini terdapat dalam dokumen pendukung dalam penelitian, yakni Anjuran Disperinaker No.560/1549/Disperinaker.

Dari penjabaran di atas, dapat diidentifikasi batasan-batasan penerapan Alternatif Dispute Resolution dalam sengketa hubungan industrial, sebagai berikut :

  • a.    Sengketa hubungan industrial yang bermusabab dari : Perselisihan hak; Perselisihan kepentingan; Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

  • b.    Sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan cara perundingan bipartit, atau dengan bernegosiasi.

  • c.    Sengketa yang menggunakan pihak ketiga bertindak baik secara aktif maupun pasif sebagai alternatif penyelesaian sengketa.

  • d.    Berhasil tidaknya ADR terindikasi dari diterimanya hasil perundingan secara tripartit oleh pihak yang bersengketa. Namun, bila tidak, maka penyelesaian sengketa akan dilanjutkan ke tahapan pengadilan. Yang artinya, penyelesaian sengketa akan berakhir dengan menggunakan jalur litigasi.

  • 4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka terkait dengan penerapan Alternative Dispute Resolution dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial, dapat disimpulkan bahwa efektivitas penyelesaian dengan ADR dalam sengketa hubungan industrial dapat dibagi 2 yakni a) Berdasarkan tujuan diberlakukannya hukum dalam sengketa yakni kesamaan hak antar pihak(asas Equality Before The Law). Dalam kasus posisi yakni sengketa antara Cornelius dengan Perusahaan, maka dikatakan ADR telah menciptakan kondisi dengan kesetaraan hak antar pihak, sehingga dikatakan telah efektif. b) Berdasarkan indikator keberhasilan ADR yakni kesepakan antar pihak, dan win-win solution, dapat dikatakan bahwa dalam kasus posisi tidak efektif, dikarenakan adanya pihak yang keberatan sehingga dibutuhkannya intervensi pengadilan. Terdapat 2 jalur penyelesaian sengketa hubungan industrial yakni : litigasi, dan non-litigasi. Tahap awal yakni: Perundingan bipartit, disusul perundingan tripartit atau dengan bantuan pihak ketiga, dan terakhir dengan pengadilan. Semua tahapan ini disesuaikan dengan kebutuhan terkait perselisihan apa yang dialami. ADR terbatas pada tahapan perundingan tripartit yakni mediasi,konsiliasi, dan arbitrase. Batasan atau indikator keberhasilan ADR dalam penyelesaian adalah kesepakatan dengan win-win solution dan tidak ada pihak yang merasa keberatan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abbas, DR Syahrizal. Mediasi: dalam hukum syariah, hukum adat, dan hukum nasional. Prenada Media, 2017.

Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (APS): arbitration, alternative disputes resolution, ADR: suatu pengantar. Diterbitkan oleh PT Fikahati Aneska bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), 2002

Emirzon, Joni. "Hukum Bisnis Indonesia." Palembang: Kajian Hukum dan Bisnis fakultas Hukum Universitas Brawijaya (2002).

Frans Hendra Winarta, S. Bantuan Hukum di Indonesia Hak untuk Didampingi Penasihat. Elex Media Komputindo, 2011

Fuady, Munir. Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Citra Aditya Bakti, 2000

Soekanto, Soerjono. "Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi”, Bandung: CV. Ramadja karya (1988)

Soekanto, Soerjono. "Sosiologi suatu pengantar." (2014).

Soemitro, Ronny Hanitijo. Studi hukum dan kemiskinan. Tugu Muda, 1989.

Sumardjono, Maria S. Mediasi sengketa tanah: potensi penerapan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) di bidang pertanahan. Penerbit Buku Kompas, 2008.

Jurnal :

Febrina, Winda Rizky, and Ros Angesti Anas Kapindha. "Efektivitas dan Efisiensi Alternative Dispute Resolution (Adr) sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia." Privat Law 2, no. 4 (2014): 26551.

Fuqoha, Fuqoha. "Tinjauan Yuridis Kekuatan Hukum Penyelesian Perselisihan non- Litigasi dalam Perselisihan Hubungan Industrial. " Indonesian State Law Review (ISLRev) 2, no. 2 (2020): 119-137. DOI : https://doi.org/10.15294/islrev.v2i2.37681

Harahap, M. Yahya. Beberapa tinjauan mengenai sistem peradilan dan penyelesaian sengketa. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1997.

Lestari, Rika. "efektivitas Penyelesaian Sengketa Bisnis." (2013)

Margono, Suyud. "Penerapan Mediasi Perdamaian Oleh Kurator Dalam Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)." SOL JUSTISIO 3, no. 1 Juni (2021): 355-364.            Dapat            diakses            melalui            :

http://ojs.mputantular.ac.id/index.php/sj/article/view/538

Muskibah, Muskibah. "Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa." Jurnal Komunikasi Hukum 4, no. 2 (2018): 139-149.

Pakalla, Fidelius. "Efektivitas Dinas Tenaga Kerja Kota Samarinda Sebagai Mediator Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan." Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum) 1, no. 1 (2020):    102-116. Dapat diakses melalui :    http://ejurnal.untag-

smd.ac.id/index.php/DD/article/view/4871

Rajagukguk, Erman. Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia. Universitas Sumatera Utara (USU), 2001.

RM, Gatot P. Soemartono. Arbitrase dan mediasi di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, 2006

Shofie, Yusuf. "Perlindungan Hukum dan Instrumen-Instrumen Hukumnya." PT Citra Aditya Ba+ ti, Bandung (2003)

Siagian Sondang, P. "Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja." (2002)

Soebagjo, Felix Oentoeng. "Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan." Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia Dan Pembentukan Lembaga Independen Mediasi Perbankan”, Magister Hukum Bisnis Dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Bank Indonesia, Yogyakarta 21 (2007).

Udiana, I. Made. "Industrialisasi dan Tanggungjawab Pengusaha Terhadap Tenaga Kerja Terlibat Hukum." (2018).

Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan. Citra Aditya Bakti, 2003

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872)

Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4279)

Undang-undang No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356)

Undang-undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573

Perturan Pemerintah No.35 tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, dan PHK (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 45; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6647)

Dokumen Pendukung

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor :2/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Dps

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10. No. 10 Tahun 2021 hlm. 760-777