PENEGAKAN HUKUM MALPRAKTEK DOKTER

TERHADAP PASIEN COVID-19 : PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Komang Ema Kurnia Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

Anak Agung Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i11.p01

ABSTRAK

Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk menelaah penegakan hukum terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek terhadap pasien covid-19 khususnya perbuatan yang memenuhi unsur pidana. Baik ditinjau dari segi aturan hukum maupun proses penegakan hukum agar terwujudnya keadilan hukum bagi pasien yang mendapat tindak pidana malpraktek. Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normative yang menitikberatkan pada unsur kepustakaan dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik studi kepustakaan yaitu dengan cara membaca, mencatat, meringkas, mengutip, menggali informasi dari literatur, berita, artikel, jurnal, maupun kasus. Analisis bahan hukum menggunakan teknik deskripsi, sistematisasi, interpretasi, serta argumentasi hukum. Pengulasan menunjukkan hasil bahwa belum adanya hukum normative (peraturan perundang-undangan) yang khusus mengatur malpraktek yang dilakukan oleh dokter khususnya terhadap pasien covid-19 dalam situasi pandemi seperti saat ini, sehingga mempersulit dalam pembuktian malapraktek. Hal tersebut telah menunjukkan adanya kekosongan norma (hukum) yang mengakibatkan masih ada ditemukan kasus malpraktek yang menunjukkan masih lemahnya penegakan hukum khususnya perlindungan bagi korban malpraktek oleh dokter terlebih terhadap pasien covid-19 baik dari segi norma hukum maupun aparat penegak hukum itu sendiri. Sehingga perlu dikaji lebih mendalam terutama penegakan hukum dalam sistem hukum pidana di Indonesia yang menjembatani pengendalian kejahatan termasuk kejahatan dalam dunia medis. Agar dapat tercipta suatu kepastian, keadilan,dan kemanfaatan hukum dalam penegakan hukum di Indonesia.

Kata Kunci: Penegakan Hukum, Malpraktek Dokter, Covid-19.

ABSTRACT

The goal of writing this journal to analyze the law enforcement against doctors who commit malpractice actions against Covid-19 patients, especially acts that meet criminal elements. Both in terms of the rule of law and the process of law enforcement in order to realize legal justice for patients who receive criminal acts of malpractice. The writing of this journal uses a normative juridicial legal research method that focuses on the elements of literature with the statutory approach. The technique of collecting legal materials uses library research techniques, namely by reading, notes, resume, quoting, estracting information from literatures, news, articles, journals, and cases. Analysis of legal materials using the techniques of depcription, systematization, interpretation, and legal argumentation. The review shows that there is no normative law that specifically regulates malpractice carried out by doctors against Covid-19 patients in pandemic situation as of now, making it difficult to prove malpractice. This has shown that there is a void of norms or legal vacuum which has resulted in cases of malpractice being found which shows that law enforcement is still weak, especially protection for victims of malpractice by doctors, especially for Covid-19 patients, both in terms of legal norms and law enforcement officials themselves. So it needs to be studied more deeply, especially law enforcement in the criminal law system

in Indonesia which bridges the control of crimes including crimes in the medical world. In order to create certainty, justice and legal benefits in law enforcement in Indonesia.

Keywords: Law Enforcement, Doctor Malpractice, Covid-19.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Zaman terus berkembang dan era yang lebih modern dengan kecanggihan teknologi tidak dapat kita pungkiri kejahatan justru kerap terjadi bahkan dalam dunia medis sekalipun bahkan dalam situasi saat ini pandemi covid-19. Jika dilihat lebih jauh menanggapi hal itu ada dua jenis persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Persepsi pertama, masyarakat yang merasa menjadi objek penyalahgunaan etika profesi dokter karena ditemukan tindakan dokter yang menyimpang dari prosedur etik kedokteran. Alih-alih membantu mengobati pasien, justru pasien bisa menjadi obyek bagi oknum-oknum dokter untuk melakukan tindakan diluar dari yang seharusnya dilakukan oleh seorang dokter. Seseorang yang berawal menjadi pasien dapat berakhir menjadi korban. Suatu ironi apabila hal tersebut terjadi dan terus berlanjut mengingat masyarakat tidak persis mengetahui tindakan medis yang tepat bagi dirinya (pasien) sehingga segala tindakan dikembalikan lagi pada yang lebih professional yaitu dokter. Masyarakat awam cenderung menerima tindakan apa saja yang diberikan oleh dokter kepadanya sebagai pasien dengan harapan dapat memperoleh kesembuhan dari sakitnya dengan penanganan oleh dokter walau sudah dengan persetujuan pasien terlebih dahulu. Banyak masyarakat (pasien) yang belum tahu bagaimana membedakan tindakan dokter yang dapat dikategorikan sebagai malpraktek atau bukan.

Persepsi kedua, jutru terbalik bila diamati masyarakat kerap berpandangan bahwa ketika dalam menjalankan profesinya seorang dokter melakukan tindakan medis yang berakibat adanya kerugian bagi pasien kemudian dapat dikategorikan sebagai malpraktek dokter atau malpraktek medis. Senama dengan hal tersebut pernyataan itu ditunjang oleh karena peraturan dalam bidang kesehatan Indonesia belum dapat merumuskan secara mandiri sehingga batas-batas mengenai malpraktek dokter belum akurat dapat dirumuskan, baik itu dari segi akibat, isi, pengertian, serta belum seragamnya batasan-batasan malpraktek, masih tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Bagi masyarakat awam mungkin tidak begitu memahami tentang malpraktek dokter. Masyarakat belum sepenuhnya mengetahui ketika bagaimana mereka mengalami malpraktek maupun keadaan yang mengandung unsur malpraktek. Sikap terhadap tindak kejahatan yang terjadi dalam dunia medis ini menjadi salah satu tindak kejahatan yang perlu mendapat perhatian terlebih dalam situasi covid-19 saat ini. Walaupun terkadang tindakan kejahatan medis seperti contohnya malpraktek tidak begitu serius dalam penanganannya dan kerap kali malpraktek disepelekan khususnya dalam penegakan hukumnya.

Contoh salah satu kasus malpraktek yang pernah terjadi sebelum pandemi covid-19 di Indonesia yaitu kasus di tahun 2019 dugaan malpraktek kedokteran yang dialami oleh Kastur (65) seorang warga Gawanan, Colomadu yang berprofesi sebagai penjual soto yang diduga menjadi korban malpraktek dokter mata berinisial RH yang bekerja di RS Mata Solo Jalan Adi Sucipto, Laweyan, Solo. Kasus ini berawal dari Kastur yang pada saat itu berobat ke RS Mata Solo gara-gara penglihatannya semakin kabur karena katarak dan berharap mata kanannya bisa sembuh. Saat itu ia mendapat

perawatan dari dokter RH hingga menjalani operasi, namun mata kanannya justru tidak dapat melihat kembali alias buta. Hal tersebut juga dialami pada mata sebelah kirinya hingga menyebabkan kedua matanya tidak bisa melihat sampai saat ini. Kemudian oleh RS Mata Solo, Kastur diberikan rujukan untuk berobat lebih lanjut di RS Karyadi Semarang. Saat menjalani pemeriksaan di RS Karyadi dokter mengatakan kornea dikedua mata Kastur telah rusak berat. Salah satu alternatif penyembuhan dengan mencangkok kornea mata milik Kastur tentunya dengan dana pengobatan yang tidak sedikit. Sehingga Kastur tidak mampu melanjutkan pengobatannya karena terkendala biaya.1 Pada situasi yang berbeda saat terjadi pandemi covid-19 saat ini beberapa kasus dan keluhan masyarakat yang melihatkan adanya indikasi malpraktik yang dilakukan oleh dokter maupun tenaga kesehatan lainnya. Salah satu kasus yang sempat muncul adalah tentang seorang ibu hamil yang bayinya meninggal akibat telat penanganan oleh dokter dengan dalih harus melakukan tes covid-19 terlebih dahulu padahal kondisinya saat itu sudah dalam keadaan darurat. Kasus lainnya tentang seorang dokter yang melakukan pelecehan seksual kepada pasiennya saat melakukan prosedur rapid test atau tes cepat. Selain itu, banyak orang juga meragukan hasil test covid-19 yang dicurigai banyak direkayasa.2

Malpraktek dapat dimaknai adalah “suatu tindakan maupun praktik salah atau menyimpang yang dilakukan diluar dari prosedur maupun ketentuan yang benar (baku) dari seseorang tenaga professional atau tenaga kesehatan baik ( dokter, dokter gigi, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan dan sebagaianya).”Malpraktek dalam dunia kesehatan/dunia medis dapat terjadi apabila tenaga kesehatan / tenaga medis tidak melakukan kewajibannya dan melakukan suatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan, baik mengingat sumpah jabatan maupun profesi. Lebih lanjut kata Malpraktek adalah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris yakni secara etimologi dari kata “mal” dan “practice” secara umum dapat dimaknai suatu praktek yang salah atau ketidakbenaran dalam berpraktik. Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam dunia kesehatan atau dunia medis tentang kata malpraktik ini, seperti malapraktek, malpraktek, malapraktik. Ada juga yang mengartikan bahwa malpractice adalah “suatu pelaksanaan atau tindakan yang salah”, akan tetapi pada umumnya istilah itu hanya dipergunakan ketika suatu perbuatan dinyatakan tidak benar dengan kata lain menyimpang dari yang seharusnya didalam pelaksanaan. Di sisi lain kata profesi mengandung pengertian berbeda yang tidak dapat disamaartikan dengan pekerjaan, kendati masih bisa dimanfaatkan dalam mencari nafkah seperti halnya profesi dokter maupun profesi lainnya. Dengan demikian, malpraktik dokter/doctor malpractice adalah merupakan suatu “tindakan dari dokter yang salah dalam rangka pelaksanaan profesi dibidang kedokteran”.3 Ada juga yang mengartikan malpraktek itu berasal darikata “mala” yang artinya adalah tidak benar atau tidak seharusnya (mencerminkan perbuatan buruk) dan “praktik” adalah kesesuaian prosedur yang

telah ditentukan seorang atau sekelompok profesi dokter dalam menangani kasus seorang pasien.4 Dapat dikatakan prinsipnya malpraktek merupakan suatu tindakan salah/tidak benar dalam menjalankan tanggungjawab profesi dokter hingga mengakibatkan adanya serangkaian pemenuhan kewajiban oleh dokter untuk dilaksanakan. Selanjutnya Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membagi 2 (dua) bentuk malapraktik yakni: pertama, malapraktik etika (ethical malpractice) dan kedua, malapraktik yuridis (yuridical malpractice). Pengertian malpraktik etik merupakan situasi ketika adanya tindakan yang dilakukan oleh dokter besinggungan terhadap etik kedokteran tercantum pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Kode etik kedokteran adalah suatu pedoman etik bagi profesi dokter . Kemudian pengertian Malpraktik yuridis (yuridical malpractice) dapat di tinjau pada etik profesi dari segi hukum.5 Jadi dapat dikatakan bahwa malpraktek tidak hanya tentang timbulnya korban (berujung kematian) tetapi juga didalamnya termasuk keesalahan dalam praktek atau member pelayanan dan pengobatan oleh dokter termasuk hal yang tampak kecil sekalipun namun berdampak besar seperti salah diagnose, salah dalam memberikan resep ataupun obat terhadap pasien. Hal tersebut juga dikategorikan sebagai malpraktek. Tentunya bagi masyarakat awam cenderung melihat malpraktik dari segi akibat, apa berakibat fatal atau tidak. Padahal tidak demikian singkat analoginya, justru dari pengertian “mala” yang berarti kelakukan yang buruk sudah menggambarkan malpraktek juga mencakup ruang lingkup yang luas.

Hukum tidak bisa terlepas dari kehidupan dimasyarakat. Segala tindakan manusia terdapat hukum yang berperan didalamnya. Terlebih lagi dalam penegakan hukum di Indonesia. Hukum sejatinya mengatur tingkah laku manusia dan menjadi pedoman dalam menentukan suatu perbuatan yang dibolehkan atau dilarang untuk dilakukan. Termasuk praktek yang dilakukan oleh dokter tentunya ada tindakan-tindakan yang boleh dan tidak boleh (dilarang) untuk dilakukan. Hal tersebut dapat memberi batasan-batasan terhadap seorang profesi dokter dalam mengambil suatu tindakan, dengan harapan menghindari perbuatan atau tindakan yang menyimpang dari kode etik. Khusuusnya dalam ranah hukum pidana yang dapat berupa kejahatan maupun pelanggaran. Lebih lanjut kebanyakan kalangan cenderung mengaitkan segala tindakan yang berbau kejahatan maupun pelanggaran tersebut dengan penghukuman atau pemidanaan. Walaupun demikian, sistem peradilan pidana (criminal justice system) dinilai telah mencerminkan sikap terhadap tindak pidana yang mana dalam pelaksanaan penanggulangan pelanggaran maupun kejahatannya menerapkan prinsip dasar pendekatan system. Makna pendekaatan system adalah sebagai pendekatan yang melibatkan perpaduan segenap unsure-unsure didalamnya yang memiliki keterkaitan, hubungan yang terkorelasi satu dengan yang lain menjadi satu kesatuan yang erat. Dapat dikatakan keterkaitan satu dengan yang lain antar polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan. Dalam hal ini Indonesia telah mewadahi hukum pidana dalam naungan sistem peradilan pidana.

Kemudian di dalam dunia medis hadirnya penegakan hukum diperlukan dalam rangka memenuhi pertanggung jawaban hukum terhadap suatu perbuatan yang mengandung unsur kelalaian (culpa) yang mengarah pada pelanggaran dilakukan oleh tenaga medis baik (dokter, dokter spesialis). Oleh karena kedudukannya sebagai suatu profesi, maka seorang dokter tentunya mempunyai

tanggung jawab profesi atas pelayanan medisnya. Dalam profesi kedokteran untuk pertanggungjawaban profesi dapat dibedakan kedalam dua bentuk yaitu tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum. Untuk pertangggungjawaban hukum dapat dibedakan kedalam tiga bentuk yaitu pertanggungjawaban hukum administrasi, pertanggungjawaban hukum perdata, dan pertanggungjawaban hukum pidana. Adanya pertanggungjawaban ini diperuntukan terhadap kemungkinan seorang dokter melakukan pelanggaran-pelanggaran yang atas pelanggaran tersebut kemudian dapat dilakukan suatu tindakan penegakan hukum. Terhadap case yang dicontohkan diatas yang menjadi konsentrasi pertanggungjawaban dalam hal ini adalah tanggungjawab pidana dokter yang diduga melakukan malpraktek. Yang mana pertanggungjawaban pidana adalah kebebaan seseorang untuk dan tidak melakukan sesuatu, dengan penegakan hukumnya dilakukan oleh aparat hokum yang berwenang.6

Terkait penegakan hukum dalam menanggapi tindakan kejahatan malpraktek dokter dalam dunia medis tentu tidak terlepas dari aturan (hukum) yang berperan didalamnya. Meskipun dapat diketahui bersama peraturan perundang-undangan terkait malapraktek dewasa ini belum terumuskan, sehingga perumusan tindak kejahatan malpraktek dalam penegakan hukumnya hanya dengan menggunakan undang-undang yang ada saat ini yang terkait dengan malpraktek. Oleh karena dasar hukum malpraktek yang masih menggunakan rujukan seperti dari UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, dan dari KUHP, sehingga dirasa kurang akurat dalam merumuskan tindak kejahatan malpraktek yang semakin kompleks. Prinsip penegakann hukum tidak dapat diartikan sebagai penerapan perundang-undnagan meskipun realita di Indonesia cenderung seperti itu. Doktrin hukum menyebut adanya prinsip dalam penegakan hukum ialah metode dalam mewujudkan keingingan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Lebih lanjut keinginan-keinginan hukum merupakan hasil intelektual berupa ide oleh pembentuk per-uu, pun rancangan-rancangan yang pasti, adil, dan bermanfaat dalam rumusannya pada peraturan hukum tersebut. Hal ini mengandung makna penegakan hukum dalam penanganan kasus malpraktek medis (medical malpractice) dimaksudkan sebagai upaya pendayagunaan attau mengfungsikan instrument atau perangkat hukum baik hukum administrative, hukum perdata, maupun dalam hal ini hukum pidana dalam rangka melindungi masyarakat yang notabene sebagai pasien yang kerap mendapat tindakan malpraktek baik itu adanya unsur kesengajaan maupun kelalaian (culpa) oleh dokter dalam memberikan pelayanan medik. Pada jurnal yang mengangkat tema serupa berjudul “Pertanggungjawaban Dokter Dalam Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari Perspektif UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dan UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan” oleh Raodatul Jannah dan I Gusti Ngurah Wairocana yang mana pembahasan dalam tulisannya lebih menitikberatkan pada aspek pertanggungjawaaban dokter yang melakukan tindak pidana malpraktek yang ditinjau dari perspektif UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dan UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan yang membuat berbeda dengan jurnal ini pada pembahasannya mengarah pada bagaimana penegakan hukum pidana bagi dokter yang melakukan malpraktek terhadap pasien covid-19 dalam situasi pandemi dilihat

dari kacamata hukum pidana akibat kelalaian dokter dan ditinjau dari sistem peradilan pidana Indonesia.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan topik yang diangkat tersebut rumusan masalahnya adalah:

  • 1.    Bagaimana pengaturan terkait malpraktek dokter terhadap pasien covid-19 dalam pelayanan kesehatan ?

  • 2.    Bagaimana penegakan hukum bagi Dokter yang melakukan malpraktek kesehatan ditinjau dari sistem peradilan pidana Indonesia ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan daripada jurnal ini adalah untuk menelaah, mengkaji, dan menganalisis lebih lanjut tentang pengaturan terhadap dokter yang melakukan malpraktek dalam pelayanan kesehatan terutama terhadap pasien covid-19 serta upaya penegakan hukum terhadap dokter yang melakukan malpraktek kesehatan akibat kelalaian oleh dokter dilihat dari kacamata hukum pidana dan ditinjau dari sistem peradilan pidana Indonesia. Dalam rangka terciptanya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum sebagai tujuan dari penegakan hukum.

  • 2.    Metode Penelitian

Pengertian dari metode penelitian yaitu cara atau upaya untuk berpikir dan berbuat, yang direncanakan sedemikian rupa secara baik dan sistematis dalam melakukan suatu penelitian untuk mencapai tujuan tertentu.7 Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif yang menitikberatkan pada unsur kepustakaan. Metode penelitian normatif dalam artikel ini memiliki tujuan untuk meneliti norma hukum atau kaidah8. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatann perundang-undangan yang mengulas perundang-undangan terkait dengan topik yang diangkat. Bahan hukum ada dua bahan hukum primer dan sekunder.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Malpraktek Medis (Medical Malpractice )/ Malpraktek Dokter Dalam Pelayanan Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu pendukung dalam kehidupan seluruh umat manusia didalam melangsungkan hidup dalam kehidupannya. Dengan istilah yang tidak asing ditelinga kesehatan tidak kalah diartikan sebagai harta yang paling berharga. Tentunya setiap insan menginginkan tubuhnya sehat tanpa mengalami suatu sakit atau kekurangan apapun. Tubuh manusia tidak dapat disamakan dengan robot yang ketika ada kerusakan atau cedera pada bagian atau anggota tubuhnya dapat diganti atau diperbaiki dengan mudah karena adanya cadangan yang memadai. Hal itu tidak serta merta berlaku bagi makhluk hidup seperti halnya manusia. Ketika tubuh manusia mengalami suatu sakit karena suatu gangguan baik dari internal

maupun eksternal sudah tentu orang tersebut tidak dapat menanganinya sendiri dengan tepat. Seperti makna manusia adalah makhluk social, maka disitulah manusia memerlukan bantuan makhluk lain dalam menjalankan kehidupannya. Hal ini juga berlaku bagi seorang pasien yang membutuhkan kehadiran dokter untuk mengobati sakitnya. Oleh karena ketidakterbatasan pengetahuan, maka semua bidang memiliki pemeran dan porsinya masing-masing. Seperti halnya profesi kedokteran yang mana seorang dokter memang sudah seyogyanya menangani pasien. Tentunya dokter adalah seseorang yang sudah mengetahui seluk beluk tentang kesehatan dalam dunia medik yang dalam perjalanannya dunia medis tidak bisa terlepas dari persoalaan yang namanya sakit/penyakit.

Seorang dokter pada umumnya dianggap telah ahli dalam bidangnya. Namun perlu diperhatikan bahwa seorang dokter tetaplah orang sebagai mahkluk Tuhan yang tentunya tidak terlepas dari salah. Peran dan keberadaan seorang dokter sangat dibutuhkan dalam pelayanan medis terhadap pasien. Namun terkadang pelayanan dokter terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan tidak berjalan semulus yang dipikirkan. Tatkala ada kendala-kendala yang dihadapi oleh seorang dokter dalam menangani pasiennya. Salah satu bentuknya dikenal dengan sebutan malpraktek. Sebelum lebih jauh ada baiknnya kita mengenal apa itu malpraktek?. Berdasarkan Black’s Law Dictionary, malpraktek merupakan segala tindakan keliru atau tidak benar dan kelemahan dalam keterampilan pada batas yang wajar. Pernyataan tersebut umumnya menggambarkan perbuatan dokter yang mengarah adanya tindakan medis yang tidak berhasil (gagal) dalam pelayanan kesehatan dan menimbulkan luka, serta kerugian yang dialami pasien karena telah percaya kepada dokter untuk menangani sakitnya.9 Selain itu ada pendapat dari Kartono Mohammad yang menyatakan “malpraktek adalah suatu istilah hukum yang sering disamakan dengan kelalaian tindakan dokter (Medical Nglegence).” Lebih lanjut rujukan oleh Soerjono Soekanto menyatakan “malpraktek” berarti kekeliruan professional yang mencakup ketidak mampuan melakukan kewajiban professional atau lalai melakukan kewajiban professional.”10

Pada dasarnya belum adanya kekhususan dalam pengaturan malpraktek. Maknanya bahwa malpraktek pada khususnya belum ada hukum normatif (lex specialis) baik berupa produk Undang-Undang maupun regulasi. Hanya beberapa perundang-undnagan yang mencantumkan perbuatan yang mengarah pada malpraktek walau tidak secara eksplisit dijelaskan. Hal ini sudah jelas menjadi pr tersendiri bagi pemerintah khususnya para pembentuk Undang-Undang didalam merumuskan lex specialis dalam bidang kesehatan. Walau terlihat persoalan ini tidak urgent untuk dijadikan sebagai prioritas, namun tidak dapat menutup mata bahwa sebenarnya malpraktek masih banyak terjadi, baik itu yang kasusnya terlihat ke permukaan layar maupun yang belum terungkap. Saat ini yang bisa dipakai dalam merumuskan tindak kejahatan malpraktek hanya terbatas pada perundang-undangan atau regulasi yang ada mengatur malpraktek didalamnya. Namun semata-mata bukan murni pengaturan malpraktek itu sendiri. Oleh karena belum adanya pengaturan khusus (lex specialis) tentang malpraktek yang membuat kesulitan dalam membuktikan malparktek sehingga korban dapat mengalami kerugian. Begitu pula terhadap tenaga

kesehatan atau dokter juga dapat dirugikan karena tidak ada ketentuan yang jelas bagaimana criteria dan parameter dalam menyatakan tindakan medis oleh dokter termasuk kedalam malpraktek.

Bertolak dari persoalan tersebut, diharapkan adanya pengaturan khusus yang mengatur tentang malpraktek. Seperti yang diketahui bersama saat ini tindak kejahatan tidak memandang bulu, dimana dilakukan dan siapa yang melakukan. Dalam ranah hukum pidana dikatakan bahwa tolak ukur/parameter suatu perbuatan dapat dikategorikan tindak pidana bila memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam perundang-undangan pidana. Didalam hukum pidana kesalahan mengandung 2 (dua) unsur, kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Ini berarti bahwa kesalahan dapat terjadi jika suatu perbuatan mengandung unsur kesengajaan (dolus) ataupun mengandung unsur kelalaian (culpa).

Beberapa pengaturan yang didalamnya terdapat ketentuan yang mengatur mengenai malpraktek dapat dilihat pada bentuk perundang-undangan sebagai berikut:

  • 1.    Dari perspektif hukum kesehatan terkait malpraktek, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah mengakomodasi dalam pasal 66 ayat (1) yang mengatur bahwa :

“setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)”. Menanggapi regulasi tersebut Mahkamah Agung juga sudah membuat peraturan MA Nomor 1 Tahun 2016 yang mewajibkan dilakukannya mediasi untuk sengketa yang diajukan ke pengadilan, namun khusus untuk sengketa perdata. Selain itu, dalam Undangg-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) ini juga memuat ketentuan pidana atau dapat dikatakan mengatur terkait perbuatan mana yang bisa dijatuhi pidana seperti : a). Praktek Dokter yang tidak memiliki syarat tanda registrasi (STR) Pasal 75 ayat (1); b). Praktek dokter yang tidak memiliki surat ijin praktek (Pasal 76); dan c). praktek dokter yang tidak melaksanakan kewajiban yang semestinya dari ketentuann pasal 51 dapat dikenakan (Pasal 79) dan beberapa ketentuan pasal lainnya yang berkaitan dengan ketentuan pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 75 – 80 UU ini.

  • 2.    Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, juga mengatur ketentuan yang termasuk kedalam tindak pidana dalam bidang kesehatan yaitu: tindak pidana dengan sengaja membiarkan pasien yang dalam kondisi gawat atau kritis (pasal 190); tindak pidana berpraktik pada pelayanan kesehatan tanpa izin (pasal 191); tindak pidana berpraktik farmasi tanpa keahlian (pasal 198). Pengaturan lainnya dapat dilihat dari ketentuan Pasal 190 – 201 UU ini.

  • 3.    Pengaturan lain terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, yang mengatur terkait ketentuan pidana terdapat dalam pasal 83 – pasal 86 UU ini. Jika dikaitkan dengan topik yang dibahas oleh penulis terkait malpraktek yang dilakukan oleh dokter karena kelalain dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 dapat dikenakan Pasal 84 dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan apabila perbuatan tersebut hingga mengakibatkan kematian diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Ketentuan Pasal 84 berbunyi :

“Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun (ayat (1)). Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun (ayat (2)).

  • 4.    Jika dikaitkan dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) juga mengatur terkait malpraktek walau tidak secara eksplisit dijelaskan tentang malpraktek seperti contohnya barang siapa yang melakukan perbuatan kelalaian (culpa) yang menimbulkan adanya korban luka hingga kehilangan nyawa pada pasien dalam hal ini dapat di kenakan (pasal 359, 360, 361) dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara atau maksimal 1 tahun kurungan; melakukan penipuan terhadap pasien dapat dikenakan (pasal 378); sengaja merusak kesehatan pasien dengan memberikan pengobatan palsu dikenakan (pasal 351); sengaja menghilangkan nyawa orang lain atau yang disebut euthanasia (pasal 344) dan beberapa ketentuan lainnya yang mengandung unsur pelanggaran maupun kejahatan dalam bidang kesehatan. Jika malpraktek yang dimaksud oleh penulis berkaitan dengan adanya kealpaan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter maka ketentuan yang dapat digunakan sebagai dasar pemidanaan dalam KUHP yakni ketentuan dalam pasal 359, pasal 360, pasal 361 yang menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 359 :

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Pasal 360 :

(1): “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

(2): “Barang siapa karena kesalahannya (kelapaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tetentu, diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.” Pasal 361 :

“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.”

Perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya hukum pidana tidak mengatur tentang malpraktek, terkecuali mengatur pertanggungjawaban pidana. Tanggungjawab hukum secara pidana sangat ditentukan oleh adanya suatu kesalahan dalam arti dolus maupun culpa.11 Oleh sebab itu, perbuatan yang diduga termasuk kedalam

malpraktek akan dikaitkan dengan perbuatan yang mengandung unsur kelalaian (culpa) atau bahkan kesengajaan (dolus).

  • 3.2    Penegakan Hukum Pidana Terhadap Dokter Yang Melakukan Malpraktek Kesehatan Ditinjau Dari System Peradilan Pidana Indonesia

Berbicara mengenai penegakan hukum tentu tidak terlepas dari aturan (hukum) dan aparat penegak hukumnya. Penegakan hukum akan tercipta dengan baik apabila kedua komponen tersebut berjalan secara seimbang dan saling mendukung. Dalam konteks system peradilan pidana, adalah suatu system yang terdiri dari lembaga-lembaga diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang berkeahlian dalam pengendalian kejahatan12. Lebih lanjut Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa system peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu system dalam kehidupan masyarakat yang berfungsi dalam penanggulangan kejahatan.13 Dalam hal ini kata menanggulangi dapat dimaknai suatu tindakan dalam pengendalian kejahatan berdasarkan batas wajar toleranasi masyarakat. Namun dalamm batas wajar ini tidak bermaksud membiarkan kejahatan ataupun tindak pidana sampai terjadi melainkan toleransi yang dimaksud adalah suatu bentuk kesadaran bahwasanya selama ada manusia dalam masyarakat selama itu pula ada kejahatan. Lebih lanjut mengenai komponen sistem peradilan pidana yang dalam pengetahuan maupun praktik penegakan hukumnya terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lemabaga pemasyarakatan setelah UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP diundangkan.14

Secara teoritis terkait penegakan hukum dalam penyelesaian perkara tindak pidana malpraktek dapat diselesaikan melalui dua cara. Pertama, melalui jalur litigasi dipengadillann yang bersifat win-lose solution dan kedua melalui jalur non litigasi atau diluar pengadilan yang bersifat win-win solution. Dalam hal terjadi suatu tindakan media yang merugikan pasien dapat melakukan pengaduan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagai lembaga yang berwenang dalam menentukan ada tidaknya kesalahan tindakan medis oleh dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan, yang pengaturannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 66 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 84 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan maupun KUHP bagi perbuatan yang termasuk perbuatan pidana. Namun dalam pengaturan hukum berbeda ditentukan lain dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 29 dinyatakan bahwa “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Oleh karena adanya pengaturan ini bahwa harus ditempuh jalur mediasi dahulu sebelum masuk jalur litigasi (dipengadilan) yang mana mediasi merupakan suatu bentuk alternative penyelesaian sengketa non litigasi (diluar pengadilan). Dalam hukum pidana dikenal dengan sebutan mediasi penal. Untuk penyelesaian perkara diluar pengadilan bukanlah hal baru, karena pada kenyataannya bangsa Indonesia sudah mengenal cara

penyelesaina sengketa melalui musyawarah jauh sebelum diperkenalkannya bentuk alternative penyelesaian sengketa.15

Apabila dalam penyelesaian perkara alternative penyelesaian sengketa tidak menemui hasil alias tidak win win solution, maka dapat ditempuh jalur selanjutnya yakni melalui jalur litigasi (pengadilan). Penegakan hukum pidana malpraktekk kedoteran dengan jalur litigasi dimaknai sebagai suatu implementasi diterapkannya instrument-instrument serta adanya penerapan sanksi sebagai betuk dari upaya penanggulangan kejahatan termasuk dibidang kesehatan. Oleh karena hukum pidana tidak mengatur malpraktek, maka penegakan hukum disini mengandung makna pertanggungjawaban hukum dari kesalahan berpraktik oleh dokter.

Penegakan hukum terkait malpraktek oleh dokter dalam system peradilan pidana terdapat 4 tahapan: tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan, tahap eksekusi.16

  • 1.    Tahap Penyidikan : pada tahap ini yang berperan adalah kepolisian. Setelah laporan diterima oleh pihak kepolisian dan dipelajari apakah laporan tersebut merupakan tindak pidana atau tidak. Apabila peristiwa yang dilaporkan dicurigai merupakan tindak pidana, maka kepolisian akan melakukan tahap penyidikan ini. Penyidikan adalah serangkaian upaya dalam mencari serta mengumpulkan bukti, agar tindak pidana menjadi lebih jelas. Hal ini sesuai dengan isi pasal 1 angka 1 KUHAP. Aspek hukumnya diatur dalam KUHP Bab XIV pasal 102 (penyelidikan), pasal 106 (penyidikan).

  • 2.    Tahap Penuntutan : pada tahap ini yang berperan adalah Jaksa Penuntut Umum atau yang disingkat JPU. Setelah mendapatkan bukti yang memperjelas tindak pidana, maka selanjutnya masuk kedalam tahap penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan. Kejaksaan atau penuntut umum akan melimpahkan perkara kepada Pengadilan Tinggi yang berwenang. JPU atau Jaksa Penuntut Umum pada tahap ini akan meminta hakim untuk memeriksa dan memutus perkara. Namun sebelumnya menentukan atau menunjuk Majelis Hakim terlebih dahulu yang biasanya ditunjuk oleh Ketua Pengadilan. Aspek hukumnya diatur dalam KUHP Bab XV pasal 139 terkait Penuntutan.

  • 3.    Tahap Pemeriksaan : pada tahap ini peran Hakim yang mendominasi. Setelah perkara dilimpahkan pada Pengadilan Negeri, maka proses peradilan berikutnya yaitu hakim akan melakukan pemeriksaan mengenai tindak pidana yang dilaporkan. Hakim disini juga berwenang dalam memberikan putusan peradilan. Pemutusan peradilan tersebut akan dilakukan dengan asas jujur, bebas, dan tidak memihak. Aspek hukumnya diatur dalam KUHP Bab XVI pasal 145 terkait Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.

  • 4.    Tahap Eksekusi : tahap eksekusi merupakan tahap terakhir dalam proses peradilan pidana. Apabila putusan peradilan dari hakim sudah disetujui

oleh semua pihak, maka putusan tersebut akan memiliki kekuatan hokum tetap. Oleh karena itu tahap ini merupakan eksekusi dari vonis yang diberikan oleh pengadilan terhadap terdakwa. Aspek hukumnya diatur dalam KUHP Bab XIX pasal 270 terkait Pelaksanaan Putusan Pengadilan.

Dari instrument-instrument penegak hukum tersebut system yang dapat digunakan dalam menjalankan tanggung jawab penegakan hukum yakni penegakan hukum dengan system sinergitas. Hal itu karena terdapat beberapa instrument dalam penegak hukum yang bertugas mewujudkan penegakan hukum pada tindakan malapraktek. System sinergitas mengandung makna bahwa komponen-komponen penegak hukum semestinya bersinergi dan saling mensupport satu sama lain dalam upaya penegakan hukum pada tindakan malapraktek.

Selanjutnya pendapat dari Barda Nawawi Arief mengenai penegakan hukum pidana dibedakan menjadi 2 (dua) step (tahapan). Penegakann hokum In Abstracto dan peneggakan hukum In Concreto. Penegakan Hukum In Abstracto adalah tahap legilasi artinya tahap dalam bentuk merumuskan pun membuat aturan atau formulasi dalam tataran hukum normative berupa produk perundang-undangan oleh legislative. Sedang penegakan hukum In Concreto adalah tahap judicial dan tahap eksekusi artinya setelah ada aturan atau produk hukumnya selanjutnya tahap menerapkan atau mengaplikasikan produk hukum peraturan perundang-undangan tersebut oleh aparat penegak hukum.17 Untuk kebijakan hukum pidana sendiri menjadi bagian dari politic hukum nasional yang mempunyai bagian-bagian berbeda didalamnya. Walau begitu kebijakan atau politik hukum pidana menjadi upaya penentuan arah pemberlakuaan hukuum pidana Indonesia dimasa depan dengann melihat penegakannya saat ini.18

Tujuan dari penegakkan hokum pidana adalah untuk terwujudnya perdamaian hidup dalam kehidupan. Soerjono Soekanto berpendapat tentang penegakan hukum bahwa suatu bentuk penyerasian hubungan nilai-nilai yang dijabarkan dalam kaidah yang mantab serta suatu tindakan dalam perjalanan pernjabaran nilai tahapp akhir untuk menciptakan, memelihara, serta mempertahankan perdamaian pergaulan hidup.19 Beliau menegaskan bahwa penegakan hukum diperngaruhi oleh beberapa factor yaitu:20

  • 1.    Hukumnya;

  • 2.    Penegak hukumnya yaitu pihak-pihak pembentuk pun pelaksana hukum tersebut;

  • 3.    Sarana prasarana yang mensupport penegakan hukum;

  • 4.    Masyarakat sebagai lingkungan tempat berlaku dan dilaksanakannya hukum;

  • 5.    Kebudayaan suatu bentuk hasil cipta karsa yang berdasarkan pada karsa manusia dalam lingkungan pergaulan hidup.

Sehingga dari sana dapat ditarik benang merah bahwa terciptanya keadilan ataupun kepastian hukum dalam proses penegakan hukum di Indonesia akan terjamin terlaksana dengan baik apabila dapat memenuhi sekurang-kurangnya 3 unsur yakni

1). Terdapat hukum normative (perundang-undangan); 2). Terdapat aparat dan lembaga yang melaksanakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim dalam pengadilan; 3). Terdapat kesadaran hukum dari masyarakat yang terdampak penerapan peraturan.

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penulis menyimpulkan bahwa pada dasarnya belum adanya kekhususan pengaturan terkait malpraktek yang dilakukan dokter terhadap pasien covid-19. Maknanya bahwa belum ada hukum normatif (lex specialis) baik berupa produk Undang-Undang maupun regulasi secara khusus yang mengatur malpraktek dokter terlebih malpraktek yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien covid-19 dalam situasi pandemi saat ini. Sehingga masih berpatokan pada aturan-aturan yang ada. Pengaturan malpraktek oleh dokter terhadap pasien covid-19 pada masa pandemi covid-19 dalam pelayanan kesehatan belum diatur secara jelas dan baru mengatur terkait malpraktik/kesalahan dalam berpraktik pada pelayanan kesehatan secara umum (dalam kontek bukan terhadap pasien covid-19) yang tertuang dalam produk hukum perundang-undangan seperti yang ada dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang terkait dengan perbuatan karena kelalaian (culpa) dan kesengajaan (dolus). Sehingga menyebabkan kerancuan dalam pembuktian tindakan malpraktek oleh dokter terlebih bagi pasien covid-19. Penegakan hukum pidana malpraktek kedoteran khususnya terhadap pasien covid-19 dalam pelayanan kesehatan pada situasi pandemi saat ini dimaknai sebagai suatu implementasi diterapkannya instrument-instrument serta adanya penerapan sanksi sebagai betuk dari upaya penanggulangan kejahatan termasuk dibidang kesehatan. Oleh karena hukum pidana tidak mengatur malpraktek, maka penegakan hukum disini mengandung makna pertanggungjawaban hukum dari kesalahan berpraktik oleh dokter. Penegakan hukum terkait malpraktek oleh dokter dalam system peradilan pidana terdapat 4 tahapan: tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan, tahap eksekusi. Dalam masing-masing tahapan memiliki proporsi dan kewenangannya. Dimana dalam pelaksanaannya berlandasakan sistem sinergitas yang mengandung makna bahwa komponen-komponen penegak hukum semestinya bersinergi dan saling mensupport satu sama lain dalam upaya penegakan hukum pada tindakan malapraktek khususnya dalam situasi saat ini malpraktek yang terjadi pada pasien covid-19. Secara teoritis terkait penegakan hukum dalam penyelesaian perkara tindak pidana malpraktek dapat diselesaikan melalui dua cara. Pertama, melalui jalur litigasi dipengadillan yang bersifat win-lose solution dan kedua, melalui jalur non-litigasi (diluar pengadilann) yang bersifat win-win solution.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arief, Barda Nawawi. "Beberapa Aspek Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana." (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005), 13.

Atmasasmita, Romli. "Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme." (Jakarta, Penerbit Bina Cipta, 1996), 15.

Dahlan, Sofwan.   "Hukum   Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi

Dokter." (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), 59.

Isfandyarie, Anny. " Malpraktek Dan Resiko Medic Dalam Kajian Hukum Pidana." (Jakarta, Justice Prestasi Pustaka, 2005), 31.

Notoatmodjo, Soekidjo. " Metodologi Penelitian Kesehatan" (Jakarta, Rineka Cipta, 2010), 167.

Soekanto, Soerjono. "Faktor - Faktor  Yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum." (Jakarta, Rajawali Press, 2005), 3.

Supriadi. "Hukum Lingkungan Di Indonesia Sebuah Pengantar." (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), 213.

Jurnal/artikel:

Arief, Barda Nawawi. "Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana." Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol.1, No.1 (1998).

Fitriono, Riska Andi. "Penegakan Hukum Malpraktek Melalui Pendekatan Mediasi Penal." Yustitia Vol.5, No. 1 Januari – April (2016): 89.

Hidayat, Aditya Ryan. Sugiartha, I Nyoman Gede. Widyantara, I Made Minggu. “Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Dokter Yang Melakukan Malpraktik Dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan Di Tengah Pandemi Covid-19”, Jurnal Konstruksi Hukum Fakultas Ilmu Hukum Universitas Warmadewa, Vol. 2, No. 2, Mei 2021, DOI:https://doi.org/10.22225/jkh.2.2.3228.309-314. 311.

Ishaq,H. " Metode Penelitian Hukum." (Jakarta: Alfabeta, 2017)

Jannah, Raodatul. Wairocana, I Gusti Ngurah. “Pertanggungjawaban Dokter Dalam Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari Perspektif UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan” Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, (2018), URL: https://scholar.google.com/scholar?cluster=87040226523836115&hl=id&as_sdt=2005& sciodt=0,5#d=gs_qabs&u=%23p%3D024f9586NQEJ.

Nurdin, M. "Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Atas Korban Malpraktek Kedokteran." Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. 10 No. 1 Januari – Juni (2015): 99.

Prawahyanti, Maria Goretti Etik. “Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Peremmpuan Di Indonesia.” Jurnal Law Reform, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Vol. 3 No. 1, (2007), DOI:http://doi.org/10.14710/lr.v3i1.12341, hal. 35

Putra, Ngurah Nandha Rama. Laksana, I Gusti Ngurah Dharma. “Aspek Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melaukan Tindakan Malpraktek Medis” Jurnal Kertha       Wicara       Universitas       Udayana,       (2019),       URL:

https://scholar.google.com/scholar?q=related:024f9586NQEJ:scholar.google.com/&hl =id&as_sdt=0,5 - d=gs_qabs&u=%23p%3DOrOCsmNCvVoJ.

Reksodiputro, Mardjono. "Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi)." Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (1993): 1.

Trisnawijayanti, A.A. Istri Agung Nindasari. "Mediasi Penal Sebagai Penyelesaian Perkara Alternatif Dalam Malpraktek Di Bidang Kedokteran." Jurnal Kertha Wicara, Vol. 08, No. 09, (2019): 5.

Internet:

Hartanto, Sri. "Penjual Soto Laporkan Dokter Mata, Dugaan Malpraktik Kedokteran." Solo,          19          November          2019.          Link:

http://suaramerdekasolo.com/2019/11/19/penjual-soto-laporkan-dokter-mata-dugaan-malpraktik-kedokteran

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.11 Tahun 2021, hlm. 865-879