PENGAWASAN TERHADAP PENERBITAN E-MONEY DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DI

INDONESIA

I Gusti Agung Gede Wira Kusuma, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

Ida Ayu Sukihana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui peran OJK dalam pengawasan penyelenggara sistem pembayaran melalui e-money di Indonesia dan tanggung jawab penerbit terhadap adanya kerugian yang dialami pengguna e-money dalam perspektif hukum perdata di Indonesia.Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konsep hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat peralihan fungsi pengawasan dari Bank Indonesia ke OJK sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang OJK. Lingkup pengawasan dari OJK hanya berlaku dalam kegiatan jasa yang terbatas, dalam kata lain apabila terdapat Perbankan, Pasar Modal, dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang memiliki izin sebagai Penerbit Uang Elektronik, maka kegiatan usahanya diawasi oleh OJK dalam kapasitasnya sebagai Penerbit Uang Elektronik. Pengawasan yang dianut oleh OJK terbagi atas 2 (dua) prinsip yakni micro prudential supervision yang diartikan sebagai suatu pengawasan dalam rangka mendorong bank dan industry keuangan non bank yang berorientasi untuk menunjang kestabilan moneter, selain itu adapun pengawasan secara prudential supervision yang memiliki lingkup pengawasan secara individual dengan upaya pemeliharaan masyarakat dengan optimal. Terhadap kerugian yang dialami oleh pemegang uang elektronik PBI Nomor 20/6/PBI/2018 telah mengaturnya yaitu pada Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa penerbit diwajibkan untuk menerapkan prinsip perlindungan konsumen, kemudian Pasal 42 ayat (2) huruf c PBI No.20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik menyaatakan bahwa penerbit diwajibkan untuk mempunyai mekanisme penggantian kerugian finansil kepada penguna sepanjang kerugian itu tidak disebabkan oleh kesalahan pengguna.

Kata Kunci: Peran, Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan, Penerbitan, E-money

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the role of OJK in supervising the implementation of payment systems through e-money in Indonesia and the responsibility of publishers for the losses experienced by emoney users in the perspective of civil law in Indonesia. legislation, case approach and legal concept approach. The results of the study show that downloading the supervisory function from Bank Indonesia to the OJK is as stated in Article 6 of the OJK Law. The scope of the OJK only applies to limited service activities, in other words, if there are Banking, Capital Markets, and Non-Bank Financial Industries (IKNB) that have licenses as Electronic Money Issuers, then the improvement activities are carried out by OJK in their capacity as Electronic Money Issuers. The supervision adopted by OJK is divided into 2 (two) principles, namely prudential micro supervision which is defined as a supervision in the context of encouraging banks and the non-bank financial industry that aims to support monetary stability, in addition to prudential supervision which has the scope of individual supervision. with optimal community maintenance efforts. Regarding the losses experienced by electronic money owners, PBI Number 20/6/PBI/2018 regulates it, namely Article 43 paragraph (1) which states that issuers are required to apply the principle of consumer protection, then Article 42 paragraph (2) letter c of PBI No.

20/6/PBI/2018 concerning Electronic Money states that issuers are required to compensate users for financial losses as long as the losses are not caused by user error.

Keywords: Legal position, Financial Services Authority, Supervision, Issuance, E-money

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Uang dipandang sebagai kebutuhan yang utama dalam kehidupan manusia sehingga dalam prosesnya maka aktvitas manusia tidak akan terlepas dari uang. Sebagai alat pembayaran yang sah dan utama, uang tidak hanya terdapat dalam bentuk uang tunai namun juga bertransformasi dalam bentuk uang non tunai. Metode bayar yang terbaharukan ini tentunya tidak lepas dari adanya perkembangan globalisasi dalam bidang kemajuan teknologi digital.Tidak hanya mencangkup proses mobilitas yang semakin tidak terbatas karena kecanggihan teknologi tetapi globalisasi juga merubah pola prilaku manusia sebagai konsumen.1 Luasnya aspek yang terpengaruh dari adanya globalisasi seperti aspek ekonomi, sosial dan budaya yang kini keseluruhan dari hal tersebut telah bernuansa digital menyebabkan tiap orang mampu untuk mengakses segala informasi apapun dengan mudah dan cepat. Jika menilik makna dari globalisasi, maka akan tertuju pada gambaran terhadal multidimensi kehidupan ataupun sebagai suatu bentuk fenomena sosial yang menyebabkan segala hal yang bersifat konvensional kini bertransformasi ke era digital.2 Sifatnya yang borderless menyebabkan pengguna internet akan dibawa pada revolusi 4.0 yang akan merubah pola prilaku masyarakat sebagia pengguna internet. 3 Sebagai bagian dari negara G-20, Indonesia juga turut menjadi negara yang memiliki kekuatan besar terhadap perubahan aktivitas sosial dalam tatanan internasional.4 Sehingga berdasarkan pada peringkat yang tinggi tersebut mencerminkan bahwa konsumen Indonesia begitu aktif untuk melakukan transaksi belanja online di platform e-commerce yang tersebar begitu banyak di internet. Massifnya transaksi online yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia berdampak kontan terhadap penggunaan emoney atau e-money yang juga meningkat. 5

Tergesernya metode konvensional dengan pembayaran tunai turut serta membuat pertumbuhan baru atas berbagai metode bayar salah satnya adalah e-money. E-money dapat dipersamakan sebagai salah satu metode berlandas pada kecanggihan teknologi dalam hal metode pembayaran alternative non tunai yang dapat digunakan dalam pembayaran pada skala mikro maupun ritel.6 Menilik kebelakang pada awal dibentuk serta disahkannya e-money sebagai metode bayar selain uang tunai termaktub

pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009. Terbentuknya gagasan untuk menggunakan e-money tersebut dikarenakan misi untuk meningkatkan less cash society di Indonesia. Inovasi dibidang teknologi ini dapat memudahkan pengguna dalam bertransaksi pada lingkup pembayaran mikro.7 Awalnya e-money ini hanya sebagi bentuk alternative pembayaran saja, namun kian hari terjadi peningkatan signifikan dalam hal penggunaan e-money sejak awal dilegalkan pada tahun 2007 telah digunakan sebanyak 165.193 instrumen pembayaran dan akan terus meningkat hingga kini. Adapun yang dapat dikualifikasikan sebagai bagian dari pembayaran dengan e-money yakni dengan menggunakan kartu kredit (credit card), kartu ATM (Automated Teller Machines Card), atau kartu debit serta aplikasi penyimpanan uang atau dompet digital yang penggunaannya menggunakan metode top up untuk mengisi saldo sebagai bentuk uang tunai yang dielektrikkan.8

Transaksi non tunai kian berkembang dari masa ke masa, tren yang terjadi ialah perkembangan yang semakin meningkat yang mencerminkan bahwa masyarakat begitu antusias dalam menggunakan e-money karena sifatnya yang begitu praktis. Konsumen semakin dipermudah dengan kehadiran dari e-money yang dapat dengan mudah digunakan serta digadang gadang mampu mengurangi angka kejahatan akibat penggunaan uang tunai yang biasa digunakan sebagai pembayaran konvensional. Keamanan tersebut diproteksi dengan kata sandi serta kode Qr, serta sebelum menggunakan e-money pengguna akan mengisi ulang saldo didalam e-money yang dapat dilakukan di bank ataupun gerai yang melayani top up atas e-money tersebut.9 Walaupun menggunakan metode top up, penggunaan atas e-money tidaklah dengan kontan langsung terhubung pada rekening pengguna, hal ini dikarenakan metode top up yang digunakan pada e-money dapat di isi ulang oleh setiap orang hanya dengan menggunakan kode saja, sehingga tidak terjadi ikatan transaksi antara pengguna emoney serta rekening pribadi pengguna.10

Dewasa kini terjadi peningkatan penggunaan transaksi digital maupun arus akitivitas digital dikarenakan semakin terbatasnya ruang gerak masyarakat untuk menggunakan metode belanja dan bayar secara konvensional pasca pandemi Covid-19 yang menyerang di negara Indoensia pada bulan Maret 2020 Melalui Keppres yang dikeluarkan oleh Pemerintah menjadi tindak lanjut dari urgensi ketegasan atas penanganan pandemi sehingga pandemi ini dianggap sebagai Bencana Nasional, wabah yang telah menjalar keberbagai belahan dunia ini ditetapkan sebagai bencana nasional non alam. Atas penetapan tersebut diperlukan serangkaian protokol kesehatan yang ketat dan serangkaian himbauan dari pemeritah serta sanksi yang mengikutinya. Penyebaran virus yang massif melalui salah satunya melalui sentuhan pada permukaan benda salah satunya dapat pula menyebar dari penggunaan uang tunai. Telah tercatat pada data oleh Bank Indonesia berkaitan dnegan penggunaan transaksi non tunai yang semakin pesat peningkatannya selama masa pandemi Covid-

  • 19.    Pada transaksi e-commerce yang pada tahun ini bisa mencapai 98,3 juta transaksi pada tahun 2020 dengan total peningkatan sebesar 9,9% yang menghasilkan sebesar Rp.20,7 Triliun. Adapun adanya kebijakan atas PSBB ataupun PPKM yang langsungkan di Jawa-Bali pada tahun 2021 ini membuat banyak sektor usaha beralih menggunakan transaksi elektronik dengan metode Qr Code.11 Transaksi yang di claim lebih aman daripada menggunakan metode tunai ini memang tidak bersifat tidak terikan dengan penerbit e-money seperti pihak Bank. Adapun sisi positif dari hal tersebut yakni tidaklah pengguna terikat dan tunduk pada kebijakan oleh penerbit serta dapat menghindari hacking yang biasa terjadi dengan metode skimming. Namun dalam sisi yang berbeda, penggunaan e-money pada saat terjadi kehilangan bukanlah tanggung jawab penerbit, melainkan hanya pada tanggung jawab pribadi pengguna. Penerbit seperti pihak bank tidak lagi dapat berkordinasi untuk memblokir e-money tersebut ataupun menggantinya dengan yang baru karena uang yang tersimpan bukan ditempatkan pada penerbit melainkan sepenuhnya dipindahkan pada kartu e-money tersebut. Sehingga penting untuk kembali merevitalisasi perlindungan hukum atas pengguna e-money dengan dalil kemajuan teknologi dan massifnya penggunaan uang elektrionik sehingga memungkinkan berbagai tindak kejahatan akan menyasar pengguna e-money.

Penggunaan e-money yang semakin meningkat menyebabkan diperlukan pengamanan dan pengawasan yang kuat untuk melindungi pengguna dari berbagai kejahatan dan kerugian yang timbul dari penggunaan e-money. Pada penelitian terdahulu oleh penulis Ni Kadek Yuni Pradnyanawati dengan judul “Penerapan Transaksi Non Tunai Di Pasar Badung Dalam Mendukung Tata Kelola Pasar Modern” pada penelitian tersebut menguraikan berkaitan dengan penerapan transaksi non tunai yang digunakan di Pasar Badung dan resiko yang timbul dari implementasi tersebut12. Serta adapun oleh penulis Desak Made Eri Susanti dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pemilik E-Money Yang Diterbitkan Oleh Bank Dalam Transaksi Non Tunai”.13 Pada penelitian tersebut menguraikan mengenai aturan hukum dari penggunaan e-money serta meninjau perspektif hukum perlindungan konsumen terhadap adanya penggunaan e-money tersbebut. Adapun yang menjadi pembeda dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa pada penelitian ini membahas berkaitan dengan peran OJK selaku lembaga fundamental dalam pengawasan sektor keuangan di Indonesia, atas uraian tersebut maka kedudukan OJK dalam pengawasan penerbitan dan penggunaan e-money belum diatur secara optimal. Maka berdasarkan pada uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengawasan Terhadap Penerbitan E-Money Dalam Perspektif Hukum Perdata Di Indonesia”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana peran OJK dalam pengawasan penyelenggara sistem pembayaran melalui e-money di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana tanggung jawab penerbit terhadap adanya kerugian yang dialami pengguna e-money dalam perspektif hukum perdata di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

  • 1.    Untuk mengetahui peran OJK dalam pengawasan penyelenggara sistem pembayaran melalui e-money di Indonesia.

  • 2.    Untuk tanggung jawab penerbit terhadap adanya kerugian yang dialami pengguna e-money dalam perspektif hukum perdata di Indonesia

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normative atau dapat pula disebut penelitian doctrinal yang berfokus pada menelaah dan mencari landasan yang bertumpu pada kepustakaan hukum, jurnal dan penelitian hukum serta peraturan perundang undangan. Adapun dalam kajian ini menggunakan pendekatan perundang undangan, serta pendekatan konsep hukum yang relevan dan dapat membuat terang rumusan masalah yang tertuang diatas, serta menggunakan analisis data bersifat kualitatif dengan teknik analisis data yang dilakukan meliputi pengklasifikasian data yang diklasifikasikan menurut jenis serta penyajian hasil analisis dalam bentuk narasi dan kemudian pengambilan kesimpulan.14

  • III.    PEMBAHASAN

    • 3.1    Peran OJK Dalam Pengawasan Penyelenggara Sistem Pembayaran Melalui EMoney Di Indonesia

Pada tatanan instrument hukum nasional terdapat beberapa aturan yang berkaitan dengan penggunaan e-money sebagai metode bayar. Terbentuknya instrument hukum tersebut untuk menjamin kepastian hukum pada setiap pihak yang terlibat dalam transaksi yang menggunakan e-money. Pada transaksinya, terdapat beberapa pihak yang saling berikatan dalam menjalankan metode bayar e-money ini, yakni pengguna atau konsumen dari uang elektonik, principal sera penyedia barang dan/jasa. Antara beberapa pihak ini terbentuklah hubungan hukum yakni adanya suatu perjanjian yang dicerminkan dengan adanya term and condition sebelum pengguna menyetujui penggunaan e-money. Pada suatu perjanjian tentu terdapat implikasi yakni hak dan kewajiban yang turut timbul dari ikatan keduanya. Adapun perjanjian kerjasama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata. Pihak pihak yang terkait tersebut dalam Buku III KUHPerdata akan mengikat principal jika terjadi kerugian dari pengguna karena tidak amannya suatu jaringan atau sistem dari penggunaan emoney tersebut.

Selain itu, dalam tatanan kelembagaan maka salah satu lembaga yang ditunjuk secara atributif oleh undang undang dalam hal pengawasan dari peredaran uang yakni adalah Bank Indonesia selaku bank sentral yang menaungi Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (e-money) (selanjutnya disebut sebagai PBI 11/12/2009) adapun tindak lanjut dari peraturan tersebut yakni

dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia bernomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang E-money. Kedua instrument hukum tersebut bersama sama mengatur berkaitan dengan syarat serta tata cara para pihak baik pengguna maupun penerbit e-money. Peraturan tersebut pula bertujuan untuk menjamin kelancaran dan legalitas dari penggunaan e-money sebagai metode bayar alternatif yang dapat digunakan secara aman dan berpayung hukum.

Melihat pada sejarah pembentukan e-money di Indonesia, maka dalam perkembangannya Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia menggolongkan kartu ATM, kartu debit, kartu kredit dan kartu prabayar sebagai alat pembayaran berupa e-money. Setelah terbentuknya PBI 11/12/2009 maka terjadi perubahan dimana produk kartu ATM, kartu debit, dan kartu kredit digolongkan sebagai alat pembayaran dengan menggunakan kartu, sedangkan kartu prabayar digolongkan sebagai e-money. Perubahan penggolongan tersebut antara lain dilatarbelakangi fakta bahwa e-money, tidak hanya diterbitkan oleh bank, tetapi juga boleh diterbitkan Lembaga Selain Bank (LSB), seperti perusahaan telekomunikasi. Selain itu, e-money juga memiliki perbedaan dengan alat pembayaran dengan menggunakan kartu, karena pengguna e-money tidak harus menjadi nasabah bank atau membuka rekening di bank. Alat pembayaran menggunakan produk prabayar telah berkembang pesat, sehingga memerlukan perhatian khusus dari sisi pengaturan dan pengawasan. Pembaruan PBI tersebut disebabkan karena banyaknya kasus pelanggaran dan tindak pidana kartu kredit (carding). Perubahan PBI tersebut ditujukan untuk menyempurnakan regulasi kartu kredit yang dalam pelaksanaannya telah menimbulkan sejumlah dampak negatif di masyarakat. Penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu berupa bank wajib menerapkan manajemen risiko sesuai ketentuan PBI yang mengatur tentang manajemen risiko. Di sisi lain, penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu berupa Lembaga Selain Bank (LSB), seperti perusahaan telekomunikasi, juga diwajibkan menerapkan manajemen risiko sesuai ketentuan manajemen risiko bagi LSB. Apabila belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko untuk LSB, maka penerapan manajemen risiko bagi LSB tunduk pada ketentuan PBI yang mengatur mengenai manajemen risiko.

OJK sebagai lembaga otoritas yang bertugas mengawasi sector keuangan berperan aktif dalam memberikan pengawasan terhadap penyelenggaraan e-money yang dilangsungkan oleh pihak penerbit yang berupa Bank maupun LSB.15 Adanya penerbitan uang elektronik memiliki hubungan timbal-balik dengan OJK yang mencakup pengawasan keberlangsungan usaha. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Undang-Undang OJK) yang mencakup kegiatan jasa keuangan sektor perbankan, kegiatan jasa keuangan pada sektor pasar modal, kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Pada dasarnya terdapat peralihan fungsi pengawasan dari Bank Indonesia ke OJK sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang OJK.16 Lingkup pengawasan dari OJK hanya

berlaku dalam kegiatan jasa yang terbatas, dalam kata lain apabila terdapat Perbankan, Pasar Modal, dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang memiliki izin sebagai Penerbit Uang Elektronik, maka kegiatan usahanya diawasi oleh OJK dalam kapasitasnya sebagai Penerbit Uang Elektronik.

Pengawasan yang dianut oleh OJK terbagi atas 2 (dua) prinsip yakni micro prudential supervision yang diartikan sebagai suatu pengawasan dalam rangka mendorong bank dan industry keuangan non bank yang berorientasi untuk menunjang kestabilan moneter, selain itu adapun pengawasan secara prudential supervision yang memiliki lingkup pengawasan secara individual dengan upaya pemeliharaan masyarakat dengan optimal. Terhadap sasaran yang ingin dicapai oleh prinsip micro-prudential supervision yakni untuk mengarahkan dan mendorong IKNB untuk tercapainya optimalisasi peluang usaha dan pencapain sasaran ekonomi makro. Pengawasan yang dilangsungkan OJK terhadap penerbit uang elektronik tidak diatur dalam pengaturan khusus yang menjamin kepastian hukum dalam mekanisme pengawasannya, sehingga terhadap pengawasan tersebut hanya merujuk pada Undang-Undang OJK dan Peraturan OJK No.41/PJOK.03/2017 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemerikaan Bank. Penerbit uang elektronik dikualifikasikan sebagai kegiatan usaha bank, sehingga terhadap pengawasan OJK berdasarkan pada PJOK No.41/PJOK.03/2017 dalam Pasal 3 dapat melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan induk dari Bank, Perusahaan anak dari Bank, Pihak Terkait dengan Bank, Pihak Terafiliasi dengan Bank, dan Debitur Bank. Jasa Keuangan (OJK) dapat melakukan pemeriksaan baik dengan menggunakan tenaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun dengan menggunakan jasa pihak lain.

  • 3.2    Tanggung Jawab Penerbit Terhadap Adanya Kerugian Yang Dialami Pengguna E-Money Dalam Perspektif Hukum Perdata Di Indonesia

Masifnya penggunaan e-money tidak menutup kemungkinan akan meningkatkan permasalahan yang terjadi dalam proses penggunaannya seperti apabila terjadi kegagalan pada saat melakukan pembayaran yang berpotensi pada timbulnya kerugian oleh pengguna e-money sementara kegagalan tersebut bukanlah kesalahan dari pihak pengguna melainkan dapat pula merupakan kesalahan dari pihak penyedia layanan e-money. Jika demikian, maka akan menimbulkan pertanyaan berkaitan dengan pihak mana yang akan dimintai pertanggungjawaban atas hal tersebut. Sebelumnya, bahwa terhadap pemegang kartu e-money dianggap telah menyetujui segala persyaratan yang mengikuti dalam hal ini dapat pula disebut sebagai term and condition dari penggunaan e-money tersebut. Sehingga secara sekilas maka kerugian yang timbul akan ditanggung oleh pengguna e-money. Terdapat kekurangan dalam segi instrument peraturan perundang undangan dikarenakan hanya menekankan pada aspek penggunaan kartu e-money, sehingga dalam hal ini perlu memberlakukan aturan bagi pelaku usaha atau penerbit e-money. Aturan aturan tersebut sebelumnya haruslah dirumuskan secara terperinci dan tidak menimbulkan ambiguitas bagi pihak yang terlibat berkaitan dengan objek dari aturan tersebut. Hal ini dikarenakan e-money dalam aspek transaksinya juga dapat digunakan sebagai alat bukti dengan sifatnya yang elektronis.

Indonesia memiliki lembaga OJK yang berfungsi dalam tugasnya untuk pengawasan yang berlandas pada Undang-Undang OJK yang dalam hal ini memiliki fungsi yang fundamental berkaitan dengan tanggungjawabnya dalam mengawasi aktifitas perbankan. Selain itu dalam perspektif konsumen atau pengguna e-money ini, maka terdapat pula instrument hukum yakni diatur dalam Peraturan OJK Nomor 1

Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan sebagai bentuk payung hukum dari perlindungan secara tegas terhadap pelaku jasa keuangan serta yang terlibat didalamnya untuk tetap mentaati setiap peraturan dan beritikad baik terhadap konsumen.17 Pelaku usaha dalam hal ini sebagai penyelenggara e-money juga ditempatkan pada posisi yang sama dengan pengguna e-money untu mendapatkan pengawasan yang berimbang agar segala bentuk hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak bersifat transparan.18 Salah satu bentuk konkrit dari tindak lanjut kewajiban tersebut yakni bagi penyelenggara e-money untuk memberikan informasi mendetail berkaitan dengan transaksi keuangan yang dilakukan kepada konsumen. Serta memberikan jaminan kemanan terhadap simpanan, data pribadi dan asset konsumen.

Praktik usaha penerbitan e-money dapat dikatakan menjadi salah satu jenis usaha yang menarik bagi pengusaha yang memiliki cukup modal dan kemampuan untuk mendirikan perusahaan penerbit uang elektronik. Semakin banyak konsumen yang menggunakan e-money, maka akan semakin dikenal pula penerbitnya. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan usaha di bidang perbankan pada umumnya, penerbit emoney juga menghimpun dana dari masyarakat selaku konsumen dan pihak penerbit emoney tersebut dapat melakukan perputaran uang dari dana yang telah dihimpun tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Brand value dari penerbit e-money tentunya dapat meningkatkan keuntungan dari penerbit e-money itu sendiri. Usaha e-money yang dijalankan oleh penerbit tentu memiliki tanggung jawab hukum yang terdiri atas tanggung jawab produk. Tanggung jawab produk terjadi karena ketidaksimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Tanggung jawab mengenai informasi produk merupakan tanggung jawab pelaku usaha dalam pemberian informasi produk. Sedangkan tanggung jawab atas keamanan produk adalah tanggungjawab pelaku usaha yang berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha untuk menjaga keamanan konsumen pada saat melakukan transaksi misalnya pada transaksi berbasis elekronis. Terhadap kerugian yang dialami oleh pemegang uang elektronik PBI Nomor 20/6/PBI/2018 telah mengaturnya yaitu pada Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa penerbit diwajibkan untuk menerapkan prinsip perlindungan konsumen, kemudian Pasal 42 ayat (2) huruf c PBI No.20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik menyaatakan bahwa penerbit diwajibkan untuk mempunyai mekanisme penggantian kerugian finansil kepada penguna sepanjang kerugian itu tidak disebabkan oleh kesalahan pengguna. Berdasarkan bunyi pasal tesebut maka penebit dapat dimintai pertanggungjawaban selama kelalaian ataupun kesalahan tersebut tidak disebabkan oleh pengguna emoney. Pada perspektif KUHPerdata Pasal 1457 menyebutkan bahwa jual beli merupakan suatu persetujuan yang mana pihak yang satu mengkatkan dirinya tunduk menyerahkan suatu benda dan pihak yang lain membayar dengan harga yang telah ditentukan. Dengan adanya jual beli ini maka hak milik barang akan berpindah. Barang yang semula dimiliki pihak penjual akan berpindah tangan pada pembeli apabila sudah terjadi penyerahan secara yuridis sesuai dengan Pasal 1459

KUHPerdata. Maka berdasarkan pada prinsip tersebut diatas penerbit tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pemegang kartu dan oleh pihak manapunatas kerugian yang dialami oleh pengguna.

  • IV.    KESIMPULAN

Terdapat peralihan fungsi pengawasan dari Bank Indonesia ke OJK sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang OJK. Lingkup pengawasan dari OJK hanya berlaku dalam kegiatan jasa yang terbatas, dalam kata lain apabila terdapat Perbankan, Pasar Modal, dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang memiliki izin sebagai Penerbit Uang Elektronik, maka kegiatan usahanya diawasi oleh OJK dalam kapasitasnya sebagai Penerbit Uang Elektronik. Pengawasan yang dianut oleh OJK terbagi atas 2 (dua) prinsip yakni micro prudential supervision yang diartikan sebagai suatu pengawasan dalam rangka mendorong bank dan industri keuangan non bank yang berorientasi untuk menunjang kestabilan moneter, selain itu adapun pengawasan secara prudential supervision yang memiliki lingkup pengawasan secara individual dengan upaya pemeliharaan masyarakat dengan optimal. Terhadap kerugian yang dialami oleh pemegang uang elektronik, PBI Nomor 20/6/PBI/2018 telah mengaturnya yaitu pada Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa penerbit diwajibkan untuk menerapkan prinsip perlindungan konsumen, kemudian Pasal 42 ayat (2) huruf c PBI No.20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik menyatakan bahwa penerbit diwajibkan untuk mempunyai mekanisme penggantian kerugian finansil kepada penguna sepanjang kerugian itu tidak disebabkan oleh kesalahan pengguna. Berdasarkan bunyi pasal tesebut maka penebit dapat dimintai pertanggungjawaban selama kelalaian ataupun kesalahan tersebut tidak disebabkan oleh pengguna e-money. Pada perspektif KUHPerdata Pasal 1457 menyebutkan bahwa jual beli merupakan suatu persetujuan yang mana pihak yang satu mengkatkan dirinya tunduk menyerahkan suatu benda dan pihak yang lain membayar dengan harga yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2021.

Santoso, Edi, Pengaruh Era Globalisasi Terhadap Hukum Bisnis Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2018.

Santoso, Sugeng. Sistem Transaksi E-Commerce Dalam Perspektif KUH Perdata dan Hukum Islam. Tulungagung: State Islamic Institute of Tulungagung, 2016.

JURNAL

Anam, Choiril. "E-money Dalam Perspektif Hukum Syari'ah." Qawãnïn 2, no. 1 (2018): 288214. https://dx.doi.org/10.30762/q.v2i1.1049.

Pradnyanawati, Ni Kadek Yuni; Westra, I Ketut. Penerapan Transaksi Non Tunai Di Pasar Badung Dalam Mendukung Tata Kelola Pasar Modern, Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum https://Ojs.Unud.Ac.Id/Indexphp/kerthasemaya/article

Eri Susanti, Ni Desak Made; Atmadja, Ida Bagus Putra; Darmadi, A.A. Sagung Wiratni. Perlindungan Hukum Bagi Pemilik E-Money Yang Diterbitkan Oleh Bank Dalam Transasksi Non Tunai, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/47815 diakses pada 13 Desember 2021Firdaus, Muhammad Ridwan. "E-Money Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah." Tahkim 14, No. 1 (2018): 145-156. https://doi.org/10.24843/KM.2019.v07.i03.p15.

Hasanah, Ulfia. "Efektifitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan." Jurnal Aplikasi Bisnis 5, no. 1 (2014): 85-99.

Ilham, Muhammad, Neni Sri Imaniyati, and Arif Firmansyah. "Tanggung Jawab Bank terhadap Pengguna E-money dalam Kegagalan Sistem Transaksi Pembayaran Non-Tunai Ditinjau dari Buku III KUH Perdata dan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 20/6/2018 tentang E-money." Karya Unisba (2019), 1045-1055 http://hdl.handle.net/123456789/20632.

Latifa Hanif."Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam E-Commerce Sebagai Akibat Dari Globalisasi Ekonomi." Jurnal Pembaharuan Hukum 1, No. 2 (2014): 191-199. http://dx.doi.org/10.26532/jph.v1i2.1476.

Naomi, Fiona Pappano, dan I. Made Dedy Priyanto. "Perlindungan Hukum Pengguna E-Wallet Dana Ditinjau Dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 9, No. 1:    24-33.

https://doi.org/10.24843/KS.2020.v09.i01.p03.

Palilati, Rati Maryani. "Perlindungan Hukum Konsumen Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan." Jurnal Ius Kajian Hukum Dan Keadilan 5, no. 1 (2017): 49-67. http://dx.doi.org/10.29303/ius.v5i1.414.

Rahmayani, "Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan Perusahaan Berbasis Financial Technology Di Indonesia." Pagaruyuang Jurnal 2, No. 1 (2018): 24-41. http://dx.doi.org/10.31604/justitia.v7i2.328-334.

Ramadhan, Muhammad, Dwi Oktafia Ariyanti, and Nita Ariyani. "Pencurian e-money pada e-commerce dalam Tindak Pidana Cybercrime sebagai Tindak Pidana Ekonomi." Reformasi Hukum    24,    no. 2    (2020):    169-188.

http://dx.doi.org/10.46257/jrh.v24i2.179.

Rulanda, Sija Putra, Zulfi Diane Zaini, and Melisa Safitri. "Kedudukan Hukum Pengawas Bank Syariah yang Dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)." Jurnal Supremasi https://doi.org/10.35457/supremasi.v10i2.1148.

Sinaga, Rebekka Dosma, Bismar Nasution, and Mahmul Siregar. "Sistem Koordinasi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan Bank setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan." Transparency Journal of Economic Law 1, no. 2 (2013): 14694.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843 )

Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253)

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang E-money

INTERNET

https://www.cnbcindonesia.com/news/20190225112304-8-57403/soal-keyakinan-konsumen-indonesia-peringkat-ketiga diakses pada Senin, 25 Januari 2021

https://Money.Kompas.Com/Read/202Transaksi-Nontunai-Jadi-Salah-Satu-Cara-Mencegah-Penyebaran-Covid-19?Page=All Diakses Pada Jumat, 22 Januari 2021

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 4 Tahun 2020, hlm. 37-47.

47