KEBIJAKAN FORMULASI TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI

I Kadek Sumadi Yasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected],

I Ketut Rai Setiabudhi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i04.p08

ABSTRAK

Tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk mengkaji regulasi tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi dalam hukum positif Indonesia (ius constitutum) dan bagaimana kebijakan formulasi tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi pada masa mendatang (ius constituendum), sebagai upaya preventif dan ultimum remidium dalam memaksimalkan pendapatan negara dari sektor perpajakan. Metode penelitian yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif. Adapum pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan konseptual, pendekatan peraturan perundang-undangan, dan pendekatan perbandingan. Hasil study menunjukan bahwa terdapat kekaburan norma terkait rumusan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi dalam hukum materiil pajak yang berlaku. Kebijakan formulasi dalam hukum materiil perpajakan dimasa mendatang harus memuat pengaturan yang lebih jelas dan komperhensif dalam penerapan asas strict liability serta vicatorius liability terkait rumusan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi meliputi, korporasi sebagai subjek tindak pidana, kesalahan atas perbuatan oleh korporasi dan/atau alat-alatnya, serta ancaman sanksi pidana, sehingga terwujudnya tujuan tertib pajak pada wajib pajak badan atau korporasi.

Kata kunci : Kebijakan formulasi,Tindak Pidana pajak, korporasi.

ABSTRACT

The purpose of this scientific research is to study the regulation of taxation crimes committed by corporations in the positive law of Indonesia (ius constitutum) and how the formulation policy for tax crimes committed by corporations in the future (ius constituendum), as a preventive and ultimate remidium in maximizing state revenue from the taxation sector. The research method used in this scientific paper is normative legal research. There is no approach used including the conceptual approach, the statutory approach and the comparative approach. The result of this research is that there is a vague norms related to the regulation of taxation crimes committed by corporations in the applicable taxation material law. Policy formulations in future tax material law must contain clearer and more comprehensive arrangements in the application of the principle of strict liability and vicatorius liability related to the formulation of tax crimes committed by corporations, including the subject of criminal acts, mistakes for actions by corporations and / or their tools. , as well as the threat of criminal sanctions, so as to realize an orderly tax objective on corporate or corporate taxpayers.

Key word : formulation policy, tax crime, corporation.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Pajak dapat dipahami sebagai peralihan kekayaan dari sektor privat ke sektor publik yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

secara langsung (prestasi).1 Secara konseptual pengenaan pajak tidak terlepas dari konsep negara kesejahteraan (walfare state) yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 yaitu (negara Indonesia bertujuan) “memajukan kesejahteraan umum”. Sehingga dalam hal ini pemungutan pajak dapat digunakan seluas-luasnya untuk membiayai pengeluaran negara dalam pembangunan negara, dengan harapan dapat terwujudnya kesejahteraan umum. Berkenaan dengan hal tersebut secara implisit pengenaan pajak membawa konsekwensi bagi warga negara Indonesia berupa hak dan kewajiban yang secara tidak langsung untuk ikut serta dalam pembangunan nasional melalui pembayaran pajak. Selain itu peran penting dari pajak dalam Negara Kesatuan Republik Indonesi dapat kita lihat pada struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara sebagai sumber terbesar dari penerimaan negara, sehingga pajak dalam hal ini memiliki posisi yang strategis.2

Indonesia dalam kedudukannya sebagai negara hukum sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 membawa konsekwensi bahwa setiap kebijakan dan tindakan pemerintah dalam berbagai sendi dan bidang kehidupan berbangsa serta negara harus berdasarkan hukum. Beranjak dari hal tersebut untuk mewujudkan tujuan negara kesejahteraan dengan berorientasi kesejahteraan umum melalui pemungutan dan pemotongan pajak haruslah diejawantahkan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menjamin rasa kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan. Salah satu kebijakan pemerinatah Indonesia dalam pemungutan dan pemotongan pajak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut sebagai UU KUP. Selain memuat mekanisme dan teknis pemungutan atau pemotongan pajak, mengacu pada konsideran UU KUP maka kelahiran UU KUP bertujuan untuk mengantisipasi berbagai bentuk perbuatan penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dengan berbagai modus operandi sebagai konsekwensi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknonologi yang semakin pesat serta dapat mengakibatkan timbulnya kerugian pendapatan negara dari sektor perpajakan.

Perluasan ruang lingkup pajak sebagai konsekwensi dari perluasan perdagangan barang dan jasa akibat perkembangan ilmu pengetahuan serta teknonolgi dewasa ini mengakibatkan timbulnya berbagai problematika dalam sektor perpajakan. Problematika yang dimaksud adalah berkembangnya tindak pidana perpajakan dengan berbagai modus operandi yang dilakukan oleh wajib pajak khususnya korporasi atau badan hukum. Situasi tersebut mengharuskan setiap negara untuk membuat regulasi perpajakan yang jelas dan komperhensif dalam mengantisipasi berbagai bentuk perbuatan penghindaran pajak. Keseriusan pemerintah Indonesia ditujukan dengan penerapan instrument pidana dalam UU KUP merujuk pada Pasal 38, dan Pasal 39 a quo. Kontruksi dalam rumusan Pasal 38 dan 39 a quo menguraikan kesalahan berupa pelanggaran dan kejahatan pajak sebagai unsur subjektif. Unsur objektif pada Pasal 38 dan Pasal 39 a quo selalu diawali dengan unsur “setiap orang” karena kesalahan berupa kealpaan maupun kesengajaan atas perbuatan yang bersifat melawan hukum, dengan ancaman berupa pidana denda, pidana kurungan, dan pidana penjara. Tujuan penerapan instrument pidana dalam UU KUP sebagai undang-undang khusus diluar KHUP tidak terlepas dari konsep ultimum remidium, dimana instrument pidana sebagai alternatif terakhir guna memaksimalkan pendapatan negara apabila

penerapan sanksi hukum lainnya dirasa kurang efektif dalam penyelesaian sengketa antara fiskus dengan wajib pajak.3

Model rumusan kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi dalam UU KUP perlu dicermati lebih dalam. Kontruksi Pasal 38 dan Pasal 39 a quo masih menganut sistem tradisional yang bersifat kaku dan absolut dalam memandang unsur subjektif perbuatan pidana korporasi, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan”. Hal ini dibuktikan dalam kontruksi Pasal 38 dan kontruksi Pasal 39 a quo yang selalu diawali dengan unsur “setiap orang” atas kealpaannya atau kesengajaannya. Merujuk pada penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa kesalahan dimaksud merupakan hasil perbuatan dari wajib pajak, dimana wajib pajak berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 UU KUP dimaknai sebagai orang pribadi dan badan atau korporasi. Meskipun demikian, ketentuan umum Pasal 1 a quo tidak menjelaskan pengertian dari unsur setiap orang, apakah unsur setiap orang tersebut meliputi wajib pajak orang pribadi dan juga badan atau korporasi beserta alat-alatnya atau tidak. Sehingga hal tersebut menimbulkan multitafsir dan ambiguitas terkait subjek yang dapat dimintai pertanggungjawban pidana atas unsur objektif yang dirumuskan pada Pasal 38 serta Pasal 39 a quo. Kekaburan terkait hakekat korporasi sebagai subjek tindak pidana perpajakan diperkuat dengan tidak dirumuskannya kualifikasi yang jelas dan komperhensif terkait kesalahan aktif maupun pasif dari perbuatan korporasi dan/atau alat-alat korporasi sebagai unsur subjektif sesuai asas strict liability dan vicatorius baik itu secara implisit atau eksplisit, hal ini dapat berkolerasi dengan sejauh mana korporsi dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu perbuatan nantinya, mengingat korporasi berbeda dengan subjek hukum orang pribadi karena tidak memiliki jiwa atau batin untuk melakukan kesalahan secara langsung. Sanksi pidana terhadap tindak pidana badan atau korporasi dengan orang pribadi dalam UU KUP juga tidak dirumuskan secara terpisah. Pengaturan yang kurang jelas dan komperhensif terkait hakekat korporasi dapat mengakibatkan berkurangnya rasa kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan dari UU KUP sebagai sarana dalam penegakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh korporasi mengingat tindak pidana korporasi merupakan kejahatan yang bersifat low visibility (sulit dilihat) .

Mengacu pada pendapat Mardjono Reksodiputro bahwasannya kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korporasi dalam bidang ekonomi amatlah besar, menurutnya biasanya yang terlihat hanyalah puncak gunung es, hal tersebut didasarkan pada peran korporasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangatlah vital bahkan melewetai batas-batas negara, disamping itu menimbulkan distorsi serta ketidakadilan pada masyarakat. Problematika yang terjadi terkait tindak pidana korporasi dalam bidang perpajakan adalah transfer pricing secara yang sederhana dapat dipahami sebagai upaya manipulasi dan penghindaran pajak melalui rekayasa harga penjualan sehingga pajak terutang seolah-olah menjadi lebih kecil dari seharusnya yang dilakukan antar korporasi baik sekala nasinonal maupun internasional. Penegakan kasus transfer pricing di Indonesia menimbulkan problematika akibat pengaturan yang kurang komperhensif dan jelas. Hal tersebut dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239.K/Pid.Sus/2012 terkait perbutaan pelaporan Surat Pemberitahuan Tidak benar secara tidak benar dan tidak lengkap melalui penerapan tax avation pada pajak penghasilan perusahaan Asian Agree Grup yang dilakukan oleh terdakwa Suwir Laut atau Lew Cie. Dalam putusannya mejelis hakim berpandangan bahwa mens rea dari pelaku didasarkan pada kepentingan 14 korporasi serta korporasi dianggap memperoleh atau

menikmati hasil tax evation yang dialakukan oleh pelaku sehingga tidaklah adil apabila pembebanan pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan pada pelaku yang mewakili kepentingan penghidaran pajak penghasilan untuk memenuhi tujuan 14 korporasi tersebut. Berdasarkan fakta tersebut majelis berpandangan meskipun pembebanan tanggung jawab pidana “individual liability dan corporate liability” sebagai cerminan dari doktrin “vicatorious liability” terhadap korporasi dalam hal ini ikut bertanggung jawab oleh penuntut umum tidak didakwakan dan diputuskan oleh majelis hakim pada Penggadilan Negeri dan Pengandilan Tinggi Jakatra Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut akan tetapi dalam praktek penegakan hukum di Indonesia telah mengitrodusir pertanggungjawaban korporasi sebagai usaha preventif untuk mencegah perbuatan tersebut dilakukan pada korporasi yang sama.

Kebijakan formulasi dalam konteks perkembangan hukum pidana terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh korporasi dapat dipahami sebagai tindak pidana dimasa mendatang (ius constituendum) dengan rumusan yang jelas dan komperhensif diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut sebagai RKUHP. Rumusan tindak pidana tidak lagi bertumpu hanya pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (culpabilitas) yang bersifat mutlak dan absolut, akan tetapi dimungkinkan untuk penyelaraskan asas tersebut dengan mengimplementasikan asas strict liability dan vicatorius liability pada ketentuan perundang-undangan. Rumusan pengaturan tindak pidana terhadap korporasi yang lebih jelas dan komperhensif juga telah diimplementasikan dalam beberapa Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut UU PPLH dan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Tindak Pidana Pencucian Uang yang selanjutnya disebut UU TPPU.

Sejauh penelusuran penulis belum ada penelitian lain yang membahas tentang “Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Perpajakan Yang Dilakukan Oleh Korporasi” . Untuk menjamin orisinalitas dari jurnal ini, maka penulis menggunakan beberapa rujukan penelitian terdahulu meliputi : karya Diajeng Kusuma Ningrum, Budi Ispiyarso, Pujiono tahun 2016 dengan judul “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dibidang Perpajakan Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara” adapun pembahasan penelitian tersebut berkaitan dengan kebijakan formulasi dalam bidang perpajakan sebagai usaha dalam meningkatkan penerimaan negara baik dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang dengan menggunakan pendekatan yuridis dan sosiologis. Adapun hasil penelitian tersebut menguraikan kebijakan kriminalisasi dalam memandang pertanggungjawaban pidana menganai subjek tindak pidana, jenis pidana dan sistem pemidanaan dalam penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan di Indonesia haruslah diformulasikan dengan usaha peningkatan penerimaan negara.4 Selain itu rujukan lainnya yang digunakan oleh penulis adalah karya dari Sarief Hidayat pada tahun 2016 dengan judul “Pemidanaan Korporasi Terkait Transfer Pricing di Bidang Perpajakan” penelitian tersebut membahas tentang bagimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam putusan hakim dalam penyelesaian kasus transfer pricing yang mengakibatkan kerugian pendapatan negara, dengan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah dalam tindak pidana transfer pricing yang menyangkut korporasi maka pertanggungjawaban korpoarasi di Indonesia

dikenakan pada direksinya setelah memenuhi unsur kesalahan dan kealpaan.5 Perbedaan kedua karya tulis ilmah tersebut dengan tulisan dari pernulis adalah penelitian penulis lebih merujuk pada bagaimana pengaturan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi dalam hukum positif indonesia “ius constitutum” dan kebijakan formulasi dalam memandang subjek, perbuatan dan jenis sanksi pidana yang tepat terhadap tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi sebagai sebagai bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ditinjau dari segi fislosofis, sosiologis, dan yuridis pada masa mendatang ius constituendum.

  • 1.2.    Permasalahan

  • 1.    Bagaimana pengaturan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi dalam hukum positif Indonesia (Ius Constitutum).

  • 2.    Bagaimana kebijakan formulasi tindak pidana perpajaka yang dilakukan oleh korporasi pada masa yang akan datang (Ius Constituendum).

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengkaji regulasi tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi dalam hukum positif Indonesia (ius constitutum), menyangkut subjek tindak pidana, rumusan tindak pidana dan sanksi pidana terhadap tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi. Sehingga bagaimana kebijakan formulasi terkait rumusan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh badan atau korporasi dimasa yang akan datang (ius constituendum) sebagai sarana priventif dan alternative terakhir dalam dalam Undang-Undang Perpajakan.

  • II.    Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini menggunakan penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini penulis menemukan kekaburan norma dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan yang tidak menguraikan secara jelas dan komperhensif terkait subjek, kualifikasi perbuatan, serta ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporsi. Jenis Penelitian hukum normatif berfokus pada analisis norma peraturan perundang-undangan dikaitkan dengan doktrin maupun data hukum secara filosofis, yuridis, sosiologis dalam usaha menyimpulkan permasalahan hukum.6 Pendekatan yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini menggunakan Pendekatan Kosneptual (conceptual approach), pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Perbandingan (comparative approach). Sumber hukum yang digunakan dalam menysusun karya tulis ilmiah ini terdiri dari sumber hukum primer berupa : Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Pencegaan dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Teknik analisa yang digunakan penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah ini adalah menggunakan teknik deduktif pada sumber hukum primer yang di kompilasikan dengan teori dan literatur

berupa buku sebagai pendukung, kemudian disajikan secara deskriptif dalam karya tulis ilmiah ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Pengaturan Terkait Tindak Pidana Perpajakan Yang Dilakukan Oleh Korporasi Dalam Hukum Positif Indonesia (Ius Constitutum).

Penerapan instrument pidana dalam UU KUP pada hakekatnya sebagai undang-undang khusus diluar KHUP tidak terlepas dari prinsip ultimum remidium atau alternatif terakhir manakala sanksi hukum lainnya dipandang tidak lagi efektif dalam menegakan perbuatan penghindaran pajak.7 Penerapan instrument pidana tersebut merujuk pada pengaturan perbuatan yang diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak berdasarkan unsur kesalahan. Menurut Simons, unsur kesalahan tindak pidana terdiri atas dua unsur, meliputi unsur subjektif serta unsur objektif.8 Unsur subjektif berupa kesengajaan dan kealpaan dari perbuatan serta kemampuan bertanggungjawab. Sedangkan unsur objektif berupa rumusan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan kepentingan publik dalam peraturan perundang-undangan. Realisasi pengaturan tindak pidana perpajakan dapat dimaknai sebagai upaya preventif (pencegahan) terhadap perbuatan yang dipandang melawan hukum dan upaya represif sebagai usaha untuk memberikan tindakan atas akibat yang timbul dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan wajib pajak serta mencegah peluang kemungkinan pengulangan tindak pidana tersebut.

Ketentuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana secara konseptual dapat dipahami sebagai kesalahan yang bersifat aktif dan/atau pasif didasarkan pada unsur kesalahan dari korporasi dan/atau pesonil, pengendali korporasi, dalam batas ruang lingkup tugas serta kewajiban dari jabatannya, yang dilaksanakan didalam atau diluar korporasi dengan maksud pemenuhan tujuan koporasi.9 Rumusan kebijakan tindak pidana korporasi tidak dapat terlepas dari pengimplementasian asas strict liability dan vicatorius liability didalam suatu peraturan perundang-undangan.10 Asas strict liability berkenaan dengan dapat dipidananya badan atau korporasi tanpa adanya pembuktian unsur kesalahan atas suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum. Asas vicatorius liability berkenaan dengan dapat dipidananya badan atau korporasi berdasarkan perbuatan melawan hukum dari personil atau pengendali korporasi atas adanya pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan terpenuhinya tujuan korporasi. Sehingga untuk menegakan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi peraturan perundang-undangan harus memuat rumusan tindak

pidana yang jelas dan komperhensif mengingat kejahatan korporasi merupkan kejahatan yang sulit dilihat (low visibility).

Pengaturan tindak pidana dalam UU KUP merujuk pada unsur kesalahan baik itu kealpaan dan kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak, dimana berdasarkan Pasal 1 UU KUP yang dimaksud wajib pajak meliputi orang pribadi dan badan hukum atau korporasi. Ketentuan tindak pidana merujuk pada kontruksi Pasal 38 UU KUP yang pada intinya menguraikan tentang kealpaan (culpa) yang dilakukan oleh “setiap orang” berkenaan dengan penyampaian Surat Pajak Tahunan dengan isi tidak benar serta tidak lengkap, sehingga perbuatan tersebut dipandang mengakibatkan kerugian negara berupa berkurangnya penerimaan negara dari sektor perpajakan dengan ancaman pidana berupa pidana denda, atau pidana kurungan. Dalam penjelasan Pasal 38 a quo, pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak atas kesalahan yang timbul karena kealpaannya sebagaimana meliputi lalai, tidak mengidahkan kewajiban dengan hal demikian dapat menimbulkan suatu kerugian negara. Kelalaian yang dimaksud mengakibatkan timbulnya kerugian negara merupakan suatu pengulangan atau bukan perbuatan untuk yang pertama kalinya. Sedangkan ketentuan dalam kontruksi Pasal 39 UU KUP menguraikan tentang kesengajaan (dolus) yang dilakukan oleh “setiap orang” terkait dengan tidak mendaftarkan NPWP, menggunakannya secara sembarangan atau menggunakan tanpa pengukuhan utang pajak, tidak melaporkan SPT, serta menolak untuk dilakukannya pemeriksaan atas perbuatannya yang dianggap merugikan negara, sehingga dapat diancam dengan nestapa berupa penjara dan/atau denda. Penjelasan Pasal 39 a quo menerangkan bahwa pengaturan percobaan diadakan guna menanggulangi pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam bidang perpajakan belum lewat batas waktu satu tahun, maka dapat dijatuhkan sanksi berupa pidana penjara dan denda lebih berat dari yang ditentukan dalam Pasal 38 UU KUP.

Bila ditelaah lebih komperhensif, rumusan dalam kontrusi Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP a quo selalu diawali unsur “setiap orang” dapat menimbulkan ambiguitas dan multitafsir terkait subjek pajak badan atau korporasi. Meskipun dalam penjelasan Pasal tersebut kesalahan yang dimaksud dilakukan oleh wajib pajak, akan tetapi dalam ketentuan Pasal 1 UU KUP tidak dijelaskan makna dari unsur setiap orang yang dimaksud apakah meliputi subjek orang pribadi dan badan atau korporasi beserta alat alatnya atau hanya subjek pajak orang pribadi. Tidak dijelaskannya unsur kata setiap orang sebagai unsur objektif dalam Pasal 38 dan Pasal 39 a quo dapat menimbulkan ambiguitas terkait dengan siapa saja subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana pada perbuatan tindak pidana perpajakan yang bersifat menguntungkan atau memenuhi tujuan wajib pajak badan atau korporasi. Pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang berhubungan dengan pengindaran dan menipulasi dibidang perpajakan yang kurang efektif dalam nantinya dapat hanya menguntungkan korporasi dan merugikan negara.11 Usaha pencegahan pengulangan tindak pidana dalam suatu korporasi yang sama juga dapat terulang apabila pertanggungjawaban hanya dititikberatkan pada orang pribadi selaku pelaksana tugas korporasi seperti direksi atau direktur, hal tersebut didasarkan pada penjelasan pasal 38 aquo menyebutkan perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan untuk yang pertama kalinya, problematika yang muncul adalah apabila setelah perbuatan dalam korporasi tersebut terulang tindak pidana yang sama akan tetapi yang melakukan bukanlah orang yang melakukan perbuatan pada saat pertama.

Unsur subjektif dari tindak pidana dalam arti luas dimaknai kesalahan atas perbuatan aktif maupun perbuatan pasif yang bersifat melawan hukum, pemaknaan tersebut sejalan dengan pendapat Moeljatno, Marshall, dan Roeslan Saleh.12 Berkenaan dengan hal tersebut maka rumusan kebijakan tindak pidana dalam Pasal 38 dan Pasal 39 a quo masih menganut sistem tradisional, dimana dapat dipidanya wajib pajak hanya berfokus pada perbuatan atas kesalahan batin atau jiwa orang pribadi yang bersifat aktif. Hal tersebut dapat dilihat dari kekaburan rumusan kualifikasi perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan (aktif) dan/atau tidak dilakukan (pasif) oleh korporasi sebagai tindak pidana perpajakan, sesuai dengan penerapan doktrin strict liability dan vicatorius liability dalam Pasal 38 dan Pasal 39 a quo secara jelas dan komperhensif. Rumusan tindak pidana korporasi yang kurang jelas dan komperhensif tersebut dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak badan atau korporasi dalam melaksankan kewajibannya untuk membayar pajak berdasarkan ketentuan yang diatur pada peraturan perundang-undangan.

Problematika lain terkait kekaburan norma yang terdapat dalam UU KUP sebagai hukum materiil perpajakan adalah tidak adanya pemisahan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan orang pribadi dengan badan atau korporasi. Hal tersebut merujuk pada rumusan tindak pidana pada Pasal 38 dan 39 a quo berupa pidana penjara, kurungan, serta denda atas tindak pidana pajak. Padahal bila merujuk pada pendapat Muladi dan Dwidja Priyanto pemisahan sanksi pidana antara orang pribadi dan korporasi sangatlah penting.13 Hal nantinya dapat berhubungan dengan bentuk pertanggungjawaban yang dapat dibebankan terhadap korporasi dan pidana penggantinya apabila korporasi tidak dapat memberikan pertenggungjawabanya terhadap pidana pokok yang dijatuhkan oleh majelis hakim.

  • 3.2.    Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Perpajakan Dilakukan Oleh Korporasi Pada Masa

    Yang Akan Datang (Ius Constiuendum)

Secara konseptual kebijakan formulasi tindak pidana dapat dipahami sebagai rumusan mengkriminalisasi atau dekriminalisasi suatu perbuatan demi tercapainya tujuan hukum. Kebijakan mengkriminalisasi suatu perbuatan memuat rumusan subjek pidana, kualifikasi perbuatan yang bersifat melawan hukum dan rumusan sanksi pidana sebagai pertanggungjawaban atas perbuatan yang diformulasikan dengan tujuan dari pembentukan hukum tersebut. Kebijakam formulasi tindak pidana dibidang perpajakan secara subtansif ditujukan guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mengantisipasi berbagai bentuk pelanggaran serta kejahatan dibidang perpajakan yang berpotensi merugikan sektor penerimaan negara.14 Menurut pendapat Sudarto perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil dan/atau spiritual atas warga masyarakat.15 Berkenaan dengan hal tersebut jelas bahwa dasar pengaturan suatu perbuatan dikriminalisasi menyangkut perbuatan atas kesalahannya sebagai syarat subjektif, dan pengaturan subjek serta penerapan sanksi pidana yang berorientasi pada pertanggungjawaban pidana atas hasil dari

kesalahan sebagai unsur objektif. Ditinjau dari konsep pembentukan UU KUP, maka politik hukum diterapkannya instrument pidana mengedepankan tujuan pencegahan perbuatan melawan hukum wajib pajak yang dapat menimbulkan kerugian materiil pada sektor publik. Sehingga rumusan tindak pidana bukan semata-mata ditujukan untuk mengenakan nestapa pada wajib pajak.

Kebijakan formulasi tindak pidana perpajakan terhadap perbuatan melawan hukum korporasi tidak dapat terlepas dari pengimplementasian asas strict liability dan vicatorius liability dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Pengimplementasian asas strict liability dan vicatorius liability dalam peraturan perundang-undangan sebagai formulasi rumusan tindak pidana korporasi dalam menyeimbangkan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dinilai cenderung kaku dan absolut terhadap tindak pidana korporasi yang bersifat sulit dilihat (low visibility) dan merugikan negara.16 Menurut Made Suarta dalam bukunya konsep strict liability dan vicatorius liability perlu diterima mengingat besarnya kerugian dan bahaya yang dapat ditimbulkan akibat tindak pidana menyangkut korporasi, serta pembuktian akan kesalahan pada korporasi begitu sulit dan rumit.17 Sedangkan menurut Sudarto konsep strict liability dalam pemidanan terhadap korporasi diperlukan hal tersebut didasarkan pada kepentingan masayarakat yang bertujuan menjaga kesimbangan kepentingan sosial.18 Penerapan konsep strict liability dan vicatorius liability dalam peraturan perundang-undangan mengacu pada theory realistic (organic) theory, dimana subjek korporasi dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan kesalahan atas perbuatan yang terjadi, meliputi:

  • a.    Melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dikaitkan dengan korporasi

  • b.    Tindakan tersebut memberikan keuntungan secara ekonomis pada korporasi c. Tindakan tersebut berhubungan dengan management korporasi (AD/RT)

  • d.    Korporasi hendaknya dapat mengontrol dilakukannya atau tidak dilakukannya perbuatan tersebut dan dilihat pula perbuatan tersebut berhubungan dengan perbuatan yang telah terjadi.19

Realisasi kebijakan formulasi dalam merespon permasalahan tindak pidana korporasi dapat mengacu dalam rumusan RKUHP yang merupakan pembaharuan hukum pidana pokok di masa mendatang (ius constituendum).20 Rumusan tindak pidana korporasi dalam rancangan UU tersebut diatur secara jelas dan komperhensif melalui penerapan asas strict liability dan vicatorius liability meliputi, korporasi sebagai subjek pidana, kualifikasi perbuatan tindak pidana korporasi serta pertanggungjawaban korporasi. Rumusan formulasi tindak pidana korporasi diatur pada Pasal 45 a quo, dengan rumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana secara jelas, sehingga Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatanyang bersifat melawan hukum. Kontruksi Pasal 46 a quo menegaskan bahwa kualifikasi tindak pidana korporasi dapat dipahami sebaga`i perbuatan oleh pengurus dengan kedudukan atau jabatan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, atau orang dengan berdasarkan hubungan kerja atau sejenisnya bertindak untuk serta atas Korporasi atau mengacu pada kepentingan Korporasi, dalam lingkup

Korporasi tersebut, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Sehingga berkenaan dengan kedudukan dan model pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korporasi diuraikan sebagai berikut:

  • a.  Dalam tindak pidana korporasi maka pengurus/personil yang bertanggung jawab

  • b.  Dalam tindak pidana korporasi maka korproasi bersama pengurus yang bertanggung

jawab shingga berkenaan dengan penuntutann serta sanksi pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi saja, pengurus, atau secara bersama korporasi dan pengurusnya. Pengaturan tindak pidana perpajakan terhadap perbuatan melawan hukum korporasi dalam UU KUP pada masa mendatang dapat mengacu rumusan tindak pidana yang lebih jelas dan komperhensif dalam RKUHP terkait terkait implementasi asas strict liability dan vicatorius liability dalam merespon permasalahan tindak pidana korporasi dengan berbagai modus operandi yang berkembang.

Rumusan tindak pidana dengan penerapan asas strict liability dan vicatorius liability terhadap perbuatan melawan hukum korporasi sejatinya telah diimplementasikan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya diatur dalam UU PPLH, kontruksi Pasal 116 ayat 1 UU a quo dapat dipahami bahwa prihal tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk kepentingan badan atau koporasi, maka tuntutan dan sanksi pidana atas perbuatan tersebut dapat ditujukan kepada badan usaha dan/atau orang yang memberi perintah atau orang yang merupakan pemimpin tindak pidana tersebut. Pasal 116 a quo memuat doktrin strict liablity, hal tersebut merujuk pada klausula “tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan atas nama maka tuntutan sanksi pidana dapat diajuthkan kepada badan usaha”.21 Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 116 ayat 2 yang menyatakan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud Pasal 1 dilakukan oleh orang dalam hubungan kerja baik didalam maupun dluar ruang lingkup kerja maka pidana dapat dituntut kepada orang yang memberi perintah atau pemimipin korporasi”. Rumusan tindak pidana Pasal 116 ayat 2 a quo mengandung doktrin vicarious liability, dapat dilihat dari klausula “tindak pidana lingkungan dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja maka sanksi pidana dapat dituntut kepada pemimpin atau pemberi kerja”. Sehingga Kebijakan formulasi tindak pidana korporasi dalam Pasal 116 dan Pasal 118 UU a quo memuat rumusan yang jelas dan komperhensif berkenaan dengan badan atau korporasi diatur sebagai subjek dari tindak pidana diikuti dengan pemisahan sanksi pidana dengan subjek pidana orang pribadi. Dibandingkan dengan UU KUP yang masih menggunakan kata “setiap orang” dalam rumusan Pasal UU a quo telah bersifat antisipatif atau preventif dalam menerapkan kebijakan formulasi hukum pidana terhadap korporasi, baik itu vicarious liability, maupun strict liability sebagai sarana dalam usaha preventif untuk mencapai tujuan pembentukan hukum.22

Peraturan perundang-undangan lainnya yang telah mengimplementasikan kebijakan fomulasi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang lebih jelas dan komperhensif diatur dalam UU TPPU. Rumusan Pasal 7 ayat 1 a quo dapat dipahami bahwa perbuatan yang dilaksanakan dengan maksud pemenuhan tujuan korporasi, maka korporasi dapat dijatuhi pidana denda seratus milyar rupiah, dan juga dapat diberengi dengan penjatuhan

pidana tambahan berupa putusan hakim berkenaan dengan pembekuan korporasi, dan pencabutan izin dan perampasan asset kekayaan korporasi. Dalam Pasal 71 a quo ini terlihat jelas formulasi sanksi pidana yang diterapkan kepada korporasi sebagai suatu bagian dalam usaha menjamin kepastian hukum terkait pertanggungjawaban yang yang dapat dibebankan kepada korporasi. Selain itu dalam Pasal dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 a quo diatur pula berkenaan dengan pidana pengganti apabila ketentuan sanksi yang termuat dalam Pasal 7 a quo berupa pidana denda tidak sanggup dibayar oleh korporasi maka dapat digantikan dengan perampasan harta kekayaan korporasi atau personil yang mengendalikan korporasi berdasarkan nilai yang sebadingan dengan putusan pengadilan. Terlihat bahwa ancaman dan bentuk sanksi pidana dalam UU ini lebih komperhensif dan telah menganut asas vicarious liability, maupun strict liability terhadap perbuatan korporasi, dibandingkan dengan UU KUP yang secara subtansial masih menganut sistem tradisional dan belum adanya pemisahan sanksi pidana antara perorangan dan badan/korporasi serta pengaturan pidana pengganti apabila korporasi sebagai wajib pajak badan tidak mampu untuk memebrikan pertanggungjawabannya sesuai rumusan Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 39 A UU KUP.

Rumusan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dalam UU KUP sebagai hukum materiil pajak dibandingan dengan bentuk rumusan kebijakan tindak pidana terhadap korporasi pada RKUHP sebagai (ius constituendum) dan peraturan perundang-undangan lain yang telah berlaku, maka dapat dipahami masih terdapat kekaburan norma terkait penerapan asas vicarious liability dan strict liability dalam rumusan kebijakan perbuatan melawan hukum korporasi. Kebijakan formulasi hukum pidana dalam UU KUP dalam merespon pelanggaran dan kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh korporasi masih terbatas hanya pada asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Sehingga diperlukan rumusan formulasi yang lebih jelas dan komperhensif terkait rumusan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi dimasa mendatang demi tercapainya tujuan hukum. Setidaknya terdapat tiga model rumusan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi sebagai subjek tindak pidana terkait unsur kesalahan berdasarkan doktrin vicarious liability dan strict liability dalam memberikan pertanggungjawaban dapat dijadikan referensi,diantaranya :

  • 1.    Pertanggung jawaban oleh pengurus saja

  • 2.    Pertanggung jawaban oleh korporasi saja

  • 3.    Pertanggung jawaban oleh korporasi dan pengurus secara bersama-sama.

Sedangkan bentuk pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada badan hukum/korporasi dimasa mendatang adalah pidana pokok berupa pidana denda dan/atau pidana tambahan berupa pencabutan atas hak tertentu dan sebagainya yang diformulasikan dengan kepentingan memaksimalkan pendapatan negara dari sektor perpajakan serta mengantisipasi manipulasi atau penghindaran pajak. Selain itu dapat diancam pula pembekuan dan perampasan asset korporasi atau orang yang memiliki jabatan fungsional serta rumusan sanksi pidana pengganti apabila pidana yang diputuskan oleh hakim tidak dapat di pertanggung jawabkan oleh korporasi. Namun perlu diingat bahwasannya penerapan sanksi pidana tambahan dapat dikenakan apabila ada sanksi pidana pokok yang menyertainya.

  • IV. Kesimpulan

Kebijakan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh badan atau korporasi dalam UU KUP masih menganut sistem dan model pemidanaan tradisional yang hanya berfokus pada kesalahan terikat pada jiwa atau batin orang pribadi sehingga berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang cenderuang kaku dan bersifat absolut dalam memandang kejahatan korporsi yang bersifat low visibility. Hal tersebut dapat dilihat dalam kontruksi Pasal 38 dan Pasal 39 a quo

selalu diawali dengan unsur “setiap orang”. Unsur setiap orang tidak dijelaskan dalam Pasal 1 sehingga menimbulkan suatu kekaburan norma dan ambiguitas terkait subjek dari tindak pidana korporasi. Kekaburan norma tersebut didukung dengan rumusan perbuatan korporasi beserta ancaman pidanya tidak diatur secara jelas dan komperhensif sesuai dengan penerapan asas strict liability dan vicatorius liability sehingga dapat menimbulkan problematika dalam penegakan hukum. Kebijakan formulasi tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi dimasa mendatang harus memuat pengaturan yang lebih jelas dan komperhensif dalam usaha mewujudkan tujuan pembentukan UU KUP dengan mengacu pada konteks pembaharuan hukum pidana dalam RKUHP sebagai ius constituendum, dan pengimplementasian asas strict liability dan vicatorius liability dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang telah berlaku, meliputi UU PPLH serta UU TPPU. Formulasi terkait bentuk pertanggungjawaban yang dapat diberikan oleh korporasi atau badan hukum pada masa mendatang dapat berupa pidana denda dan pidana tambahan berupa pencabutan atas hak-hak tertentu, perampasan asset dari korporasi dan/atau pengendali korporasi serta personil korporasi, serta diperlukan juga pengaturan pidana pengganti apabila korporasi tidak mampu memeberikan pertanggungjawabannya sesuai dengan putusan pengadilan. Saran dari penulis atas permasalahan tersebut adalah diperlukan pembaharuan hukum terhadap rumusan instrument pidana dalam UU KUP yang lebih jelas dan komperhensif pada masa mendatang. Kebijakan hukum pidana mengenai penerapan sanksi ataupun pertanggungjawaban korporasi pada masa mendatang dalam peraturan perpajakan harus mengutamakan efektivitas penerapan instrument pidana sebagai usaha preventif dan represif dengan tujuan memaksimalkan pendapatan negara dibandingkan berfokus pada menjatuhkan penderitaan terhadap wajib pajak.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hardianto Djanggih, and Farah Syah Rezah. Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods). CV. Social Politic Genius (SIGn), (2017).

Mertha, I. Ketut, and Ketut Mertha. "Buku Ajar Hukum Pidana." Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar (2016).

Sutan Remy Sjahdeini, S. H.Ajaran Pemdanaan: Tindak Pidana Korporasi,dan Seluk-Beluknya. Kencana, 2017.

Suartha, I Dewa Made. Hukum Pidana Korporasi. Malang: Setara Press, 2015.

Jurnal Ilmiah

Bassang, Tommy J. "Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Deelneming." Lex Crimen 4, no. 5 (2015).

Darmayani, Diera, and Eva Herianti. "Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Dengan Penagihan Pajak Sebagai Variabel Moderating (Pada KPP Pratama Cilandak Jakarta Selatan)." InFestasi (Jurnal Bisnis dan Akuntansi) 13, no. 1 (2017).

Dodi, Fransiskus. "KONTRADIKTIF SANKSI PIDANA DALAM HUKUM PAJAK." PERAHU (Penerangan Hukum) 1, no. 1 (2013).

Fadhilah, Muammar Azka. "Tinjauan atas perumusan strict liability dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana." (2017).

Hendrawan, Deni. "ANALISIS UNSUR SUBJEKTIF SEBAGAI ELEMEN PERTANGGUNGJAWABAN   PIDANA   DALAM   TINDAK   PIDANA

KORUPSI." Tadulako Master Law Journal 3, no. 2 (2019).

Hidayat, Sarief. "Pemidanaan Korporasi Terkait Transfer Pricing Di Bidang Perpajakan." Rechtidee 14, no. 1 (2019).

Hilyatul Azizah, Implikasi Kecurangan Praktik Transfer pricing Terhadap Aspek Perpajakan Di Indonesia, Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No. 9 Tahun 2020.

Hasibuan, Sarah, Madiasa Ablisar, Marlina Marlina, and Utari Maharany Barus. "Asas Ultimum Remedium Dalam Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan oleh Wajib Pajak." USU Law Journal 3, no. 2 (2015).

Krismen, Yudi. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi." Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 1 (2014).

Mendrofa, Hagaini Yosua, and Budi Ispriyarso Pujiyono. "Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan." Diponegoro Law Journal 5, no. 2 (2016): 1-15

Ningrum, Diajeng Kusuma, Budi Ispiyarso, and Pujiono Pujiono. "Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Di Bidang Perpajakan Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara." Law Reform 12, no. 2 (2016).

Nurchalis, Nfn. "Efektivitas Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Dalam Menanggulangi Penghindaran Pajak Korporasi/The Effectiveness Of Criminal Sanction On The General Provisions Of Taxation In Addressing Corporation Tax Evasion." Jurnal Hukum Dan Peradilan 7, No. 1 (2018).

Qamar, Nurul, Muhammad Syarif, Dachran S. Busthami, M. Kamal Hidjaz, Aan Aswari, Hardianto Djanggih, and Farah Syah Rezah. Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods). CV. Social Politic Genius (SIGn)

Silaen, Febriyanti, and Syawal Amry Siregar. "Hubungan Kebijakan Kriminal Dengan Kebijakan Hukum Pidana." Jurnal Darma Agung 28, no. 1 (2020).

Sinaga, Henry Dianto Pardamean. "Pertanggungjawaban Pengganti Dalam Hukum Pajak di Indonesia." Masalah-Masalah Hukum 46, no. 3 (2017).

Thohari, A. Ahsin. "Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata Negara Taxes Epistemology, Constitutional Law Perspective." Jurnal Legislasi Indonesia 8, no. 1 (2018).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Tindak Pidana Pencucian Uang Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122

Sumber Lainnya

Naskah Akademik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana per September 2019.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.4 Tahun 2021, hlm.272-284.